• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dimensi-dimensi Keberagamaan Masyarakat

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 32-36)

6HODQMXWQ\D 0HOIURG 6SLUR PHQGHILQLVLNDQ ³DJDPD VHEDJDL LQVWLWXVL \DQJ WHUGLUL dari pola-pola interaksi yang terpola secara kultural dengan didasarkan atas suatu

D. Dimensi-dimensi Keberagamaan Masyarakat

Beberapa sosiolog dalam studi sosiologi agama mengidentifikasi beberapa dimensi dalam agama. Ninian Smart (dalam Furseth dan Repstad 2006: 25-26) membagi 6 dimensi agama yang diklasifikan kepada dua kelompok. Kelompok pertama disebut sebagai dimensi para-historis yang bermakna bahwa dimens-dimensi tersebut melampau batas-batas sejarah. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah dimensi dogmatis, dimensi mitotologis dan dimensi etik. Sedangkan kelompok kedua merupakan dimensi historis yang meliputi: dimensi ritual, dimensi experiensial, dan dimensi sosial.

Sedangkan, Rodney Stark dan Charles Glock dalam bukunya an Introduction to a studi of American Piety (1968) menjelaskan lima dimensi dari komitmen keagamaan. Berbeda dengan Smart yang cenderung menggali sisi intrinsik dari agama, Stark dan Glock lebih menekankan pada aspek peran agama secara sosial.

Basis argumen dari Stark dan Glock berpijak pada beragamnya ekspresi keagamaan masyarakat. Kelima dimensi tersebut yaitu: dimensi kepercayaan, dimensi praktek keagamaan, dimensi pengalaman keagamaan, dimensi pengetahuan dan dimensi konsekuensial (Furseth dan Repstad 2006: 25-26; Robertson 1980).

Dimensi kepercayaan meliputi dua bentuk yaitu ritual dan kesalehan. Ritual adalah tindakan keagamaan yang formal dan spesifik yang harus dilakukan oleh pemeluk agama. Dalam Islam ritual tersebut seperti sholat, puasa, haji, dan lain-lain.

Dalam Kristen misalnya pelayanan gereja, pembaptisan, misa dan seterusnya.

Sementara kesalehan lebih merupakan tindakan keagamaan yang tidak terlalu formal dan lebih bersifat publik. Dalam Islam misalnya memberi sedekah, membaca al 4XU¶DQ, GDQ ODLQ-lain. Dalam Kristen seperti membaca bibel, berdoa sendirian, dan lain-lain.

Dimensi ekperiensial terkait dengan pengalaman keagamaan yang subjektif seperti pengalaman merasa dekat dengan Tuhan ketika menjalankan ibadah. Seorang yang berdoa dengan khusyuk melibatkan emosi dirinya dengan perasaan yang sangat dekat dengan Tuhannya, mengadukan perasaannya kepada tuhan. Dimensi eksperensial ini dirasakan berbeda antara satu individu pemeluka agama dengan yang lainnya.

Dimensi pengetahuan meliputi pengetahuan orang yang beragama tentang agama seperti tentang teologinya, peribadatannya, teks kitab sucinya dan lainnya.

Seorang pemeluk agama, bisa jadi tidak hanya percaya, beribadah dan mendapatkan pengalaman keagamaan, tapi ia juga mendasarkan kepercayaan dan ibadahnya tersebut pada pengetahuan tentang konsepsi, ajaran, aturan tentang kepercayaan dan ibadah tersebut yang diatur dalam agamanya. Pengaturan tersebut bisa ia dapat dari memelajari kitab suci, belajar kepada pemuka agama, membaca buku, berdiskusi dan lain sebagainya.

Dimensi terakhir adalah dimensi konsekuensial yang meliputi dampak agama dalam kehidupan sehari-hari individu. Ketika seorang yakin dan percaya kepada tuhan kemudian melakukan praktek ritual keagamaan biasanya membawa implikasi terhadap perilaku dalam kehidupan sehari. Implikasi tersebut berupa aturan berperilaku ataupun moralitas keagamaaan. Ia memperaktekkan moralitas tersebut dalam kesehariannya. Misalnya ia berdoa terlebih dahulu sebelum makan, ketika berangkat kerja atau ke sekolah. Ia membantu sesama dengan memberikan sedekah atau bantuan lainnya.

Menurut Furseth dan Repstad, beberapa aspek dalam klasifikasi Stark dan Glock di atas masih bisa diperdebatkan. Meskpun penulisnya mengklaimnya sebagai universal, namun beberapa sosiolog justeru menilai terlalu individualistik. Dimensi- dimensi tersebut lebih memperlihatkan keberagamaan individual ketimbang keagamaan komunitas. Karena itu, beberapa tetap mengusulkan adanya dimensi sosial dalam keberagamaan masyarakat.

E. Rangkuman

Studi sosiologi agama mengkaji dimensi sosial dari agama. Sosiologi agama tidak mempelajari kebenaran kepercayaan suatu agama. Dimensi sosial dari agama melingkupi aspek-aspek agama yang dapat diobservasi secara empirik melalui pemeluk atan komunitas keagamaan.

Agama merupakan salah satu kekuatan yang sangat berpengaruh, powerful dalami kehidupan manusia. Agama telah membentuk hubungan antar anggota

masyarakat, mempengaruhi keluarga, komunitas, ekonomi, kehidupan politik, dan budaya masyarakat, bahkan ilmu pengetahuan. Keyakinan agama dan nilai-nilainya memotivasi tindakan sosial manusia, membentuk ekspresi-ekspresi simbolik komunitas keagamaan. Agama adalah aspek kehidupan sosial yang signifikan, sementara dimensi sosial merupakan bagian penting dari sebuah agama.

Memahami dan menjelaskan fenomena hubungan agama dan masyarakat menjadi tugas sosiologi khususnya sosiologi agama. Dalam menjelaskan fenomena tersebut nalar sosiologis menjadi alat analisis. Nalar sosiologi paling tidak melingkupi pemahaman dan penjelasan hubungan antara struktur sosial dan tindakan sosial aktor. Beberapa sosiolog memusatkan perhatiannya pada struktur sosial baik statika maupun dinamikanya. Bagaimana struktur sosial mempengaruhi tindak sosial aktor.

Bagaiman bentuk struktur sosial yang menjadi konteks tindak sosial aktor. Atau, menjelaskan perubahan pada stuktur sosial tersebut. Perspektif ini berada di level makro.

Sosiolog yang lain, memusatkan perhatian pada apa yang dilakukan oleh masyarakat sebagai aktor sosial, mengapa ia melakukannya, dalam konteks struktur apa ia melakukan tindakan tersebut. Perspektif sosiologi ini berada di level mikro karena menjelaskan tindakan dari para aktor. Meskipun, ketika sosiologi menjelaskan tindakan aktor tersebut, ia tidak bisa melupakan ataupun harus mengaitkan dengan konteks struktur di mana si aktor melakukan tindakan.

Sosiologi agama mengkaji saling pengaruh antara agama dan masyarakat.

Analisis dan perspektif sosiologi tentang agama di dalam masyarakat dapat membantu memahami problem yang terjadi di dalam masyarakat. Begitu pula, sosiologi dapat menawarkan solusi untuk memecahkan problem tersebut. Hanya saja, yang perlu didudukkan di sini adalah bahwa sosiologi tetaplah ilmu yang mengkaji tentang masyarakat manusianya bukan pada agamanya. Sosiologi mengkaji masyarakat manusia yang meyakini agama dan mempraktekkannya serta apa dampak dari keyakinan dan praktek keagamaan tersebut terhadap kehidupan sosial.

Banyak sosiolog telah mendefinisikan apa itu agama. Namun, tidak ada kesepakatan tentang pengertian agama yang menjadi patokan para pengkaji sosiologi. Karena itu, studi sosiologi agama kemudian mencoba mengategorisasi definisi-definisi tentang agama dari para sosiolog tersebut. Definisi-definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi definisi substanstif dan definisi fungsional. Definisi substantif berisi karakteristik dari isi (konten) sebuah agama. Menurut Furseth, konten tersebut biasanya terkait dengan kepercayaan manusia pada fenomena atau suatu yang supernatural atau extraordinary. Definisi fungsional mendeskripsikan manfaat

atau dampak agama yang diharapkan terjadi pada manusia ataupun masyarakat.

Kalau, definisi substantif berbicara tentang apa itu agama, sedangkan definisi fungsional tentang apa yang dilakukan agama.

Sosiologi mengidentifikasi unsur-unsur agama yang ada di dalam masyarakat.

Ada beberapa ragam formulasi unsur-unsur tersebut. Secara umum, unsur-unsur tersebut meliputi: kepercayaan kepada yang sakral, ritual terhadap yang sakral, moralitas pemeluk sebagai implikasi dari kepercayaan dan praktek ritual terhadap yang sakral, dan komunitas pemeluk. Ada yang menambahkan simbolisme dari kepercayaan yang sakral, namun unsur tersebut dalam pembahasannya tercakup dalam unsur kepercayaan dan ritual.

Dimensi keberagamaan masyarakat juga menjadi bagian dari dimensi sosial agama. Dimensi keberagamaan masyarakat menjadi objek kajian sosiologi agama.

Rodney Stark dan Charles Glock dalam bukunya an Introduction to a studi of American Piety (1968) menjelaskan lima dimensi dari komitmen keagamaan. Berbeda dengan Smart yang cenderung menggali sisi intrinsik dari agama, Stark dan Glock lebih menekankan pada aspek peran agama secara sosial. Basis argumen dari Stark dan Glock berpijak pada beragamnya ekspresi keagamaan masyarakat. Kelima dimensi tersebut yaitu: dimensi kepercayaan, dimensi praktek keagamaan, dimensi pengalaman keagamaan, dimensi pengetahuan dan dimensi konsekuensial.

Bab 3

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 32-36)