• Tidak ada hasil yang ditemukan

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN TUMOR

1. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Diagnosis Banding

dengan konsep sarkoma Ewing yang asli), sedangkan tumor yang terletak di jaringan lunak cenderung menunjukkan berbagai derajat diferensiasi neuroepitelial.16 Kesepakatan diagnostik adalah jika sedikitnya satu marker neuroendokrin positif, maka didiagnosis sebagai TNEP. Akan tetapi, tumpang tindih antara histologi, imunofenotip dan translokasi kromosomal yang dilihat, membenarkan pertimbangan bahwa tumor ini saling terkait sebagai satu kesatuan.3

2.4 Diagnosis Banding

Diagnosis TNEP tidak dibuat berdasarkan satu faktor, tetapi dari gabungan keadaan klinik dan ultrastruktural, imunohistokimia dengan atau tanpa pemeriksaan sitogenetik untuk menyingkirkan neuroblastoma, serta tumor sel bulat kecil yang lain. Neuroblatoma biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda dan dapat dideteksi dengan melihat adanya peningkatan konsentrasi katekolamin dan metabolismenya di dalam urin. Pada pemeriksaan imunohistokimia dengan mikroskop, neuroblastoma menunjukkan elemen sel yang matur, seperti sel-sel ganglion dan neurofil yang tidak ditemukan pada TNEP. Diagnosis banding yang termasuk dalam tumor sel bulat kecil selain neuroblastoma ialah limfoma, rabdomiosarkoma, melanoma dan karsinoma sinonasal tidak berdiferensiasi.4,7

2.5 Penatalaksanaan

Belum ada protokol untuk pengobatan TNEP pada anak, tetapi karena karakteristik tumor yang bersifat maligna dan termasuk dalam kelompok sarkoma Ewing, maka penatalaksanaan TNEP sebaiknya mengacu pada penatalaksanaan sarkoma Ewing, yaitu reseksi dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan untuk memperpanjang angka kelangsungan hidup. Harus dilakukan reseksi tumor secara total, derajat diferensiasi neural tidak mempengaruhi hasil operasi.7,8

Beberapa pengamatan pada pasien sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa pasien dengan tumor yang bersisa minimal atau tanpa sisa setelah menjalani kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang lebih baik.7 Tumor masif yang nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga menunjukkan prognosis yang lebi bai Beberapa penelitia menunjukka hasil ya bai pada pemakaia

kemoterapi seperti vinkristin, doksorubisin dan siklofosfamid yang diberi bergantian dengan ifosfamid dan etoposid. Kombinasi ifosfamid dan etoposid telah menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang lain, menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian dengan siklofosfamid.7,18 Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah terapi, pasien harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji klinik dari Children’s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing

99 (Eropa) menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang

intensif untuk kelompok sarkoma Ewing.7 Radioterapi sebagai terapi tunggal diberikan pada pasien dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk mempertahankan fungsi. Dosis radioterapi pada kelompok sarkoma Ewing yang direkomendasikan pada kasus tumor yang bersisa adalah 45 Gy ditambah 10,8 Gy

booster. Untuk tumor yang bersisa minimal, disarankan 45 Gy ditambah 5,4 Gy booster. Tidak disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak

terbukti adanya tumor sisa setelah dilakukan reseksi.7

2.6 Prognosis

TNEP dikenal sebagai tumor yang sangat agresif dan memiliki kecenderungan untuk bermetastasis dan juga rekuren. Kecenderungan metastasis pada kelompok sarkoma Ewing adalah ke paru (50%), tulang (25%), tulang belakang (20%), kelenjar limfe dan hati.5,18 Angka kelangsungan hidup secara umum tidak baik, angka kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien yang mengalami metastasis adalah 22% dan 55% pada pasien tanpa metastasis. Faktor prognostik tergantung pada letak tumor, ukuran tumor dan ada tidaknya metastasis. Pasien yang berumur kurang dari 15 tahun dan dengan tumor yang terlokalisir memiliki prognosis yang lebih baik. Karena tingginya angka rekurensi, maka pasien harus difollow up secara ketat untuk menemukan secepat mungkin adanya tanda rekurensi dan juga metastasis. Kejadian rekurensi pernah dilaporkan terjadi setelah 17 tahun bebas dari penyakit.5,19

LAPORAN KASUS

Pasien dengan inisial VDAS, perempuan, usia 18 bulan, suku Timor Leste,

datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah pada tanggal 5 Nopember 2016. Pasien dikeluhkan tumbuh benjolan pada hidung sisi kiri sejak 3 bulan sebelum ke rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut kecil lalu semakin lama semakin

membesar. Sejak 2 bulan sebelum ke rumah sakit benjolan meluas hingga keluar melalui lubang hidung sisi kiri serta meluar ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas. Riwayat hidung beringus ada, keluar darah dari hidung ada. Riwayat alergi dan bersin tidak ada. Benjolan pada leher tidak ada. Riwayat kehamilan dan persalinan yaitu usia kehamilan 37 minggu, tidak ada penyakit selama hamil, persalinan normal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, nadi 84x/menit, pernafasan 24x/menit, temperatur aksila 36,5°C. Status lokalis THT-KL, pada pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan hidung didapatkan kavum nasi kanan sempit dan pada kavum nasi kiri tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri, berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2x2 cm . Mukosa hidung kanan merah muda dengan konka dekongesti. Mukosa hidung kiri dan septum sulit dievaluasi. Pemeriksaan tenggorok tampak benjolan pada gusi rahang atas. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Diagnosis kerja pasien saat itu adalah tumor sinonasal sinistra.

Gambar 3.1 Tampak massa penuh menonjol hingga ke nares anterior kiri.

Pemeriksaan penunjang yang selanjutnya dilakukan berupa CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal dengan kesan bulging solid mass pada kavum nasi kiri yang meluas ke perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta destruksi dinding sinus maksilaris kiri.

Gambar 3.2 CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal

Pasien kemudian direncanakan untuk tindakan ekstirpasi tumor pendekatan maksilektomi rinotomi lateralis dengan anestesi umum. Dalam rangka persiapan tindakan, dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap dan foto toraks PA.

Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan hasil leukosit 10,59x103 /µL, hemoglobin 14,7 g/dL, hematokrit 43%, trombosit 353x103 /µL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 35,3 U/L, SGPT 15,80 U/L, albumin 4,4 g/dL, BUN 3 mg/dL, kreatinin 0,26 g/dL, glukosa acak 94 mg/dL, natrium 137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L. Pada pemeriksaan faal hemostasis didapatkan BT 3,00 menit, CT 11,00 menit, PPT 12,4 detik, APTT 24,3 detik dan INR 0,98. Foto toraks PA didapatkan hasil cor dan pulmo tak tampak kelainan. Pasien kemudian dikonsulkan ke sejawat pediatri dan anestesi untuk evaluasi sebelum dilakukan tindakan operasi. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan tindakan. Pada tanggal 24 Nopember 2016 dilakukan tindakan ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, menggunakan pendekatan rinotomi lateralis sinistra. Temuan operasi berupa massa tumor rapuh memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris sinistra, destruksi dinding sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas. Kemudian dilakukan pemasangan tampon sinus dan tampon anterior, lalu luka insisi dijahit. Pasca operasi pasien mendapat terapi medikamentosa berupa IVFD NaCl 0,9% 10 tetes/menit, Ceftriaxon 2x250 mg iv, Asam tranexamat 3 x 250 mg iv, dan drip analgetik sesuai sejawat anestesi.

Gambar 3.3 Ekstirpasi tumor dengan pendekatan rinotomi lateralis

Gambar 3.4 Massa tumor yang telah diekstirpasi

Tanggal 26 Nopember 2016 dilakukan evaluasi dan aff tampon, kemudian pasien diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan selanjutnya kontrol ke poliklinik THT. Pada tanggal 1 Desember 2016 pasien datang kontrol ke poliklinik THT. Dilakukan aff jahitan. Pasien juga membawa hasil pemeriksaan histopatologi dengan hasil berupa gambaran potongan jaringan tumor yang sebagian ditutupi oleh epitel permukaan berupa epitel respiratorius mengandung massa tumor yang terdiri dari sel-sel neoplastik yang tersusun membentuk struktur solid dipisahkan septa jaringan ikat fibrous tipis, sebagian membentuk struktur pseudo-aveolar diantara stroma jaringan ikat, sebagian tampak diskohesif. Sel-sel tersebut berukuran kecil sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform, sitoplasma sebagian bervakuola, inti bulat ovoid. N/C ratio tinggi, pleomorfik ringan, kromatin sebagian vesikuler sebagian hiperkromatik, anak inti discernible namun tidak prominent, membran inti ireguler, mitosis 32/10 HPF. Tampak pula

apoptotic bodies, nekrosis koagulatif dan invasi perineural. Sebagian epitel

permukaan mengalami ulserasi. Pada beberapa fokus tampak sel-sel neoplastik yang infiltratif diantara jaringan otot. Didiagnosis sebagai suatu malignant small

Gambar 3.5 Pemeriksaan patologi anatomi tampak sel-sel berukuran kecil sampai sedang, berbentuk bulat relatif uniform.

Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokimia dengan hasil petanda mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE positif lemah sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan kesan TNEP. Pasien kemudian dikonsulkan ke bagian pediatri untuk menjalani kemoterapi sebanyak 6 seri dengan regimen kemoterapi berupa Ifosfamide dan Etopuside, sedangkan radioterapi untuk pasien ini tidak dilakukan karena pertimbangan usia dan lokasi tumor yang ditakutkan akan merusak organ-organ di sekitar di daerah sinonasal.

Gambar 3.6 Pasca operasi minggu pertama.

Sampai kasus ini dilaporkan, pasien sudah menjalani kemoterapi sebanyak 4 kali yang dilakukan selang 3 minggu. Pemeriksaan fisik THT pada hidung tidak didapatkan benjolan pada kavum nasi kiri.

139

A

B

Gambar 3.7 A. Pasca kemoterapi kedua, B. Pasca kemoterapi keempat. IV. PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dikemukakan kasus TNEP pada sinonasal yang terjadi pada seorang perempuan berusia 18 bulan, yang datang dengan keluhan utama timbul benjolan pada hidung kiri. TNEP merupakan kasus yang sangat jarang, lebih sering terjadi pada laki-laki, dapat terjadi pada usia baru lahir sampai 20 tahun. Pada penelitian Ghosh dkk didapatkan kasus PNET lebih sering terjadi pada perempuan usia 9 tahun sampai 40 tahun.17 Keluhan utama pasien yaitu timbul benjolan pada hidung kiri sejak sekitar 3 bulan sebelum ke rumah sakit. Awalnya benjolan tersebut kecil lalu semakin lama semakin membesar, benjolan meluas hingga keluar melalui lubang hidung sisi kiri serta meluas ke pipi kiri dan ke gusi rahang atas serta dikeluhakan rinore dan epistaksis. Penelitian Ghosh dkk pada tahun 2009 dilaporkan gejala TNEP di daerah sinonasal yang tidak spesifik seperti obstruksi hidung, rinore dan epistaksis. Benjolan pada wajah adalah keluhan utama yang dilaporkan pada beberapa kasus pada anak. Beberapa keluhan lain yang dilaporkan, yaitu neuropati, eksoftalmus, anosmia dan nyeri kepala.17 Gambaran klinis yang didapatkan pada pasien berupa massa tumor yang memenuhi kavum nasi kiri, yang tampak menonjol hingga ke nares anterior kiri berwarna coklat kehitaman dengan ukuran 2x2 cm. Pemeriksaan dengan CT scan fokus hidung dan sinus paranasal irisan axial coronal

140 memberi kesan kesan bulging solid mass pada kavum nasi kiri yang meluas ke perinasal kiri dan wajah sisi kiri serta terdapat destruksi dinding sinus maksilaris kiri. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pemeriksaan pencitraan yang menemukan

heterogenous enhancing soft tissue mass dengan atau tanpa erosi tulang dan dapat

terjadi kalsifikasi intratumor.7 Pada saat dilakukan ekstirpasi tumor, didapatkan temuan massa tumor rapuh memenuhi kavum nasi sinistra, kavum sinus maksilaris sinistra, destruksi dinding sinus maksilaris sinistra sampai gusi rahang atas. Kemudian dilakukan pemeriksaan patologi anatomi yang didiagnosis sebagai suatu

malignant small round cell tumor, diagnosis banding primitive neuroectodermal tumor. Dilanjutkan dengan pemeriksaan imunohistokima dengan hasil petanda

mesenkimal (Vimetin) positif kuat, petanda CD 99 positif kuat, NSE positif lemah sampai sedang, S100 dan limfoblast (TDT) negatif, menyimpulkan kesan TNEP. Hal ini sesuai dengan literatur, secara histologis, TNEP terdiri dari kumpulan sel kecil, bulat, berwarna keabuan. Meskipun demikian, ciri histologis yang didapat dengan pemeriksaan mikroskop cahaya saja tidak dapat membedakan dengan tumor sel bulat lain. Pada periksaan dengan menggunakan mikroskop elektron, menunjukkan granula neurosekretori dengan mikrotubular serta mikrofilamen. Juga terdapat tonjolan dendritik pendek diantara sel-sel TNEP; karakteristik tersebut yang tidak terdapat pada sarcoma Ewing. Rosette formation pada sel tumor tidak terdapat pada TNEP, yang mana terlihat pada tumor sel bulat lain. Profil imunohistokimia dapat membedakan TNEP dengan tumor sel bulat lain. TNEP positif untuk MIC-2, vimentin, S-100, neuron-specific enolase, desmin, CD 99, CD 75 dan protein neurofilamen. Pemeriksaan dengan mikroskop elektron dan imunohistokimia memainkan peranan penting dalam membedakan TNEP dengan tumor lain yang memiliki kemiripan histologis, seperti limfoma non-Hodgkin, neuroblastoma dan rabdomyosarkoma dan lain-lain. TNEP secara tipikal positif untuk CD 75, aktin dan desmin yang tidak positif untuk limfoma.16

Penatalaksanaan pada pasien ini adalah tindakan pembedahan berupa ekstirpasi tumor dengan anestesi umum, kemudian pasien dikonsulkan ke sejawat pediatri untuk dilakukan kemoterapi. Pasien direncanakan menjalani kemoterapi sebanyak 6 seri, untuk kemudian dievaluasi kembali. Regimen kemoterapi yang diberikan berupa Ifosfamide dan Etopuside yang diberikan selang 3 minggu. Pasien tidak menjalani radioterapi dengan pertimbangan usia dan lokasi tumor yang ditakutkan akan merusak organ-organ di sekitar di daerah sinonasal. Reseksi dengan

141 kombinasi radioterapi dan kemoterapi untuk mengatasi tumor yang mungkin tersisa ataupun adanya metastasis yang tidak terdeteksi. Beberapa pengamatan pada pasien sarkoma Ewing telah menunjukkan bahwa pasien dengan tumor yang bersisa minimal atau tanpa sisa setelah menjalani kemoterapi preoperasi, mempunyai prognosis yang lebih baik. Tumor masif yang nekrosis setelah induksi dengan kemoterapi juga menunjukkan prognosis yang lebih baik. Kombinasi ifosfamid dan etoposid telah menunjukkan hasil yang baik pada sarkoma Ewing. Dan pada uji coba yang lain, menunjukkan peningkatan hasil bila ifosfamid-etoposid dipakai bergantian dengan siklofosfamid. Protokol kemoterapi adalah pemakaian vinkristin, doksorubisin, siklofosfamid atau ifosfamid, etoposid selama 6-9 bulan dan setelah terapi, pasien harus kontrol selama beberapa tahun. Penelitian terbaru pada uji klinik dari

Children’s Oncology group study (Amerika serikat) dan Euro-Ewing 99 (Eropa)

menunjukkan peningkatan hasil dengan pemberian kemoterapi yang intensif untuk kelompok sarkoma Ewing. Radioterapi sebagai terapi tunggal diberikan pada pasien dengan kasus tumor yang tidak dapat direseksi untuk mempertahankan fungsi. Tidak disarankan untuk melakukan radioterapi pada pasien yang tidak terbukti adanya tumor sisa setelah dilakukan reseksi.7,8

2. KESIMPULAN

Dilaporkan satu kasus tumor neuroektodermal primitif di regio sinonasal

pada pasien perempuan berusia 18 bulan. Kasus ini merupakan kasus yang sangat jarang terjadi. Korelasi gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, dan histopatologi merupakan prasyarat keberhasilan penatalaksanaan pasien. Diagnosis ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia. Penatalaksanaan yang direkomendasikan antara lain dengan pembedahan, kemoterapi dan terapi radiasi.

142 DAFTAR PUSTAKA

1. Wetmore RF, Muntz HR, McGill TJ. Soft tissue tumor in children. Dalam : Potsic WP, Healy GB, Lusk RP, eds. Pediatric otolaryngology: principles and practice pathway. New York: Thieme; 2000. h.103-10.

2. Moras K, Roy P, Albert RR. Primitive neuroectodermal tumor of the maxillacase report and review of literature. Indian J Otolaryngol Head Neck Surg 2005; 25:21-4.

3. Brandwein M, Gesler. Sinonasal and nasopharyngeal surgical pathology. Dalam : Silverberg SG, ed. Principles and practice of surgical pathology and cytopathology. 4th ed. Philadelphia: Elsevier; 2006. h.806-7.

4. Thompson LDR. Ewing sarcoma and primitive neuroectodermal tumor. Ear Nose Throat J 2001; 21:12-4.

5. Calvarho CM, Valette G, Nicholas G, Marianowski R. Maxillar localization of a congenital peripheral primitive neuroectodermal tumor a case report. Int J Pediatr Otolaryngol 2006; 1:27-32.

6. Stafford EM. Primitive neuroectodermal tumors [homepage on the internet]. c2009

7. Rosai. Soft tissue tumor extrasceletal Ewing sarcoma/PNET. In: Rosai,

Ackerman’s, eds. Surgical pathology. 9th ed. Toronto: Mosby; 2004. h. 2324-5.

8. Jones JE, McGill T. Peripheral primitive neuroectodermal tumors of the head and neck. Arch Otol 1995; 121:1392-5.

9. Ballenger JJ. Anatomy and physiology of the nose and paranasal sinuses. Dalam: Snow BJ, Ballenger JJ, penyunting. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery. Edisi ke-16. Spanyol: BC Decker Inc; 2003. h. 547-61.

10. Putz R, Pabst R. Sobotta. Atlas anatomi manusia jilid 1. Edisi ke-21. Jakarta: EGC; 2000.

11. Duque CS, Casiano RR. Surgical anatomy and embryology of the frontal sinus. Dalam: Kountakis S Senior B, Draf W, penyunting. The frontal sinus. Berlin: Springer; 2005. h. 83-7.

12. Leung RM, Walsh WE, Kern RC. Sinonasal anatomy and physiology. Dalam: Ferguson BJ, Ryan MW. penyunting. Bailey's head and neck surgery-

otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2014. h. 359- 64.

143 13. Bolger WE. Anatomy of the paranasal sinuses. Dalam: Kennedy DW, Bolger WE,

Zinreich SJ, penyunting. Diseases of the sinuses diagnosis and management. Hamilton: BC Decker; 2001. h. 1-13.

14. Krouse JH, Stachler RJ. Anatomy and physiology of the paranasal sinuses. Dalam: Brook I, penyunting. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor and Francis; 2006. h. 95-106.

15. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology, and immunology of the nose, paranasal sinuses, and face. Dalam: Probst R, Grevers G, Iro H, penyunting. Basic otorhinolaryngology a step-by-step learning guide. Stuttgart: Georg Thieme Verlag; 2006. h. 4-6.

16. Toda T, Atari E, Sadi AM, Kiyuna M, Kojya S. Primitive neuroctodermal tumor in sinonasal region. Aurius Nasus Larynx 1999; 26:83-90.

17. Ghosh A, Saha S, Pal S, Saha PV, Chattopadhyay S. Peripheral primitive

neuroectodermal tumor of head-neck region: our experience. Indian J Otolaryngol Head and Neck Surg. 2009;61:235-239

18. Iseri M, Ozturk M, Filinte D, Corapcioglu F. A peripheral primitive neuroectodermal tumor arising from the middle turbinate and transnasal endoscopic approach for its surgical treatment. Int J Pediatr Otolaryngol 2007; 7:180-4.

19. Benoit MM, Bhattacharyya, Faquin W, Cunningham M. Cancer of the nasal cavity in the pediatric population. Pediatrics 2007; 121(1):141-5.

144 TULI SENSORINEURAL MENDADAK BILATERAL

PADA EVANS SINDROM

Komang Andi Dwi Saputra

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

1. PENDAHULUAN

Tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss didefinisikan sebagai kehilangan pendengaran lebih dari 30 dB dalam 3 frekuensi berturut-turut dalam onset 3 hari, sering unilateral dan bersifat idiopatik. Tuli mendadak merupakan salah satu kasus kegawatdaruratan di bidang THT yang memerlukan penanganan segera, walaupun beberapa kepustakaan menyatakan bahwa tuli mendadak dapat sembuh spontan,angka pemulihan pasien yang tidak mendapat pengobatan adalah 25-65% , sebagian besar dalam

2 minggu setelah gejala muncul.1

Prevalensi tuli mendadak di Amerika Serikat 5-30 tiap 100.000 orang penduduk per tahun. Distribusi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama, dengan puncak usia 50-60 tahun.1

Tuli sensorineural mendadak dapat disebabkan oleh infeksi virus, neoplasma, ruptur membran koklea, autoimun, oklusi vaskuler, neurologi, psikogenik dan idiopatik. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, penala, audiometri dan penunjang. Pengobatan tuli sensorineural mendadak masih kontroversial. Sampai saat ini keberhasilan pemberian antiinflamasi, vasodilator, antivirus maupun terapi oksigen hiperbarik masih terus diteliti. Faktor usia, onset pemberian terapi, derajat tuli sensorineural dan adanya gejala

penyerta dikatakan mempengaruhi prognosis tuli sensorineural mendadak.1,2

Evans sindrom adalah kondisi yang didefinisikan sebagai kombinasi (baik secara bersamaan atau berurutan) dari idiopatik trombositopenia purpura (ITP) dan autoimun hemolitik anemia (AIHA) dengan tes antiglobulin langsung yang positif (DAT) dan tidak adanya etiologi yang diketahui. Evans sindrom merupakan penyakit langka meskipun frekuensi pastinya tidak diketahui. Hasil penelitian di Malaysia menyatakan dari 220 pasien ITP dan 102 AIHA terdapat 12 orang mengidap Evans sindrom. Gejalanya meliputi anemia hemolitik yaitu pucat, lesu, sakit kuning, gagal jantung, dan gejala trombositopenia antara lain petechiae, memar, perdarahan mukokutan. Pemeriksaan fisik didapatkan limfadenopati, hepatomegali ataupun splenomegali. Komplikasi yang sering dijumpai adalah perdarahan

dan sepsis. Namun dilaporkan juga komplikasi yang

jarang yaitu gangguan pendengaran akibat Evans sindrom. Berikut dilaporkan satu kasus

145

PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun telinga dan kanalis akustikus eksternus. Sepertiga luar kanalis akustikus eksternus tersusun atas kartilago yang mengandung folikel rambut dan kelenjar seruminosa. Sedangkan dua

pertiga bagian dalam merupakan bagian tulang yang dilapisi epitel.1,2

Telinga tengah terdiri dari membran timpani, maleus, inkus, stapes, otot tensor timpani dan otot stapedius. Nervus korda timpani yang merupakan cabang nervus fasialis berjalan melintasi kavum timpani membawa serabut pengecap. Tuba eustachius menghubungkan

kavum timpani dengan faring yang membuka oleh kontraksi otot tensor veli palatini.2

Telinga dalam terdiri dari organ vestibuler dan koklea yang berada pada tulang temporal. Koklea merupakan tabung berbentuk rumah siput yang mengandung organ sensori untuk pendengaran. Koklea memiliki tiga buah kanal yang mengandung cairan yaitu skala vestibuli, skala media dan skala timpani. Skala media berada di koklea bagian tengah dipisahkan dari skala vestibuli oleh membran Reissner dan dari skala timpani oleh membran basilaris. Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfe sedangkan skala media berisi cairan endolimfe. Komposisi ion pada cairan skala media serupa dengan intraseluler yaitu kaya kalium dan rendah natrium. Sedangkan cairan pada skala vestibuli dan skala timpani serupa dengan ekstraseluler yaitu rendah kalium dan tinggi natrium. Komposisi ion perilimfe sangat penting untuk sel-sel rambut.5

Cairan perilimfe pada telinga dalam berhubungan dengan cairan serebrospinal pada kavum kranii melalui aquaduktus koklearis yang menghubungkan ruang perilimfe dengan ruang cairan kranial. Ruang endolimfatikus berhubungan dengan sakus endolimfe melalui duktus endolimfe. Sakus endolimfe adalah ruang diantara dua lapisan duramater. Membran Reissner memiliki komplians yang sangat tinggi sehingga perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan perubahan volume yang besar pada ruang endolimfe. Gangguan keseimbangan tekanan pada kedua sistem tersebut akan menyebabkan

gangguan pendengaran dan keseimbangan.1,5

Organon korti terletak pada membran basiler dan banyak mengandung sel sensori, sel