• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Kelas Terdominasi terhadap Agama

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 60-63)

PERSPEKTIF TEORI KONFLIK TENTANG AGAMA

B. Agama dalam Perspektif Konflik Sosial 1. Posisi Agama dalam Dinamika Konflik Kelas

3. Strategi Kelas Terdominasi terhadap Agama

Suatu kelompok sosial tidak menjadi kelas terdominasi dalam satu malam.

Bahkan ketika ia melalui situasi subordinasi tradisional ke tipe baru subordinasi (seperti ketika petani tanpa tanah menjadi petani bagi hasil) setiap kelompok sosial yang terdominasi melaluinya lewat proses yang panjang. Proses penaklukkan itu selalu merupakan proses konfliktual, penuh dengan resistensi dan stagnasi. Bila prosesnya menghasilkan kelompok yang terdominasi, hal itu hanya akan terjadi karena kelompok tersebut kurang memiliki kekuatan baik material maupun simbolik, untuk berhenti ataupun membalikkan proses.

Setiap kelompok sosial yang terdominasi mengadopsi strategi perlawanan terhadap dominasi. Karena, kelas dominan tidak pernah bisa mendapatkan kontrol mutal terhadap seluruh kehidupan kolektif masyarakat. Selalu tersisa peluang untuk perlawanan bagi kelompok terdominasi ± bahkan pun bila dalam bentuk diam, kebingunan, tidak kooperatif, histeria, atau melakukan teror desruktif.

Tentu saja, perlawanan dari kelompok terdominasi sering mengambil bentuk berupa pencarian kompensasi ketimbang kesadaran dan pemberontakan kolektif yang terorganisasi khususnya ketika jalur pembebasan mereka terlihat terblokir. Tetapi perlawanan tetap ada, dan itu menjadi bertentangan dengan strategi kelas dominan.

Konflik mewujudkan dirinya sebagai konflik pada momentum kehidupan kolektifk seperti ketika masa krisis ataupun adanya perubahan tiba-tiba. Tetapi,

Aktifitas keagamaan yang dilakukan oleh kelompok terdominasi dipengaruhi oleh pembatasan dan pengarahan dari kelas dominan. Namun demikian, hal itu juga dipengaruhi oleh kelas terdominasi sendiri karena proses panjang mereka menjadi terdominasi.

Sosiologi agama memberi perhatian pada usaha-usaha kelas terdominasi untuk mendapatkan otonomi yang maksimum vis-a-vis kelas dominan. Otonomi itu tidak hanya di level produksi, tapi juga di level simbolik begitu pula di level kultural.

Keinginan otonomi ini tentu berhadap secara diametral dengan keinginan kelas dominan untuk memantapkan hegemoninya.

Kelas terdominasi untuk mendapat otonomi dan kekuatannya sendiri akan berusaha untuk mencapai otonomi keagamaan. Hal tersebut meliputi keinginan untuk mengonstruksi sendiri sistem pemikiran dan praktek keagamaan keagamaan yang relevan dengan kebutuhan dan tujuan mereka. Karena itu, seluruh agen keagamaan di dalam kelas terdominasi akan berusaha mencapai otonomi keagamaan ini.

Hasil dari proses ini akan tergantung pada hubungan kekuasaan yang objektif pada kelompok terdominasi bagaimana mereka membangun kesadaran kelas, organisasi dan mobilisasi aksi. Otonomi keagamaan ini akan membawa dampak signifikan terhadap struktur dan dinamika keagamaan di masyarakat. Konflik antara kepentingan mendapatkan otonomi keagamaan pada kelompok terdominasi melawan hegemoni keagamaan pada kelas dominan dapat terjadi secara laten maupun secara terbuka di arena keagamaan di antara agen-agen keagamaan. Dampak dan transformasi akan lebih besar secara signifikan bila kelas terdominasi memiliki kemampuan revolusioner dimana kelas terdominasi tersebut mempunyai kemampuan membangun gerakan sosial yang diarahkan pada transformasi radikal terhadap tatanan sosial yang ada.

Kebalikannya, dampak perubahannya akan minimal bila mereka tidak mempunyai kemampuan untuk mendapat otonomi kelas (dengan kesadaran, pengorganisasi dan mobilisasi kelas). Karena itu, mereka juga tidak mampu mengancam secara serius kekuatan kelas dominan di dalam masyarakat mereka.

Kesimpulannya adalah perlawanan kelas terhadap dominasi akan mengharuskan mereka untuk mendapatkan limitasi dan orientasi mereka sendiri terhadap bacaan, interpreasi, pendefinisian pesan-pesan dasar ari agama yang beropersasi di dalam kelas terdominasi.

Untuk melihat apakah kelas terdominasi memiliki atau tidak elemen revolusioner sehingga bisa menggerakkan mereka melakukan perlawanan terhadap kelas dominan, dapat dilihat pada tiga level tingkat otonomi kelas. Hal itu bisa dianlisis meliputi (1) kesadaran kelas; (2) Pengorganisasi kelas; dan (3) mobilisasi kelas.

(1) kesadaran kelas, adaah persepsi anggota kelompok terdominasi tentang diri mereka apakah terdominasi dan terbedakan dari kelompok atau kelas dominan.

Tingkat minimum kesadaran kelas pada kelompok terdominasi adalah adanya kesadaran bahwa mereka berbeda darikelas dominan, namun tanpa sentimen SHUODZDQDQ DWDX KDUDSDQ XQWXN PHUXEDK SRVLVL VXERUGLQDVL PHUHND. ³EDKZD DGD RUDQJ \DQJ PLVNLQ, GDQ DGD \DQJ ND\D, DGDODK KDO ELDVD GDODP NHKLGXSDQ.´

Sementara, tingkat paling tinggi dari kesadaran kelas adalah kesadaran yang nyata tentang posisi yang berlawanan dengan kelas dominan, perasaan penolakan terhadap dominasi mereka, dan keinginan serta keputusan kolektif untuk posisi subordinasi mereka.

Agama dalam kasus ini dapat berfungsi sebagai medium aktif untuk meningkatkan kesadaran kelas tersebut melalui interpretasi ajaran keagamaan atau melaui penyampaian kesadaraan keagamaan (preaching) dari pemuka agama, atau fasilitasi penyadaran dari organisasi keagamaan. Misalnya, melalui gagasan desakralisasi kelas dominan, dan mendorong perjuangan melawan kelas dominan sebagai perjuangan suci atau diredhai tuhan.

(2) Organisasi kelas, adalah pemanfaatan ruang dan waktu oleh kelas terdominasi untuk mendayagunakan sumberdaya kolektif kelasnya sehingga bisa terlibat dalam proses sosialnya. Tingkat minimal dari organisasi kelas terdominasi terjadi dalam bentuk pertemuan sederhana yang dilakukan secara periodik di tempat dan waktu tertentu yang berbeda dan tidak melibatkan kelas dominan. Tingkat maksimal adalah dalam bentuk asosiasi kolektif yang secara eksplisit diarahkan untuk perjuangan melawan dominasi. Agama dalam hal ini dapat berperan sebagai saluran untuk terbentuknya organisasi otonom bagi kelas terdominasi yang berbeda dengan sistem keagamaan pada kelas dominan.

(3) Mobilisasi kelas, yaitu aksi kolektif yang secara eksplisit berkonfrontasi dengan kekuatan kelas dominan. Mobilisasi kelas adalah bentuk nyata dari proses sosial. Tingkat minimum mobilisasi kelas adalah aksi protes yang spontan dan tidak berkelanjutan, yang lebih dimaksudkan untuk mengekspresikan tuntuan kelompok yang terisolasi. Sementara, tingkat maksimum mobilisasi kelas adalah aksi yang sistematis dan berkelanjutan yang secara bertahap mengakselerasi serangan terhadap dominasi. Aksi ini mempunyuai capaian politis, cenderung untuk memperluas

dan memperdalam kapasitas transformatif dari kelas tersubordinasi, yaitu kekuatan (power) mereka. Dalam konteks ini, agama dapat berperan sebagai saluran mobilisa bagi kelas terdominasi melawan dominasi.

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 60-63)