• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Kekerasan

TEMUAN PENELITIAN

4.2. Temuan Penelitian

4.2.3. Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Kekerasan

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi antarpribadi yang memilikiproses berkesinambungan dan direncanakan dengan tujuan untuk kesembuhan klien. Berdasarkan hasil penelitan, konselor dan psikolog P2TP2A Provinsi Aceh dalam melakukan pendampingan dengan anak korban kekerasan menggunakan tahapan-tahapan dalam komunikasi terapeutik yaitu tahap prainteraksi, orientasi, kerja dan terminasi.

Tahap Prainteraksi merupakan tahap sebelum terjadi pertemuan dengan klien. Ada beberapa hal yang dipersiapkan konselor dan psikolog sebelum bertemu dengan anak korban kekerasan. Mengetahui dan mempelajari terlebih dahulu jenis kasus dan usia anak merupakan hal yang diperlukan untuk mengetahui tindakan selanjutnya yang akan dilakukan seperti untuk pemeriksaan psikologis. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh psikolog Endang yang menyatakan:

Saya yang pertama saya lihat dulu usia anak. Saya belajar dulu, saya minta selalu bisa nggak saya diberikan kronologis kasus dari penyidik.

Itukan saya melihat dulu ini kasus apa, kejadiannya apa, usianya berapa dan kalau sudah tahu saya baru menggunakan alat tes.

Psikolog juga terkadang menerima rekomendasi untuk tujuan terapi dari konselor, artinya korban terlebih dahulu berinteraksi dengan konselor dan jika membutuhkan penanganan psikologis yang lebih dalam atau kasus yang cukup berat maka akan diteruskan ke terapi psikologis yang dilakukan oleh psikolog.

Oleh karena itu sebelum bertemu korban psikolog juga meminta informasi dari

konselor yang terlebih dahulu bertemu dan berkomunikasi dengan korban untuk mengetahui informasi apa yang perlu digali sebagaimana yang dikatakan psikolog Haiyun:

Jadi sebelum saya ketemu saya udah tanya dulu sama konselornya apa yang sudah didapat kemudian apa yang masih perlu digali.

Mempelajari kasus dalam tahap prainteraksi juga dapat memberikan informasi kepada konselor dan psikolog media apa yang perlu mereka persiapkan sebagaimana yang disampaikan konselor Nanda yang mempersiapkan buku dan pena untuk korban anak dan lembaran konseling untuk kasus KDRT, ia mengatakan:

Kalau Nanda biasanya tanya dulu kasus apa ini kak, oh kasus kekerasan.

Kalau memang dia anak, Nanda hanya mempersiapkan buku bebas aja sama pulpen.

……Kalau anak-anak itu mainnya via gambar kalau dia kasus kekerasan tapi kalau yang kasus KDRT paling lembar konseling.

Sebelum kasus turun ke tangan konselor dan psikolog, bagian penerima laporan pengaduan menyampaikan kasus yang baru masuk kepada manajer kasus. Selanjutnya manajer kasus mempelajari kasus terlebih dahulu untuk kemudian didistribusikan kepada konselor yang akan menangani kasus tersebut.

Manajer kasus dalam menentukan pendampingan kasus oleh konselor, menyesuaikan jenis kasusnya berdasarkan spesifikasi pengalaman konselor dan berlandaskan prinsip keadilan sebagaimana yang disampaikan manajer kasus dalam petikan wawancara berikut ini:

Teman-teman ini kan mempunyai spesifikasi pengalaman yang beragam gitu kan. Jadi karena pengalaman yang beragam, yang pertama kita melihat teman-teman pendamping ini konselornya memang mereka rata-rata hampir semua sudah menangani jenis kasus yang berbeda dengan ktegori yang berbeda, tetapi ada penekanan misalnya konselor A dia

banyak menangani kasus pelecehan pada anak gitu, memang masing-masing kan punya kecenderungan masing-masing-masing-masing kan yang konselor B dia punya apa pengalaman yang cukup banyak menangani mediasi antara kasus rumah tangga gitu jadi itu jadi salah satu pertimbangan.

Pertimbangan kedua di sini kan diterapkan prinsip keadilan jadi maklumat P2TP2A salah satunya adalah selain responsif itu berkeadilan.

Berkeadilan dalam artian bukan hanya kepada mitranya saja tapi bagaimana penanganan kasus ini juga, satu konselor tidak bertumpu kasus gitu tapi didistribusikan secara lumayan adil gitu, jadi itu untuk pertimbangan yang lainnya jenis kasus itu sangat mempengaruhi.

Manajer kasus menjelaskan bahwa tugas konselor di awal adalah menggali informasi dari korban, sebagaimana yang disampaikannya:

Jadi misalnya kasusnya lumayan berat kadang-kadang si konselor itu cuman assesmen awal karena kan di pengaduan itu kan setelah dari pengaduan langsung dikonseling, artinya konseling di awal itu bukan sifatnya rehabsos tetapi untuk mengetahui lebih dalam membedah lebih dalam persoalannya sebenarnya apa. Kadang-kadang di awal penelantaran tapi ternyata oh..karena memang kasus hak asuh anak bukan hanya sekedar penelantaran jadi semua untuk mengurai pesoalan yang sebenarnya dibutuhkan konselor gitu. Jadi bukan untuk rehabsos nya bukan untuk pemulihan. Jadi untuk itu itu sebagai dasar pertimbangannya. Kemudian dari konselor itukan bukan proses pemulihan tadi untuk menggali artinya masih pada penggalian masalah belum tahap-tahap penyelesaian masalah. Cuman digali masalah ini kita pengen tahu si mitra maunya apa. Harapannya apa. Kira-kira menurut dia apa yang akan dia lakukan jadi konselor gak memberi saran tidak memberi saran tetapi menggali dilarang memberi saran, proses awal kemudian konselor dikembalikan lagi ke manajer kasus.

Menurut manajer kasus, setelah kasus diberikan kepada seorang konselor, konselor kemudian melakukan assessment kebutuhan mitra, jika memerlukan terapi psikologis maka akan diserahkan kepada psikolog. Psikolog kemudian memberikan layanan psikologi dan konselor memberikan layanan konseling sesuai dengan kebutuhan korban. Kasus yang dilanjutkan kepada psikolog adalah kasus yang sudah terindikasi klinis atau untuk permintaan-permintaan tertentu seperti yang dikatakan psikolog Haiyun:

Biasanya memang yang sudah terindikasi klinis kemudian biasanya ada permintaan tertentu misalnya untuk pemeriksaan saksi ahli kemudian harus melakukan pemeriksaan psikologis maka itu yang melakukannya adalah psikolog.

Mengetahui karakter anak terlebih dahulu juga merupakan hal yang penting sebelum psikolog dan konselor melakukan konseling ke anak seperti yang disampaikan konselor Nanda:

Penting sih kak kalo menurut Nanda, apalagi kalau untuk anak. Kalau dia waktaknya keras kita akan berusaha lemah lembut sama dia sampai dianya akan menceritakan sendiri sama kita. Misalnya ada juga yang pendiam ya udah kalau dia pendiam kita buat dia nyaman dulu nggak usah bertanya ke hal-hal yang kesana dulu. Kita mutar-mutar dulu ke pertanyaan yang lain baru nanti dia akan menceritakan sendiri lah kita akan bilangin kita disini bantu kamu akan menyelsaikan masalah kamu semampu kita.

Berdasarkan hasil wawancara di atas diketahui bahwa yang menjadi tugas psikolog dalam tahap prainteraksi adalah mengetahui jenis kasus, usia korban, karakter anak, informasi lain yang perlu digali kemudian mempelajarinya dan mempersiapkan alat tes untuk pemeriksa psikologis baik untuk kebutuhan terapi atau kebutuhan dalam persidangan.

Tahap selanjutnya adalah tahap perkenalan atau orientasi yaitu kegiatan pertemuan pertama kali dengan klien. Dalam tahap ini konselor dan psikolog memperkenalkan dirinya dengan korban dan menumbuhkan rasa nyaman serta kepercayaan korban melalui strategi komunikasi yang disesuaikan dengan karakteristik korban. Tahap orientasi merupakan tahap yang penting untuk mengembangkan hubungan terapeutik yang baik karena tahap ini merupakan pintu

menuju keberhasilan pada tahapan selanjutnya. Jika psikolog dan konselor tidak bisa membentuk hubungan yang baik dengan korban di tahap ini, akan sulit mengembangkan hubungan yang terapeutik dalam mencapai tujuan dari komunikasi terapeutik itu sendiri. Strategi yang dilakukan konselor Nanda pada tahap perkenalan adalah memperkenalkan siapa namanya sambil memberikan jabat tangan dan membuka cerita dengan hal-hal yang umum sebagaimana yang dikatakannya:

Kalau Nanda langsung kayak “kenali ini nama kakak kak nanda, kak nanda disini mau jadi kawannya adek. Mau nggak kita berkawan salam dulu yuk. kita berteman yuk.” Selama ni gitu kenalin ya nama kakak kak nanda, kakak tinggalnya di sisni ya udah Nanda ceritain aja itu nggak bisa nanda jelaskan giamana ya kak karena itu kek yang alamiah aja. Itu yang penting kita salaman dulu sama dia ajak kenalan kayak ini ya (menjabat tangan peneliti) itu sih nanda.

Memperkenalkan nama juga dilakukan oleh psikolog Endang dalam tahap perkenalan sambil bercerita mengenai dirinya pribadi untuk pembentukan rapport dengan anak yang menjadi korban. Ia memperkenalkan dirinya dengan sebutan bunda dengan tujuan membentuk hubungan yang akrab dengan anak, sebagaimana petikan wawancara berikut ini:

Saya menanamkan dulu rapport dengan anak, saya tidak akan memaksa anak itu untuk mendekati saya itu tidak pernah saya lakukan…

…..saya melakukan itu saya melihat dulu dia nyaman nggak dengan saya kalau gak nyaman saya suruh datang lagi besok jadi tahap pertama pelan-pelan saya hanya berkenalan bercerita tentang diri saya siapa saya apa cita-cita dia……

…..karena saya membiasakan diri untuk memanggil bunda Endang bukan ibu. Ibu guru nanti. Ini membuat kondisi anak akhirnya betah dengan situasi lingkungan yang kita hadapi.

Paralegal Putri juga menguatkan hal di atas bahwa psikolog Endang menyebut dirinya dengan panggilan ‘bunda’ agar terasa dekat dengan korban:

Jadi kan beliau (Bu Endang) itu pas ngomong pertama aja kan dengan HP inisialnya, itu beliau itu bilangnya manggil aja bunda ya jadi biar terasa dekat.

Menciptakan rasa nyaman pada anak korban kekerasan bisa pada pertemuan pertama atau lebih, sebagaimana yang diutarakan konselor Matan:

Itu bisa saja sekali pertemuan atau yang kedua kali dia baru terbuka.

Biasanya pertama yang udah kita alami yang kita dampingi selama ini itu hari pertama dia melihat kenyamanan dia dulu sama kita. Nanti pertemuan berikutnya baru dia keterbukaan baru nampak dimana nanti dia akan cerita apa sih masalahnya.

Hal senada juga disampaikan konselor Nanda yang mengatakan:

Kalau korban anak Alhamdulillah Nanda selama ini nggak pernah mengalami kesulitan sampe beberapa kali itu gak pernah. Jadi satu hari itu paling itulah kayak dua kali pertemuan aja selanjutnya dia udah nyaman.

Kalau untuk anak-anak Nandanya lebih berusaha masuk ke dalam dunia mereka. Nanda menjadi temannya mereka bahkan bisa dibilang Nanda jadi anak-anak juga lah dari cara ngobrol kita berbeda. Nanda jadi dulu sahabat bagi mereka, jadi teman cerita mereka, di saat mereka udah nyaman sama Nandanya di saat dianya udah nyaman sama Nanda, saat Nanda bertanya kejadian yang dialaminya dia akan enak bercerita dengan Nanda, jadi dia percaya dengan Nanda.

Menurut psikolog Haiyun, memperkenalkan diri kepada anak tidak perlu dengan penjelasan bahwa profesi mereka adalah psikolog karena anak akan membutuhkan penjelasan yang panjang tentang hal itu, cukup dengan menyampaikan bahwa mereka hanya ingin cerita-cerita, setelah anak nyaman bercerita bisa dilanjutkan dengan penggalian informasi, seperti petikan wawancara berikut ini:

Biasanya karena itu kan referral dari konselor mereka biasanya sudah menyampaikan saya sih biasa jarang memperkenalkan saya adalah psikolog karena butuh penjelasan panjang buat mereka jadi ya sampaikan saja kita mau cerita-cerita mau ngobrol-ngobrol ya setelah itu baru kita coba akan gali.

Konselor dan psikolog dituntut untuk memiliki keahlian dan strategi dalam berkomunikasi dengan anak. Keempat informan menyatakan bahwa pendekatan kepada anak bisa dengan teknik bermain, menggambar dan mewarnai tergantung pada apa yang biasa dilakukan oleh anak seperti yang dikatakan psikolog Haiyun:

Dengan teknik bermain biasanya. Yang sederhana mungkin menggambar atau mewarnai jadi tergantung pada apa yang biasa dilakukan oleh anak.

Kita tidak memberikan hal yang tidak biasa dilakukan oleh anak jadi kita mungkin punya banyak media permainan tapi kalau buat sebagian anak dia tidak biasa itu akan menjadi hal yang asing dan itu membuat dia nggak nyaman jadi yang biasa saja kita berikan saja apa sih yang dia sukai selama ini seperti itu.

Selain dengan strategi tersebut di atas, mengetahui bahasa yang biasa digunakan anak juga menjadi suatu teknik untuk menciptakan rasa nyaman yang dilakukan oleh salah seorang informan, psikolog Endang. Ia menyatakan:

saya duluan juga berkomunikasi dengan ibunya, saya tanya ini bahasa yang digunakan bahasa apa, kalau bahasa Aceh, Acehnya seperti apa lagi saya tanya, mau bahasa Aceh laut ataukah yang kota saya suka bertanya.

Kalau yang laut istilah orang di Aceh inikan sudah paham berarti agak sedikit lebih kasar gitu ya bahasanya lebih ceplos gitu nggak ada polesan halusnya. Nah saya menggunakan itu sehingga anak oh.. ternyata ibu ini nyaman buat saya lo bahasanya itu seperti keluarga saya nah ternyata bahasa yang kita sampaikan itu juga memberi seseorang jadi lebih nyaman.

Bahasa yang disampaikan dengan nada yang lembut juga dapat memberikan kesan positif bagi korban dan membuat mereka terbuka. Selain itu berikan kesempatan bagi korban untuk mengekspresikan perasaannya serta tidak memaksanya bercerita tentang masalah yang dihadapinya, seperti yang disampaikan oleh konselor Matan:

Jadi kan dengan bahasa-bahasa kita yang lembut dia akan merasakan terbuka, kemudian ada persoalan hari ini gak apa-apa gak cerita. Berikan dia kesempatan untuk bercerita, menangis, bersedih, atau ketawa atau apapun yang dia inginkan kita berikan.

Merumuskan kontrak (waktu, tempat dan tujuan pendampingan) antara psikolog atau konselor dengan anak juga perlu dilakukan dalam tahapan ini untuk menjamin kelangsungan sebuah interaksi terapeutik. Dari hasil wawancara peneliti dengan keempat informan, untuk menyepakati waktu dan tempat tidak dilakukan dalam tahapan ini karena seringkali terjadi perkembangan kasus di lapangan yang menyebabkan jadwal pendampingan tidak bisa dipastikan kapan waktunya, seperti yang disampaikan psikolog Haiyun:

Kalau di informed consent di awal kan sudah ada sebenarnya tapi kemudian yang dengan psikolog memang ya tergantung perkembangan karena kadang-kadang kalau ternyata fokusnya lebih dulu menyelesaikan masalah hukum kadang-kadang lebih fokus menghabiskan waktu kesana dulu gitu baru kemudian nanti ke sini.

Senada dengan penyataan di atas, konselor Nanda dalam menyepakati waktu pertemuan untuk pendampingan menyatakan tidak menjadwalkan waktunya di awal pertemuan tetapi mendiskusikannya melalui orangtua korban, seperti yang disampaikannya berikut ini:

Kalau korban anak khusus kasus kekerasan itu memang pertemuan kita diskusikan sama orangtuanya, bu kapan si anak bisa ketemu lagi sama saya, biasa memang kita nanyanya ke orangtuanya sih. Atau kadang Nanda yang nentukan kadang disepakati bersama, itu nggak bisa dipastikan juga. tergantung, kadang Nanda yang ke rumahnya ataupun dianya yg kemari ataupun nandanya yang homevisit itu nggak bisa nanda pastikan.

Menurut psikolog Endang, alasan mengapa waktu pendampingan tidak bisa disepakati di awal pertemuan karena perubahan perilaku anak korban kekerasan

dapat muncul kapan saja yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Saat si anak kembali bermasalah dan perlu dampingan dari konselor atau psikolog orangtua dapat langsung menghubungi mereka. Ia mengatakan:

Biasanya saya minta si ibu untuk ngebel saya atau sms saya nanti kalau kapan dia ada waktu dia renggang ataupun memang si anak bermasalah silahkan hubungi saya ibunya langsung biasanya, terus saya datang.

Tahapan selanjutnya dari komunikasi terapeutik adalah tahap kerja. Tahap ini merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Pada tahap ini konselor, psikolog dan anak korban kekerasan bersama-sama mengatasi masalah. Pada tahap ini juga dituntut kompetensi dan kemampuan psikolog dan konselor dalam mengungkap perasaan dan pikiran dari korban. Salah satu hal yang mendukung keberhasilan komunikasi dalam tahap kerja untuk menggali informasi anak korban kekerasan adalah dengan adanya kepercayaan dari anak kepada konselor dan psikolog yang menanganinya. Hal ini seperti yang disampaikan psikolog Haiyun:

Yang paling penting adalah bagaimana anak percaya dulu sama kita karena dia masih merasa bahwa kita adalah orang asing apalagi kalau kita sudah bertanya cuma bedanya kan psikolog kan sudah tahu caranya bertanya itu kan tidak seperti interogasi.

Pentingnya membangun kepercayaan korban juga dikatakan oleh informan Matan:

Yang pertama kita harus bisa beradaptasi dulu ya dengan si korban. Yang kedua kita memberikan kenyamanan buat mereka kemudian kita juga harus bisa membangun kepercayaan dengan klien termasuk dengan memotivasi dia supaya dia tidak berlarut larut dengan kesedihannya itu.

Hal lain yang dapat mendukung keberhasilan dalam penggalian informasi dalam tahap kerja adalah melalui media yang disukai anak. Seorang konselor atau psikolog harus peka dengan hal itu dan menyesuaikannya dengan karakter anak.

Menggali informasi tentang perasaan anak korban kekerasan bisa dilakukan dengan teknik bercerita melalui gambar seperti yang dilakukan konselor Nanda, ia mengatakan:

Misalnya si UK ini karena dia anaknya susah untuk diajak komunikasi kan jadi awalnya Nanda masuk ke tempat dia, Nanda ngomongnya sama dia nggak langsung nanya ke kasus. Nanda ajak dulu berteman sama dia kan.

Itu nanti kalau udah satu jam baru tanya-tanya sekolahnya, nanya temannya, ngapain aja dia. Baru kita bertanya ngapain di sini dek. Kayak UK ini dia kebetulan suka menggambar jadi Nanda itu komunikasinya melalui gambar sama dia, dia menceritakan kayak kejadian misal kita gambarkan rumah di sini nanti ada orang ngapain ini kan. Dia nanti e..

kita gambar kayak pelakunya, itu ngapain di sini, nanti lama-lama dia cerita, jadi anak lebih tertarik dengan gambar kak, jadi kita main dengan gambar itu lebih mudah.

Pendapat tersebut juga diperkuat dengan apa yang disampaikan oleh psikolog Endang yang menggunakan teknik bermain dan bercerita:

Saya mungkin menggunakan teknik untuk bermain dengan dia ya. Saya suka bercerita. Kebetulan di tempat kita ini belum ada alat ini ya, tapi kalau di rumah di tempat praktek saya punya beberapa permainan dan saya melihat dia menyenangi apa.

Ketika anak bercerita tentang perasaan ataupun kejadian yang dialaminya seorang psikolog atau konselor harus memberikan tanggapan yang positif antara lain dengan mendengarkan apa yang diceritakan oleh korban. Mendengarkan merupakan salah satu teknik dalam komunikasi terapeutik yang bertujuan untuk memberikan rasa aman, stabilitas emosi dan psikologis bagi korban. Konselor

Matan mengatakan sebagai seorang konselor ia harus banyak mendengar sebagaimana ia sebutkan dalam kutipan wawancara berikut ini:

Yang penting kita dengarkan aja dia cerita. Kalau kita ini jangan dulu memberikan masukan harus banyak mendengar kalau misalnya paralegal mungkin dia akan memberikan masukan oh supaya gini gini ataupun pengacara dia bisa kasih masukan. kalau kita lebih dengar keluhan dia kemudian setelah itu kita refleksi kembali.

Selain kemampuan menggali perasaan korban dan mendengarkan masalah korban, dalam tahap kerja seorang psikolog atau konselor juga harus mampu membantu korban dalam mengidentifikasi masalah yang dihadapinya, cara mengatasi masalah dan mengevaluasi alternatif pemecahan masalah yang telah dipilih. Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa informan, mereka selalu berusaha memberikan cara yang terbaik untuk mengatasi masalah yang dihadapi korban seperti yang dilakukan konselor Matan saat anak korban kekerasan seksual yang ditanganinya hanya mengurung diri di dalam kamar dan tidak ingin beraktivitas lagi, ia mengatakan:

…yang paling trauma anak SMP kelas 3 kasus pemerkosaan yang memperkosa 4 orang, dia menutup diri gak mau keluar gak mau makan jadi dia bawaanya marah terus dengan neneknya dia tinggal karena ayahnya sama mamaknya udah berpisah, dan itu memang untuk keluar rumah aja gak berani lagi. Jadi kita ajak dia keluar, memang dia pertama dia gak mau, dia sedih nangis aja kalau jumpa kami nangis aja, jadi kita biarkan aja nangis aja, kasih inilah (menyentuh tangan peneliti) “gak apa-apa nangis aja” lama-lama diakan mau berbicara. Akhirnya kita ajak dia pergi keluar rumah, jadi kita ajak dia ke alam yang terbuka kita ajak dia ke laut supaya dia gak tertutup di rumah. Terus kita kasih motivasi ke dia “Ini memang bukan saya inginkan tapi ini musibah bagi saya tapi kita harus menjalani, kita harus hidup, kita harus pikirkan ke depan, adek masih sekolah kita harus sekolah.” Akhirnya kami carikan solusi supaya dia SMA jangan dekat-dekat rumah dia cari tempat lain yang agak jauh.

Demikian juga dengan yang dilakukan psikolog Endang. Ia memberikan pemahaman dan kekuatan serta terapi yang diperlukan saat anak merasa down saat lingkungan sekitar anak kemabali menghujatnya. Ia mengatakan:

….Apapun dia datang ke saya dia ngomong di telepon ataupun wa. dia cerita apapun kepada saya, lagi teman menghujat saya, teman-teman bla bla bla.. saya mencoba memberikan pemahaman satu kekuatan sama dia dan saya suka melakukan juga terapi ke dia itu salah satunya terapi relaksasi karena saya tahu beban yang dia dapatkan sangat berat dan itu saya harus membuat dia lebih rileks dan memahami situasinya dengan menggunakan juga terapi behavior humanistik.

Pada tahap kerja psikolog dan konselor juga bertugas meningkatkan

Pada tahap kerja psikolog dan konselor juga bertugas meningkatkan