• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi Sosial Agama

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 46-49)

PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONALISME TENTANG AGAMA

B. Pandangan Fungsionalisme Kontemporer tentang Agama

2. Fungsi Sosial Agama

Peran dan fungsi agama menurut perspektif fungsionalisme melingkupi fungsi membentuk dan menjaga integritas sosial melalui pemeliharaan solidaritas sosial;

pedoman hidup bagi anggota masyarakat dengan menyediakan jawaban terhadap persoalan-persoalan hakiki dalam kehidupan (ultimate meaning); pengendalian sosial agar tetap terjaga stabilitas masyarakat; serta pusat identifikasi diri anggota masyarakat yang juga berkontribusi terhadap solidaritas dan stabilitas sosial.

Agama secara sosial berfungsi sebagai perekat atau integrasi sosial (Nottingham 1997). Hal tersebut dapat terlihat dari bagaimana agama mendorong terbentuknya kolektifitas keagamaan dan membangunn solidaritas sosial di antara anggotanya (Yinger dalam Scharf 2004). Kingsley Davies berpandangan bahwa agama berfungsi menjaga kohesifitas sosial melalui justifikasi, rasionalisasi dan dukungan terhadap sentimen kekelompokan dalam komunitas agama. Ritual yang dilakukan secara bersama-sama mengekspresikan keyakinan bersama dalam komunitas keagamaan. Hal tersebut mendorong anggota kelompok mendedikasikan diri mereka untuk mencapai tujuan kelompok. Ritual keagamaan juga membentuk identitas kelompok (dalam Hamilton 2001:134).

Yinger menambahkan agama berperan dalam menjaga kohesifitas sosial melalui penjagaan tatanan moral masyarakat (dalam Hamilton 2001: 136), walaupun ia tidak menampik fenomena agama yang menjadi pemicu disintegrasi sosial. Moralitas masyarakat menjadi penanda komunitas dalam membangun dan menjaga kohesifitas kekelompokan mereka. Seperti yang telah dijelaskan di atas, moralitas menjadi bagian penting suatu komunitas keagamaan.

Agama juga berfungsi menjadi pegangan atau pedoman hidup. Sebagai pedoman hidup agama dapat menjadi benteng menghadapi anomi sehingga masyarakat bisa menghindari chaos. Agama membantu anggota masyarakat memberikan penafsiran atas pengalaman-pengalaman hidup mereka, memberikan

keyakinan & kepastian, serta penentram (O`Dea, Nottingham, Yinger dalam Scharf 2004). Agama sebagai pedoman hidup membuat masyarakat dapat mengendalikan dan mengarahkan kehidupan mereka sesuai dengan cita-cita keagamaan sebagaimana yang mereka yakini dan pedomani. Perubahan-perubahan sosial yang terkadang mengguncang tatanan kehidupan masyarakat dapat diantisipasi dan dikendalikan melalui nilai-nilai dan cita-cita keagamaan. Seperti gejala maraknya seks bebas, kehidupan percintaan sejenis, wabah aids, narkoba dan lain sebagainya dapat diantisipasi komunitas keagamaan karena agama bagi mereka memberikan tuntunan dan pedoman dalam melakukan atau tidak melakukan hal-hal tersebut.

Milton Yinger (dalam Scharf 2004: 108-109; Hamilton 2001: 135-137) menjelaskan bahwa setiap orang memerlukan nilai-nilai mutlak dalam menjalani dan menghadapi kehidupannya. Nilai-nilai mutlak diperlukan untuk menjawab hakikat kehidupan; dari mana dan akan ke mana hidup ini (ultimate problem). Orang-orang membutuhkan nilai-nilai mutlak ketika mereka menghadapi problem hidup yang mengguncang kehidupan mereka seperti kematian, frustasi, kegagalan, tragedi, penderitaan dan seterusnya. Ketika menghadapi kematian anggota keluarga yang dicintai, kegagalan dan frustasi dalam pekerjaan atau pendidikan; tragedi dan penderitaan misalnya karena musibah bencana alam atau kelaparan, dan seterusnya, manusia biasa mengalami guncangan yang membuatnya kehilangan kepercayaan diri sehingga mengalami kegalauan tentang makna hidup dan mau ke mana hidup ini.

Dalam situai tersebut, jika seseorang tidak mampu mengatasinya bisa jadi akan mengakibatkan depresi bahkan ada yang berujung pada kematian bunuh diri (suicide).

Dalam situasi itu, biasanya pemeluk agama akan kembali kepada agamanya karena agama seperti yang diyakininya memberikan solusi terhadap persoalan-persoalan tadi. Agama memberikan keyakinan dan keteguhan dalam menghadapi situasi-situasi yang yang disebutkan tadi.

O`Dea (dalam Hamilton 2001:138) menambahkan argumentasi tentang arti penting agama sebagai pedoman hidup masyarakat. Menurutnya, eksistensi manusia dalam kehidupan sebenarnya ditandai oleh tiga hal yaitu: ketidakpastian dan keringkihan (contingency); ketidakberdayaan yang mengatasi ketidakpastian (powerlessnes); dan, apa yang kita inginkan dan butuhkan sering tidak mampu kita penuhi (scarcity). Tiga hal ini mengakibatkan frustasi dan deprivasi. Menghadapi hal tersebut agama, menurut O`Dea, membantu mengadaptasi situasi tersebut. dengan nilai dan tujuan keagamaan, agama menyediakan dukungan dan penghiburan dalam menghadapi ketidakpastian, keringkihan, dan ketidakberdayaan dalam hidup,.

Agama yang diyakini pemeluk agama menawarkan jawaban terhadap persoalan hakiki tersebut. Sistem keyakinan agama memberikan kepastian tentang dari mana asal hidup ini, mau kemana dan bagaimana hidup ini mestinya dijalankan. Bagi pemeluk agama, perkembangan ilmu pengetahuan (sains) ternyata tidak memuaskan mereka, karena ilmu pengetahuan tidak bisa memberi kepastian kepada mereka dalam menjawab persoalan-persoalan hakikat hidup tadi.

Selain itu, agama juga berfungsi sebagai kontrol sosial melalui penanaman nilai, dan mensakralisasi norma sosial sehingga upaya pengendalian sosial melalui agama PHPSXQ\DL NHNXDWDQ \DQJ OHELK NXDW (2¶GHD). $JDPD MXJD EHUIXQJVL VHEDJDL pembentuk dan penyesuaian identitas sosial. menurut O`Dea (dalam Hamilton 2001:138), yaitu melalui pemujaan dan upacara keagamaan, agama memberikan kenyamanan emosional dan identitas.

Sementara itu, Parsons sebagai tokoh utama fungsionalisme modern mempunyai pandangan tentang fungsi agama (Furseth dan Repstad 2006: 46) sebagai berikut:

Parsons assumes that religion has several functions in society. First, religion helps members of society to deal with unforseeable and uncontrollable events, such as an early death. Second, through rituals religion enables individuals to live with uncertainty. Religion also gives meaning to life and explains phenomena that otherwise would seem meaningless, such as suffering and the problem of evil. In this way, religion calms tensions that otherwise would disturb the social order, and helps to maintain social stability.

Parsons mengasumsikan bahwa agama memiliki beberapa fungsi dalam masyarakat. Pertama, agama membantu anggota masyarakat untuk menghadapi situasi yang tidak dapat diprediksi dan tidak dikendalikan seperti kematian dini. Kedua, agama melalui ritual-ritualnya membuat individu-individu mampu hidup di dalam ketidakpastian. Agama juga memberikan makna terhadap kehidupan dan menjelaksana fenomena sepertinya terlihat tidak bermakan, seperti penderitan dan problem dosa. Melalui cara ini, agama meredakan ketegangan-ketegangan yang bisa jadi akan merusakan tatanan sosial serta membantu menjadi stabilitas sosial. Di sini, Parson melihat fungsi agama sebagai sistem makna yang menjadi pedoman hidup bagi masyarakat. Sebagai pedoman hidup, agama menurut Parson dapat menjaga tatanan dan stabilitas sosial.

Selanjutnya, Parsons (dalam (Furseth dan Repstad 2006: 46) berpendapat bahwa agama akan tetap menjadi pentinga dalam kehidupan masyarakat modern. Ia PHQJHPEDQJNDQ WHRUL ³DJDPD FLQWD´ (the religion of love) yang didasarkan atas

observasinya tentang berkembangnya gerakan keagamaan baru di Amerika yang menekakan tema-tema cinta dan kasih sayang.

,Q 3DUVRQV¶ VRFLRORJ\, UHOLJLRQ KDV D YLWDO IXQFWLRQ. 5HOLJLRQ EHFRPHV, WR D large degree, a presupposition for the maintenance of society. However, religion is not functional for society only, as Durkheim asserts; it is functional for the individual as well. Parsons claims that religion will always exist, although it might take a secular form. For him, unbelief is impossible in modern society, and for that reason, religion will also continue to be important in the future (Parsons 1971).

Dari kutipan di atas, Furseth dan Repstad menempatkan Parson sebagai fungsionalis dalam memandang agama. Fungsi agama tersebut meliputi kontribusi agama dalam membangun dan menjaga harmoni, integrasi dan solidaritas di dalam masyarakat. Namun demikian, karena pandangan Parson bahwa agama menjadi penjaga stabilitas sosial, maka Parson tidak menempatkan agama sebagai sumber inovasi dan perubahan sosial.

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 46-49)