• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi teolog dan filsuf sebagaimana diuraikan sejauh ini dapat ditampilkan dengan demikian:

Dari intisari di depan tentang posisi teolog dari para filsuf dalam memandang sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan kuiditas-kuiditas kita menurunkan tiga hal: (1) konsep umum dan abstrak tentang eksistensi yang umum bagi semua eksistensi; (2) bagiannya yang diindividuasikan melalui penyifatan kepada kuiditas-kuiditas; (3) eksistensi partikular yang merupakan realitas-realitas yang tidak sama. Eksistensi seperti dalam (1) di atas adalah esensial pada dan inheren dalam (2), tetapi baik (1) dan (2) adalah eksternal bagi (3). Eksistensi parikular itu identik dengan esensi dalam kasus Tuhan, Eksistensi Niscaya, tetapi ditambahkan dan eksternal dalam kasus segala hal yang lain.338 Dalam hal posisi teolog Ash’arī, mereka mempertahankan sebuah identitas utuh eksistensi dan esensi atau kuiditas pada semua tingkatan, yakni, pada tingkatan konseptual maupun pada tingkatan realitas eksternal. Pada teolog yang kemudian, mereka mempertimbangkan (a) dan (b) di atas sebagai konseptual, dan (c) sebagai

336 Al-Durrah al-Fākhirah, hlm. 2-4, par. 6.

337 Lihat karya Jāmī Hawāshī pada Durrah, ibid; hlm. 54-55; par. 5 (1).

338 Al-Durrah, hlm. 3; par. 7. 1. Teolog

(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi;

(b) Bagian dari

(a) diindividuasi melalui penyifatan pada (c);

(c) Kuiditas-kuiditas yang merupakan lapisan-dasar mereka.

2. Filsuf

(a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi;

(b) Bagian dari

(a) diindividuasikan melalui penyifatan pada kuiditas-kuiditas (c);

(d) Eksistensi parikular sebagai realitas yang tidak serupa.

yang nyata. Secara serupa, para filsuf mempertimbangkan (a) dan (b) sebagai konseptual, dan (c) dipertimbangkan sebagai nyata.

Dengan hal posisi metafisikawan Sūfī (sūfiyyah), mereka mempertahankan bahwa sama seperti mungkinlah bagi konsep umum dan abstrak dari eksistensi (cth. (a) di atas) untuk ditambahkan dalam pikiran kepada Tuhan dan kepada semua eksistensi partikular dengan realitas-realitas yang berbeda (d), jugalah mungkin baginya untuk ditambahkan dalam pikiran kepada Realitas maujud yang tunggal dan absolut yang merupakan realitas dari Eksistensi Niscaya. Sedangkan konsep yang ditambahkan ini akan menjadi sesuatu yang ada dalam pikiran, lapisan-dasarnya dapat menjadi sebuah maujud ekstramental dan nyata yang merupakan realitas eksistensi.339

Posisi metafisikawan Sūfī dapat ditampilkan dengan demikian: (a) Konsep tunggal dari eksistensi yang umum bagi semua eksistensi;

(b) Bagian dari (a) yang diindividuasikan melalui penyifatan pada (c) yang dipertimbangkan sebagai (d);

(e) Eksistensi Absolut (wujūd mutlāq);

(f) Eksistensi partikular (wujūdat khāssah) yang dipertimbangkan sebagai modus dari (e).

Maka, bagi metafisikawan, eksistensi pada tingkatan dari (a), (b), (c) dan (d) adalah tidak lain dari entitas mental yang tidak memiliki hubungan eksistensi dengan tingkatan realitas eksternal. Hanya (e) dan (f) yang dipertimbangkan nyata. Dalam hal ini, sebuah terjemahan dalam karya Jāmī Naqd al-Nusūs membuat posisi mereka jelas:

Eksistensi (al-wujūd), berdasarkan pada filsuf (al-hakim) dan teolog (al-mutakallim), adalah aksidental (‘arid)340 kepada kuiditas-kuiditas (al-māhiyyat) dan realitas-realitas (al-haqā’iq), dan kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas merupakan lapisan-dasar (ma’rudat) bagi eksistensi. Tapi berdasarkan pada penguji (al-muhaqqiq)341 dan unitarian (al-muwahhid),342 eksistensi merupakan lapisan-dasar (ma’rud), sementara maujud yang ditentukan dan dibatasi (al-mawjūdāt al-muqayyadah) adalah aksidental baginya dengan sebab penyifatan (al-idāfah) dan hubungan (al-nisbah).343 Di antara mereka344 terdapat perbedaan yang besar (bawn ba’īd). Dalam pandangan tentang hal ini, teolog dan filsuf itu dipimpin kepada posisi bahwa Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq) tidak memiliki eksistensi eksternal (wujūd fi al-khārij), tetapi hanya memiliki eksistensi mental (wujūd dhihnī); hal itu merupakan sebuah entitas universal (amr kullī), sebuah konsep umum (‘amm) yang menjadi maujud dengan jalan ketunggalannya (afrād). Namun, yang mengetahui yang menguji (al-‘ārif al-muhaqqiq), memegang erat-erat posisi bahwa Eksistensi Absolut itu maujud (mawjūd),345 dan pada kenyataannya tidak ada eksistensi (wujūd aslān) dasar (cth. akar) lain selainnya, meskipun mungkinlah untuk mempostulasikan sedemikian hal (cth. sumber lain dari eksistensi) dalam pikiran (fil al-i’tibār). Hal yang aneh adalah bahwa filsuf dan teolog yang

339 Ibid., hlm. 3-4; par. 8.

340 Yakni, terkandung dalam kuiditas-kuiditas dan realitas-realitas, atau nampak kepada mereka dari sisi luar.

341 Penguji tersebut merupakan seseorang yang membuktikan lewat demonstrasi. Dalam kasus ini merupakan seseorang yang menguji dengan jalan intuisi akan eksistensi melalui pengungkapan (kashf) dan pengalaman intuitif (dhawq).

342 Yakni, metafisikawan Sūfī dari mazhab kesatuan transendensi eksistensi (wahdat al-wujūd).

343 Maujud yang dibatasi atau dikondisikan adalah ‘kuiditas-kuiditas’ dan ‘realitas-realitas’ yang ada secara ekstra mental. kemenjadi-maujudan mereka itu berkaitan dengan sifat mereka dan hubungan dengan Eksistensi Absolut yang merupakan lapisan-dasar mereka, dan yang juga dikenal sebagai wujūd idāfī.

menggambarkan Eksistensi Absolut mengatakan bahwa hal tersebut merupakan lawan dari non-eksistensi absolut (‘adam mutlāq), dan bahwa hal itu adalah pembagi (al-muqassim) untuk semua maujud, dan bahwa hal itu merupakan kebaikan murni (khayr mahd), dan bahwa hal itu adalah tunggal (wāhid) tanpa lawan (didd) dan yang serupa (mathal), dan namun mereka mengatakan bahwa itu adalah non-maujud (ma’dūm) dalam dunia eksternal (fi al-khārij).346

Maka, metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa dalam tambahan kepada eksistensi pada tingkatan (a), (b), dan (c) yang dipertimbangkan sebagai (d), yang semuanya secara mental dipostulasikan, terdapat entitas lain yang karena asosiasinya dengan kuiditas-kuiditas ((c) dipertimbangkan sebagai (d)) dan mereka dipakaikan dengannya, eksistensi pada tingkatan (a) dan (b) datang ke dalam mereka. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi.347 Hal tersebut adalah Eksistensi Absolut ((e) dalam halaman depan); dan eksistensi partikular (f), yang merupakan modus dan aspek dari Eksistensi Absolut itu, dalam kondisi aktual mereka, realitas-realitas yang berhubungan dengan (c) dan (d), atau (c) yang dipertimbangkan sebagai (d); sedangkan eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang padanya tidak ada dalam dunia eksternal apa apa yang berhubungan adalah satu dari akibatnya. Seperti telah kita angkat sebelumnya,348 metafisikawan Sūfī mempertahankan bahwa terdapat tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi bahkan dari Eksistensi Absolut. Eksistensi Absolut itu, dalam skema ‘penurunan’ ontologis Realitas Tertinggi, sudah pada tingkatan determinasi pertama, sedangkan tingkatan yang lebih tinggi dari eksistensi kita menunjuk untuk menyentuh pada inti esensi dan realitas eksistensi itu sendiri pada tingkatan Esensi (al-dhāt). Tingkatan ini merupakan tingkatan eksistensi yang tidak dikondisikan oleh apapun, termasuk oleh ketidakkondisian; hal itu transenden dari dikondisikan bahkan oleh transendensi, sehingga hal itu merupakan indeterminasi murni yang absolut, dan akibatnya tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kepada kognisi kita. Maka, posisi mereka sejauh sebagai realitas eksistensi yang didiskusikan, melibatkan empat hal: (1) Eksistensi sebagai non-dikondisikan secara absolut; (2) Eksistensi Absolut, yang merupakan sebuah determinasi dari (1) dan merupakan eksistensi dalam realitas; (3) determinasi dan individuasinya menjadi eksistensi partikular, yang merupakan modus dan aspeknya yang muncul dari tindakan dinamis dari Eksistensi Absolut; dan (4) sebuah konsep umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan kuiditas-kuiditas yang juga bersifat konseptual dalam alam. Yang terakhir ini tidak dapat diberlakukan kepada yang tiga sebelumnya.

Sedangkan kebanyakan filsuf dan teolog berkutat pada posisi bahwa dunia ekstramental dari hal-hal konkret itu disusun dengan campuran esensi dan eksistensi, yang darinya dirumuskan hubungan mereka dengan metafisika substansi dan aksiden, metafisikawan tersebut, di sisi lain, mempertahankan kebalikan posisi ini: mereka memegang bahwa eksistensi itu satu-satunya realitas, dan dunia hal-hal konkret bukanlah sebuah campuran esensi dan eksistensi sama sekali karena esensi pada kenyataannya adalah eksistensi sebagaimana muncul dalam bentuk yang dipartikularisasi dan diindividualisasi. Realitas suatu hal adalah inti eksistensinya sebagaimana ditentukan menjadi bentuk partikular dan individual, bukanlah ‘esensi’nya jika ‘esensi’ diterima sebagai sesuatu yang berbeda secara substansi dari eksistensi: tidak ada ‘sesuatu’ pada mana eksistensi kemudian dilekatkan; eksistensi sebagai modus partikular dan individual, adalah hal itu pada dirinya sendiri. Maka esensi adalah sebuah modus eksistensi. Realitas-realitas ekstramental dan yang berbeda yang mendasari multiplisitas hal-hal dalam faktanya merupakan swa-pembatasan dan individuasi dari eksistensi yang menciptakan dalam pikiran gagasan akan

346 Naqad al-Nusūs, hlm. 21; terjemahan 5. terjemahan saya.

347 Al-Durrah, Hawāshī, hlm. 55; 5 (2).

‘esensi’ — ‘kuiditas’ yang memiliki realitas terpisah dan ontologis. Namun, dalam diri mereka sendiri sebagaimana direnungkan pikiran, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ itu bukan entitas maujud eksternal — mereka hanya sesuatu yang ada dalam pikiran. Dengan demikian, karena eksistensi selalu dalam tindakan, substansi nyata dari setiap hal individual adalah baik sebuah individuasi dari eksistensi berdasarkan pada aspek partikular itu dari mana hal tersebut merupakan citra eksternal, atau hal itu merupakan individuasi aktual itu sendiri dari eksistensi pada waktu spesifik berdasarkan aspek yang sama. Akibatnya masing-masing hal individual adalah baik sebuah individuasi dari eksistensi, atau merupakan eksistensi itu sendiri sebagaimana diindividuasikan secara sementara dalam bentuk partikular tersebut; hal itu merupakan baik eksistensi yang dibuat termanifestasi, atau sebuah ‘aksiden’ dari eksistensi yang dengan demikian termanifestasi. ‘Aksiden’ yang termanifestasi merupakan sebuah kualitas atau modus eksistensial eksistensi yang termanifestasi, dan meskipun secara mental kualitas atau modus eksistensial dipostulasikan sebagai terpilah dari hal yang dikualifikasikan, hal itu secara ekstramental identik dengannya sejauh substansinya yang diperhatikan. Hal ini tidak serta merta berarti bahwa eksistensi mengandung multiplisitas, atau bahwa eksistensi itu terdiri dari banyak hal. Karena eksistensi tidak statis dan pasif; eksistensi itu dalam pergerakan terus menerus; sebuah proses dinamis, kreatif, dan sistematis tentang pembentangan dirinya sendiri dalam tahapan dari indeterminasi kepada semakin dideterminasi; dari lebih umum kepada lebih partikular hingga membagi dirinya menjadi lebih dan lebih konkret. Pembentangan diri dari eksistensi adalah apa yang metafisikawan sebut sebagai inbisāt al-wujūd — ekspansi dan peliputan dari eksistensi dalam modus yang beranekaragam —sebagaimana dikonseptualisasikan dalam pengertian dari metafisika mereka tentang derajat-derajat ‘penurunan’ (tanazzul) ontologis, determinasi (ta’ayyun) dan individuasi (tashakhkhus), dan swa-manifestasi (tajallī) dari Eksistensi Absolut. Ketika Eksistensi Absolut ‘turun’,349 menciptakan dari dirinya partikularisasi dan individuasi yang banyak, sepanjang waktu hanya ada satu eksistensi, dimana partikularisasi dan individuasinya hanya sebagai modusnya yang banyak. Modalitas eksistensi tersebut tidak dapat dipandang sebagai memiliki realitas ontologis terpisah sebab esensi sejati mereka adalah eksistensi. Hanya pikiran yang mempostulasikan modus eksistensi sebagai memiliki realitas ontologis terpisah yang lain dari eksistensi yang memandangnya sebagai ‘esensi’ atau ‘kuiditas’. Tetapi pada kenyataannya hanya ada satu eksistensi.

Dunia qua dunia — yakni, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia ketika dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri sebagai secara mental diabstraksi dari eksistensi — pada kenyataannya bukanlah apa-apa; hal tersebut merupakan sesuatu yang ada dalam pikiran. Hal itu bukan apa-apa bukanlah hanya karena hanya sebuah konstruksi mental, tetapi karena ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ yang menyusun dunia bersama semua bagiannya itu, ketika dipertimbangkan dalam diri mereka sendiri dalam kondisi ekstra mental, yakni, sebagai modus eksistensi, bersifat ‘aksidental’ dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu, tidak bertahan dalam dua peristiwa waktu, sedemikian rupa sehingga mereka secara terus menerus ‘hilang’ pada eksistensi. Apa yang diterima pikiran sebagai dunia yang memiliki eksistensi dan kesinambungan dalam eksistensi pada akhirnya hanya sebuah fenomena mental yang muncul dalam pikiran sebagaimana sebuah hasil pergantian yang cepat dari modus eksistensi yang serupa, namun masing-masing terpilah dari yang lain, yang terlibat dalam proses dinamis akan pembentangan eksistensi, yang modusnya diabstraksikan dalam pikiran sebagai ‘esensi-esensi’ terpisah dan individual yang memiliki kesinambungan dalam eksistensi. Namun, dalam sifat-dasar sejati mereka, ‘esensi’ atau ‘kuiditas’ mental merupakan akibat modus ekstramental dari eksistensi. Hal