• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandangan Marx tentang Agama

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 53-57)

PERSPEKTIF TEORI KONFLIK TENTANG AGAMA

A. Pandangan Marx tentang Agama

Salah satu tokoh sosiologi yang paling awal menggunakan perspektif konflik dalam menjelaskan fenomena sosial adalah Karl Marx. Karl Marx (1818-1883) dilahirkan di Trier, Jerman. Ia adalah anak seorang pengacara. Orang tuanya beragama Protestan. Pada tahun 1841 Marx menyelesaikan pendidikan Doktornya di Universitas Berlin. Satu dekade kemudian ia tinggal di beberapa tempat seperti Koln, Brussels, Berlin dan Paris. Di Paris, ia dan Engels bergabung dengan kelompok

revolusioner. Ia menerbitkan the Communist Manifesto pada tahun 1848 di Paris.

Kemudian, ia tinggal di London. Ia memperkenalkan konsep materialisme historis dan teori kelas sosial ke dalam teori-teori sosial.

Pandangan Marx tentang masyarakat berpengaruh besar dalam bangunan perspektif teori konflik dalam studi dan analisis sosiologi. Meskpun Marx tidak menulis khusus tentang agama, namun dalam beberapa tulisannya ia menyinggung tentang agama. Bagian ini akan memaparkan pandangan sosiologis Marx tentang agama tentu saja menggunakan asumsi dan nalar perspektif konflik.

Kerangka fikir Marx tentang masyarakat bertumpu pada analisis bahwa struktur masyarakat dipengaruhi oleh basis strukturnya yaitu ekonomi. Menurut Marx ekonomilah yang mempengaruhi bentuk tatanan sosial kemasyarakatan. Marx membagi sistem kemasyarakatan (societal system) menjadi basis struktur yaitu ekonomi yang mempengaruhi dan suprastruktur yang dipengaruhi yang meliputi politik, ideologi, kebudayaan, agama dan seterusnya.

Ekonomi mempengaruhi suprastruktur masyarakat melalui mode produksi. Bila masyarakat mempunyai mode produksi tertentu, maka suprastrukturnya akan dipengaruhi mode produksi tadi. Misalnya, mode produksi masyarakat eropa modern adalah industri atau kapitalisme. Maka indusitri dan kapitalisme ini sebagai mode produksi akan mempengaruhi politik yang menjadi politik kapitalistik, pendidikan menjadi pendidikan kapitalistik, kebudayaan menjadi kebudayaan kapitalistik, termasuk juga agama menjadi agama kapitalistik.

Dalam mode produksi yang paling esensial mempengaruhi tatanan suprastruktur adalah penguasaan alat produksi. Perbedaan penguasaan alat produksi mengakibatkan terjadinya perbedaan kekuasaan di dalam masyarakat dan membagi masyarakat ke dalam kelas yang berkuasa (kelas borjuis dalam sistem ekonomi kapitalis) dan kelas tidak berkuasa (kelas proletar). Perbedaan kelas ini mengakibatkan terbentuknya relasi produksi yang dominatif. Relasi produksi yang dominatif ini terlihat dari terjadinya ekploitasi dari kelas borjuis kepada kelas proletar.

Dampaknya terhadap kelas proletar adalah mereka mengalami alienasi (keterasingan) yang terjadi baik dalam proses produksi maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam situasi keterasingan itu, kelas proletar menggunakan agama sebagai medium penyaluran keluh kesah mereka akibat dieksploitasi dalam proses produksi oleh kelas borjuis. Agama menjadi alat penghiburan diri bagi mereka. Menurut Marx, agama merupakan ilusi yang melenakan kelas proletar dari stuasi ketertindasan mereka. Agama adalah candu bagi masyarkat, menurut Marx.

Bagi Marx, agama secara esensial adalah produk dari masyarakat kelas. Ide Marx tentang agama menjadi bagian dari teorinya tentang alienasi di dalam mayarakat yang terbagi ke dalam kelas. Agama dilihatnya sebagai produk dari alienasi sekaligus juga sebagai ekspresi dari kepentingan kelas. Keduanya di saat yang sama merupakan alat manipulasi dan opresi terhadap kelas subordinat di dalam masyarakat, ekspresi protes terhadap penindasan, bentuk kepasarahan dan pelarian dari penindasan.

Di dalam masyrakat pra-kelas, Marx percaya bahwa manusia setara secara alamiyah. Masyarakat primitif hanya sedikit memiliki kontrol terhadap alam, begitu pula mempunyai sedikit pengetahuan tentang proses alam. Ketika masyarakat mulai terbagi ke dalam kelas-kelas, manusia masih juga belum mampu melakukan kontrol terhadap alam dan masyarakat.

Di dalam masyarakat kelas, tatanan sosial dilihat sebagai suatu faktor tetap yang mendeterminasi perilaku manusia. Walaupun tatanan sosial itu sesungguhnya adalah pola tindakan dan perilaku masyarakat. Dalam masyarakat kelas, manusia sebenarnya teralienasi dan termistifikasi pandangannya dalam melihat realitas.

Masyarakat manusia sebenarnya adalah produk dari kekuatan eksternal.

Dari kerangka fikir itu, Marx (mepertimbangkan pemikiran Ludwig Feuerbach) mengonseptualisasi siapa itu tuhan yang menurutnya tidak lebih dari seseorang yang diproyeksikan di luar dari manusia ke dalam realitas fantasi di mana dalam bentuknya yang dibesar-besarkan digambarkan mengontrol dan membimbing manusia melalui perintah-perintahnya. Marx mendukung argumentasi ini dengan memberi contoh konsepi tuhan dalam masyarakat Kristen yagn memercayai bahwa Tuhan menciptakan manusia di dalam citra dirinya, sementara yang sebenarnya menurut Marx justru manusialah yang menciptakan Tuhan sesuai dengan citra dirinya.

Kekuatan dan kapasitas yang dimiliki manusia diproyeksi kepada sosok Tuhan yang muncul sebagai suatu yang sempurna dan maha kuasa.

Agama karena itu, menurut Marx, merupakan pembalikan dari situasi sebenarnya karena ia adalah produk dari alienasi. Feuerbach menunjukkan bagaimana ilusi keagamaan dapat dipahami sebagai bagian dari struktur masyarakat itu sendiri. Kritik terhadap agama karena itu juga merupakan kritik terhadap masyarakat yang memproduksi agama.

Sebenarnya tidak ada kajian sistematis dalam tulisan Marx tentang agama.

Tulisannya tentang agama tersebar di banyak bagian di dalam karya-karyanya. Yang paling banyak adalah yang terdapat dalam karyanya Contribution to the Critique of

+HJHUO¶V 3KLORVRSK\ RI Right. Berikut kutipan penting dari bukunya tersebut (sebagaimana dikutip Hamilton 2004:92; Marx dan Engels 1957: 63).:

The basis of irreligious criticism is: Man makes religion, religion does not theory of that world, its encyclopaedic compendium, its logic in a popular form, its spiritualistic SRLQW G¶KRQQHXU, its enthusiasm, its moral sanction, its solemn completion, its universal ground for consolation and justification. It is the fantastic realization of the human essence because the human essence has no true reality. The struggle against religion is therefore mediately the fight against the other world, of which religion is the spiritual aroma.

Religious distress is at the same time the expression of real distress and the protest against real distress. Religion is the sigh of the oppressed creature, the heart of a heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people.

The abolition of religion as the illusory happiness of the people is required for their real happiness. The demand to give up the illusions about its condition is the demand to give up a condition which needs illusions. The criticism of religion is therefore in embryo the criticism of the vale of woe, the halo of which is religion.

Criticism has plucked the imaginary flower from the chain not so that man will wear the chain without any fantasy or consolation but so that he will shake off the chain and cull the living flower. The criticism of religion disillusions man to make him think and act and shape his reality like a man who has been disillusioned and has come to reason, so that he will revolve round himself and therefore round his true sun. Religion is only the illusory sun which revolves round man as long as he does not revolve round himself.

Marx mendeskripsikan agama sebagai produk manusia. Agama merupakan kesadaran diri dari manusia yang belum menemukan dirinya atau yang telah kehilangan dirinya. Agama merupakan kesadaran dunia yang terbalik, tempat penghiburan dan justifikasi, keluh kesah makhluk tertindas. Ungkapan negatif Marx tentang agama berpuncak bahwa agama adalah opium bagi masyarakat. Bahkan lebih jauh ia menganjurkan untuk melenyapkan agama sebagai kebahagiaan semu, karena masyarakat berhak mendapat kebahagiaan yang hakiki.

Karena tawaran semu agama, maka kelompok tertindas umumnya relijius.

Meskipun, kelas penguasa sering juga relijius. Karena, agama dapat menjadi alat manipulatif untuk mengendalikan kelas tertindas di dalam masyarakat.

Marx mengakui juga bahwa agama dapat menjadi ekspresi perlawanan terhadap penindasan. Hanya saja, protes tersebut tidak dapat mengatasi kondisi ketertindasan, ia hanya seperti obat penghilang rasa sakit, bukan obat yang menyembuhkan. Marx PHQJJXQDNDQ XQJDNDSDQ ³the sigh of the oppressed creature´. +DO WHUVHEXW PHUXMXN

pada gejala gerakan keagamaan tertentu seperti gerakan milenial, sebagai gerakan kelas dan gerakan protes politik.

Gagasan Marx untuk melenyapkan agama merujuk pada argumentasi bahwa untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki, maka kebahagian semu harus dihilangkan.

Agama adalah kebahagiaan semu. Untuk mendapatkan kondisi kebahagiaan hakiki maka faktor-faktor yang menghambat kebahagiaan hakiki yaitu kebahagiaan semu harus dilenyapkan. Karena itu, institusi-institusi dalam masyarakat komunis melenyapkan agama. Menurut Marx, agama tidak mempunyai masa depan.

Dari pemikiran Marx, agama berada dalam posisi yang asimetris. Bagi kelas penguasa, agama menjadi alat manipulatif untuk melegitimasi kekuasaan mereka karena agama merupakan ideologi yang mewakili kesadaran palsu masyarakat.

Sementara, bagi kelas tertindas, agama sebagai alat penghiburan dan pelarian dari situasi ketertindasan. Agama bagi kelas tertindas hanyalah kompensasi dan ekspresi protes. Padahal, dalam sejarahnya, agama digunakan sebagai alat kekuasaan dalam argumen yang politis bukan ideologis. Artinya ketika pempimpin agama berkolaborasi dengan pemimpin politik sebenarnya adalah situasi pertukaran di antara kedua belah pihak dimana pemimpin politik membutuhkan legitimasi sementara pemimpin agama membutuhkan dukungan politik untuk eksistensi agama mereka. Jadi, sebenarnya situasi tersebut bukan esensi ideologis dari agama sebagaimana yang dikonseptulisasi Marx sebagai kesadaran dunia yang terbalik.

B. Agama dalam Perspektif Konflik Sosial

Dalam dokumen KATA PENGANTAR Pengantar Sosiologi Agama (Halaman 53-57)