• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tahapan Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Kekerasan

TEMUAN PENELITIAN

5.1. Tahapan Komunikasi Terapeutik dalam Pendampingan Anak Korban Kekerasan Kekerasan

Komunikasi terapeutik memiliki tahapan-tahapan yang harus dilewati agar hubungan terapeutik dapat tercipta. Hubungan yang terapeutik adalah hubungan yang mana seorang dengan sengaja menggunakan keterampilan berinteraksi untuk memberikan semangat dan mendukung perubahan-perubahan diri yang lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian di P2TP2A Provinsi Aceh, terdapat empat tahapan komunikasi terapeutik yang dilakukan psikolog dan konselor dalam pendampingan anak korban kekerasan yaitu tahap prainteraksi, tahap orientasi atau perkenalan, tahap kerja dan tahap terminasi.

Tahap prainteraksi merupakan tahap sebelum terjadi pertemuan dengan korban dalam hal ini psikolog dan konselor mempelajari terlebih dahulu jenis kasus yang akan mereka dampingi serta karakteristik dari anak korban kekerasan.

Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apa saja yang perlu mereka persiapkan seperti alat tes yang akan digunakan untuk pemeriksaan psikologis atau media yang diperlukan untuk berkomunikasi dengan anak. Selain itu, mengetahui karakteristik dan kebiasaan anak juga dapat memudahkan psikolog dan konselor dalam menggunakan strategi komunikasi ketika bertemu dengan korban. Hal ini senada dengan prinsip dasar komunikasi terapeutik yang dikemukakan oleh Suryani (2005:13) bahwa seorang profesional dalam tahap ini harus memiliki pengetahuan terkait dengan penyakit dan masalah klien sebagai bekal dalam berinteraksi dengan klien serta menghargai keunikan klien karena setiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda, oleh karena itu perlu melihat latar belakang keluarga, budaya dan keunikan setiap individu.

Tahap selanjutnya adalah tahap orientasi atau perkenalan. Tujuan tahap awal ini adalah membangun keakraban dan menyesuaikan dengan situasi dan lingkungan. Psikolog dan konselor pada tahap ini melakukan aktivitas dengan maksud antara lain membina rasa saling percaya, dan menunjukkan penerimaan melalui komunikasi terbuka. Berdasarkan hasil penelitian, tugas psikolog dan konselor dalam tahap ini adalah memperkenalkan diri dengan anak. Pieter (2017:161) mengatakan bahwa dengan memperkenalkan diri berarti seorang profesional telah menunjukkan salah satu sikap terbuka pada klien. Sikap ini diharapkan mendorong klien untuk membuka dirinya.

Hal ini juga yang diharapkan dari tujuan pelaksanaan komunikasi terapeutik dimana korban bisa membuka diri dengan psikolog dan konselor. Pada tahap ini, psikolog dan konselor juga dituntut untuk bisa membangun rasa percaya dan nyaman pada anak korban kekerasan. Memposisikan diri dalam ritmenya anak, menjadi teman cerita anak dan bermain dengan anak bisa menjadi strategi dalam menumbuhkan rasa percaya dan keterbukaan anak. Namun dalam tahap ini psikolog dan konselor tidak bisa merumuskan kontrak pertemuan dengan anak korban kekerasan sebagaimana tugas yang harus dilakukan seorang petugas yang dikemukakan oleh Suryani dalam Nasir (2009:173) yang mengatakan dalam tahap ini seorang petugas harus membuat kontrak dengan klien, hal ini disebabkan oleh perubahan perilaku anak korban kekerasan yang tidak bisa diprediksi waktunya dan kondisi perkembangan kasus yang terjadi di lapangan.

Tahap ketiga dari komunikasi terapeutik konselor dan psikolog dengan anak korban kekerasan adalah tahap kerja. Pada tahap ini dituntut kompetensi psikolog dan konselor dalam mendorong anak mengungkapkan perasaan dan

pikirannya. Jika psikolog dan konselor tidak mempunyai keahlian dalam menggali informasi dari korban maka komunikasi terapeutik tidak akan berhasil. Teknik bermain dan bercerita melalui media gambar merupakan salah satu strategi komunikasi yang bisa digunakan psikolog dan konselor dalam mendorong anak mengungkapkan perasaan dan pikirannya.

Menurut Piaget (dalam Delphie, 2009: 64) proses komunikasi dalam bermain menggunakan suatu bentuk ungkapan. Ungkapan yang bersifat sadar dapat memungkinkan seorang anak memerankan seluruh perasaan dan pikirannya secara penuh kesadaran, tetapi tidak dapt diekspresikan dengan kata-kata.

Begitupula seorang anak dapat mengekspresikan harapan-harapan dan konflik-konflik dirinya yang terpendam dengan bermain. Seorang anak melalui sebuah permainan selalu mengungkapkan pikiran, perasaan dan konflik-konflik yang ada pada dirinya secara tidak sadar. Dalam tahap ini psikolog dan konselor juga harus membantu anak menyelesaikan masalahnya dengan mencarikan alternatif coping yang positif agar tercapainya perubahan perilaku korban seperti yang diharapkan.

Terapi yang diberikan psikolog kepada anak korban kekerasan melalui terapi relaksasi atau modifikasi perilaku dengan terapi behavioral. Menurut para terapis behavioral, kelainan perilaku sebagai kebiasaan yang dipelajari, karena itu dapat diubah dengan mengganti situasi positif yang direkayasa sehingga kelainan perilaku berubah menjadi positif. Pendekatan behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat, dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk membantu gangguan yang diasosiasikan dengan anxietas, stres, asertivitas dan interaksi sosial (Gladding dalam Febrina & Yahya, 2017:8).

Tahap terakhir dari komunikasi terapeutik psikolog dan konselor adalah tahap mengakhiri hubungan dengan klien (korban) atau disebut dengan tahap terminasi. Terminasi dilakukan agar korban menyadari bahwa hubungan yang dibangun dengan psikolog dan konselor merupakan hubungan profesional sehingga korban tidak selalu bergantung kepada konselornya. Tahap terminasi dilakukan jika sudah terlihat perubahan perilaku korban ke arah yang lebih baik atau sudah pada perubahan perilaku yang disepakati di awal dan korban dapat beraktivitas seperti semula. Evaluasi menajdi hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini baik itu evaluasi secara internal administrasi kantor untuk mengetahui perkembangan kasus melalui rapat perkembangan kasuss atau evaluasi atas kondisi korban setelah psikolog dan konselor tidak lagi memberikan pendampingan, mengingat korban kekerasan khususnya anak akan mudah sekali mengalami perubahan perilaku dalam waktu yang tidak bisa diprediksi sebelumnya.

Komunikasi merupakan salah satu instrumen penting dalam membangun dan mempertahankan hubungan dengan anak serta cara untuk memperoleh berbagai data tentang anak yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi anak. Beberapa teknik yang bisa digunakan psikolog dan konselor dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan anak korban kekerasan berdasarkan hasil penelitian ini antara lain:

1) Melalui pihak ketiga; Orangtua merupakan orang yang paling mengetahui lebih banyak tentang kondisi anak dan dapat memantau setiap aktivitas anak.

Psikolog dan konselor dalam hal ini dapat berkomunikasi dengan orangtua untuk mendapatkan informasi-informasi penting tentang anak. Psikolog dan

konselor juga harus memberikan pemahaman kepada orangtua bagaimana mengeduksi anak yang menjadi korban kekerasan.

2) Bercerita dan menggambar; secara psikologis, pada umumnya anak akan lebih antusias dan menyukai bentuk penyampaian pesan melalui cerita dan akan lebih mudah menerima setiap pesan yang disampaikan psikolog dan konselor dan menggambar merupakan salah satu teknik yang bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan yang tersembunyi dalam diri korban.

3) Menggunakan permainan; Usia perkembangan anak adalah usia bermain maka anak seringkali menghabiskan waktu dengan bermain, oleh karena itu psikolog dan konselor melalui P2TP2A harus memiliki ruangan bermain yang dilengkapi dengan fasilitas permainan bagi anak.

4) Mendengarkan; mendengarkan merupakan salah satu teknik dalam komunikasi terapeutik yang bertujuan untuk memberikan rasa aman, stabilitas emosi dan psikologis bagi korban.

Beberapa teknik di atas sebagaimana teknik komunikasi dalam keperawatan anak yang dikemukakan oleh Pieter (2017:192) juga menguatkan hasil penelitian yang berjudul Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Anak yang dilakukan oleh Redhian (2011:10) yang menyatakan bahwa teknik bercerita menggunakan bahasa anak dapat sekaligus menyelidiki perasaan dari pasien anak, juga dengan teknik menggambar anak dapat mengungkapkan tentang dirinya melalui gambar yang dibuat.