• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN PENELITIAN

4.2. Temuan Penelitian

4.2.2. Deskripsi Informan Penelitian

Informan dalam penelitian ini adalah dua orang psikolog dan dua orang konselor yang juga berada dalam divisi layanan psikologis, konseling dan rujukan medis dalam struktur kepengurusan P2T2A. Informan pertama merupakan seorang psikolog yang biasa dipanggil bu Endang. Memiliki tinggi badan sekitar 160 cm dan berat badan kurang lebih 60 kg, berusia 46 tahun dengan bentuk wajah persegi. Ia merupakan sosok yang ramah dan mudah memberikan senyuman. Saat wawancara, ia menggunakan rok dan baju kaos lengan panjang berwarna hitam

yang dipadukannya dengan rompi tanpa lengan berwarna abu-abu, jilbab motif yang didominasi warna merah dan biru, serta aksesoris lain seperti kalung, gelang dan jam tangan. Ia terlihat santai dan sangat antusias dalam menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti terutama ketika ia bercerita tentang kondisi anak-anak korban kekerasan di Aceh. Ia selalu menggerakkan tangannya saat berbicara dan menatap wajah peneliti.

Bu Endang merupakan psikolog yang sudah cukup lama bergabung di P2TP2A tempat peneliti melakukan penelitian, ia bergabung menjadi tenaga ahli psikolog sejak tahun 2010 berdasarkan permintaan dari DP3A atas dasar pertimbangan bidang keilmuan dan profesinya. Selain menjadi tenaga psikolog di P2TP2A, ia juga aktif mengajar di Universitas Muhammadiyah di Banda Aceh.

Perempuan berusia 48 tahun ini menyelesaikan pendidikan S1 profesinya di Solo dan S2 di Unsyiah, Banda Aceh.

Menjadi psikolog anak menjadi salah satu hal yang disukainya, ia menyatakan bahwa setengah jiwanya diabdikannya untuk membela anak-anak terutama anak-anak korban kekerasan. Ia tidak mengganggap tugasnya sebagai psikolog anak adalah sebuah pekerjaan karena ia mengartikan itu bagian dari hidupnya dan panggilan hati nuraninya. Ketertarikannya dalam bidang anak juga terlihat dari spesifikasi bidang psikologi yang diambilnya pada saat menempuh pendidikan di jurusan psikologi yaitu psikologi perkembangan anak.sebagaimana petikan wawancara berikut ini:

Karena basic saya seorang psikolog yang berlatar belakang dengan anak kebetulan saya memang lebih cenderung ini ke anak saya lebih menyukai untuk apa ya setengah jiwa saya mengabdi untuk membela anak-anak yang menjadi korban kekerasan. Saya memang lebih peduli dengan anak dan karena memang saya suka dengan anak-anak. Dulunya saat S1 juga saya fokusnya ngambil psikologi perkembangan anak.

Saat ini ia juga membuka biro psikologi di rumahnya bersama dengan suaminya yang juga seorang psikolog.

Informan kedua penelitian ini adalah seorang konselor yang bernama Rahmatan. Konselor Rahmatan yang akrab dipanggil Matan ini lahir pada tanggal 19 Agustus 1978, perempuan asli keturunan Aceh ini memiliki tinggi badan sekitar 155 dan berat badan sekitar 65 kg, berkulit sawo matang dengan bentuk wajah yang bulat. Ia merupakan seorang yang sangat ramah, ceria, suka tertawa dan terlihat akrab dengan pengurus P2TP2A lainnya. Memiliki suara yang serak namun tegas.

Saat wawancara Matan menggunakan baju kaos lengan panjang yang dipadukan dengan rok lebar berbahan jeans serta jilbab yang senada dengan warna roknya. Sebelum proses wawancara, peneliti berbincang-bincang terlebih dahulu dengan konselor Matan untuk pembentukan rapport. Konselor Matan sangat terbuka dan terlihat santai dalam menjawab pertanyaan dari peneliti dengan nada bicara yang tidak terlalu cepat. Ia juga sering menggerakkan tangannya saat berbicara, sesekali memberikan contoh saat dia memberikan konseling kepada klien dan menunjukkan kepada peneliti lembaran form yang harus dimiliki konselor.

Dalam obrolan singkat peneliti dengan konselor Matan, ia menyatakan keprihatinannya dengan kondisi anak-anak di Aceh yang semakin banyak menjadi korban kekerasan, khususnya kekerasan seksual. Melihat mereka yang menjadi korban membuat Matan teringat anaknya sendiri dan tidak membayangkan jika itu terjadi kepada anaknya. Konselor Matan bergabung di P2TP2A sejak tahun 2013 sebagai rohaniawan berdasarkan riwayat pendidikannya yaitu Sarjana Sosial Islam

yang diperolehnya dari kampus IAIN ArRaniry Banda Aceh. Setelah pembentukan kepengurusan baru, konselor Matan diberikan tugas sebagai konselor di awal tahun 2017 dengan pertimbangan pengalamannya dalam menangani korban-korban kekerasan saat ia menjadi rohaniawan dan telah beberapa kali mengikuti pelatihan terkait dengan peningkatan kapasitas konselor dalam penanganan korban kekerasan baik anak maupun KDRT.

Selain kesibukannya sebagai pengurus di P2TP2A, konselor Matan juga terlibat dalam kegiatan Ormas Lia Inong Aceh (LINA) yang pada awalnya dibentuk untuk membantu masyarakat korban konflik. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa organisasi perempuan lainnya seperti Sri Kandi Aceh dan Lampuan Aceh. Sebelum bertugas di P2TP2A, konselor Matan bekerja di beberapa lembaga seperti BRA (Badan Reintegrasi Aceh), sebuah lembaga pemerintah yang melaksanakan program reintegrasi dalam perdamaian di Aceh pasca konflik juga di Lembaga Bantuan Hukum Indonesia di Jakarta untuk mendampingi tahanan politik di beberapa daerah.

Informan selanjutnya seorang konselor bernama Nanda. Konselor Nanda lahir di Sigli pada 26 tahun yang lalu saat penelitian dilaksanakan. Memiliki tinggi dan berat badan masing-masing kurang lebih 150 cm dan 60 kg. Ia menggunakan niqab atau sejenis penutup kepala bagi muslimah yang dilengkapi dengan cadar yang menutupi sebagian wajah kecuali mata. Kesibukannya di luar tugasnya sebagai pengurus di P2TP2A hanya mengikuti kegiatan-kegiatan pengajian ataupun seminar-seminar.

Konselor Nanda merupakan orang yang ramah hal ini terlihat saat pertemuan pertama dengan peneliti, ia terlebih dahulu yang memperkenalkan diri,

menyapa dan menyalami peneliti. Selama peneliti berada di kantor P2TP2A, peneliti juga melihat konselor Nanda memiliki keakraban dengan pengurus-pengurus lainnya, sering bercanda dan melakukan aktivitas bersama mereka.

Konselor Nanda merupakan sarjana lulusan psikologi dari UIN Malang di tahun 2009. Latar belakang pendidikannya yang sama dengan peneliti memudahkan peneliti dalam membangun keakraban dengannya, ia juga menyampaikan kepada peneliti keinginannya untuk melanjutkan kuliah.

Selama proses wawancara, konselor Nanda sangat baik merespon semua pertanyaan dan sangat antusias dalam menjawabnya dengan nada bicara yang sedikit cepat namun dapat dimengerti dan didengar dengan jelas. Ia selalu menggerakkan tangannya saat berbicara dan memberikan beberapa contoh gerakan saat mempraktekkan bagaimana ia memperlakukan klien.

Konselor Nanda bergabung di P2TP2A pada tahun 2016 sebagai konselor setelah sebelumnya bertugas di sebuah biro psikologi di Banda Aceh.

Keterlibatannya sebagai pengurus di P2TP2A atas panggilan dari ibu Amrina yang saat ini menduduki jabatan sebagai ketua P2TP2A atas dasar latar belakang pendidikannya juga karena keterlibatannya bertugas di lembaga kemasyarakatan sebelumnya. Melihat semakin maraknya kasus kekerasan di Aceh dan keinginannya untuk memulihkan trauma bagi korban-korban kekerasan tersebut memotivasi konselor Nanda untuk bergabung menjadi konselor di P2TP2A sebagaiaman dalam petikan wawancara berikut ini:

Nanda senang aja kak, pengen gitu membuat anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan itu pulih traumanya sampai dia bisa diberdayakan lagi, dia kembali lagi, ceria lagi jadi perubahan yang negatif bisa balik lagi ke positifnya…..

……ternyata kekerasan dalam rumah tangga, terhadap anak, perempuan juga tinggi semuanya di Aceh, jadi itu lah yang buat makin termotivasi untuk berusaha memulihkan trauma-trauma bagi korban kekerasan.

Konselor Nanda lebih sering menangani kasus kekerasan terhadap anak, ia juga menceritakan bahwa dia lebih suka menangani kasus anak dibanding kasus KDRT, menurutnya hal itu juga disebabkan statusnya yang belum menikah sehingga dia belum merasakan permasalahan dalam situasi pernikahan namun ia tetap menerima semua kasus yang diberikan manajer kasus kepadanya.

Informan selanjutnya adalah seorang psikolog yang akrab dipanggil kak Haiyun. Haiyun lahir di Aceh Utara pada tanggal 09 Maret 1982. Memiliki ciri fisik tubuh yang tidak terlalu tinggi, berkulit putih dengan bentuk wajah yang bulat. Peneliti jarang bertemu psikolog Haiyun di kantor P2TP2A disebabkan aktivitasnya juga banyak di luar kantor. Saat wawancara juga peneliti mendatangi tempat ia melakukan praktek psikologi. Psikolog Haiyun cukup tenang dalam menjawab pertanyaan dari peneliti dan selama proses wawancara ia memegang kertas seperti lembaran brosur dan sesekali memutar-mutarkannya.

Psikolog Haiyun menyelesaikan kuliahnya S1 nya di Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia Jakarta dan mengambil profesi psikolog di Universitas Gajah Mada. Selain menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Jurusan Psikologi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh ia juga berpraktek di sebuah klinik dan lembaga konsultan psikologi. Ia bergabung menjadi psikolog di P2TP2A sejak tahun 2014 berdasarkan permintaan dari ketua P2TP2A pada saat itu. Keinginannya terlibat di P2TP2A karena ia tertarik menangani kasus perempuan dan anak korban kekerasan juga berdasarkan spesifikasi profesinya sebagai psikolog klinis dan mendalami psikologi forensik.

Menurutnya, angka kekerasan di Aceh semakin tinggi karena terjadinya pergeseran nilai-nilai yang ada. Anak-anak banyak menjadi korban karena ia diizinkan bekerja sehingga ketika ia diberi sedikit uang ia bisa saja berpotensi menjadi korban selain itu kurangnya edukasi kepada anak bahwa ada bagian-bagian tubuh dari anak yang tidak dibenarkan disentuh orang lain sebagaimana yang disampaikannya dalam petikan wawancara berikut ini:

Kalau kita pikir-pikir sih ya memang mungkin sih artinya terjadi sekali pergeseran nilai kemudian anak-anak banyak menjadi korban karena nggak paham karena nggak tau bahwa dia tidak boleh kerja jadi banyak kasus hanya dikasih uang 2000 tapi menjadi korban misalnya menjadi pengintas karena dia tidak tahu bahwa itu adalah bagian tubuh yang tidak boleh disentuh tidak pernah diedukasi sejak dini dan di beberapa masyarakat menganggap bahwa edukasi seksual sejak dini itu menjadi hal yang tabu padahal hal-hal yang sederhana aja minimal dia tahu bahwa ada bagian tubuh tertentu yang tidak boleh disentuh oleh orang lain.

Informan selanjutnya adalah Putri, seorang paralegal dan Nisa, manajer kasus di P2TP2A sebagai informan tambahan yang melaksanakan tugas pendampingan bersama-sama dengan konselor. Profil informan yang telah dideskripsikan di atas secara rinci disajikan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.2 Profil Informan Penelitian

No. Nama Informan Usia Suku Pendidikan Terakhir

Lama

Aceh S1 Psikologi, Profesi Psikolog UMS Solo S2 Manajemen Pendidikan Unsyiah Banda Aceh

7 Tahun Perumahan Bukit

Aceh S1 Manajemen Dakwah IAIN ArRaniry Banda

Aceh S1 Psikologi UIN Maliki Malang

2 Tahun Banda Aceh Belum menikah Informan utama

4 Tahun Darussalam Banda Aceh

4.2.3. Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban