TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Telinga
B. Kolesteatoma Kongenital (tanda panah). Tampak erosi tulang di dalam epitimpanum anterior oleh karena kolesteatoma
III. LAPORAN KASUS
koleteatoma dapat menyebabkan fistel labirin. 26
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperburuk system konduksi telinga tengah sehingga sedapat mungkin langsung di rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan duramater yang mengakibatkan terjadi perdarahan dan bocornya cairan cerebrospinal, bila tidak luas dapat ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti. Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis dan vena emissari dapat menyebabkan perdarahan hebat. 26
2.4.9 Prognosis
Mengeliminasi kolesteatoma kongenital hampir selalu berhasil, namun mungkin juga memerlukan beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan dilakukan dengan teknologi yang lebih modern, komplikasi dari pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi. Radikal mastoiddektomi dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang bila dibandingkan dengan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang mencapai 20-40%.21
III. LAPORAN KASUS
Pasien perempuan umur 21 tahun datang ke poliklinik RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 7 Februari 2017 dengan keluhan telinga kanan keluar cairan berwarna putih sejak 1 bulan yang lalu. Kadang-kadang juga keluar darah dan disertai nyeri di dalam liang telinga kanan. Pendengaran pada telinga kanan dirasakan berkurang sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu. Demam tidak ada, riwayat trauma pada telinga kanan tidak ada, riwayat keluar cairan dari telinga tidak ada, riwayat wajah mencong tidak ada, pusing berputar tidak ada, tidak ada sakit kepala hebat yang disertai mual dan muntah, riwayat operasi di telinga sebelumnya tidak ada.
Pada pemeriksaan fisik, status umum didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos mentis. Pada status lokalis THT-KL didapatkan pada telinga kanan : daun telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus tidak ada, nyeri tarik daun telinga tidak ada, retroaurikula tidak ada kelainan, liang telinga sempit dan terdapat sekret, terdapat jaringan granulasi yang menutupi liang telinga, asal
jaringan granulasi sukar ditentukan, membran timpani tidak dapat dinilai. Pada telinga kiri : daun telinga tidak ada kelainan, retroaurikula tidak ada kelainan, liang telinga lapang secret tidak ada, membrane timpani intak reflex cahaya ada.
Pada pemeriksaan hidung dan tenggorok dalam batas normal. Pada leher tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Pada pemeriksaan penala frekwensi 512 Hz kesan tuli konduktif telinga kanan (Tabel 1) Tabel 1. Hasil Pemeriksaan dengan garputala 512 Hz
Tes Penala Telinga Kanan Telinga Kiri
Rinne Negative Positif
Weber Lateralisasi ke kanan
Schwabach Memanjang Sesuai pemeriksa
Hasil pemeriksaan rontgen mastoid posisi schuller didapatkan pada mastoid kanan tampak air cell menghilang. Tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik pada periantral triangle. Kesan mastoiditis kronis desktra dengan kecurigaan adanya kolesteatoma. (Gambar 8)
Gambar 9. Hasil rontgen Schuller
Kemudian dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala. Dari hasil pemeriksaan tomografi komputer didapatkan air cell pada mastoid kanan menghilang kesan mastoiditis kronis dekstra. (Gambar 9)
Gambar 10. Hasil CT Scan potongan axial
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pasien ini di diagnosis dengan suspek Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) dekstra tipe berbahaya, dengan diagnosis banding kolesteatoma kongenital. Pasien direncanakan dilakukan tindakan operasi mastoidektomi radikal dengan anestesi umum.
Persiapan pra-operasi, didapatkan hasil pemeriksaan darah yakni : Haemoglobin : 13,27gr%, Leukosit: 9300/mm3, Hematokrit: 45%, Trombosit: 336.000/mm3, pTT: 12,2, APTT: 27,6. Pemeriksaan foto thoraks : cord an pulmo tak tampak kelainan. Pada pemeriksaan fungsi keseimbangan dan saraf fasialis tidak ditemukan kelainan.
Pada pemeriksaan Audiometri didapatkan telinga kanan dengan tuli konduktif derajat sedang dengan ambang dengar 51,25 dB, sedangkan telinga kiri didpatkan pendengaran normal (normal hearing) dengan ambang dengar 13,5 dB.
Gambar 11. Audiogram sebelum operasi
Pada tanggal 21 April 2017 pasien dilakukan tindakan operasi. Operasi dimulai dengan pasien tidur terlentang di meja operasi dalam pengaruh anestesi umum dan teknik hipotensi. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan operasi dan dipasang duk steril. Dilakukan evaluasi telinga kanan dengan menggunakan mikroskop, terlihat liang telinga sempit dan terdapat jaringan granulasi, membran timpani tidak dapat dinilai. Dibuat penandaan pada 3
2. dari sulkus retroaurikula dekstra dan dilakukan infiltrasi pada daerah penandaan dengan epinefrin 1:200.000. Insisis pada daerah penandaan tegak lurus terhadap kulit dan tangensial terhadap liang telinga. Dipasang retractor dan korteks mastoid dipaparkan.
Dibuat garis imajiner membentuk segitiga Mc Ewen sebagai penanda dalam melakukan pengeboran pada korteks mastoid. Tampak korteks mastoid destruksi oleh kolesteatoma yang memenuhi rongga mastoid. Dinding posterior liang telinga sebagian telah mengalami destruksi. Jaringan granulasi keluar melalui dinding liang telinga yang terdestruksi ke liang telinga. Jaringan granulasi dibersihkan semaksimal mungkin. Dilakukan evaluasi kembali membran timpani, didapatkan membran timpani intak.
Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh, pembersihan kolesteatoma pada rongga mastoid dan kavum timpani, tampak osikel maleus yang masih tersisa, dinding posterior liang telinga diruntuhkan, dilakukan meatoplasti sehingga kavum mastoid dengan liang telinga luar menyatu dengan tetap mempertahankan membran timpani.
Gambar 12 . Kolesteatoma pada kavum mastoid sampai ke kavum timpani
Luka operasi dijahit lapis demi lapis dan rongga operasi diberi tampon sofratul. Dipasang perban dan dilakukan balut tekan dengan menggunakan elastomol. Operasi selesai. Lama operasi berkisar 4 jam. Jaringan yang berasal dari kavum mastoid dan kavum timpani dilakukan pemeriksaan patologi anatomi.
Diagnosis pasca operasi adalah kolesteatoma kongenital post mastoidektomi radikal. Terapi post operasi diberikan ceftriaxone 2x1gram iv, deksametason 3 x5mg iv diberikan secara tapering off, tramadol drip 100mg dalam 500cc NaCl 0,9% per 8 jam (selama 1 hari). Pada follow up segera setelah operasi tidak ditemukan adanya lei saraf fasialis
Pada tanggal 22 April 2017, keadaan umum baik, sadar, keluhan pusing tidak ada, wajah mencong tidak ada, demam tidak ada, kemudian dilakukan pelepasan elastomol. Pada tanggal 23 April 2017 drain dibuka, tidak terdapat darah merembes dari luka operasi, kemudian dilakukan rawat luka. Terapi dilanjutkan ceftriaxone 2x1gram iv, deksametason 3 x5mg iv diberikan secara tapering off, parasetamol 3x500mg io.
Pada tanggal 24 April 2017 keadaan umum baik, keluhan tidak ada, luka operasi terawat baik, tidak ada darah merembes dari liang telinga dan pasien dipulangkan dan diberikan terapi levofloxacin 1x500 mg io, parasetamol 3x500
mg io. Pada tanggal 28 April 2017 pasien kontrol ke poli THT-KL, dilakukan perawatan luka, aff hecting luka operasi dan pelepasan tampon eksternal pada liang telinga kanan.
Hasil pemeriksaan patologi anatomi menunjukkan gambaran kolesteatoma. Pada Tanggal 5 Mei 2017 dilakukan pelepasan tampon sofratul pada liang telinga kanan, dilanjutkan dengan pemberian ofloxacin tetes telinga 2x 6 tetes pada telinga kanan.
Gambar 13. Penampang mikroskopis kolesteatoma
Pada tanggal 2 Juni 2017 pasien kontrol kembali dengan kondisi liang telinga bersih dan luka paska operasi yang sudah kering. Kemudian dilakukan pemeriksaan audiometri evaluasi dengan hasil : telinga kanan dengan pendengaran normal yakni 17,5dB
Gambar 14. Audiogram paska operasi
IV. DISKUSI
Telah dilaporkan satu kasus seorang perempuan berumur 21 tahun dengan diagnosis kolesteatoma kongenital. Kolesteatoma kongenital berasal dari sisa epithelial yang terperangkap di dalam tulang temporal selama embriogenesis dan dapat ditemukan pada semua kelompok umur dari anak-anak sampai dengan dewasa.
Kasus kolesteatoma kongenital merupakan kasus yang relatif jarang terjadi dimana kolesteatoma kongenital mengalami pertumbuhan yang progresif dan umumnya muncul pada usia yang lebih lanjut dengan dominan pada laki-laki. Goh, dkk19 melaporkan hasil penelitian retrospektif dari tahun 1999 sampai dengan 2008 terdapat 5 kasus kolesteatoma kongenital atau sebesar 12,2% dengan rentang usia 5-18 tahun. Didapatkan laki-laki lebih banyak yakni 3 laki-laki dan 2 perempuan Sedangkan penelitian oleh Park Ho, dkk29 dari tahun 1995 sampai dengan 2006 diperoleh 35 kasus kolesteatoma kongenital telinga tengah dengan rentang usia 1-13 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan yakni 3,4:1. Kojima,dkk30 melaporkan 48 kasus kolesteatoma kongenital dengan rentang usia 2-62 tahun dengan rata-rata 16,7 tahun.
Gejala klinis pada pasien ini berupa keluar secket dari liang telinga yang kadang-kadang diserta darah dan terjadi penurunan pendengaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Park Ho,dkk29 penurunan pendengaran merupakan keluhan terbanyak dan keluhan yang menyebabkan pasien datang untuk berobat.
Diperoleh persentase 29% untuk keluhan penurunan pendengaran, otalgia sebesar 20%, tinnitus 11,4%, dan rasa penuh ditelinga sebesar 8,5%. Penelitian oleh Kojima, dkk30 didapatkan 60,3% pasien datang dengan keluhan utama penurunan pendengaran sementara 17,5% didapatkan pasien dengan keluhan otalgia. Steward,dkk31 mendapatkan bahwa penurunan pendengaran dan otore merupakan keluhan terbanyak dilaporkan masing-masing 73% dan 55%. Otore terjadi akibat adanya kolesteatoma yang mendestruksi dinding posterior liang telinga sehingga terbentuk jaringan granulasi. Kolesteatoma dapat mengalami infeksi sehingga menimbulkan gejala seperti OMSK.
Diagnosis sebelum operasi diduga OMSK tipe berbahaya dekstra karena dalam perjalanan penyakit terdapat jaringan granulasi pada liang telinga kanan yang mengakibatkan keluar sekret dan kadang-kadang disertai darah sejak 1 tahun yang lalu. Membran timpani sulit untuk dinilai sampai saaat operasi. Kolesteatoma kongenital sering terlambat didiagnosis karena pada awalnya sering tidak memberikan gejala (asimtomatik). Biasanya pasien datang setelah ada komplikasi yang sulit dibedakan dengan OMSK tipe berbahaya. Penelitian oleh Park Ho,dkk29 diperoleh sebanyak 17 kasus (63%) dari 27 kasus kolesteatoma congenital, pasien didiagnosis kolesteatoma congenital setelah lesi meluas ke mastoid.
Pada pasien ini hasil rontgen Schuller didapatkan gambaran aircell mastoid menghilang, tampak area lusen dengan sebagian tampak sklerotik pada periantral triangle mengesankan suatu mastoiditis kronis dengan kecurigaan adanya kolesteatoma. Hasil tomografi computer temporal terlihat gambaran air
cell yang menghilang kesan mastoiditis kronis dekstra.
Foto polos posisi Schuller masih digunakan untuk menilai keadaan telinga tengah dalam tulang temporal. Posisi Schuller menggambarkan penampakan lateral dari mastoid. Pada posisi ini terlihat perluasan pneumatisasi mastoid, lempeng tegmen yang membatasi sel mastoid dengan jaringan otak, dan lempeng sinus yang menandai batas sel mastoid dengan sinus lateral. Kolesteatoma ditandai dengan erosi tulang yang tampak sebagai radiolusen dibatasi oleh tulang sklerotik. Pemeriksaan penunjang CT Scan diperlukan untuk menentukan lokasi kolesteatoma serta perluasannya. Gambaran kolesteatoma akan terlihat berupa gambaran hipodens dengan batas yang jelas serta mendestruksi tulang baik berupa erosi pada tegmen maupun sinus sigmoid.26
Berdasarkan temuan operasi dimana membran timpani yang masih utuh ditegakkan diagnosis kolesteatoma kongenital telinga kanan, Ini sesuai dengan kriteria Derlacki dan Clemis seperti dikutip Mc Gill, dkk23 yang kemudian dimodifikasi oleh Levenson24 menyatakan bahwa diagnosis kolesteatoma kongenital ditegakkan jika ditemukan kolesteatoma dengan membrane timpani utuh, tidak ada riwayat otore maupun operasi telinga sebelumnya.
Pada temuan operasi didapatkan kolesteatoma memenuhi kavum mastoid dan juga kavum timpani. Berdasarkan patogenesis koesteatoma kongenital menurut teori Epithelial rest, kolesteatoma di mastoid dapat terjadi akibat sisa epitel terperangkap pada saat penutupan celah neural yang terjadi pada minggu ketiga dan keenam usia jani. Kolesteatoma kongenital di mastoid sering ditemukan pada kavum mastoid sesuai dengan kasus ini dimana usia pasien 21 tahun.14
Gold standar penatalaksanaan kolesteatoma kongenital adalah pembedahan atau operasi yang bertujuan untuk mengangkat kolesteatoma secara sempurna. Pada pasien ini dilakukan tindakan operasi timpanoplasti dengan dinding runtuh
(canal wall down) karena pada pasien ini lesi mengenai dan mendestruksi mastoid
dan tulang pendengaran serta dinding posterior dari liang telinga, membran timpani utuh dan tidak dilakukan rekonstruksi tulang pendengaran.
Tindakan operasi pada kasus kolesteatoma kongenital sangat variatif. Pemilihan jenis operasi disesuaikan dengan stadium, tempat dan tipe kolesteatoma. Operasi dapat berupa timpanomastoidektomi sampai dengan radikal mastoidektomi. Potsic dkk,20 membagi kolesteatom menjadi 4 stadium dan berkaitan dengan pemilihan tindakan operasi yakni stadium 1: mengenai satu kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 2: multipel kuadran tidak mengenai tulang pendengaran dan mastoid, stadium 3: mengenai tulang pendengaran tidak mengenai mastoid, dan stadium 4: telah mengenai mastoid. Tindakan operasi disesuaikan berdasarkan stadiumnya. Pada stadium 1 dan 2 dapat dilakukan timpanomastoidektomi. Stadium 3 dilakukan timpanomastoidektomi yang diperluas tapi kadang juga memerlukan timpanomastoidektomi dengan dinding utuh. Pada stadium 4 dilakukan radikal mastoidektomi dengan dinding runtuh.
Park Ho, dkk29 melakukan operasi pada 17 kasus kolesteatoma stadium 4 dengan timpanoplasti dinding utuh sebanyak 10 kasus (59%) dan timpanoplasti
dinding runtuh sebanyak 7 kasus (41%). Sedangkan penelitian yang dilakukan Inokuchi dkk,32 diperoleh 23 kasus kolesteatoma kongenital. Dimana prosedur tindakan pembedahan terbanyak yakni timpanomastoidektomi. Sebanyak 57% kasus dilakukan tindakan canal wall down dan 9% kasus dilakukan prosedur canal
wall up. Keuntungan canal wall down adalah angka kekambuhan maupun residu
kolesteatoma lebih rendah dibandingkan canal wall up.
Pemeriksaan audiometri sebelum dilakukan operasi didapatkan tuli konduktif derajat sedang (51,25 dB) dengan gap hantaran udara dan hantaran tulang sebesar 26,25 dB. Ini melebihi kemampuan amplifikasi membrane timpani dan tulang-tulang pendengaran yang berkisar antara 25-30 dB. Tuli konduktif sebesar 30-50 dB kemungkinan telah terdapat diskontinuitas rangkaian tulang pendengaran atau mungkin akibat adanya jaringan granulasi di liang telinga luar yang berfungsi sebagai sumbatan telinga.
Pada pemeriksaan audiometri paska operasi didapatkan pendengaran normal pada telinga kanan yakni 17,5 dB. Gap antara hantaran udara dan hantaran tulang didapatkan 23,75 dB. Pada pasien ini didapatkan perbaikan sebesar 17,5 dB. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Park Ho dkk,29 didapatkan rata-rata gap hantaran tulang dan hantaran udara pada pasien kolesteatom kongenital stadium 4 adalah 37,5 dB. Pada pemeriksaan 3 bulan pasca operasi Park Ho, dkk juga mendapatkan perbaikan gap hantaran tulang dengan hantaran udara pada stadium 4 sebesar 6,7 dB.
Kontrol pasien yang telah menjalani operasi mastoidektomi radikal perlu dilakukan secara berkala dalam jangka panjang. Pada masa awal paska operasi perlu diperhatikan proses epitelisasi kavitas operasi. Jaringan granulasi dapat menghambat proses epitelisasi. Pemberian antibiotik lokal dan steroid dapat menghambat terjadinya infeksi maupun pembentukan jaringan granulasi. Pada jangka panjang pasien harus rutin datang untuk membersihkan kavitas dari deskuamasi epitel maupun serumen. Disamping itu perlu diperhatikan adalah komplikasi yang muncul seperti infeksi berulang, terbentuknya kolesteatoma atau adanya sisa kolesteatoma.
V. KESIMPULAN
Dilaporkan satu kasus perempuan berusia 21 tahun dengan diagnosis kolesteatoma kongenital. Pasien datang dengan keluhan penurunan pendengaran sejak 1 tahun yang lalu dan dari hasil rongten Shuller dan CT Scan mastoid didapatkan adanya mastoiditis kanan dan kecurigaan kolesteatoma. Dari pemeriksaan audiometri didapatkan tuli konduktif dengan derajat sedang. Dilakukan timpanoplasti dinding runtuh dengan temuan kolesteatoma memenuhi kavum mastoid dan kavum timpani dengan membrane timpani masih intak. Evaluasi paska operasi diperoleh perbaikan pendengaran paska operasi menjadi
normal hearing.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amanda L, dkk. Congenital Cholesteatoma. Arch Otolaryngol Head Neck Surg.2012;138:280-6
2. Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002;128:804-9
3. Gacek RR, Gacek MR. Anatomy of the Auditory and Verstibular System.
In Snow Jr. J B, Ballenger J J, editors. Ballenger’s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery. 16th ed. Williams & Wilkins; 1996.p.1-24.
4. Moller AR. Hearing : Anatomy, Fisiology, and Disorder of the Auditory
System. 2nd ed. Texas: Elsevier; 2000.p.3-10.
5. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose and Throat. 4th ed. India: Reed Elsevier India Private Limited; 2009.p.1-9,66-73
6. Austin DF. Anatomy and Embriology of The Ear. Dalam: Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. Ballenger JJ, penyunting. Edisi ke-1. Philadelphia: Lea and Febiger Company; 1996. p. 101-51.
7. Mills JH, Khariwala SS, Weber PC. Anatomy and Physiology of Hearing. Dalam: Bailey BJ, editors. Head & Neck Surgery-Otolaryngology. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2006. p. 1883-1903.
8. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. Available at http://emedicine.medscape.com/article. Diakses 10 Juni 2017.
9. Magalhaes SLB. Growth of cholesteatoma by implantation of epi-thelial tissue
along the femoral bone of rats. Rev. Bras. Otorrinolaryngol. 2005;71(2):188-91.
10. Barbara Pedruzi, Marta Mion, Comachio Fransesco. Congenital Intratympanic Cholesteatoma in an Adult Patient: A Case Report and Rivew Literature.Int Adv Otol.2016;12(1):119-24
11. Bennett M, Warren F, Jackson GC, Kaylie D. Kongenital Cholesteatoma: Theories, Facts, and 53 Patients. Otolaryngol Clin N Am 2006; 39: 1081– 94.
12. Mc Gill TJ, Kongenital cholesteatoma. In: Nadol JB, McKenna MJ, Galia RJ editors. Surgery of the ear and temporal bone. 2nd ed, Lippincott Williams & Wilkins. 2005: p.337-44.
13. Alma Maniu, dkk. Molecular Biology of Cholesteatoma. Rom J Morphol Embryol.2014;55(1):7-13
14. Gacek RR. Congenital Cholesteatoma. In: Ear surgery. Springer-Verlag.
Berlin Jermany. 2008: hal.55-60.
15. Chin Lung Kuo, dkk. Udates and Knowledge Gaps in Cholesteatoma Reasearch. Biomed Reasearch International. 2015:1-17
16. Anju Cauhan, dkk. Cholesteatoma congenital isolated mastid process: A
Case report. Otorinolaryngology online journal. 2015;5: 1-5
17. Kiltai PJ, Nelson M, Castellon et al. The natural history of cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002;128:804-9
18. Goh BS, Faizah AR, Saim L, Salina H, Asma A. Kongenital cholesteatoma: Delayed diagnosis and its consequences. Med j Malaysia 2010;65(3):189-91
19. Shen Wei Dong, dkk. Congenital Cholesteatoma of Middle Ear-A Report of 10 Cases. Journal of Otology.2007;2(2):119-123
20. Potsic WP, Samadi DS, Marsh RR, Wetmore RF. A Staging system for kongenital cholesteatoma. Arch otolaryngol head neck surg 2002; 128: 1009-12.
21. Nelson M, dkk. Kongenital cholesteatoma. Classification, management, and outcome. Aurch otolaryngol head neck surg. 2002;128:810-4.
22. Isaacson G. Diagnosis of pediatric cholesteatoma. Journal of Pediatric Surgery United Kingdom.2007; 120:603-8.
23. Derlacki EL, Clemis JD. Kongenital cholesteatoma of the middle ear and mastoid. Ann OtolRhinol Laryngol 1965; 74(3):706–27.
24. Levenson MJ, Michaels L, Parisier SC, Juarbe C. Chongenital cholesteatoma in children: an embriological correlation. Laryngoscope 1988;98:949-55.
25. Robert Y, Carcasset S, Rocourt N, Hennequin C, Dubrulle F, Lemaitre L.
Kongenital cholesteatoma of the temporal bone: MR findings and comparison with CT. AJNR Am J Neurodiol 1995;16:755-761.
24. Zarandy M, Rutka J. Cholesteatoma and its Complications. Disease of the Inner ear. A Clinical, Radiologic and Pathologis Atlas.2010;94:9-17 27. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronik Pengetahuan Daar Terapi Medik
Mastoidektomi. Balai Penerbit FK UI, Jakarta.2005
28. Meyer TA, Strunk TL, Lambert. Cholesteatoma. Head And Neck Surgery-Otolaryngology, Lippincot Williams & Wilkins, Texas. 2009
29. Park Ho K, Park SN, Chang ki-H, Jung MK, Yeo SW. Congenital middle ear cholesteatoma in children: retrospective review of 35 cases. J Korean med sci.2009;24:126-31
30. Kojima,dkk. Congenital Middle Ear Cholesteatoma Experince in 48 cases. Nippon Jibiinkok Gakkai Kaiho.2003;106:856-65
31. Steward DL, Choo DI, Pensak ML. Selective indication for the management of extensive anterior epytimpanic cholesteatoma via transmastoid/middle fossa approach. Laryngoscope 2000;110:1660-6
32. Inokuchi Go, dkk. Congenital Cholesteatoma : Posterior Lesions and the Satging System. Annals of Otology, Rhinology & Larynglogy. 2010;119(7): 490-94
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN