• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebahagiaan menurut perspektif Islām diungkapkan dengan istilah sa’ādah, dan berhubungan dengan dua dimensi eksistensi; akhirat (ukhrawiyyah) dan dunia saat ini (dunyawiyyah). Lawan sa’ādah adalah shaqawāh, yang secara umum berarti ketidakberuntungan besar dan penderitaan. Dalam hal akhirat sa’ādah menunjuk pada kebahagiaan mendasar, yang merupakan kebahagiaan dan rahmat besar yang abadi, dimana wujud tertingginya adalah Melihat Tuhan, yang dijanjikan pada mereka yang di kehidupan dunia telah hidup dalam ketundukan sukarela, sadar, dan tahu akan kepatuhan kepada perintah dan larangan Tuhan. Kondisi ini, kita lihat bahwa hubungan sa’ādah dengan akhirat sangat dekat terhubung dengan dunia saat ini, yang terhubung dengan tiga hal: (1) diri (nafsiyyah), seperti yang menyentuh pengetahuan dan karakter yang baik; (2) pada tubuh (badaniyyah) seperti kesehatan yang baik dan keamanan; dan (3) pada hal-hal eksternal bagi diri dan tubuh (kharijiyyah) seperti kekayaan dan sebab lain yang meningkatkan kondisi yang baik dari diri, tubuh dan hal-hal eksternal dan lingkungan dalam hubungan dengan mereka.64 Oleh karena itu kebahagiaan di dunia saat ini bukan hanya menyentuh kehidupan sekular, karena juga memiliki hubungan dengan kehidupan sebagaimana diinterpretasikan dan dibimbing agama yang bersumberkan Wahyu.

Pada hubungan kebahagiaan dengan diri sendiri, yang kita katakan menyentuh pada pengetahuan dan karakter yang baik, Islām mengajarkan bahwa tempat bersemayamnya pengetahuan pada manusia adalah sebuah substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk Qur’ān sebagai hati (qalb), atau jiwa atau diri (nafs), atau intelek (‘aql), atau ruh (rūh).

Karena diri secara intim terlibat dalam dua aspek tubuh dan jiwa, diri dideskripsikan di satu pihak sebagai jiwa hewani nafs al-hayawāniyyah) dan di pihak lain sebagai jiwa rasional (al-nafs al-nātiqah); dan tujuannya dalam pencapaian kebahagiaan di sini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat tergantung lebih banyak pada aspek mana diri memilih meletakkan dirinya. Kedua aspek tersebut memiliki kekuatan atau fakultas (quwā). Fakultas jiwa hewani ialah penggerak (motive) dan perseptif, dan fakultas jiwa rasional itu aktif dan kognitif. Sejauh hal tersebut berfungsi sebagai intelek aktif fakultas tersebut merupakan prinsip pergerakan atas tubuh manusia. Fakultas tersebut merupakan rasio praktis, dan mengarahkan tindakan individu dalam persetujuan dengan fakultas teoritis dari intelek kognitif. Dalam hubungan dengan daya penggerak dari jiwa hewani, yang bertanggungjawab untuk penggunaan keinginan sehingga hasrat atau keengganan muncul dalam tindakan, dimana fakultas tersebut menghasilkan emosi manusia. Dalam hubungan dengan kekuatan perseptif dan fakultas representasif, estimatif, dan imajinatif fakultas tersebut mengatur objek fisik dan menghasilkan kemahiran manusia dan seni; dan dalam hubungan dengan fakultas imajinasi rasional tersebut fakultas tersebut memunculkan premis dan kesimpulan. Sejauh fakultas tersebut memerintah dan mengatur tubuh manusia fakultas tersebut mempengaruhi perilaku etis manusia yang melibatkan pengenalan akan sifat buruk dan kebajikan.65

64 Lihat al-Ghazāli, Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, Kairo, 1939, 4v., vol.3, hlm. 229. Sebagaimana untuk istilah sa’ādah dan lawannya shaqawāh, hal ini secara mendasar diturunkan dari Qur’ān, Hūd, (11): 105-108. Dengan menunjuk pada tiga hal yang mana kebahagiaan terhubung dalam dunia ini, lihat juga Nichomachean Ethics karya Aristoteles, tr. Sir David Ross, O.U.HLM. London, 1963, Ethics I.8.1098b5.

Kebajikan (fadīlah) dapat diklasifikasikan di bawah sebuah judul umum akan kesempurnaan pikiran atau ketajaman dan karakter yang baik.66 Karakter merupakan kondisi yang stabil dari jiwa. Jika kondisi ini menyebabkan tindakan yang diperintahkan intelek dan agama maka hal itu disebut karakter yang baik. Karakter yang baik dapat dicapai dengan pembelajaran dan pembiasaan, dan dalam beberapa kasus hal tersebut datang secara alamiah sebagai pemberian Ilahi. Karakter dapat berubah dari buruk ke baik, dan sebaliknya dari baik ke buruk.67 Tujuan karakter yang baik ini adalah kebahagiaan, baik di dunia ini dan di akhirat. Dalam rangka menghasilkan kebajikan dan karakter yang baik maka jiwa hewani dan fakultas tubuh harus ditundukkan kepada fakultas praktis dari jiwa rasional, yang mengarahkan tindakan individual setelah pertimbangan yang mendalam sesuai dengan apa yang disepakati oleh fakultas teoritis. Untuk mencapai karakter yang baik intelek harus dilatih dalam pemikiran dan refleksi mendalam. Hanya ketika hal tersebut telah ditunaikan barulah dapat diwujudkan kebijaksanaan. Fakultas hasrat, ketika dilatih, akan mewujudkan kesederhanaan, dan keberanian untuk marah. Ketika hasrat dan kemarahan ditundukkan kepada intelek maka keadilan terwujudkan; dan titik pertengahannya (al-wasat) itu dicapai oleh dua fakultas tubuh tersebut setelah mereka telah dilatih dan didisiplinkan oleh fakultas praktis dari jiwa rasional yang membimbing pada pencapaian karakter yang baik. Pelatihan fakultas tubuh membutuhkan pilihan bebas.68 Berlawanan dengan penerjemahan yang tidak berubah oleh kebanyakan orang dari kata ikhtiyār sebagai ‘pilihan’, kita mempertahankan bahwa ikhtiyār tidak hanya bermakna ‘pilihan’. Kata khayr, yang bermakna ‘baik’, yang diikat dalam makna dengan ikhtiyār dan diturunkan dari akar yang sama, menentukan bahwa pilihan tersebut berarti menuju apa yang baik. Hal ini penting ketika diluruskan dengan pertanyaan filosofis tentang kebebasan. Oleh karena itu yang disebut ‘pilihan’ menuju apa yang buruk bukanlah pilihan. Karena kita mengafirmasi bahwa kebebasan itu adalah bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar kita yang benar dan sejati, hanya pertunjukan pilihan yang baik dapat dengan tepat disebut ‘pilihan bebas’. Pilihan untuk yang lebih baik adalah pertunjukan kebebasan. Pilihan tersebut mengandaikan pengetahuan tentang kebaikan dan kejahatan. Sebuah ‘pilihan’ untuk yang terburuk bukanlah pilihan, karena berdasarkan kebodohan dan dorongan jiwa yang menginginkan menuju aspek kesalahan dari kekuatan hewani.

Kebajikan filosofis akan kesederhanaan, keberanian, kebijaksanaan, dan keadilan tidak cukup pada diri mereka sendiri untuk menghasilkan kebahagiaan yang dialami secara tetap dan tidak ditentukan oleh lingkungan eksternal dan perubahan. Kita setuju bahwa jika kebahagiaan dipahami hanya berhubungan dengan dimensi temporal, sekular dari kehidupan tanpa hubungan apapun dengan akhirat, hal itu merupakan kondisi yang mengalami perubahan dari pelbagai derajat dari waktu ke waktu; atau kebahagiaan adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari waktu ke waktu di dunia ini, dan hanya dapat dinilai ketika dicapai oleh seseorang yang kehidupannya, jika secara baik dihidupi dibantu oleh lingkungan yang mendukung, telah berakhir. Tapi kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya pada wilayah temporal, kehidupan sekular; karena kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan akhirat memiliki ketegasan yang penting dan intim atas hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena dalam kasus terdahulu kebahagiaan merupakan kondisi spiritual dan permanen, terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang sekali dicapai bersifat permanen. Oleh karena itu, kita tidak sepakat dengan posisi Aristoteles bahwa kebajikan dan kebahagiaan berhubungan hanya dengan

66 Lihat karya al-Ghazāli Mizān al-‘Amal, Bayrut, hlm.59.

67 Mizān, hlm.54, fol.

dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam jalur kehidupan dunia kita tidak dapat dicapai.

Menurut tradisi pemikiran Barat ada dua konsepsi kebahagiaan; yang kuno, yang kembali pada Aristoteles dan yang pada abad pertengahan kembali juga pada filsuf dan teolog muslim seperti Ibn Sinā dan al-Ghazāli; dan yang modern, yang secara bertahap muncul dalam sejarah Barat sebagai hasil dari proses sekularisasi. Proses filosofis dan saintifik ini yang saya sebut ‘sekularisasi’ melibatkan penghilangan makna spiritual dari dunia alamiah, desakralisasi politik dari urusan manusia, dan deconsecration nilai dari pikiran dan perilaku manusia, kedua yang terakhir disebutkan tersebut adalah akibat logis dari yang pertama, yang menurut pendapat saya menemukan pergerakan awalnya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat dalam fondasi filosofis yang dipimpin peletakannya oleh Aristoteles sendiri.69 Konsepsi modern tentang kebahagiaanlah yang diakui lazim kini di Barat, dan ini berarti bahwa bagi peradaban tersebut makna kebahagiaan, dan tentunya kebajikan yang memimpin padanya, telah mengalami perubahan, membawa dengannya bukan hanya dekadensi dan krisis moral, tetapi juga pertikaian dan konflik politik. Konsepsi yang kuno dan yang modern sepakat bahwa kebahagiaan itu akhir pada dirinya (end in itself), tetapi sementara yang terdahulu menganggap akhir tersebut dalam pengertian standar perilaku yang pantas, yang kemudian menganggap sebagai terminal kondisi psikologis yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral.70 Namun, pada kenyataannya, yang disebut konsepsi modern tentang kebahagiaan, terlepas dari kerumitan rumusan dan pengejarannya, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang pernah diketahui dan dipraktekkan pada masa kuno oleh masyarakat pagan.

Meskipun kebajikan filosofis, yang nampaknya telah dipahami melalui pilihan manusia dan hanya dengan rasio, tidaklah memadai dalam dirinya sendiri untuk perwujudan kebahagiaan yang berlangsung terus dalam diri, penerimaan mereka dibenarkan ketika mereka tidak berselisih dengan agama; dan kegunaan mereka untuk pencapaian kebahagiaan diakui ketika beberapa rumusan ulang makna mereka telah diakibatkan dalam persetujuan dengan agama. Rumusan ulang ini diakibatkan penarikan mereka ke dalam cakupan kebajikan lain dari tatanan yang lebih tinggi yang tidak diketahui dalam tradisi filosofis Yunani, seperti kebajikan yang diturunkan dari Qur’ān dan dari kehidupan Nabi. Pengetahuan tentang Tuhan menurut Wahyu merupakan kebajikan keagamaan yang diturunkan dari kebijaksanaan; dan kebijaksanaan itu sendiri, apakah teoritis atau praktis, merupakan kebajikan keagamaan sebab merupakan pemberian Tuhan dan bukan perolehan rasio yang tidak dibantu.

Kebajikan keagamaan diklasifikasikan menjadi dua jenis, yang eksternal (zāhir) dan yang internal (bātin). Yang eksternal menyentuh pada pemenuhan perintah ilahi seperti tindakan penyembahan yang diarahkan hanya kepada Tuhan; perbuatan yang diarahkan kepada sesama untuk kelanjutan kondisi-baik dari tatanan sosial dan politik; penampilan lima hal esensial dari agama Islām termasuk kemurnian ritual, pembacaan Qur’ān, pengingatan Tuhan, membaca doa; dan pemenuhan keperluan tradisi atau kebiasaan Islāmi seperti etiket terhadap makanan, pakaian, kebersihan personal, pernikahan, transaksi bisnis, hal-hal yang diizinkan dan dilarang, aturan bertetangga, pertemanan, perjalanan, peniruan model tindakan dan perkataan Nabi, dan kewajiban persaudaraan dalam Islām.71

69 Lihat karya saya Islām dan Secularism, Kuala Lumpur, 1978.

70 Hal ini jelas direfleksikan, contoh, dalam tulisan pemikir besar Barat kontemporer, bernama Mortimer Adler dalam

Reforming Education, Macmillah, N.Y. 1988, contohnya hlm. 81-89; 230-253; 254-274; dan Alasdair MacIntyre dalam After Virtue, University of Notre Dame Press, Indiana, 1984, contohnya hlm. 1-5; 181-203; 226-243; 244-255;

256-263.

Kebajikan internal menunjuk pada aktifitas hati; aktifitas yang didasarkan atas pengetahuan tentang Tuhan dan diri yang diturunkan baik dari rasio dan Wahyu, dan yang membutuhkan kecondongan positif dalam diri untuk mempengaruhi maksud (niyyah) baik yang diikuti tindakan (‘amal) dengan tujuan yang tulus (ikhlās) dan kejujuran pada diri sendiri (sidq). Pengetahuan akan diri memimpin pada pengetahuan kualitas baik dan buruknya, dan memberikan tugas pada diri sendiri untuk menjauhi yang buruk dengan maksud memurnikan jiwa dari ketidakmurnian.72 Tindakan pada bagian diri ini berarti bahwa jiwa rasional harus mengawasi jiwa hewani (murāqabah) untuk memastikan bahwa tugas yang diberikan pada diri sendiri dijalankan. Hal itu juga berarti swa-pengujian untuk melihat apakah pelaksanaan tugas tersebut telah ditunaikan dalam cara yang tepat, dan untuk menyelesaikan penyimpangan apapun dari apa yang tepat (muhāsabah). Pada pengetahuan tentang Tuhan hal itu berarti pengetahuan tentang siapa Dia, tentang sifat-dasar dan Keesaannya sebagaimana Dia menggambarkan diri-Nya dalam Wahyu, dan pengetahuan ini memimpin pada pemahaman hubungan yang tepat antara diri dan Tuhan. Dalam Wahyu tersebut Tuhan juga berbicara tentang ciptaan-Nya dan tentang diri manusia sebagai tanda yang menunjukkan realitas dan kebenaran-Nya;73 dan perenungan dan refleksi karya-Nya dan sifat-dasar manusia dan psikologi jiwa merupakan prasyarat untuk pencapaian pengetahuan tersebut. Semua ini melibatkan meditasi (tafakkur) dan membawa perwujudan yang bertahap dalam diri akan kebajikan lain dari tatanan yang lebih tinggi, seperti penyesalan (tawbah), sabar (sabr), terima kasih (shukr), harap (rajā), takut (khawf), keesaan ilahi (tawhīd), kepercayaan (tawakkul), dan akhirnya kebajikan tertinggi untuk pencapaian kebahagiaan di dunia, cinta Tuhan (mahabbah).74

Kebajikan eksternal dan internal sebenarnya tumpang tindih satu sama lain, dan kemungkinan aktifitas kebajikan yang terlibat hanya dengan salah satu tanpa dengan suatu cara terhubung dengan yang lain tidaklah dapat dipahami. Klasifikasi mereka ke dalam eksternal dan internal hanya untuk membedakan aktifitas bagian ke-dalam (inward) hati, yang mengkarakterisasi yang kemudian, dari aktifitas tubuh bagian ke-luar (outward); penekanan pada makna dalaman (inner) merupakan bukti yang kemudian, dari praktek atas apa yang nampak didemonstrasikan pada yang terdahulu. Beberapa mungkin mengunggulkan perwujudan kebajikan eksternal dan beberapa terhadap kebajikan internal; tetapi tidak mungkin bagi beberapa orang mewujudkan hanya kebajikan eksternal tanpa menegaskan pada kebajikan internal, maupun bagi beberapa orang hanya mewujudkan kebajikan internal tanpa menunaikan perwujudan kebajikan yang eksternal. Jadi, kedua kebajikan eksternal dan internal itu diperlukan untuk pencapaian kebahagiaan di alam kehidupan ini, dan kebahagiaan tertinggi di akhirat. Akhirnya, karena kebajikan yang diklasifikasikan sebagai filosofis telah dirumuskan ulang dan diserap ke dalam kerangka keagamaan yang di dalamnya terdapat interpretasi nasib manusia yang meluas pada horizon yang melampaui eksistensi temporal, dan karena kerangka-kerja keagamaan ini dibangun bukan hanya atas rasio tapi atas rasio sebagaimana diverifikasi Wahyu, maka semua kebajikan dalam Islām itu bersifat keagamaan.

Dengan maksud memahami makna sa’ādah nampaknya perlu bagi saya pertama kali menghadirkan penjelasan singkat akan makna lawan katanya yang tepat yaitu, shaqawāh. Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali lagi pada penggunaan Qur’ān menggambarkan shaqawāh sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great

72 Jiwa, menurut Qur’ān, diciptakan berkaitan dengan proporsi dan tatanan. Jiwa tahu apa yang benar baginya dan apa yang salah baginya. Keberhasilannya dicapai ketika jiwa dimurnikan, dan kegagalannya dipastikan ketika ia dikotori (91: 7-10). Pemurnian jiwa itu dicapai dengan kebajikan dan karakter yang baik seperti dirumuskan dan

dikonseptualisasikan dengan ajaran Islām.

73 Fussilat (41): 53

misfortune’ (ketidakberuntungan yang besar), ‘misery’ (kesengsaraan), ‘straitness of circumstance’ (kondisi yang sukar), ‘distress’ (kekhawatiran), ‘disquietude’ (kecemasan), ‘despair’ (putus asa), ‘adversity’ (kemalangan), ‘suffering’ (penderitaan). Masing-masing kondisi tersebut secara jelas melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawāh merupakan istilah umum yang meliputi semua bentuk kesengsaraan, sehingga istilah lain mengungkapkan kondisi yang sama hanya lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka yang hanya merupakan unsur penyusun shaqawāh. Hal tersebut termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada di baliknya, ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan, kekakuan, sengsara dalam jiwa dan intelek dalam memandang ketidakmampuan memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali sesuatu yang telah hilang dan tidak akan dialami lagi, seperti — ketika menunjuk pada akhirat — melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dingin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah-istilah tersebut digunakan secara khusus bagi mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya dalam kehidupan ini adalah, contoh, dīq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak menyenangkan).

Nampaknya bagi saya intisari makna shaqawāh di atas sudah menjelaskan bahwa dalam pengertian umum istilah itu menunjuk pada apa yang dipahami di Barat sebagai tragedi — tragedi bukan hanya dalam pengertian dramatis sebagai bentuk seni, tetapi lebih dari itu dalam pengertian filosofis sebagai drama kehidupan yang ditetapkan dalam pengalaman dan kesadaran manusia ketika dia menolak agama dan berpaling dari Tuhan. Pernyataan ini membutuhkan elaborasi. Menurut Aristoteles dalam Poetics tragedi dalam pengertian dramatis merupakan sebuah imitasi artistik dari sebuah tindakan yang serius, lengkap dalam dirinya, dan cukup menarik, contoh, yang dijadikan dalam bahasa yang puitis, memiliki tujuan moral yang membawa karakter (ethos), dan pemahaman diskursif (dianoia) yang membuat sang karakter tragis menunjukkan kemampuan untuk mengatakan apa yang pantas dalam situasi yang diberikan. Drama Yunani protagonis harus memiliki tinggi rata-rata, mengalami penderitaan fisik juga mental, dijatuhkan oleh kesalahan putusan berkaitan dengan kekurangan penglihatan-mendalam (insight), kesalahan tragis (hamartia), dalam proses dramatis yang dihasilkan oleh beberapa kesempatan menggoda (kairos). Dia harus juga memiliki rasa bangga (hubris), pongah terhadap dewa yang melawan mereka. Faktor yang sambil lalu adalah takdir (amanke), yang mengejar sang karakter tragis tanpa belas kasihan dengan sebuah kepercayaan (ate), sebuah kutukan, yang bergiliran diwariskan sepanjang generasi. Kerangka-kerja peristiwa tersebut yang di atasnya drama tersebut dibentuk membentuk kesatuan yang terdiri dari awal, pertengahan, dan akhir; dan di dalam kesatuan peristiwa ini harus muncul proses pembalikan (peripeteia) seperti dari kebahagiaan kepada penderitaan, dari nasib baik kepada nasib buruk, dan penemuan (anagnorisis) seperti dari kebodohan kepada pengetahuan sesuatu yang mengerikan. Akibat dari tragedi adalah memunculkan kasihan dan ketakutan sedemikian rupa supaya mengakibatkan pemurnian jiwa mereka dan memberinya pembebasan (katharsis).75

Menurut leksikon Yunani pembersihan yang dimaksud dengan katharsis adalah dari dosa dan rasa bersalah jiwa atau diri.76 Hal yang demikian, dan dari uraian di atas tentang sifat-dasar tragedi dalam drama Yunani, pemurnian dari takut dan belas kasihan yang muncul oleh tragedi dapat dipahami sebagai bermakna ketakutan dalam diri akan kesengsaraan yang akan datang yang dihasilkan oleh rasa bersalah berkaitan dengan dosa yang dilakukan di masa lalu. Kini tragedi bukan hanya sebuah bentuk seni, karena faktanya tragedi yang mewujudkan dirinya sendiri secara unik dalam tradisi intelektual, keagamaan, dan sekular dari pemikiran dan spiritualitas Barat di semua zaman dan membangun dirinya dalam mitologi secara ringkas dan jelas menunjukkan bahwa tragedi — setidaknya dalam pengalaman dan kesadaran manusia Barat — merupakan fakta kehidupan, dan bentuk dramatisnya hanya sebuah refleksi dari apa yang terjadi dalam kehidupan sesungguhnya. Hal tersebut demikian kendati dalam pengalaman dan kesadaran tersebut dibuat untuk selalu tinggal mengomeli kesalahan agama yang melekat pada dosa asal yang dilakukan oleh leluhur manusia, yang dengan kesalahan tragis dikalahkan godaan kesempatan yang didesak oleh musuh yang bertekad terhadap kejatuhannya dari keagungan. Akibat kejatuhannya sebuah kutukan turun-temurun yang menyertai penerusnya menyebabkan mereka merasakan kesalahan tersebut yang berlanjut mewabah pada hati dan pikiran mereka sepanjang zaman. Leluhur manusia pernah memiliki kehormatan tinggi yang kemudian dijatuhkan oleh kesalahan tragis. Pada awalnya dia dalam kehormatan yang tinggi dan bahagia di sebuah dunia yang berbeda. Kemudian setelah kejatuhan ini dia dibuang ke dunia ini; dan keturunannya kini menemukan diri mereka di tengah bagian kesatuan peristiwa yang sedang terbentang dalam proses pembalikan dan penemuan, dan memainkan bagian mereka dalam konflik dan kekerasan. Tetapi penemuan final belum juga datang dalam akhir yang menakutkan ketika setiap orang harus meninggalkan dunia ini dan kembali berhadap-hadapan dengan kebenaran. Obsesi dengan tragedi dan seni yang melukiskannya sedemikian rupa sebab bahkan agama telah dibuat sebagai tragedi penyaliban. Dunia telah menjadi panggung dimana manusia menyusun, menetapkan, dan memegang drama eksistensinya sendiri dengan maksud menyebabkan pemurnian dari ketakutan dan belas swa-kasih. Filsafat humanistik dan proses bertahap dari sekularisasi bersama-sama dengan kemunculan filsafat dan sains sekular, membuat tragedi, daripada agama, sebagai pengagungan akan manusia. Ketakutan harus dimurnikan bukan dengan kepercayaan-kuat kepada Tuhan, tetapi dengan pembuangan Tuhan dari alam ciptaan; rasa kasihan diri harus dimurnikan bukan dengan pengingatan akan Tuhan, tapi dengan kebanggaan akan humanitas dan penerimaan yang menantang akan keadaan sulit manusia. Faktor penyebab dalam tragedi tidak lagi Takdir Yunani yang kuno maupun Tuhan agama, tetapi konflik individu dan sosial, kebakaan biologis, psikologi ketidaksadaran, yang dikalahkan oleh frustasi, dimana manusia dihadang oleh misteri alam semesta dan pencarian abadi oleh manusia, dan absurditas kehidupan. Kebebasan keinginan menjadi kepercayaan-lemah yang kokoh sebab hal itu menolong dalam perjuangan abadi terhadap rintangan yang menghalangi mencapai tujuan. Tetapi tujuan itu sendiri selalu-bergeser. Dapatkah Sisifus bahagia secara abadi dengan harus mendorong batu ke bukit dimana saat di puncak batu itu ditakdirkan untuk menggelinding lagi ke bawah? Fitzgerald tidak sungguh-sungguh menerjemahkan makna yang dimaksudkan dari puisi Persia, meskipun itu adalah apa yang diklaim dilakukannya, ketika dia menulis: