• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep yang dituangkan dalam istilah dīn, yang secara umum dipahami bermakna agama, tidaklah sama seperti konsep agama sebagaimana diinterpretasi dan dipahami sepanjang sejarah keagamaan Barat. Ketika kita berbicara tentang Islām dan menunjuknya dalam bahasa Inggris sebagai ‘religion’, kita memaksudkan dan memahaminya sebagai dīn, dimana seluruh konotasi dasar yang inheren dalam istilah dīn1 dipahami sebagaimana terkumpul ke dalam satu kesatuan tunggal makna yang koheren seperti direfleksikan dalam Qur’ān Suci dan bahasa Arab dimana dia berada.

Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun semuanya secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan dari semuanya menampilkan dirinya sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna relevan dan inheren yang ada dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islāmi yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, penampakan pertentangan pada makna-makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri, yang mereka refleksikan dengan setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia dengan setia merupakan demonstrasi yang jelas akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.

Penanda dasar istilah dīn dapat direduksi menjadi empat: (1) keberhutangan; (2) ketundukan; (3) kekuatan hukum; (4) kehendak hati atau kecenderungan alamiah. Dalam apa yang akan disampaikan kemudian, saya akan berusaha menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam konteks yang relevan, menggambarkan ke depan makna pokok koheren yang dimaksudkan, yang menandakan kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, praktek, dan pengajaran yang dilekatkan oleh muslim secara individual dan kolektif sebagai Komunitas (Ummah), dan mewujudkan dirinya sendiri bersama sebagai sebuah keseluruhan objektif sebagai Agama yang disebut Islām.

Kata kerja dāna yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, dimana beberapa dari mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, hal itu untuk mengatakan, seorang dā’in berarti bahwa seseorang mengendalikan dirinya sendiri, dalam pengertian sukarela dan kepatuhan, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dalam satu sisi, kepada kreditor, yang juga serupa ditunjuk sebagai dā’in.2 Terdapat pula kandungan dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah

1 Dalam bab ini, interpretasi saya tentang konotasi dasar inheren dalam istilah dīn berdasarkan karya klasik standar Ibn Manzur, Lisān al-‘Arab (Beyrouth, 1968, 15v.), di sini akan disebut LA. Atas apa yang dīnyatakan dalam halaman ini dan selanjutnya, lihat vol.3: 166, kol. 2-117, kol.2. Rumusan dan konseptualisasi makna agama (dīn), maupun penjelasan konsep kunci dalam tatanan yang bermakna, adalah milik saya sendiri.

2 Dā’in menunjuk sebagai penghutang maupun sebagai pemberi hutang, dan penampakan makna yang berlawanan ini hanya dapat diselesaikan jika kita memindahkan kedua makna tersebut menunjuk kepada dua sifat-dasar manusia yaitu, jiwa rasional dan jiwa hewani atau jasmani. Lihat di bawah hlm. 57-60.

melibatkan pengadilan: daynūnnah, dan kesaksian: idānah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dāna hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota kecil dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau madā’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyān. Jadi sudah ada di sini, dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dāna, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas.3 Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana4 yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan; yang darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda lain seperti hakim, pengatur, pemerintah diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang ditentukan). Kini inti gagasan akan hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini merupakan kondisi yang biasa atau terbiasa. Maka, dari sini kita dapat lihat logika di balik turunan penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada titik ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian sejati akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan kerajaan, kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya, dan perlu ditegaskan lagi di sini, karena kita akan harus membutuhkannya lagi ketika kita berurusan dengan aspek keagamaan dan spiritual dari pengalaman eksistensial manusia.

Saya telah begitu jauh menjelaskan secara sepintas konsep dasar dīn, mereduksi pelbagai konotasinya kepada empat penanda dasar dan menunjukkan hubungan nyata dan konseptual, dalam konteks hubungan ‘sekular’ manusia. Dalam konteks keagamaan, yakni akan hubungan antara manusia dan Tuhan, dan apa yang Tuhan terima dalam hubungan manusia dengan sesamanya, penanda dasar tersebut, walaupun mempertahankan makna dasar mereka, meski

3 Saya pikir sangat penting untuk melihat baik keintiman dan kedalaman hubungan yang penting antara konsep dīn dan

madīnah yang diturunkan darinya, dan peran mukmin secara individual dalam hubungan terhadap yang sebelumnya

dan secara kolektif dengan yang kemudian. Relevansi yang harus dipertimbangkan dalam pentingnya perubahan nama kota yang pernah dikenal sebagai Yathrib menjadi al-Madīnah: Kota – atau lebih tepat, Madīnatu’l-Nabiy: Kota Nabi – yang muncul segera setelah Nabi Suci (semoga Tuhan memberkahi dan memberinya kedamaian!) menjalani Perjalanan historis (hijrah) dan tinggal di sana. Komunitas pertama Mukmin telah dibentuk di sana saat itu, dan Perjalanan itulah yang menandai Era Baru dalam sejarah manusia. Kita harus melihat fakta bahwa al-Madīnah disebut dan dinamakan demikian sebab di sanalah dīn yang benar menjadi terwujud bagi manusia. Di sana mukmin memperbudak dirinya di bawah otoritas dan hukum Nabi Suci, dayyān-nya; di sana realisasi hutang kepada Tuhan mengambil bentuk yang jelas, dan cara dan metode pembayarannya yang diterima mulai dibentangkan. Kota Nabi menandakan tempat dimana dīn yang benar ditetapkan di bawah otoritas dan hukumnya. Kita dapat lebih lanjut melihat bahwa Kota tersebut menjadi, untuk Komunitas, lambang tatanan sosio-politis Islām; dan bagi mukmin individual menjadi, dengan analogi, lambang jasad dan fisik mukmin dimana jiwa rasional, dalam peniruan akannya mereka yang mudah-mudahan Tuhan memberkahi dan memberi kedamaian!, menunjukkan otoritas dan pemerintahan yang adil. Untuk interpretasi relevan lebih lanjut, lihat di bawah, hlm. 43-52; 53-59; 60-68;72-74; 75-80; 83-84.

demikian mengalami sintesis dan intensifikasi mendalam sekaligus benar kepada pengalaman yang digambarkan dan pada deskripsi Agama Islām sebagai kuat, kepercayaan-lemah, praktek, dan pengajaran yang objektif yang dialami dan dihidupi oleh masing-masing dan setiap anggota Komunitas Muslim maupun oleh Komunitas sebagai keseluruhan.

Bagaimana konsep sedang berhutang dapat dijelaskan dalam konteks kegamaan dan spiritual? — seseorang mungkin menanyakan; apa sifat-dasar dari hutang itu?, dan kepada siapa hutang dimiliki? Kita menjawab bahwa manusia berhutang kepada Tuhan, Pencipta dan Penyedianya, karena membawanya menjadi eksistensi dan memeliharanya dalam keberadaannya. Manusia sebelumnya bukan apa-apa dan tidak ada, dan kini dia ada.

‘Manusia Kami ciptakan dari sari tanah liat; kemudian Kami tempatkan dia sebagai sperma yang jatuh dalam tempat istirahat, ditetapkan dengan kuat;

kemudian Kami membuat sperma itu menjadi segumpal darah yang memadat; kemudian dari gumpalan itu Kami membuat gumpalan; kemudian Kami membuat dari gumpalan itu tulang dan membungkus tulang itu dengan daging; kemudian Kami jadikannya makhluk yang lain. Puji Tuhan, Pencipta yang terbaik,’5

Manusia yang merenungkan secara serius asalnya akan menyadari bahwa beberapa dekade yang lalu dia tidak ada, dan seluruh manusia yang kini ada pun dahulu tidak ada maupun mengetahui kemungkinan keberadaan mereka saat ini. Kebenaran yang sama berlaku pada manusia di seluruh zaman sejak awal keberadaannya. Dengan begitu alamiah dia yang merenung sedemikian tulus mengetahui secara intuitif bahwa rasa berhutang akan penciptaan dan keberadaannya tidak dapat sungguh-sungguh ditujukan kepada orang tuanya, karena dia sungguh tahu bahwa orang tuanya pun dipengaruhi proses yang sama oleh Pencipta dan Penyedia. Manusia tidak menyebabkan pertumbuhan dan perkembangannya sendiri dari kondisi segumpal darah yang menggantung kepada yang kini dewasa dan sempurna. Dia mengetahui bahkan dalam kondisi dewasa dan sempurna dia tidak mampu menciptakan bagi dirinya sendiri indera penglihatan atau pendengaran atau yang lain — dan membiarkan dirinya dalam kesadaran pertumbuhan dan perkembangan dalam kondisi embrionik yang tak berdaya, maka:

‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Ādam – dari kesiapan mereka – keturunan mereka, dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” – mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”6

Manusia yang dibimbing secara benar menyadari bahwa diri sejatinya, jiwanya, sudah mengakui Tuhan sebagai Rabbnya, bahkan sebelum keberadaannya sebagai manusia, sehingga manusia tersebut mengenali Pencipta, Pengasih, dan Pemeliharanya. Sifat-dasar hutang penciptaan dan eksistensi begitu sangat luar biasa, sehingga saat dia diciptakan dan diberi eksistensi, manusia sudah dalam kondisi merugi, karena dia sungguh tidak memiliki apapun pada dirinya sendiri, dengan melihat bahwa segala tentangnya, di dalam dirinya, dan darinya adalah apa yang dimiliki Pencipta Yang memiliki segalanya. Dan ini adalah makna dari Qur’ān Suci:

‘Sesungguhnya manusia dalam kerugian (khusr)...’7

5 Al-Mu’minūn (23): 12-14.

6 Al-A’rāf (7): 172.

Melihat bahwa dia tidak memiliki apapun secara absolut untuk ‘membayar’ hutangnya, kecuali kesadarannya sendiri akan fakta bahwa dirinya adalah inti hutang tersebut, sehingga dia harus ‘membayar’ dengan dirinya, jadi dia harus ‘mengembalikan’ dirinya kepada-Nya Yang memilikinya secara absolut. Dia adalah hutang itu sendiri yang untuk dikembalikan kepada Pemiliknya, dan ‘mengembalikan hutang’ berarti memberikan diri dalam pelayanan, atau khidmah, kepada Rabb dan Pemiliknya; untuk menghinakan diri di hadapan-Nya dan sehingga manusia yang dibimbing dengan benar secara tulus dan sadar memperbudak dirinya demi Tuhan dengan maksud memenuhi perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan demikian patuh terhadap hukum-Nya. Konsep ‘pengembalian’ yang disebut di atas juga merupakan bukti dalam struktur konseptual dīn, karena itu dapat dan memang bermakna, sebagaimana akan saya elaborasikan dalam cara yang berkaitan, sebuah ‘pengembalian kepada sifat-dasar inheren manusia’, konsep ‘sifat-dasar’ menunjuk pada aspek spiritual dan tidak secara keseluruhan pada aspek fisik manusia.8 Hal ini pasti juga ditunjuk dalam kata-kata Qur’ān Suci:

‘Demi langit yang menurunkan hujan’,9

Kata yang diinterpretasikan sebagai ‘hujan’ adalah raj’, yang bermakna secara literal ‘kembali’.10 Diinterpretasikan sebagai hujan sebab Tuhan mengembalikannya secara berulang, dan menunjuk pada pengembalian yang baik dalam pengertian, manfaat, laba, dan keuntungan. Oleh karena itu raj’, digunakan secara sinonim dalam pengertian ini dengan rabah, bermakna keuntungan,11 yang merupakan lawan dari khusr, kerugian, yang referensinya sudah dibuat di atas. Kini tepat untuk disebutkan di sini satu dari makna dasar dīn yang belum dijelaskan di atas adalah hujan yang berkelanjutan, hujan yang kembali lagi dan lagi; dan karenanya kita menerima bahwa dīn di sini, seperti sebuah hujan, yang menyebut pada manfaat dan keuntungan (rabah). Ketika kita katakan bahwa dengan maksud ‘membayar’ hutangnya manusia harus ‘mengembalikan’ diri pada Tuhan, Pemiliknya, ‘pengembalian diri’nya adalah, seperti kembalinya hujan, sebuah keuntungan baginya.12 Dan ini adalah makna dari perkataan:

‘Dia yang memperbudak dirinya beruntung13 (rabiha yang kata benda dasarnya: rabah) Ungkapan ‘memperbudak diri’ (dāna nafsahu) bermakna ‘memberikan diri’ (dalam pelayanan), dan karenanya juga ‘mengembalikan diri’ (kepada Pemiliknya) sebagaimana dijelaskan.14 Makna yang sama diungkapkan dalam kata-kata Nabi Suci:

8 Konsep pengembalian juga diungkapkan dalam makna istilah ‘uwwida dalam pengertian kembali ke masa lalu, yakni, kepada tradisi. Karenanya penanda dari dīn sebagai adat atau kebiasaan. Dalam pengertian ini bermakna kembali kepada tradisi Nabi Ibrahim (semoga kedamaian kepadanya!). Dalam hubungan ini tolong lihat di atas hlm.44 dan di bawah, hlm. 51-55. Harus dilihat bahwa ‘tradisi’ di sini tidak bermakna jenis tradisi yang berasal dan berevolusi dalam sejarah dan kebudayaan manusia dan bersumber dari kesadaran manusia. Melainkan, dari apa yang Tuhan telah wahyukan dan perintahkan dan diajarkan Nabi dan Rasul-Nya, sehingga meskipun mereka muncul dalam periode sejarah yang berturut-turut dan tidak berhubungan, mereka mengandung dan bertindak seakan-akan apa yang mereka kandung dan bertindak atasnya telah berwujud dalam tradisi yang berkelanjutan.

9 Al-Thāriq (86): 11, LA, vol. 8:120, kol.2.

10 Terdapat hubungan yang dekat antara konsep yang digambarkan di sini dan aplikasi kata kerja ‘raja’a’ dalam pelbagai bentuknya dalam Qur’ān Suci dengan referensi kepada kembalinya manusia kepada Tuhan.

11 LA, vol. 2:442, kol 2-445, kol. 1.

12 Dīn yang benar membawa kehidupan pada tubuh yang jika sebaliknya mati seperti ’hujan yang diturunkan Tuhan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan besertanya kepada bumi yang mati.’ Lihat Al-Baqarah (2): 164.

13 LA, vol. 13: 167, kol. 1.

14 Secara jelas menunjuk kepada manusia yang, telah secara sadar menyadari bahwa dirinya itu di bawah hutangnya sendiri kepada Pencipta, Pemelihara, dan Pengasihnya, memperbudak dirinya pada dirinya sendiri karenanya

“Seorang yang cerdas adalah dia yang memperbudak dirinya (dāna nafsahu) dan bekerja untuk apa yang akan datang setelah kematian.”15

‘Apa yang akan datang setelah kematian’ merupakan sesuatu yang akan diperhitungkan dengan baik, balasan, kembali yang baik. Pengembalian yang baik ini seperti kembalinya hujan yang membawa keuntungan kepada bumi dengan membawa kehidupan padanya dan dengan menyebabkan pertumbuhan yang baik dan menguntungkan bagi kehidupan untuk tumbuh darinya. Dalam cara yang serupa hujan memberi kehidupan kepada bumi yang jika sebaliknya akan mati, begitu juga dīn memberi kehidupan kepada manusia, yang tanpanya manusia akan seperti seseorang yang, sebagaimana disebutkan, juga ‘mati’. Hal ini secara benar-benar disimbolisasikan oleh kata-kata Tuhan dalam Qur’ān Suci, dimana Dia berkata:

‘...Dalam hujan Tuhan turunkan dari langit, dan kehidupan yang Dia berikan beserta kepada bumi yang mati....’16

Dengan ‘mengembalikan diri’ kepada Rabb dan Pemiliknya, dengan setia dan sungguh-sungguh mengikuti dan mematuhi perintah, larangan, peraturan, dan hukum Tuhan, manusia yang bertindak demikian akan dibalas dan akan menerima pengembaliannya yang baik ditambah berkali lipat, seperti dikatakan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Siapakah dia yang ingin meminjamkan (yuqridu) kepada Tuhan pinjaman yang baik (qardan hasanan) yang akan digandakan Tuhan pada piutangnya dan bertambah berkali lipat?’17

Perhatikan di sini bahwa kata kerja yang digunakan untuk menandakan ‘pinjaman’ (yuqridu), dari qarada, qard tidak memiliki konotasi yang sama sebagaimana yang diistilahkan sebagai ‘hutang’ (dayn), karena istilah yang kemudian hanya berlaku kepada manusia. ‘Pinjaman’ di sini bermakna ‘pengembalian yang merupakan dimiliki ‘secara asli’ oleh Dia Yang kini memintanya, dan yang harus dikembalikan pada-Nya’. Manusia itu milik Tuhan dan eksistensinya hanya ‘dipinjamkan’ kepadanya untuk suatu waktu. Di sisi lain ungkapan ‘pinjaman yang baik’ (qardan hasanan) sebagaimana diterapkan kepada manusia memiliki arti metaforis, yakni ‘pelayanannya kepada Tuhan’, ‘kerja baik’nya, yang bermakna, karena hal tersebut ini dapat sungguh dikatakan miliknya, dan karena persembahan yang dengannya dia akan dibalas dalam kelimpahan. Tuhan adalah Yang Maha Pembalas, Hakim tertinggi: dayyān. Dia adalah Raja, mālik, Hari Pengadilan dan Pembalasan, yawm al-dīn, juga disebut Hari Perhitungan, yawm al-hisāb.18 Fakta bahwa Tuhan ditunjuk sebagai Raja, dan segalanya sebagai Kerajaan dimana Dia menunjukkan kekuasaan dan otoritas absolut, malakūt, kembali menunjukkan bahwa manusia itu mamlūk-Nya, budak-Nya. Jadi dīn dalam konteks keagamaan juga menunjuk kepada kondisi menjadi budak.19 Kita beberapa saat yang lalu menunjuk ‘pengembalian diri manusia’ bermakna ‘memberikan diri dalam pelayanan’ (khidmah) kepada Tuhan. Kini kita katakan lagi bahwa dalam akibat apa yang sungguh-sungguh dimaksud bukan

15 LA, vol. 12: 169, kol. 2.

16 Al-Baqarah (2): 164.

17 Al-Baqarah (2): 245.

18 Dīn juga bermakna perhitungan yang benar: hisāb al-sahīh. Yakni membagi dengan perhitungan benar yang tepat kepada suatu jumlah atau sesuatu sehingga cocok pada tempatnya yang tepat: ‘adad al-mustawā. Hal yang entah bermakna matematis ini mengandung pengertian bahwa terdapat sistem atau hukum yang memerintah dan memelihara semuanya dalam keseimbangan yang sempurna. Lihat LA, vol. 13: 169, kol. 1.

‘pelayanan’ dalam pengertian pelayanan apapun, atau jenis yang ditawarkan kepada manusia atau institusi manusia lain. Konsep khidmah menyiratkan bahwa seseorang yang memberikan pelayanan tersebut ‘bebas’, tidak terikat, tetapi ‘tuan bagi dirinya’ dalam hal dirinya sendiri. Namun konsep mamlūk, mengandung fakta implisit kepemilikan seseorang yang menerima pelayanannya. Mamlūk dimiliki mālik. Jadi kita tidak mengatakan seseorang yang melayani Tuhan adalah seorang khādim, bermakna pelayan, tetapi dia adalah ‘ābid Tuhan dan sungguh dia adalah ‘abd Tuhan, yang juga bermakna pelayan atau budak, dengan istilah yang memiliki konotasi ‘dimiliki’ oleh Dia Yang dia layani. Oleh karena itu dalam konteks keagamaan, ‘abd merupakan istilah yang tepat yang menunjuk kepada seseorang yang, dalam kenyataan dia berhutang secara absolut pada Tuhan, menghinakan diri dalam pelayanan kepada-Nya; dan karenanya tindakan melayani yang berkenan bagi-Nya disebut ‘ibādah dan pelayanannya adalah ‘ibādāt, yang menunjuk pada semua tindakan pelayanan yang sadar dan sukarela hanya demi Tuhan dan yang diterima-Nya, termasuk penyembahan yang diwajibkan. Dengan menyembah Tuhan dalam cara pelayanan tertentu manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan eksistensinya, seperti perkataan Tuhan dalam Qur’ān Suci:

‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’budūni).20 Ketika kita katakan bahwa manusia tersebut memenuhi tujuan penciptaan dan keberadaannya, jelas bahwa kewajiban manusia untuk melayani Tuhan dirasakannya sebagai normal sebab hal itu datang sebagai kehendak alamiah dalam bagian diri manusia untuk melakukannya. Kecenderungan alamiah pada manusia untuk melayani dan menyembah Tuhan juga ditunjuk sebagai dīn, seperti telah kita observasi dari awal dalam hubungan dengan konotasinya sebagai adat, kebiasaan dan watak. Namun, di sini dalam konteks keagamaan hal tersebut juga memiliki penanda khusus akan kondisi alamiah wujud yang disebut fitrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah.21 Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala hal. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allāh, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Hal itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena bermakna perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fitrah adalah keteraturan (cosmos) sebagaimana dilawankan dengan kekacauan (chaos); keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan kesalehannya, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fitrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian ini oleh manusia.22 Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak serta merta kehilangan ‘kebebasan’ baginya, karena kebebasan pada faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk kepada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.

20 Al-Dhāriyat (51): 56.