PADA PASIEN MENINGITIS SUIS Oleh:
2.3 Meningitis Suis
2.4.4. Penatalaksanaan Meningitis Suis
demam tinggi (94%), nyeri kepala hebat, mual, muntah (82%), diare, leher kaku, penurunan kesadaran, kejang dan kelainan fokal neurologi. Serta pada meningitis suis dilaporkan lebih dari 50% kasus terjadi penurunan pendengaran tipe sensorineural. Penurunan pendengaran pada meningitis Suis adalah tipe sensorineural, pada frekuensi tinggi, dapat profound dimana penurunan pendengaran sampai lebih dari 80 dB pada pemeriksaan audiometri. 5,13,14
Pada pemeriksaan fisik dapat didapatkan penurunan kesadaran yang dapat dinilai dengan Glaslow Coma Scale. Terdapat pula tanda-tanda rangsang meningeal dimana
dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II.16,17
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah dengan kultur darah atau dari cairan serebrospinal melalui lumbal pungsi dengan menggunakan standar teknologi mikrobiologi dapat mengidentifikasi Streptococcus suis beserta serotipenya. Identifikasi Streptococcus Suis dapat pula dilakukan bila hasil kultur meragukan yaitu dengan teknik molekular yang spesifik dengan PCR Serotipe Suis serotipe 2.5,6,16,17
2.4.4. Penatalaksanaan Meningitis Suis
Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin, seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan kloramphenikol.25
Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas 50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid.15,25
2.4.5. Prognosis
Prognosis dari Meningitis suis adalah baik dimana jarang dilaporkan sampai menyebabkan kematian dibandingkan dengan meningitis bakteri yang disebabkan jenis bakteri lainnya seperti Streptococcus pneumoniae.5,15
110
3. LAPORAN KASUS
Kasus pertama, Pasien IKS, laki-laki, usia 32 tahun, Suku Bali, alamat Karangasem Bali, pekerjaan supir hotel, pasien dikonsulkan teman sejawat Neurologi RSUP Sanglah pada tanggal 28 April 2017 dengan Meningitis suis dan dengan penurunan pendengaran secara tiba-tiba yang dirasakan sejak kemarin terutama pada telinga kanan. Pusing berputar ada, pasien belum dapat duduk lama, mendenging ada. Nyeri telinga tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Pasien telah dirawat oleh TS Neurologi di RS Sanglah Denpasar sejak tanggal 22 April 2017 dimana pasien merupakan rujukan dari RSUD Karangasem dengan kesadaran menurun sejak + 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien juga dikatakan gelisah sampai pasien membenturkan kepalanya ke tembok. Pasien juga memukul-mukul badan dan kepalanya. Riwayat demam ada sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak turun dengan pemberian obat penurun panas. Riwayat trauma kepala tidak ada, riwayat keluar cairan dari telinga dan nyeri telinga tidak ada, riwayat gigi berlubang tidak ada, penurunan berat badan tidak ada, kelemahan separuh tubuh tidak ada, kontak dengan penderita TB tidak ada. Riwayat sosial : os bekerja sebagai driver di salah satu hotel di karangasem. Beternak babi atau ternak babi dekat tempat tinggal tidak ada. Tetapi pasien ada riwayat makan olahan babi di desanya satu hari sebelum MRS.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 28 April 2017 didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 84x/mnt, respirasi 22x/mnt, temperatur aksila 36,50C. Status lokalis THT-KL, pemeriksaan telinga tidak didapatkan kelainan, kanalis akustikus eksterna kanan kiri lapang, kedua membran timpani intak dan refleks cahaya kedua telinga positif. Pemeriksaan hidung dan tenggorok tidak didapatkan kelainan. Pada pemeriksaan leher tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan tes penala menggunakan garputala 512 Hz didapatkan Rinne positif pada kedua telinga dan Weber didapatkan lateralisasi ke telinga kiri. Oleh bagian Neurologi pasien telah dilakukan CT-Scan Kepala, Thorak foto, Pemeriksaan Darah lengkap dan Kimia darah, Lumbal punksi serta kultur cairan Cerebrospinal. Hasil CT Scan kepala : sesuai gambaran meningoencephalitis, edema sereberi. Thoraks AP didapatkan dengan kardiomegali. Hasil pemeriksaan darah lengkap : WBC :37,51 ; Netrofil : 92,65 ; Hemoglobin : 14.06; dan trombosit : 192.000. Laju endap darah : 77,9. Hasil kimia
111 darah :SGOT : 19,8; SGPT : 22,2 ; BUN : 9,6 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ; Natrium : 145; Kalium : 4,4 ; CRP kualitatif 410,75. Hasil lumbal pungsi didapatkan pada pemeriksaan PCR TB :hasil negatif; Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri Streptococcus suis II dari spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi antibiotika. Pasien didiagnosis dengan suspek tuli sensorineural mendadak kanan et causa meningitis suis. Pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metilprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Oleh TS neurologi di berikan Ceftriakson 2 x 2 gram; Ranitidin 2 x 50 mg, Parasetamol 3 x 500 mg dan Haloperidol 0,5 mg intramuskular kalau gelisah. Pada tanggal 3 mei 2017 pemeriksaan timpanometri dan audiometri baru dapat dikerjakan karena kondisi pasien. Pada pemeriksaan Timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga.
Gambar 4. Timpanogram tanggal 3 Mei 2017
Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan Audiometri dan didapatkan hasil tuli Sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC=82,5dB/BC=71,25dB) dan tuli sensorineural ringan pada telinga kiri (AC=32,5dB/BC=26,25dB).
112
Gambar 5. Audiogram tanggal 3 Mei 2017
Pasien didiagnosis dengan tuli sensorineural mendadak dekstra dan sinistra et causa Meningitis suis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian penyakit dalam dan kardiologi untuk kelayakan terapi hiperbarik. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien kemudian dimulai dilakukan terapi hiperbarik selama 10 kali. Terapi oksigen hiperbarik seri I dilakukan pada tanggal 11 mei sampai dengan 17 mei 2017 dan dilakukan sebanyak 5 sesi setiap serinya. Pada tanggal 17 Mei 2017 dilakukan pemeriksaan Audiometri evaluasi setelah pasien menjalani terapi oksigen hiperbarik seri I dengan keluhan pendengarannya masih seperti dulu tetapi keluhan mendengingnya berkurang. Hasil audiometri didapatkan tuli sensorineural sangat berat pada telinga kanan (AC= 90 dB/BC=80 dB) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=17,5 dB/BC= 4 dB).
113
Gambar 6. Audiogram tanggal 17 Mei 2017
Pada tanggal 18 mei 2017 pasien diperbolehkan pulang dan mendapatkan terapi oral yaitu Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr, BioATP 3x1 tablet dan Metilprednisolon 3x4 mg. Pasien disarankan untuk menjalani terapi oksigen hiperbarik seri II lewat poliklinik. Pada tanggal 26 Mei 2015 pasien telah menyelesaikan terapi oksigen hiperbarik seri II dan kontrol ke poliklinik THT-KL. Pasien mengatakan bahwa pendengarannya dirasakan tidak membaik dan keluhan mendengingnya telah hilang namun pasien masih dapat berkomunikasi dengan normal. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil tuli sensorineural derajat berat telinga kanan (AC= 88,75dB/BC= 80 dB) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=17,5 dB/BC= 4 dB). Pasien disarankan menggunakan Alat Bantu Dengar untuk membantu pendengaran telinga kanan.
114
Gambar 7. Audiogram tanggal 26 Mei 2017
Kasus ke dua, Pasien EPA, perempuan 53 tahun, Alamat Jalan Ratna no 4 A Tabanan, pasien datang ke poli THTKL RS Sanglah tanggal 7 April 2017, dikonsulkan dari RSUD Tabanan dengan tuli sensorineural mendadak derajat sedang dekstra sinistra et causa Meningitis suis dan untuk dilakukan terapi hiperbarik. Pasien mengeluh pendengarannya berkurang sejak 7 hari yang lalu secara tiba-tiba. Kemudian dirawat di RSUD Tabanan selama 5 hari. Mendenging ada pusing berputar tidak ada tetapi pasien masih merasa lemas, riwayat keluar cairan tidak ada, mual tidak ada muntah tidak ada. Sebelumnya pasien riwayat dirawat dengan Meningitis
suis di RSUD Tabanan dengan penurunan kesadaran. Dirawat di ICU RSUD Tabanan
selama 5 hari dan di bangsal selama 1 minggu. Riwayat sosial : beternak babi tidak ada, kontak dengan pasien TB tidak ada, penurunan berat badan tidak ada. Setelah kondisi membaik pasien diperbolehkan pulang. Tetapi 3 hari setelah pulang pasien mengeluh tiba-tiba pendengarannya menurun dan kembali dirawat di RSUD Tabanan, keluhan mendenging ada, pusing berputar tidak ada. Riwayat CT Scan di RSUD Tabanan tanggal 20 Maret 2017 dengan hasil : lesi hipodens berdensitas cairan di fossa posterior suspek cisterna magna, edema serebri ringan. Thorak AP dengan hasil
3. dalam batas normal. Hasil kimia darah dalam batas normal. Hasil darah lengkap WBC :22,34 ; Netrofil : 84,23 ; Hemoglobin : 13.14; dan trombosit :
115 164.000. Laju endap darah : 54,3. Hasil kimia darah :SGOT : 24; SGPT : 18; BUN : 26,0 ; Serum Kreatinin : 0,90 GDS : 134 ; Natrium : 138; Kalium : 4,0. Hasil pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas antibiotika didapatkan hasil terisolasi bakteri
Streptococcus suis II
dari spesimen LCS penderita. Ceftriakson dapat dipertimbangkan sebagai pilihan terapi antibiotika. Kemudian pada riwayat dirawat di RSUD Tabanan dengan tuli mendadak didapatkan hasil timpanometri tipe A/tipe A dan hasil audiometri tuli sensorineural derajat sedang telinga kanan ( AC= 46.67dB/BC= 44,5dB) dan tuli sensorineural derajat sedang telinga kiri (AC= 43,75 dB/ BC= 42,5dB).
Gambar 8. Audiogram tgl 3 April 2017
Riwayat pengobatan meningitis di RSUD Tabanan mendapatkan Ceftriakson 2 x 2 gram; Dexametason 4 x 10 mg; Ranitidin 2 x 50 mg, Parasetamol 3 x 500 mg. Dan riwayat pengobatan tuli sensorineural mendadak pasien diberikan Oksigen 2-4 liter per menit selama 15 menit diulang setiap 6 jam, IVFD Dextran 10% 500 cc selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan NaCl 0,9% 20 tetes per menit, Metylprednisolon 2x62,5 mg intravena. Untuk terapi oral diberikan Pentoksifilin 2x400 mg, Mecobalamin 3x500 µgr dan BioATP 3x1 tablet. Kemudian pasien dipulangkan dengan terapi mecobalamin dan dirujuk ke RS Sanglah Denpasar untuk terapi hiperbarik. Pasien kemudian dilakukan thorak foto, EKG , cek darah lengkap dan kimia darah. Kemudian pasien dikonsulkan ke TS Penyakit dalam dan TS Kardiologi untuk kelayakan hiperbarik. Tidak ada kontraindikasi kemudian dilakukan hiperbarik 10 seri dengan 5 seri I dan 5 seri II.
116 Kemudian pasien dilakukan terapi oksigen hiperbarik seri I selama 5 x dari tanggal 11 April 2017 sampai tanggal 17 April 2017. Pada tanggal 17 April 2017 pasien kontrol ke poliklinik THTKL dengan keluhan pendengaran membaik dan keluhan mendenging membaik. Kemudian dilakukan Timpanometri dan Audiometri evaluasi dengan hasil timpanometri : tipe A/tipe A dan hasil Audiometri : tuli sensorineural derajat ringan telinga kanan (AC= 37,5dB/BC=28,75dB) dan tuli sensorineural derajat ringan telinga kiri (AC= 28,75dB/ BC= 26,25dB).
Gambar 9. Audiogram tanggal 17 April 2017
Kemudian pasien dilanjutkan untuk terapi oksigen hiperbarik seri II selama 5 kali dari tanggal 1 Mei sampai tanggal 5 Mei 2017. Pasien kemudian kontrol kembali poliklinik THTKL untuk evaluasi yang kedua post hiperbarik. Keluhan pendengaran sudah membaik dan pasien hanya mengeluhkan mendenging kadang-kadang saja. Hasil Audiometri Normal hearing pada telinga kanan (AC = 25 dB/ BC= 18,75 dB) dan normal hearing pada telinga kiri (AC=20 dB/BC=18,75 dB)
117
Gambar 7. Audiogram tanggal 5 Mei 2017 IV. PEMBAHASAN
Definisi tuli sensorineural mendadak menurut De Kleyn adalah tuli sensorineural lebih dari 30 dB yang terjadi secara mendadak dalam waktu kurang dari 72 jam, minimal terjadi pada tiga frekuensi yang berurutan.1,3
Pada Meningitis suis hampir 50% terdapat keluhan penurunan pendengaran. Kebanyakan pasien Meningitis suis terjadi pada kelompok umur 47 – 55 tahun dan jarang dilaporkan pada anak-anak. Laki-laki lebih sering daripada wanita dengan rasio 3,5 : 1.5 Faktor risiko tersering pada pekerja atau peternak yang berhubungan langsung dengan babi dimana dilaporkan 3 kasus per 100.000 populasi. Kemudian pada pemotong atau pengolah daging babi sebanyak 1,2 kasus per 100.000 populasi. Dan juga mengkonsumsi daging babi yang tidak matang sempurna juga merupakan faktor risiko terjadinya Meningitis suis.5,17 Dilaporkan ada 35 serotipe dari
Streptococcus suis penyebab dari Meningitis suis namun hanya serotipe 1-9 dan 14
yang menyebabkan infeksi pada manusia. Streptococus suis serotipe 2 merupakan serotipe yang paling sering ditemukan pada kasus Meningitis suis pada manusia.17,26 Bakteri ini dapat diidentifikasi dengan kultur menggunakan Vitek 2 Gram-Positive Identification (GPI card) dan API 20 STREP atau dengan teknik molekular dengan PCR menggunakan gen 16rRNA yang didapat dari isolasi cairan serebrospinal.
118 Identifikasi Streptococcus Suis sering dikelirukan dengan Streptococcus viridans,
Aerococcus viridans dan Streptococcus pneumonia.16,24
Pada pasien IKS seorang laki-laki berumur 32 tahun memiliki faktor risiko mengkonsumsi makanan bali (lawar) dan daging babi yang tidak matang sempurna karena makanan yang dimakan menggunakan darah babi yang tidak matang sempurna. Pasien IKS telah didiagosa dengan Meningitis suis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung untuk Meningitis suis. Di bagian mikrobiologi RS Sanglah diidentifikasi Streptococcus suis serotipe 2 dari isolasi kultur cairan cerebrospinal pasien dan diidentifikasi menggunakan Vitek 2 Gram-positive Identification card. Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien sedang dirawat setelah pasien sadar baik, dan mengeluh tuli pada telinga kanan. Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala, tes Rinne positif kanan dan kiri, tes Weber terdapat lateralisasi ke kanan,serta tes Scwabach memendek di kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural derajat berat pada telinga kanan dan tuli sensorineural derajat ringan pada telinga kiri. Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000 adalah 80 dB, 80 dB, 85 dB dan 85 dB. Dan pada telinga kiri berturut-turut 40 dB, 30 dB, 30 dB, dan 30 dB.
Pada pasien EPA, seorang perempuan berumur 52 tahun memiliki faktor risiko mengkonsumsi olahan daging babi yang dibeli di warung. Pasien tidak memiliki riwayat kotak langsung dengan babi maupun mengolah langsung daging babi. Pasien dirawat dengan penurunan kesadaran hari setelah mengkonsumsi daging babi dan setelah dirawat TS neurologi didiagnosis dengan Meningitis Suis sesuai klinis dan pemeriksaan penunjang. Dimana hasil kultur CSF dikirim dari RS Tabanan ke RS Sanglah dengan menggunakan Vitek 2 Gram-Positive Identifiation ditemukan Streptococcus suis serotipe 2.
Keluhan tuli mendadak dirasakan saat pasien telah dipulangkan 2 hari setelah perawatan meningitis, pada kedua telinga sehingga pasien segera memeriksakan ke dokter dan dirawat kembali oleh dokter THTKL. Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop telinga normal kanan dan kiri, pemeriksaan penala, tes Rinne positif kanan dan kiri, tes Weber tidak terdapat lateralisasi, namun tes Scwabach memendek di kedua telinga. Pada pemeriksaan timpanometri didapatkan tipe A pada kedua telinga
119 dan pemeriksaan audiometri didapatkan tuli sensorineural derajat sedang pada kedua telinga. Pada telinga kanan bertururt-turut pada frekwensi 500, 1000, 3000, 4000 adalah 50 dB, 50 dB, 40 dB dan 30 dB. Pada telinga kiri berturut turut 50 dB, 45 dB, 45dB, dan 40 dB.
Terjadinya keluhan tuli sensorineural mendadak pada pasien dengan meningitis suis dapat terjadi bersamaan atau beberapa hari kemudian. Ini berhubungan dengan masa inkubasi dari Stretococcus suis dimana penelitian di China dilaporkan dari 3 jam sampai 14 hari. Pada penelitian lain dilaporkan masa inkubasi
Streptococcus suis 60 jam sampai 1 minggu. Etiologi tuli sensorineural mendadak
sebagian besar adalah idiopatik, hanya 10-15% saja yang diketahui sebagai kemungkinan penyebab terjadinya tuli sensorineural mendadak. Terdapat empat teori utama yang menyebabkan terjadinya tuli sensorineural mendadak yaitu kelainan vaskular, virus, ruptur membran koklea dan penyakit autoimun.11,12 Patogenesis terjadinya tuli sensoriseural mendadak pada pasien Meningitis suis masih belum jelas. Penyebabnya bisa karena bakteri streptococus sendiri, eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus suis atau imun tubuh yang dihasilkan tubuh sendiri untuk melawan bakteri. Streptococous suis dipercaya masuk ke perilimpa melalui aquaductus koklea akibat lisis karena eksotoksin, kongesti kapiler atau hidrop pada koklea sehingga merusak sel-sel rambut koklea.8
Pada pasien IKS keluhan tuli baru dirasakan setelah pasien sadar baik yaitu 9 hari setelah diperkirakan kontak dengan babi yang dicurigai sebagai penyebab meningitis. Sedangkan pada pasien EPA keluhan tuli dirasakan setelah 12 hari setelah kontak dengan daging babi.
Penatalaksanaan tuli sensorineural mendadak seharusnya berdasarkan penyebabnya, akan tetapi karena sebagian besar kasus tuli sensorineural mendadak adalah idiopatik sehingga pengobatan dilakukan secara empiris.1,3,4
Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea.15
120 Beberapa ahli THT merekomendasikan terapi kortikosteroid intratimpani sebagai pengganti terapi kortikosteroid sistemik atau “salvage therapy” pada pasien yang tidak mengalami perbaikan dengan kortikosteroid sistemik.3,8 Keuntungan terapi kortikosteroid intratimpani adalah memberikan steroid konsentrasi tinggi langsung pada jaringan target (perilimfe) dengan efek samping sistemik minimal.2,4 Hal ini didukung oleh Parnes dkk, yang mempublikasikan dan mendemonstrasikan kadar steroid yang tinggi di telinga dalam setelah aplikasi terapi steroid intratimpani.3 Sebuah studi mengenai terapi kombinasi kortikosteroid sistemik dosis tinggi dan kortikosteroid intratimpani menunjukkan hasil perbaikan fungsi pendengaran secara signifikan.20
Terapi lain yang dilakukan untuk tuli mendadak adalah dengan terapi oksigen hiperbarik. Terapi ini memberikan oksigen 100% dengan tekanan lebih dari 1 ATA (atmosphere absolute).3 Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan oksigenasi koklea dan perilimfe, sehingga diharapkan dapat menghantarkan oksigen dengan tekanan parsial yang lebih tinggi ke jaringan, terutama koklea yang sangat peka terhadap keadaan iskemik.3,21 Terapi oksigen hiperbarik diperkirakan memiliki efek yang kompleks pada imunitas tubuh, transpor oksigen dan hemodinamik, peningkatkan respons normal pejamu terhadap infeksi dan iskemia, serta mengurangi hipoksia dan edema.1 Menurut guideline AAO-HNS, terapi oksigen hiperbarik sebaiknya dilakukan dalam 2 minggu hingga 3 bulan dari saat diagnosis tuli mendadak.5
Sama seperti penatalaksanaan meningitis bakteri lainnya, pemberian antibiotik spektrum luas dapat diberikan sampai menunggu hasil kultur dan sensitivitas antibiotik. Data dari penelitian sebelumnya masih sensitif terhadap penisilin, seftriakson dan vancomysin. Antibiotik yang resisten pada eritromisin, tetrasiklin, dan kloramphenikol.13
Penggunaan deksametason sebagai pengobatan tambahan untuk mengurangi angka kematian dan memperbaiki hasil meningitis bakteri masih kontroversial. Pada penelitian di vietnam, pemberian deksametason signifikan menurunkan risiko kematian dan kecacatan. Pada suatu analisis multivariat lainnya didapatkan hasil yang signifikan dimana terjadi kasus penurunan pendengaran yang berat pada pasien diatas 50 tahun terjadi saat tidak diberikan kortikosteroid.13
Pada pasien ini baik pada pasien IKS dan EPA sama- sama mendapatkan modalitas terapi sesuai dengan penanganan tuli sensorineural mendadak yaitu pemberian oksigen, metilprednisolon 2 x 62,5 mg secara intravena dan ditapering Off.
121 Penderita juga diberikan preparat neutropik yaitu mekobalamin. Pemberian vitamin dapat menurunkan radikal bebas pada telinga dalam yang bersifat toksik terhadap organ sensorik. Hemodilusi pada penatalaksanaan tuli mendadak bertujuan untuk menurunkan viskositas darah sehingga memperbaiki aliran darah ke koklea. Pada kedua penderita diberikan pentoxifilin 2 x 400 mg intra oral. Kemudian pada kedua pasien ini juga dilakukan terapi oksigen hiperbarik 2 seri sebanyak 10 kali. Untuk penanganan Meninigitis suis oleh TS Neurologi diberikan terapi dengan antibiotik spektrum luas yang sesuai dengan hasil kutur yang sensitif dengan bakteri
Streptococcus Suis.
Walaupun modalitas terapi yang diberikan pada kedua pasien sama namun hasil yang didapat ternyata berbeda dimana pasien IKS tidak terdapat perbaikan pendengaran sedangkan pada pasien EPA terdapat perbaikan20.
Menurut Usher dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan semakin berat derajat ketulian semakin buruk prognosisnya. Codrut dkk melaporkan tidak terdapat perbaikan pada 9 pasien dengan dengan tuli derajat berat. Onset pemberian terapi sangat mempengaruhi kesembuhan gejala tuli sensorineural mendadak. Tiong menyebutkan prognosis yang paling baik ditemukan pada penderita dengan perbaikan 20 dB yang mendapat pengobatan kurang dari 2 minggu setelah munculnya gejala tuli. Jadi semakin cepat mendapatkan terapi setelah timbulnya gejala semakin baik prognosisnya.11 Kasapolgu dkk melaporkan onset pasien yang diberikan terapi dalam onset kurang dari 5 hari mempunyai prognosis yang baik dibandingkan dengan onset yang lebih dari 5 samapi 15 hari. Adanya vertigo merupakan faktor prognostik yang buruk. Moskowitz dkk seperti yang dikutip oleh Codrut melaporkan hanya 14 % penderita tuli sensorineural mendadak dengan vertigo yang mengalami perbaikan pendengaran. Karena adanya vertigo menandakan kerusakan yang lebih luas. Kasapoglu F, melaporkan adanya vertigo merupakan prognosis buruk untuk perbaikan tuli sensorineural. Sedangkan untuk tinnitus dilaporkan tidak signifikan untuk perbaikan tuli sensorineural.13
Pada pasien IKS didapatkan hasil pemeriksaan audiometri dimana pada telinga kanan didapatkan tuli sensorineural derajat berat sedangkan telinga kiri dengan tuli sensorineural derajat ringan. Sedangkan pada pasien EPA didapatkan hasil audiometri tuli sensorineural derajat sedang pada kedua telinga. Pada pasien EPA juga mendapatkan terapi penanganan tuli mendadak segera setelah ada keluhan tuli karena saat itu pasien dalam keadaan sadar. Pasien mendapatkan terapi 1 hari
122 setelah keluhan tuli muncul sedangkan pada pasien IKS karena kesadarannya tidak baik dan juga karena tuli unilateral sehingga terlambat mengetahui adanya ketulian. Pasien baru menyadari setelah sadar baik dan kemungkinan terlambat mendapatkan pengobatan tuli mendadak. Pada pasien IKS juga terdapat keluhan vertigo berat sedangkan pada pasien EPA hanya mengeluh tinitus.
Berdasarkan penelitian Kasapoglu F dkk, berdasarkan tipe audiogram kehilangan pendengaran diklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu tipe asenden (pada frekuensi 250-500 Hz), tipe desenden (frekuensi 4000-8000), tipe flat, tipe total atau subtotal. Pada pasien IKS termasuk pada kelompok tipe desenden sedangkan pada pasien EPA termasuk pada kelompok tipe asenden. Prognosis untuk kehilangan tipe asenden memiliki prognosis yang baik dibandingkan dengan kehilangan pendengaran tipe desenden. Hal ini berdasarkan pada tingkat kerusaka yang terjadi pada vaskularisasi koklea. Tipe asenden terjadi kerusakan pada basal koklea artinya