• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENDAMPINGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI P2TP2A PROVINSI ACEH TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODEL KOMUNIKASI TERAPEUTIK DALAM PENDAMPINGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI P2TP2A PROVINSI ACEH TESIS. Oleh"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DALAM PENDAMPINGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI P2TP2A PROVINSI ACEH

TESIS

Oleh NAILUL HUSNA

157045035

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

MODEL KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DALAM PENDAMPINGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI P2TP2A PROVINSI ACEH

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar MagisterIlmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Sumatera Utara

Oleh

NAILUL HUSNA 157045035

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2018

(3)

Telah diuji pada

(4)

Tanggal: 01 November 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D Anggota : 1. Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D

2. Dra. Mazdalifah, M.Si, Ph.D 3. Dr. Humaizi, MA

4. Rahmanita Ginting, MA., Ph. D

(5)
(6)

KOMUNIKASI TERAPEUTIK

DALAM PENDAMPINGAN ANAK KORBAN KEKERASAN DI P2TP2A PROVINSI ACEH

ABSTRAK

Tujuandari penelitian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan tahapan komunikasi terapeutik, faktor pendukung dan penghambat komunikasi terapeutik dan menemukan model komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Informan dalam penelitian ini adalah dua orang konselor, dua orang psikolog, satu orang manajer kasus dan satu orang paralegal. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa proses komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan melalui beberapa tahapan yaitu tahap prainteraksi, tahap perkenalan, tahap kerja dan tahap terminasi. Faktor pendukung komunikasi terapeutik antara lain sikap psikolog dan konselor, kompetensi psikolog dan konselor, sikap anak korban kekerasan, dukungan sosial dan latar belakang sosial budayasementara faktor penghambatnyaberupa hambatan dari ruangan konseling serta kondisi psikis psikolog/konselor dan anak korban kekerasan.

Kata kunci: Komunikasi terapeutik, Pendampingan Anak, Anak Korban Kekerasan, Provinsi Aceh.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepadapeneliti sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini peneliti persembahkan untuk orangtua tercinta, Drs. Burhanuddin Berkat, SH, MH ibunda Syamsini, S.Ag serta suami Isnan Munawirsyah, SE, MM dan seluruh keluarga besar. Terimakasih atas doa dan dukungan yang tak terhingga.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, banyak bantuan telah peneliti terima. Maka pada kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia yang telah memberikan beasiswa kepada peneliti.

3. Dr. Muryanto Amin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA,Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara sekaligus Penguji Tesis

5. Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph,.D selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sumatera Utara dan Penguji Tesis.

6. Dra Mazdalifah, M.Si., Ph.D. selaku Ketua Komisi Pembimbing Dra. Inon Beydha, M. Si., Ph. D. selaku anggota komisi pembimbing atas arahan, bimbingan dan penjelasan yang diberikan kepada peneliti selama menyelesaikan tesis ini.

7. Almh. Inon Beydha, M.Si., Ph.D. atas bimbingan dan motivasinya kepada peneliti selama menyelesaikan tesis ini.

8. Rahmanita Ginting, M.A., Ph.D selaku komisi pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

(9)

9. Pemerintah Kota Subulusssalam yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Strata-2 kepada peneliti.

10. Informan penelitian dan seluruh pengurus P2TP2A Provinsi Aceh yang telah menyediakan waktu dan tempat untuk membantu terlaksananya penelitian.

11. Staf Administrasi Magister Ilmu KomunikasiFISIP USU, Sri Handayani,S.Sos dan Zikra Khasiyah, S.Sos. yang telah banyak memberikan bantuan baik langsung maupun tak langsung kepada peneliti selama menyelesaikan pendidikan di Program Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

12. Seluruh teman-teman Magister Ilmu Komunikasi USU. Semoga ilmu yang diperoleh dapat bermanfaat dan ikatan silaturahmi tetap terjaga.

13. Semua pihak yang telah membantu, memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan.

Peneliti menyadari masih banyak kekurangan pada tesis ini, namun harapan peneliti semoga tesis ini bermanfaat bagi dunia pendidikan tinggi dalam bidang ilmu komunikasi di Indonesia.

Medan, Agustus 2018 Peneliti,

Nailul Husna

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI PERNYATAAN ORISINALITAS

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Fokus Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitan ... 11

BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 12

2.1 Paradigma Penelitian ... 12

2.2 Penelitian Sejenis Terdahulu ... 13

2.3 Uraian Teori ... 22

2.3.1 Komunikasi Kesehatan ... 22

2.3.2 Komunikasi Antarpribadi ... 23

2.3.2.1 Komunikasi Terapeutik ... 25

2.3.1.1.1. Tujuan Komunikasi Terapeutik ... 26

2.3.1.1.2. Teknik Komunikasi Terapeutik ... 27

2.3.1.1.3. Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik ... 28

2.3.1.1.4. Tahapan Komunikasi Terapeutik ... 29

2.3.1.1.5. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Komunikasi Terapeutik ... 30

(11)

2.3.1.2. Komunikasi Verbal dan Nonverbal ... 32

2.3.1.3. Self Disclosure ... 34

2.3.2. Model Komunikasi ... 36

2.3.2.1. Tipe-tipe Model Komunikasi ... 37

2.3.3. Pendampingan Anak Korban Kekerasan ... 39

2.3.3.1. Pendampingan ... 39

2.3.3.2. Anak Korban Kekerasan ... 41

2.3.3.2.1. Bentuk Kekerasan terhadap Anak ... 43

2.3.3.2.2. Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Kekerasan terhadap Anak ... 44

2.3.3.2.3. Dampak Kekerasan Terhadap Anak ... 46

2.4. Kerangka Pemikiran ... 47

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 48

3.1. Metode Penelitian ... 48

3.1.1. Metode Penelitian Studi Kasus ... 49

3.2. Aspek Kajian ... 53

3.3. Subjek Penelitian ... 54

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 54

3.5. Metode Analisis Data ... 57

BAB IV. TEMUAN PENELITIAN ... 59

4.1.Proses Penelitian ... 59

4.2.Temuan Penelitian ... 64

4.2.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 64

4.2.2. Deskripsi Informan Penelitian ... 69

4.2.3. Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan ... 77

4.3.Keabsahan Data ... 100

4.4.Kelemahan Penelitian ... 106

(12)

BAB V. PEMBAHASAN ... 108

5.1. Tahapan Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan ... 109

5.2. Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan AnakKorban Kekerasan ... 114

5.3. Model Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan ... 116

BAB VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 118

6.1. Simpulan ... 118

6.2. Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 122

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1.1. Jenis Kekerasan terhadap Anak ... 2

1.2. Grafik Kekerasan terhadap Anak Wilayah Aceh Tahun 2016 ... 7

2.1. Model Komunikasi Terapeutik Konselor Laktasi dan Klien Relaktasi ... 19

2.2. Pola Komunikasi Antarpribadi Devito ... 24

2.3. Jendela Johari ... 35

2.4. Model Komunikasi Berlo ... 37

2.7. Model Komunikasi Schraumm (3) ... 39

2.8 Kerangka Pemikiran ... 47

3.1. Analisis Data Miles & Huberman ... 58

4.1. Struktur Pengurus P2TP2A Provinsi Aceh ... 65

4.3. Alur Penanganan Kasus P2TP2A Provinsi Aceh ... 68

5.1. Model Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan ... 116

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

4.1. Nama Petugas Divisi Layanan Psikologis, Konseling

Dan Rujukan Medis P2TP2A Provinsi Aceh ... 69 4.2. Profil Informan Penelitian ... 76

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Kekerasan terhadap anak merupakan fenomena sosial yang sampai saat ini masih menjadi isu penting di Indonesia. Sebagian besar anak di Indonesia hidup dalam bayang-bayang kekerasan yang menimbulkan trauma mendalam, padahal anak adalah generasi penerus bangsa. Kehidupan anak saat ini adalah potret kehidupan bangsa, jika kekerasan demi kekerasan dibiarkan terjadi maka akan tercipta masa depan yang suram bagi kehidupan bangsa. Kekerasan terhadap anak di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan, anak-anak Indonesia belum sepenuhnya terlindungi meskipun Undang-undang Perlindungan Anak telah disahkan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Sumber: Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Anak korban tindak kekerasan adalah anak yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi

(16)

kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.

Kekerasan terhadap anak dalam arti kekerasan dan penelantaran adalah semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik maupun emosional, pelecehan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau eksploitasi lain yang mengakibatkan cidera atau kerugian nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang anak atau martabat anak yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. Sementara dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 disebutkan:

“setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan : (a) diskriminasi, (b) eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, (c) penelantaran, (d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, (e) ketidakadilan dan (f) perlakuan salah lainnya”.

Berdasarkan pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI tahun 2014, jenis tindak kekerasan terhadap anak yang paling tinggi adalah kekerasan seksual yakni sebanyak 41% sebagaimana tergambar dalam grafik di bawah ini:

Gambar 1.1 Jenis kekerasan terhadap anak

Sumber: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2008 dalam Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Bina Kesehatan Anak, 2014

(17)

Dampak kekerasan, korban biasanya akan merasakan berbagai emosi negatif, seperti marah, dendam, tertekan, tetapi tidak berdaya menghadapinya yang dalam jangka panjang kondisi ini dapat mengembangkan perasaan rendah diri dan tidak berharga, selalu merasa takut, depresi dan ingin bunuh diri.

Kekerasan yang terjadi terhadap anak akan membekas pada benak anak dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya. Anak yang sering mendapat kekerasan secara fisik, ketika dewasa bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan (Agustindalam Abdullah, 2010: 70).

Penanganan melalui komunikasi terapeutik yang diberikan oleh para profesional menjadi hal yang penting untuk membantu anak korban kekerasan memecahkan masalah yang dihadapinya serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya lagi. Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang dilakukan secara sadar yang tujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan korban. Komunikasi terapeutik juga harus direncanakan, disengaja dan merupakan tindakan profesional. Sebagaimana mestinya, komunikasi terapeutik konselor berkomitmen untuk membantu korban kekerasan mengungkapkan perasaan-perasaannya melalui pesan verbal dan nonverbal yang dipengaruhi oleh beberapa hal seperti sikap, kebutuhan, nilai, kepercayaan maupun keahlian.

Menurut Hovland dalam Widjaja (2000:15) komunikasi adalah suatu prosesdimana seorang individu menyampaikan perangsang (biasanya lambang- lambangdalam bentuk kata-kata) untuk mengubah tingkah laku orang lain atau individu lain, untuk itu harus ada kesepahaman arti dalam proses penyampaian informasitersebut agar tercapai komunikasi yang harmonis dan

(18)

efektif.Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dengan menggunakanlambang-lambang yang bermakna dari komunikator kepada komunikan dengan suatu tujuan tertentu. Tujuan yang diharapkan dari proses komunikasi yaituperubahan berupa penambahan pengetahuan, merubah pendapat, memperkuatpendapat serta merubah sikap dan perilaku komunikan atau dikenal dalam tigatingkatan perubahan atau efek dari suatu proses komunikasi yaitu perubahan pada pikiran (kognitif) perubahan pada perasaan (afektif) dan perubahan padaperilaku (behavioral).

Komunikasi dapat juga dijadikan alat terapi atau suatu metode terapi pada profesi-profesi tertentu yang dalam menjalankan tugasnya sangat sering berhubungan dengan orang lain. Biasanya kegiatan tersebut adalah berhubungan dengan profesi psikolog, konseling kesehatan medis atau keperawatan dan klinik alternatif, sehingga komunikasi dapat berfungsi sebagai alat terapi yang kemudian disebut dengan “komunikasi terapeutik”. Dengan metode ini seorang terapis mengarahkan komunikasi begitu rupa sehingga pasien diharapkan pada situasi dan pertukaran pesan yang dapat menimbulkan hubungan sosial yang bermanfaat.

Komunikasi terapeutik memandang gangguan jiwa bersumber pada gangguan komunikasi, pada ketidakmampuan pasien untuk mengungkapkan dirinya (Ruesch dalam Rakhmat, 2012: 5).

Penanganan anak korban kekerasan dilaksanakan melalui laporan kepada polisi melalui Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) danRuang Pelayanan Khusus (RPK) maupun langsung kepada Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). Pusat Pelayanan Terpadu merupakan unit kerja fungsional yang menyelenggarakan pelayanan terpadu untuk korban.Pelayanan terpadu diawali dengan identifikasi

(19)

korban untuk memastikan seseorang adalah korban kekerasan atau bukan.

Identifikasi ini dilakukan melalui interview terhadap korban guna memastikan bantuan apa yang diperlukan oleh korban, apakah memerlukan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial atau bantuan hukum.

Anak korban kekerasan yang mengalami trauma atas kejadian yang menimpanya perlu penanganan serius dalam rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban yang dilakukan olehpetugas rehabilitasi psikososial yang terdiri dari pekerja sosial, konselor danpsikolog yang telah mendapatkan pelatihan penanganan anak korbankekerasan dari gangguan kondisi psikososial dengan menggunakan bantuanpsikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungidan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban tindakkekerasan sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar (Peraturan Menteri Negera Pemberdayaan Perempuan dan Anak RI No. 2 Tahun 2011).

Bantuan psikologis serta sosial yang dibutuhkan oleh anak korban kekerasan akan dilakukan melalui upaya pendampingan psikososial oleh petugas di Pusat Pelayanan Terpadu. Dalam melakukan aktivitas pendampingan psikososial, seorang konselor P2TP2A perlu memiliki keterampilan berkomunikasi dalam menghadapi karateristik masing-masing korban karena proses pendampingan bukanlah hal yang mudah dilakukan.Seorang konselor harus memperhatikan latar belakang korban, kepribadian, hingga karakter yang beragam, untuk itu perlu adanya proses pendekatan-pendekatan khusus secara personal untuk bisa masuk ke ruang pribadinya, sehingga konselor dapat mengerti dan mampu melakukan problem solving dengan mengurangi traumatik yang

(20)

dialami korban melalui komunikasi antarpribadi dengan menciptakan hubungan terapeutik yang baik antara konselor dan korban.

Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang direncanakan untuk tujuan terapi maka dari itu dibutuhkan tahapan-tahapan dalam pelaksanaannya.

Pieter (2017:160) membagi tahapan komunikasi terapeutik kedalam empat tahapan yaitu tahap persiapan (pra-interaksi), tahap perkenalan (orientasi), tahap kerja dan tahap terminasi. Tahap prainteraksi merupakan tahapan sebelum petugas bertemu dengan klien dimana dalam tahap ini petugas mempersiapkan dirinya dan hal-hal yang penting terkait dengan klien sebelum berinterkasi langsung. Tahap perkenalan merupakan kegiatan yang dilakukan saat pertama bertemu dengan klien dimana petugas dan klien membina rasa saling percaya, merumuskan kontrak dan mengidentifiksai masalah klien. Tahap kerja merupakan tahap mengatasi masalah yang dihadapi klien dan terakhir tahap terminasi yaitu tahap akhir dari proses komunikasi terapeutik dengan mengevaluasi pencapaian tujuan dari pelaksanaan komunikasi terapeutik.

Ada faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam proses komunikasi terapeutik, baik itu faktor yang mendukung ataupun menghambat proses komunikasi terapeutik tersebut. Kariyoso (dalam Purwoastuti dan Walyani, 2015:54)menyatakan bahwa komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh faktor yang ditinjau dari komunikator antara lain: kecakapan komunikator, sikap komunikator, pengetahuan komunikator, sistem sosial dan pengarah komunikasi, selain itu juga faktor yang ditinjau dari komunikan, meliputi kecakapan, sikap, pengetahuan, sistem sosial dan saluran. Sementara yang menjadi faktor penghambat dalam proses komunikasi terapeutik adalah kemampuan pemahaman yang berbeda,

(21)

pengamatan atau penafsiran yang berbeda karena pengalaman masa lalu, komunikasi satu arah, kepentingan berbeda, memberikan kritik terhadap perasaan klien, menghentikan dan mengalihkan topik pembicaraan serta memperlihatkan sifat jemu dan pesimis.

Seorang konselor harus mengetahui bentuk penanggulangan yang tepat bagi anak korban kekerasan melalui komunikasi sebagai upaya penyembuhan atas trauma yang dialaminya. Hal yang penting adalah bagaimana mendorong anak mengungkapkan perasaannya, emosi dan pengalaman-pengalamannya sehingga dia merasa lega. Konselor menyampaikan informasi, menerima korban, mengarahkan emosi dan perilaku korban melalui pesan-pesan verbal dan nonverbal yang dapat mengekspresikan perasaan dan pikiran korban.Konselor harus menampilkan perilaku yang dapat membuat korban merasa lebih senang, lebih terbuka, lebih percaya, lebih tertarik mengatasi proses terapi sampai tuntas.

Angka kekerasan terhadap anak yang terjadi di Aceh berdasarkan data dari P2TP2A Provinsi Aceh adalah sebagai berikut:

332 243

177

17 47

11 172

18 0

237

27 9

49 0

50 100 150 200 250 300 350

Gambar 1.2 Grafik kekerasan terhadap anak wilayah Aceh Tahun 2016

(22)

Kekerasan terhadap anak yang terjadi di Acehberdasarkan data tersebut di atas sangatlah memprihatinkan mengingat Aceh sebagai wilayah Serambi Mekah yang memberlakukan syariat Islam. Hal ini tentu menjadi perhatian serius bagi Pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Pemerintah Aceh dalam menyikapi persoalan ini telah mengupayakan penanggulangan penanganan kasus kekerasan terhadap anak dengan membentuk P2TP2A yang berdiri pada tanggal 22 Juli 2003 yang diberi nama P2TP2A Rumoh Putroe Aceh yang berfungsi untuk melayani korban Kekerasan terhadap perempuan (KTP) dan korban Kekerasan terhadap Anak (KTA) serta penyedia data dan informasi penanganan perempuan dan anak korban kekerasan baik fisik, psikis, seksual, trafficking, penelantaran, eksploitasi, KDRT dan lain-lain serta berupaya menerapkan dan meningkatkan kebijakan mutu pelayanan di P2TP2A, termasuk menyediakan sumber daya manusia yang berkompeten untuk mendampingi anak korban kekerasan. Saat ini P2TP2A Provinsi Aceh memiliki 5 (lima) orang tenaga pendamping, 2 (dua) orang psikolog dan 3 (tiga) orang konselor yang sudah terlatih.

Sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 01 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal bagi perempuan dan anak korban kekerasan, P2TP2A Provinsi Aceh berusaha melakukan revitalisasi dan fokus dalam memberikan pelayanan kepada perempuan dan anak korban kekerasan, sehingga pada bulan Desember Tahun 2016 P2TP2A Provinsi Aceh memperoleh sertifikat ISO 9001:2015 dan dinyatakan telah menerapkan sistem manajemen mutu pelayanan di bidang perlindungan perempuan dan anak termasuk dalam memberikan pendampingan

(23)

psikososial melalui komunikasi terapeutik oleh tenaga profesional psikolog dan konselor. Berdasarkan informasi-informasi tersebut di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di P2TP2A Provinsi Aceh.

Proses komunikasi ditunjukkan oleh serangkaian tahapan atau langkah- langkah dimana ada sesuatu yang berubah, proses komunikasi merupakan panduan untuk mewujudkan komunikasi yang efektif. Setiap orang yang mengikuti proses komunikasi akan memiliki kesempatan untuk menjadi lebih produktif dalam dalam setiap aspek profesi mereka. Demi suksesnya proses komunikasi itu, maka diperlukan model untuk menunjukkan cara bagaimana membuat komunikasi menjadi efektif. Model tidak saja menunjukkan elemen- elemen komunikasi tetapi hubungan dan arah hubungan yang menggambarkan rangkaian aktivitas, urutan aktivitas dari awal sampai akhir. Model juga menjadi panduan untuk melihat dimana letak elemen yang rentan pada gangguan dan bagaimana cara mengatasi gangguan tersebut (Liliweri, 2011: 64).

Terdapat banyak model yang ditemukan dalam ilmu komunikasi. Ada model linear, model interaksional, model sirkuit, model transaksional dan selalu ada kemungkinan untuk memperluas model-model komunikasi tersebut karena model-model komunikasi merupakan representasi simbolis dari suatu proses yang nilainya terletak pada penyederhanaan gambaran tentang suatu proses yang kompleks (Liliweri, 2011: 78). Untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana proses komunikasi terapeutik yang efektif antara konselor dengan anak korban kekerasan diperlukan suatu model komunikasi yang didukung oleh komponen komunikasi itu sendiri.

(24)

Merumuskan sebuah model komunikasi menjadi hal yang peting bagi pengembangan wacana akademis serta peningkatan kemampuan profesional praktisi, begitu juga di bidang komunikasi. Menurut Salim (dalam Poerwaningtias dkk, 2013: 25) model mempunyai derajat yang lebih rendah dibandingkan teori.

Perbedaan model dengan teori terletak pada nilai informasi yang berasal dari aras kemujaradannya. Model dibentuk oleh seperangkat dalil rendahan sedangkan teori dibentuk suatu sistem dalil-dalil beraras kemujaradan lebih tinggi. Model mengandung logika deduktif yang dibutuhkan dalam struktur bangunan teori karena model merupakan alat dalam membangun teori. Penelitian ini berusaha merumuskan sebuah model komunikasi terapeutik antara konselor P2TP2A Provinsi Aceh dengan anak korban kekerasan sehingga diharapkan dapat menjadi model komunikasi terapeutik bagi konselor lembaga layanan terpadu yang bergerak dalam menangani korban kekerasan.

1.2. Fokus Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, yang menjadi fokus masalah dalam peneliti ini adalah:

a. Bagaimana pelaksanaantahapan-tahapan komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh?

b. Apa saja faktor pendukung dan penghambat komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh?

c. Bagaimana model komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh?

(25)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Untuk menganalisistahapan-tahapan komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh.

b. Untuk menganalisis faktorpendukung dan penghambat komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh.

c. Untuk menemukanmodel komunikasi terapeutik dalam pendampingan anak korban kekerasan di P2TP2A Provinsi Aceh.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan ilmu pengetahuan dan menjadi sumber bacaan khususnya di ruang lingkup ilmu komunikasi.

b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menambah bahan bacaan akademik yang berguna untuk dijadikan pedoman bagi civitas akademika terkait dengan teori dan model komunikasi khususnya komunikasi terapeutik.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan yang positif khususnya bagi lembaga yang memiliki andil besar dalam melakukan pendampingan dan konseling bagi anak korban kekerasan serta orangtua yang anaknya menjadi korban kekerasan.

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Paradigma Penelitian

Wimmer & Dominick dalam Kriyantono (2012:48) menyebut paradigma sebagai seperangkat teori, prosedur dan asumsi yang diyakini tentang bagaimana peneliti melihat atau memandang dunia.Paradigma didasarkan pada aksioma- aksioma,pernyataan-pernyataan yangsecara universal diterima sebagaisuatu kebenaran. Paradigma memilikikedudukan yang penting karenaberkaitan dengan pemilihan metode-metode penelitian tertentu. Selanjutnya Bryman (dalam Raharjo, 2011: 3) menjelaskan bahwa paradigma merupakan sebuah istilahyang berasal dari sejarah ilmu, digunakanuntuk menerangkan kumpulankeyakinan dan mengarahkan penelitiuntuk memahami apa yang seharusnyaditeliti, bagaimana penelitian seharusnya dilakukan dan bagaimanahasil-hasil penelitian seharusnya diinterpretasikan.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Pandangan konstruktivis biasanya memandang secara subjektif. Manusia berbeda dengan suatu benda. Manusia dianggap bebas dan aktif dalam berperilaku dan memaknai realitas sosial. Realitas merupakan hasil interaksi antar individu, jika kaum objektif memandang realitas sosial adalah teratur, dapat diramalkan dan relatif tetap, kaum subjektif memandang realitas sosial bersifat cair dan mudah berubah karena interaksi manusia. Pandangan subjektif menekankan pada penciptaan makna, artinya individu melakukan pemaknaan terhadap perilaku yang terjadi.

Hasil pemaknaan ini merupakan pandangan manusia terhadap dunia sekitar

(27)

(Kriyantono, 2012:55). Paradigma konstruktivis dapat dijelaskan melalui empat dimensi yaitu:

1) Ontologis: realitas merupakan konstruksi sosial kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial;

2) Epistemologis: pemahaman tentang suatu realitas atau temuan suatu penelitian merupakan produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti;

3) Axiologis: nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian. Peneliti sebagai passionate participant, fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku sosial. Tujuan penelitian lebih kepada rekonstruksi realitas sosial dialketis antara peneliti dengan pelaku sosial yang diteliti;

4) Metodologis: menekankan empati dan interaksi dialektis antara peneliti dengan responden untuk merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif.

Peneliti menggunakan paradigma konstruktivis karena dianggap mampu melihat realitas sosial untuk mengetahui pengalaman-pengalaman dalam proses komunikasi terapeutik yang telah dilakukan konselor dan anak korban kekerasan sehingga dapat menghasilkan pemaknaan dari pengalaman-pengalaman tersebut.

2.2. Penelitian Sejenis Terdahulu

Terdapat beberapa kajian terdahulu yang relevan dengan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini dan menjadi sumber rujukan bagi peneliti, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Mashunan, mahasiswa UIN Sunan

(28)

Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Komunikasi Terapeutik Pekerja Sosial Medis Terhadap Klien Skizofrenia”. Penelitian ini ingin melihat bagaimana komunikasi terapeutik serta hambatan komunikasi terapeutik Pekerja Sosial Medis dengan klien skizofrenia sebagaimana pekerja sosial merupakan profesi yang memberikan pertolongan kepada manusia atau klien untuk menghadapi, mengatasi dan memecahkan masalahnya.

Metode yang digunakan dalam pnelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan metode pengumpulan data observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan oleh Miles dan Huberman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang perlu dipastikan seorang pekerja sosial dalam melakukan komunikasi terapeutik antara lain keterampilan mendengarkan (yaitu perilaku attending, paraphrasing, clarifying), keterampilan berbicara (yaitu eksplorasi, directing, summarizing), keterampilan mengatasi konflik (yaitu contactingskill, reassuring skills, developing action alternative), keterampilan dalam perubahan perilaku (yaitu modelling, rewarding skills, contracting skills) serta komunikasi verbal (jelas dan sederhana, pemilihan kata-kata yang tepat, intonasi, kecepatan berbicara, humor) dan non verbal (mengatur kontak mata, ekspresi wajah, emosi, gerak isyarat, sikap badan dan sentuhan).

Penelitian selanjutnya dengan judul “Komunikasi Terapeutik antara Perawat dan Pasien Penyakit Kejiwaan akibat Perilaku Kekerasan” yang dilakukan oleh Aulia Pratiwi, mahasiswa Universitas Bina Darma. Peneliti tertarik untuk meneliti dan membahas komunikasi terapeutik yang diterapkan rumah sakit

(29)

jiwa, karena menurut peneliti, penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit jiwa lebih rumit dan menantang dari pada rumah sakit biasa. Penelitian ini menggunakan metode deskriptf kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara tidak terstruktur dan dokumentasi. Teknik analisis data melalui pengolahan data mengorganisasikannya, memilih dan mengaturnya kedalam unit-unit, mengsintesiskannya, mencari pola-pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang akan dipaparkan mengenai penerapan komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh perawat Rumah Sakit Jiwa

Penelitian ini memberikan hasil bahwa dalam melakukan komunikasi terapeutik ada banyak hal yang perlu dipahami seorang perawat, Pada tahap orientasi dimulai dengan melakukan pendekatan antara perawat dengan pasien sehingga terbangun kepercayaan pasien kepada perawat. Selain itu, diperlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan perawat agar memberikan dampak terapeutik bagi pasien. Komunikasi juga akan memberikan dampak terapeutik bila dalam penggunaannya diperhatikan sikap dan teknik komunikasi terapeutik. Hal lain yang cukup penting diperhatikan adalah dimensi hubungan. Dimensi ini merupakan faktor penunjang yang sangat berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan berhubungan terapeutik.

Selanjutnya penelitian yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa FISIP Unsyiah dengan judul “Proses Komunikasi Terapeutik dalam Kegiatan Rehabilitasi PecanduNarkoba” yang bertujuan untuk mengetahui proses komunikasi terapeutik yang dilakukan konselor di Yayasan Harapan Permata Hati Kita (YAKITA) Aceh dalam rangka rehabilitasi pecandu narkoba. Penelitian ini

(30)

merupakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan ada 2 yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari informan yang bersangkutan dengan melakukan wawancara sementara data sekunder dilakukan dengan penelitian kepustakaandan pencatatan dokumen.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik menggunakan 4 (empat) tahapan komunikasi (pra-interaksi, orientasi. Kerja dan evaluasi). Tahap kerja merupakan tahap inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Pada tahap tersebut konselor memberikan jalan keluar untuk menyelesikan masalah adiksi klien. Program pemulihan yang di berikan kepada klien YAKITA Aceh adalah dengan menggunakan metode 12 Langkah NA (Narcotics Anonymous) sebagai alat komunikasi terapeutik. NA adalah persaudaraan masyarakat yang terdiri dari pria dan wanita yang mempunyai masalah yang besar terhadap narkoba. 12 langkah secara garis besar memuat tentang prinsip-prinsip spiritual yang dapat membantu pecandu untuk menjalankan pemulihan.

Penelitian dengan judul Pola Komunikasi Terapeutik Perawat dan Pasien Hemodialisis, sebuah studi deskriptif yang termuat dalam jurnal Mediator oleh Rini Rinawati yang bertujuan untuk memperoleh gambaran atau memahami mengenai pola komunikasi terapeutik melalui perilaku verbal dan nonverbal yang dilakukan para perawat terhadap pasien penderita gagal ginjal kronik dalam proses hemodialisis (cuci darah) di rumah sakit.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yang objektif yaitu penelitian yang bernuansa kuantitatif namun data digali secara kualitatif dan sebagai konsekuensinya data yang dianalisis seluruhnya berupa data kualitatif. Metode

(31)

pengumpulan data berupa observasi, wawancara formal, wawancara informal dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi terapeutik dalam pelayanan perawatan mempunyai peran yang besar terhadap peningkatan pengetahuan pasien terhadap penyakit. Interaksi perawat dan pasien memfasilitasi proses transfer pengetahuan maupun informasi tambahan yang belum dimengerti oleh pasien. Pola komunikasi terapeutik hemodialisis yang terlihat dari penelitian ini adalah dengan memaksimalkan komunikasi verbal dan nonverbal.

Penelitian yang relevan selanjutnya berjudul “Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Anak dan Orangtua” oleh Mahasiswa FISIP Universitas Diponegoro, Ilya Putri Redhian. Penelitian ini ingin melihat bagaimana komunikasi terapeutik yang diterapkan pada anak karena dalam memberikan asuhan keperawatan anak berbeda dengan komunikasi terapeutik yang diterapkan pada pasien dewasa, dibutuhkan teknik dan cara yang berbeda dalam menerapkan komunikasi terapeutik terhadap pasien anak, selain itu juga diperlukan orangtua sebagai pendamping yang bisa memberikan banyak informasi tentang si anak.

Pendampingan orangtua perlu sekali apalagi di tahap-tahap perkenalan. Jika pasien sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik perawat tanyakan langsung pada anak tapi jika tidak bisa, maka langsung ke orangtuanya, seringkali perawat melakukan komunikasi pada orangtua pasien anak. Teknik yang digunakan perawat adalah teknik bermain, karena ini yang dianggap paling efektif. Cara komunikasi terapeutik yang perawat terapkan seperti posisi badan, jarak interaksi, nada bicara, melakukan sentuhan dan mengalihkan aktivitas cukup sering dilakukan perawat saat menghadapi pasien anak.

(32)

John Royle Candi, mahasiswa Universitas Telkom melakukan penelitian tentang proses komunikasi terapeutik dalam hipnoterapi. Metode penelitian yang digunakan oleh penelitian dalam melaksanakan penelitian ini yaitu penelitian kualitatifdengan pendekatan deskriptif. Metode ini dilakukan berdasarkan pengalaman yang dialami oleh peneliti dalamkehidupan yang sedang dijalani saat ini.Peneltian ini menggunakan metode pengumpulan data observasi dan wawancara. Teknik analisis data dilakukan melalui empat tahap yaitu bracketing, adalah proses mengidentifikasi dengan “menunda” setiap keyakinan dan opiniyang sudah terbentuk sebelumnya tentang fenomena yang sedang diteliti.

Intuition, terjadi ketika seorang peneliti tetap terbuka untuk mengaitkan makna- maknafenomena tertentu dengan orang-orang yang telah mengalaminya.

Analysing, analisis melibatkan proses seperti coding (terbuka, axial, dan selektif), kategorisasisehingga membuat sebuah pengalaman mempunyai makna yang penting dan decribing, yakni menggambarkan. Pada tahap ini, peneliti mulai memahami dan dapatmendefinisikan fenomena menjadi “fenomenon” (fenomena yang menjadi).

Penelitian ini memberikan hasil bahwa seorang hipnoterapis dalam melakukan konseling perlu melewati beberapa fase komunikasi terapeutik, dimulai dengan fase pra-induksi, fase induksi dimana klien dibawa ke alam bawah sadar, fase prosedur terapeutik dimana terapis memberikan sugesti kepada klien agar sembuh dari permasalahan psikologisnya, fase terminasi dan terakhir fase dimana terapis memberikan terapi khusus kepada klien yang disebut fase post hypnotic. Dalam membangun hubungan interpersonal yang baik antara terapis dan klien, terapis harus masuk ke dalam permasalahan yang dialami klien agar empati

(33)

terapis dapat terbentuk serta perlu menyamakan persepsi antar keduanya agar komunikasi terapeutik berjalan lancar.

Penelitian lainnya oleh Dewi (2015) yang melakukan penelitian untuk melihat bagaimana komunikasi terapeutik konselor laktasi terhadap klien relaktasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, menggunakan teori interaksi simbolik dan self-disclosure sebagai perspektif dalam menganalisa fenomena kasusnya. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses komunikasi terapeutik konselor laktasi terdiri dari tiga tahapan yaitu tahap pembinaan hubungan baik, tahap pengumpulan informasi dan tahap penyelesaian masalah. Ada sepuluh teknik komunikasi yang digunakan konselor dalam konseling relaktasi yaitu:

komunikasi nonverbal, mendengarkan, mengajukan pertanyaan, menggunakan respons sederhana, berempati, menghindari kata-kata menghakimi/menilai, menerima apa yang klien pikirkan, mengenali dan memuji, memberikan informasi yang relevan, dan terakhir memberikan saran. Hasil penelitian juga memberikan gambaran model komunikasi terapeutik antara konselor dan klien sebagai berikut:

Gambar 2.1

Model Komunikasi Terapeutik Konselor Laktasi dan Klien Relaktasi (Dewi, 2015)

(34)

Penelitian sejenis lainnya, disertasi dari UIN Sumetara Utara yang berjudul “Komunikasi Terapeutik Dokter dan Paramedis terhadap Kepuasan Pasien dalam Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Bernuansa IslamiDi Kota Medan” oleh Nina Siti Salmiah Siregar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk komunikasi terapeutik yang dilakukan dokter dan paramedis pada fase orientasi, fase kerja (working) dan fase penyelesaian (termination) terhadap kepuasan pasien rawat inap pada rumah sakit bernuansa Islami di Kota Medan (Rumah Sakit Haji Medan, Rumah Sakit Islam Malahayati dan Rumah Sakit Muhammadiyah Sumatera Utara), untuk mendeskripsikan penerapan prinsip- prinsip Komunikasi Islam dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh dokter dan paramedis atau perawat terhadap pasien guna untuk menemukan model komunikasi terapeutik Islami dengan penerapan prinsip Komunikasi Islam.

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara mendalam, studi kepustakaan dan dokumentasi. Data diproses menggunakan model Miles dan Huberman, yaitu melalui tiga langkah, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian diketahui bahwa bentuk-bentuk komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh dokter dan paramedis atau perawat terhadap pasien pada fase orientasi, fase kerja (working) dan fase penyelesaian (termination) adalah melalui komunikasi interpersonal dengan penyampaian pesan melalui bentuk komunikasi verbal, komunikasi tertulis, dan komunikasi nonverbal. Model komunikasi terapeutik dokter dan paramedis atau perawat terhadap kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan pada rumah sakit bernuansa Islami di Kota Medan yang direkomendasikan dalam penelitian ini adalah model komunikasi

(35)

terapeutik yang berlandaskan prinsip-prinsip komunikasi Islam (Qaulan Sadida, Qaulan Ma’rufa, Qaulan Karima, Qaulan Layyina dan Qaulan Maysura) seluruh kegiatan komunikasi terapeutik baik pada fase orientasi atau tahap awal, fase kerja atau tahap working, dan pada tahap terminasi atau fase akhir.

Penelitian relevan lainnya oleh Arif Wibawa, Yenni Sri Utami dan Siti Fatonah yang termuat dalam Jurnal Aspikom yang bertujuan untuk menemukan model komunikasi efektif konselor di lapas Narkotika Kelas II A Sleman, Yogyakarta dalam merehabilitasi narapidana narkoba. Mengetahui gambaran penerapan modelkomunikasi tersebut peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian dilakukandengan metode multiangulasi yang melibatkanbeberapa metodeyaitu: studi pustaka atau literature, wawancara (indept interview), diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion)dan observasi

lapangan.

Hasil penelitian ini menemukan pola komunikasi dan pembinaan dalam rehabilitasi pengguna narkotika di lapas Klas II A Yogyakarta terdiri dari dua pola. Pertama,pola komunikasi informal dan pola komunikasi formal. Konsep kedua yang dilakukan adalahdengan konsep terapeutic community, suatu metode rehabilitasi sosial yang ditujukan kepada korban penyalahguna napza. Konsep ini masih baru dikembangkan di Lapas Klas II A Yogyakarta.Pola komunikasi yang telah berhasil diidentifikasi bertujuan membentuk warga binaan menjadimanusia yang kembali utuh setelah ketergantungannya terhadap narkoba, pembinaan kesadaranhukum, reintegrasi warga binaan dengan masyarakat, pembinaan keterampilan kerja, dan bimbingankonseling serta program rehabilitasi.

(36)

Beberapa penelitian di atas memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang dibahas dalam proposal ini. Persamaannya terdapat pada objek penelitian yaitu sama-sama mengkaji komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh petugas kesehatan baik itu fisik maupun mental (perawat, konselor, terapis) dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan perbedaannya terdapat pada aspek lain yang ingin dikaji. Penelitian ini mengkaji bagaimana komunikasi terapeutik pada anak korban kekerasan yang mengalami trauma psikis sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagaimana proses komunikasi terapeutik yang dilakukan seorang konselor atau pendamping sesuai dengan keahlian yang mereka miliki.

2.3. Uraian Teori

2.3.1. Komunikasi Kesehatan

Komunikasi kesehatan secara umum didefinisikan sebagai segala aspek dari komunikasi antarmanusia yang berhubungan dengan kesehatan. Komunikasi kesehatan secara khusus didefinisikan sebagai semua jenis komunikasi manusia yang isi pesannya berkaitan dengan kesehatan. Definisi ini menjelaskan bahwa komunikasi kesehatan dibatasi pada pesan yang dikirim atau diterima, yaitu ragam pesan berkaitan dengan dunia kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi (Roger, 1996: 15).

Komunikasi kesehatan merupakan proses komunikasi yang melibatkan pesan kesehatan, unsur-unsur atau peserta komunikasi. Dalam komunikasi kesehatan berbagai peserta yang terlibat dalam proses kesehatan antara dokter, pasien, perawat, profesional kesehatan atau orang lain. Pesan khusus dikirim

(37)

dalam komunikasi kesehatan atau jumlah peserta yang terbatas dengan menggunakan konteks komunikasi antarpribadi dan konteks komunikasi massa dalam rangka mempromosikan kesehatan kepada masyarakat luas yang lebih baik.

Seperti semua jenis komunikasi antar manusia, komunikasi kesehatan dapat mengambil berbagai bentuk dan terjadi dalam konteks yang berbeda. Perbedaan dasar dalam semua komunikasi antar manusia seperti komunikasi verbal dan nonverbal. Dalam konteks komunikasi antarpribadi dapat dilakukan secara lisan atau melalui penggunaan ragam media, yang menggunakan pesan bahasa tertulis atau lambing/simbol. Komunikasi antarpribadi ini sering dilakukan antara dua orang atau dalam kelompok kecil. Komunikasi ini seperti biasanya sifatnya transaksional dalam lingkungan sosial, dalam arti bahwa individu yang terlibat saling mempengaruhi, dipengaruhi dan memberikan kontribusi (Arianto. 2013).

2.3.2. Komunikasi Antarpribadi

Teori utama yang digunakan pada penelitian ini adalah teori komunikasi antarpribadi. Devito (1997: 23) menyebutkan komunikasi antarpribadi adalah peristiwa komunikasi dan interaksi dengan orang lain, untuk mengenal orang lain dan diri sendiri dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain yang mengacu pada tindakan, oleh satu orang ataulebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan adakesempatan untuk melakukan umpan balik.

Pola komunikasi antarpribadi yang dikemukakan oleh Devito terlihat dalam gambar berikut ini:

(38)

Gambar 2.2 Pola komunikasi antarpribadi (Devito, 1997)

Komunikasi antarpribadi berisi elemen-elemen yang ada disetiap aktivitaskomunikasi antarpribadi. Dari bagan tersebut dapat diidentifikasi beberapa unsur dari komunikasi antarpribadi dan bagaimana suatu proses komunikasi antarpribadi terjadi. Suatu proses komunikasi antarpribadi terjadi ketikasumber (source/encoder) mengirimkan pesan (messages) melalui suatusaluran (channels) kepada penerima (receiver/decoder) yang dapat memberikanumpan balik (feedback), pada proses pengiriman pesan maupun umpan balik, terdapat gangguan atau hambatan (noise) yang dapat merusak atau merubah isi pesanyang dikirimkan.

Komunikasi antarpribadimenurut Joseph A. Devito (1997:43) harus memiliki prinsip-prinsip antara lain keterbukaan(openess), empati (emphaty), sifat mendukung (supportiveness), sikap positif(positiveness) dan kesetaraan (equality).Keterbukaan adalah kemauan menanggapi dengan senanghati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.Empatiadalah

Konteks (lingkungan)

Source/

encoder

Source/

encoder

Receiver/

decoder

Receiver/

decoder Noise

Feedback

Feedback (Feedback)

Message/

channel

(Feedback) Message/

channel

(39)

kemampuan seseorang untukmengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, darisudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.

Dukungan adalah situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung.Rasa Positif adalah jika seseorang memiliki perasaanpositif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi danmenciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.Kesetaraan artinya komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bilasuasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belahpihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untukdisumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positiftak bersyarat kepada individu lain.

2.3.2.1.Komunikasi Terapeutik

Menurut Homby (dalam Nasir dkk, 2009: 142) terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni dan penyembuhan. Hal ini menggambarkan bahwa proses komunikasi terapeutik dimulai dari pengkajian, menentukan masalah, menentukan rencana tindakan, melakukan tindakan sesuai dengan yang telah direncanakan sampai pada evaluasi yang semuanya itu bisa dicapai dengan maksimal apabila terjadi proses komunikasi yang efektif dan intensif. Hubungan take and give antara perawat dan klien menggambarkan hubungan memberi dan menerima.

(40)

Northouse (dalam Suryani, 2005:13) menjelaskan bahwa komunikasi terapeutik adalah kemampuan atau keterampilan untuk membantu pasien beradaptasi terhadap stres, mengatasi gangguan psikologis dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain. Kalthner, dkk (dalam Mundakir, 2006:115) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik terjadi dengan tujuan menolong pasien yang dilakukan oleh orang-orang yang professional dengan menggunakan pendekatan personal berdasarkan perasaan dan emosi. Didalam komunikasi terapeutik ini harus ada unsur kepercayaan.

Berdasarkan beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik merupakan suatu bentuk komunikasi yang direncanakan oleh seorang profesional untuk tujuan terapi atau penyembuhan atas gejala-gejala psikologis seorang klien dengan adanya keterkaitan emosional antara keduanya.

Para profesional membantu klien mengatasi masalah yangdihadapinya melalui komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannyadipusatkan untuk kesembuhan klien.

2.3.2.1.1. Tujuan Komunikasi Terapeutik

Komunikasi terapeutik sangat penting untuk mengembangkan pribadi klien ke arah yang lebih positif. Suryani (2005:13) menjabarkan tujuan komunikasi terapeutik sebagai berikut:

a) Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri klien. Dengan melakukan komunikasi terapeutik pada klien tersebut, diharapkan perawat

(41)

dapat mengubah cara pandang klien tentang penyakitnya, dirinya, dan masa depannya sehingga klien dapat menghargai dan menerima diri apa adanya.

b) Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling bergantung dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, klien belajar bagaimana menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima klien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan klien dalam membina hubungan saling percaya.

c) Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan yang realistis. Dalam hal ini, peran perawat adalah membimbing klien dalam membuat tujuan yang realistis dan meningkatkan kemampuan klien memenuhi kebutuhan dirinya.

d) Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Dalam hal ini perawat berusaha menggali semua aspek kehidupan klien di masa sekarang dan masa lalu. Kemudian perawat membantu meningkatkan integritas diri klien melalui komunikasinya dengan klien.

2.3.2.1.2. Teknik Komunikasi Terapeutik

Teknik komunikasi terapeutik menurut Stuart dan Sundeen dalam Uripni (2003:46) antara lain mendengarkan dengan penuh perhatian, menunjukkan penerimaan, menanyakan pertanyaan yang berkaitan, mengulang ucapan klien dengan kata-kata sendiri, melakukan klarifikasi atas pernyataan klien, fokus, memberikan umpan balik kepada klien dengan menyatakan hasil pengamatannya, memberi tambahan informasi atas tindakan untuk klien, memberikan kesempatan kepada perawat dan pasien untuk mengorganisasi pikirannya, meringkas ide

(42)

utama yang telah dikomunikasikan, memberikan penghargaan kepada klien, menyediakan diri tanpa ada respon bersyarat atau respon yang diharapkan, memberi kesempatan klien untuk memulai pembicaraan, memberi kesempatan kepada pasien untuk mengarahkan hampir seluruh pembicaraan, menempatkan kejadian dan waktu secara berurutan,menganjurkan klien untuk menguraikan persepsi dan memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakakan dan menerima ide serta perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.

2.3.2.1.3. Prinsip-prinsip Komunikasi Terapeutik

Adapun prinsip-prinsip komunikasi terapeutik menurut Pieter (2017: 157) antara lain:

a) Hubungan terapeutik adalah hubungan yang saling menguntungkan didasarkan pada prinsip humanity of nurses and clients. Hubungan ini tidak hanya sekadar hubungan seorang penolong dengan pasien tetapi hubungan antara manusia yang bermartabat.

b) Komunikator harus menghargai keunikan komunikan (klien), menghargai perbedaan karakter, memahami perasaan dan perilaku klien.

c) Semua komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri baik pemberi maupun penerima pesan.

d) Komunikasi yang menciptakan tumbuhnya hubungan saling percaya (trust) harus dicapai terlebih dahulu sebelum menggali permasalahan dan memberikan alternative pemecahan masalah. Hubungan saling percaya antara komunikator dan komunikan merupakan kunci dalam komunikasi terapeutik.

(43)

2.3.2.1.4. Tahapan Komunikasi Terapeutik

Tahapan komunikasi terapeutik, siklus atau langkah-langkah yang harus dilakukan dalam komunikasi terapeutik terdiri dari 4 tahap yaitu tahap prainteraksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja dan tahap terminasi (Nasir dkk, 2009: 172-175).

Tahap prainteraksi merupakan tahap sebelum terjadi pertemuan dengan klien. Petugas terlebih dahulu menggali kemampuan yang dimiliki sebelum kontak atau berhubungan dengan klien termasuk kondisi kecemasan yang menyelimuti diri petugas sehingga terdapat dua unsur yang perlu dipersiapkan dan dipelajari pada tahap prainteraksi yaitu unsur diri sendiri dan unsur dari pasien.

Dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang dipelajari dari diri sendiri adalah pengetahuan yang dimiliki terkait dengan penyakit atau masalah klien, kecemasan diri, analisis kekuatan diri dan waktu pertemuan baik saat pertemuan maupun lama pertemuan. Hal-hal yang dipelajari dari unsur pasien adalah perilaku pasien dalam menghadapi masalahnya adat istiadat dan tingkat pengetahuan.

Tahap perkenalan atau orientasi adalah kegiatan pertemuan pertama kali dan membuat kontrak dengan klien. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien antara lain: tempat, waktu pertemuan dan topik pembicaraan. Tugas perawat dalam tahap perkenalan adalah (1) membina hubungan rasa saling percaya dengan menunjukkan penerimaan dan komunikasi terbuka dan (2) memodifikasi lingkungan yang kondusif dengan peka terhadap respon klien dan menunjukkan penerimaan serta membantu klien mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Tahap yang paling lama diantara tahap lainya adalah tahap kerja. Petugas dan klien bertemu untuk menyelesaikan masalah dan membentuk hubungan yang

(44)

saling menguntungkan secara profesional, yaitu mencapai tujuan yang ditetapkan.

Pada fase ini petugas memiliki kebutuhan dan mengembangkan pola-pola adaptif klien, Memberi bantuan yang dibutuhkan klien, mendiskusikan dengan teknik untuk mencapai tujuan. Harus ada persamaan persepsi, ide dan pikiran antara klien dan petugas dalam melaksanakan tindakan untuk mencapai tujuan akhir yang dapat mempercepat proses kesembuhan klien sehingga diperlukan adanya kemandirian sikap dari klien dalam mengambil keputusan.

Tahap terminasi dimulai ketika klien dan petugas memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan klien. Pada tahap ini petugas mengevaluasi pencapaian tujuan dari interaksi yang telah dilaksanakan, menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan dan membuat pertemuan berikutnya kalau diperlukan.Kegiatan yang dilakukan dalam tahap terminasi adalah (1) evaluasi subjektif yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi suasana hati setelah terjadi interaksi dengan klien. Kegiatan ini penting dilakukan agar petugas tahu kondisi psikologis klien dalam rangka menghindarkan klien dari sikap defensive ataupun menarik diri, (2) evaluasi objektif yaitu kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi respon objektif terhadap hasil yang diharapkan dari keluhan yang dirasakan, (3) tindak lanjut, merupakan kegiatan yang dilakukan dengan menyampaikan pesan kepada klien mengenai lanjutan dari kegiatan yang telah dilakukan.

2.3.2.1.5. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Komunikasi Terapeutik Kariyoso (dalam Purwoastuti dan Walyani, 2015:54) mengklasifikasikan faktor-faktor yang mendukung dari komunikasi ditinjau dari komunikator

(45)

mencakup kecakapan komunikator, sikap komunikator, pengetahuan komunikator, sistem sosial, pengarah komunikasi dan diitinjau dari komunikan meliputi kecakapan, sikap, pengetahuan, sistem sosial dan saluran (pendengaran, penglihatan) dari komunikasi.

Ada beberapa hambatan yang mungkin terjadi ketika menjalin komunikasi dua arah, antara lain dari faktor bahasa, budaya, kesalahpahaman, sisi historis atau pengalaman serta adanya yang mendominasi percakapan Damaiyanti dalam Prasanti dan Fuady (2017:8). Menurut Muhammad dalam prasanti dan Fuady (2017:7), secara umum hambatan dalam komunikasi dapar diklasifikasikan menjadi tiga yaitu hambatan pribadi (psikologis), hambatan fisik dan hambatan semantik.

Hambatan pribadi adalah gangguan komunikasi yang timbul dari emisi, nilai dan kebiasaan menyimak yang tidak baik. Hambatan pribadi seringkali mencakup jarak psikologi diantaranya orang-orang yang serupa dengan jarak fisik sesungguhnya.Hambatan fisik adalah gangguan komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat berlangsungnya komunikasi dan hambatan semantik adalah hambatan ini berasal dari keterbatasan simbol-simbol itusendiri. Ada beberapa karakteristikdari bahasa yang menyebabkan proses decoding dalam bahasa semakin sulit antara lain karena bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis, bahasa itu terbatas sedangkan realitasnya tidak terbatas dan bahasa itu bersifat abstrak.

(46)

2.3.2.2. Komunikasi Verbal dan Nonverbal

Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan kesehatan adalah dengan pertukaran infomasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka yang menggunakan bahasa. Melalui bahasa, seseorang akan mengomunikasikan dan menginterpretasikan kata secara verbal sehingga bahasa dapat didefenisikan sebagai sebuah perangkat kata yang telah disusun secara berstruktur sehingga menjadi himpunan kalimat yang mengandung arti dan memiliki fungsi untuk mempelajari tentang dunia sekeliling, membina hubungan yang baik antara sesama manusia dan menciptakan ikatan dalam kehidupan manusia (Cangara, 2011: 101).

Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter (dalam Mulyana, 2003:308), komunikasi nonverbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan pengguna lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima. Hal ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan.

Cangara (2011: 105) menyatakan bahwa penyampaian kode nonverbal biasa disebut juga bahasa isyarat atau bahasa diam (silent language).

Penyampaian kode nonverbal tersebut merupakan cara yang paling efektif dan meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Apabila terjadi pertentangan antara apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat, seseorang akan cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat kode noverbal daripada kode verbal.

(47)

Ada beberapa bentuk komunikasi nonverbal diantaranya:

1) Kinesics/Gerakan Tubuh; gerakan tubuh merupakan perilaku nonverbal dimana komunikasi terjadi melalui gerak tubuh seseorang atau bagian-bagian tubuh. Gerakan tubuh meliputi kontak mata, ekspresi wajah, gerak-isyarat, postur atau perawakan dan sentuhan (Budyatna & Ganiem, 2012: 125).

2) Paralanguage (Parabahasa); parabahasa atau vokalika (vocalics), merujuk pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat dipahami, misalnya kecepatan berbicara, nada (tinggi atau rendah), intensitas (volume) suara, intonasi, kualitas vokal (kejelasan), warna suara, dialek, suara serak, suara sengau, suara terputus-putus, suara yang gemetar, suitan, siulan, tawa, erangan, tangis, gerutuan, gumaman, desahan, dan sebagainya. Setiap karakteristik suara ini mengkomunikasikan emosi dan pikiran kita.

3) Penggunaan Ruang

a. Proksemik; proksemik merupakan studi mengenai ruang informal – ruang di sekitar tempat yang kita gunakan suatu saat. Mengelola ruang informal memerlukan pemahaman mengenai sikap terhadap ruang dan wilayah pribadi (Budyatna & Ganiem, 2012: 134). Edwadt T. Hall (dalam Budyatna & Ganiem, 2012) berpendapat bahwa budaya Amerika Serikat yang dominan empat jarak yang berbeda dianggap nyaman dan bergantung pada sifat pembicaraannya, yaitu:

(1) Jarak akrab atau intimate distance, samapi 50 cm dianggap tepat untuk pembicaraan antara dua sahabat akrab.

(2) Jarak pribadi atau personal distance, dari 50 cm sampai dengan 125cm merupakan jarak untuk pembicaraan yang terjadi secara kebetulan.

(48)

(3) Jarak sosial atau social distance, dari 125 cm – 4 m, untuk urusan bisnis seperti mewawancarai seorang calon pegawai.

(4) Jarak umum atau public distance mengenai apa saja lebih dari 4 m.

b. Wilayah; wilayah disebut juga dengan teritorial mengacu pada ruang dimana kita menuntut kepemilikan wilayah itu. Adakalanya kita tidak menyadari cara-cara kita menuntut ruang itu sebagai milik kita dan dalam hal lain kita berusaha keras menggunakan tanda-tanda yang nyata mengenai wilayah kita.

4) Penampilan Fisik; penampilan fisik meliputi bentuk tubuh, ciri-ciri fisik seperti rambut, mata dam pilihan-pilihan kita mengenai pakaian, merawat diri dan merias tubuh. Ukuran dan bentuk tubuh seseorang memancarkan pesan- pesan yang kuat dalam manusia berinteraksi. Ciri-ciri fisik seperti tinggi badan, berat badan, warna kulit, warna rambut dan gaya bersisir serta bentuk wajah mengandung pesan-pesan nonverbal. Orang memberikan kesan mengenai orang lain berdasarkan ciri-ciri semua ini.

2.3.1.3. Self Disclosure

Laurence, Pietromonaco & Breet (dalam Wei, M., Russel, & Zakalik, 2005:603) mengatakan bahwa self disclosure is an important tool that is used to get know new people. And can be used by freshmen to build friendships in e new environment. Menurut Wei, M., Russel, & Zakalik, dkk (2005:602) “Self- disclosure refers to individual’s the verbal communication of personality relevant information, thoughts, and feelings in order to let themselves be know to others”, bahwa self disclosure merupakan komunikasi verbal yang dilakukan seseorang

(49)

mengenai informasi kepribadian yang relevan, pikiran dan perasaan yang disampaikan, agar orang lain mengetahui tentang dirinya.

Teori self disclosuresering disebut teori “Johari Window” atau Jendela Johari yang merupakan sebuah teori yang diciptakan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham pada tahun 1955. Dalam Johari Windowdiungkapkan tingkat keterbukaan dan kesadaran tentang diri yang dibagi dalam empat kuadran.

1) Kuadran satu/open area; daerah ini berisikan semua informasi, perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, gagasan, dan sebagainya yang diketahui oleh diri sendiri dan orang lain.

2) Kuadran dua/blind area; daerah ini merujuk pada perilaku, perasaan, dan motivasi yang diketahui oleh orang lain, tetapi tidak diketahui oleh diri sendiri.

3) Kuadran tiga/hidden area; daerah ini merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang diketahui oleh diri sendiri tetapi tidak oleh orang lain.

4) Kuadran empat/unknown area; daerah ini merujuk kepada perilaku, perasaan, dan motivasi yang tidak diketahui oleh diri sendiri maupun orang lain.

Gambar 2.3 Jendela Johari

(50)

Penggunaan terori self disclosure dalam penelitian ini menerangkan bahwa dalam pengembangan hubungan konselor dan klien terdapat empat kemungkinan sebagaimana terwakili melalui keempat jendela tersebut. Tugas seorang konselor sangatlah penting dalam menggali dan mengungkap permasalahan klien dengan memperbesar open area klien. Dengan teknik komunikasi terapeutik konselor mampu menciptakan kondisi agar klien bersikap terbuka dan memperkecil hidden areanya.

2.3.3. Model Komunikasi

Secara garis besar, model dikelompokkan atas dua bagian, yakni (a) model operasional, yaitu model yang menggambarkan suatu proses dengan cara melakukan pengukuran atau proyeksi kemungkinan-kemungkinan operasional terhadap hasil maupun faktor-faktor lain yang mempengaruhinya; dan (b) model fungsional, yaitu model yang berfungsi untuk menspesifikasikan hubungan- hubungan tertentu di antara berbagai unsur dari suatu proses serta menggeneralisasikannya menjadi hubungan-hubungan baru. Model fungsional banyak digunakan dalam kegiatan-kegiatan ilmu pengetahuan terutama kajian yang menyangkut perilaku manusia (Pieter, 2017: 38).

David Crystal dalam bukunya A Dictionary of Linguistic & Phonetics (dalam Liliweri, 2011: 78) memodelkan komunikasi melalui definisi komunikasi terjadi ketika informasi informasi yang sama maksudnya dipahami oleh pengirim dan penerima.

(51)

2.3.3.1. Tipe-tipe Model Komunikasi

Berikut ini beberapa model komunikasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada prinsipnya semua model komunikasi itu bersifat saling mendukung.

Artinya, model komunikasi yang satu saling menyempurnakan model komunikasi lainnya.

1). Model Komunikasi SMCR (Model Berlo)

Model Komunikasi Berlo mengatakan bahwa pada proses komunikasi harus memiliki empat komponen komunikasi yaitu:

a. Sumber (source), yang dimaksudkan sebagai sumber dalam proses komunikasi adalah siapa yang memiliki pesan, bagaimana kredibilitas dan kompetensinya.

b. Pesan (message), yaitu pesan yang terkandung dalam proses komunikasi.

c. Saluran (channel), yaitu saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan atau menerima pesan yang berpengaruh terhadap efektivitas dan keberhasilan dari suatu komunikasi.

d. Penerima (receiver), Untuk mendapatkan hasil komunikasi yang efektif maka pesan harus dapat diterima, dipahami, dimengerti dan dapat diolah oleh komunikan.

Gambar 2.6 Model Komunikasi Berlo (Pieter, 2017) SUMBER

1. Keterampilan berkomunikasi 2. Sikap

3. Pengetahuan 4. Sistem sosial 5. Kepribadian

PESAN 1. Elemen 2. Struktur 3. Isi

4. Treatment 5. Kode

SALURAN 1. Penglihatan 2. Pendengaran 3. Sentuhan 4. Senyuman 5. Perasaan

PENERIMA 1. Keterampilan

berkomunikasi 2. Sikap

3. Pengetahuan 4. Sistem sosial 5. Kepribadian

(52)

4). Model Komunikasi Schramm

Model komunikai interaktif diperkenalkan oleh Wilbur Schramm yang menekankan pentingnya kemampuan individu dalam memahami efek komunikasi.

Salah satu faktor penentu adalah “pengalaman” individu ketika ia memberikan makna terhadap simbol-simbol (verbal dan nonverbal). Kesamaan pengalaman, bahasa, budaya, agama, ras, suku bangsa, pendidikan, latar belakang dan sebagainya sangat menentukan apakah informasi (pesan) yang disampaikan dapat diterima dengan baik atau tidak, sesuai atau tidak sesuai sebagaimana apa yang diharapkan penyampai pesan. Model komunikasi Schramm memakai lima unsur dan tiga model dalam proses komunikasi, seperti yang terlihat dalam gambar berikut ini:

Gambar 2.7 Model Komunikasi Schramm (1) (Liliweri, 2010)

Schramm meyakini bahwa kerangka pengalaman dari sumber dan penerima sangat mempengaruhi mereka untuk melakukan encoder dan decoder terhadap signal pesan. Ini berarti pula bahwa jika tingkat kesamaan pengalaman antara pengirim dan penerima terhadap suatu pesan semakin tinggi maka komunikasi akan semakin efektif.

(53)

Gambar 2.8 Model Komunikasi Interaktif Schramm (2) (Pieter, 2017)

Pada model komunikasi Schramm (2) merupakan penyempurnaan dari model pertama dengan menggabungkan unsur source dengan encoder dalam satu aspek dan unsure decoder dengan destination. Model ini melengkapinya dengan adanya unsure field of experience yang akan mempengaruhi proses komunikasi.

Gambar 2.9 Model Komunikasi Interaktif Schramm (3) (Pieter, 2017)

Pada model komunikasi Schramm (3) menjelaskan adanya dua pelaku komunikasi yang melakukan fungsi encoder, interpreter dan decoder. Dalam proses komunikasi ini setiap pelaku komunikasi bertindak sebagai encoder dan decoder. Model komunikasi ini membentuk komunikasi yang aktif, ada umpan balik dari pembawa pesan dan penerima pesan, komunikator dapat bertindak sebagai komunikan dan sebaliknya.

Source Encoder Signal Decoder Destination

Encoder Interpreter Decoder

Encoder Interpreter Decoder Message

Message

Referensi

Dokumen terkait

Motif konselor dalam melakukan komunikasi terapeutik tersebut adalah mendorong klien untuk bisa mengambil keputusan tanpa ada rasa takut, membuat mendorong klien

Kegiatan pemulihan dampak traumatis yang dialami oleh korban. kekerasan seksual membutuhkan komunikasi terapeutik

KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PEREMPUAN KORBAN PERKOSAAN DI LEGAL RESOURCE CENTER KJHAM.

Penelitian ini sangatlah penting untuk diteliti karena dapat mengetahui dan memecahkan permasalahan komunikasi terapeutik antara konselor dan klien penyalahgunaan

Untuk mengetahui proses komunikasi antarpribadi efektif yang dilakukan oleh Pegawai P2TP2A Kabupaten Serdang Bedagai dengan anak korban kekerasan seksual.. Untuk mengetahui

Penelitian ini dilakukan untuk untuk mengkaji bagaimana keterkaitan antara komunikasi persuasif konselor P2TP2A dan kemampuan pribadi konselor dalam memberikan layanan

komunikasi terapeutik di RSU At-Turots Al- Islamy Yogyakarta sebesar 59,4% pada tahap orientasi, 79,1% pada tahap kerja dan 68,5% pada tahap terminasi DAN Persepsi

Tahap kerja merupakan tahap yang terpanjang dalam komunikasi terapeutik karena didalamnya perawat dituntut untuk membantu dan mendukung klien untuk menyampaikan perasaan dan