• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Dimensi Reformasi Pendidikan Islam

Melihat kecenderungan perkembangan pendidikan Islam kita dewasa ini seperti yang saya sebutkan di atas dan pentingnya pena‐ naman nilai‐nilai keadilan sosial dan keharmonisan sesama umat ke‐ pada anak‐anak kita, maka saya berpendapat bahwa kita perlu mela‐ kukan perbaikan‐perbaikan sistemis terhadap beragam aspek dan proses pendidikan. Dalam tulisan ini, saya menawarkan sebuah kon‐ sep dari upaya kita melakukan reformasi pendidikan Islam. Konsep ini saya sebut dengan “Lima Dimensi Reformasi Pendidikan Islam un‐ tuk Keadilan dan Harmoni Sosial”. Konsep ini dapat dilihat dari diagram berikut ini:

Diagram 1 Lima Dimensi Reformasi Pendidikan Islam Vision

Diagram di atas menggambarkan sebuah proses menyeluruh untuk mereformasi pendidikan Islam yang dapat berkontribusi mem‐ promosikan keadilan sosial dan menciptakan harmoni dalam ma‐ syarakat. Reformasi ini berawal dari sebuah visi besar untuk mewu‐ judkan pendidikan Islam seperti dimaksud di atas. Visi ini harus menjadi sentral dalam reformasi dan menjadi sumber inspirasi dan pengarah dalam proses selanjutnya. Visi dibangun dari pemahaman akan situasi dan kondisi kekinian, driving forces yang melingkarinya, serta kemampuan dan kapasitas diri sendiri. Visi harus dibagi dan di‐ pahami bersama oleh semua stakeholder untuk menciptakan pikiran, gerak dan sikap yang seragam. Oleh karena itu, visi bahwa pen‐

didikan Islam harus berkontribusi terhadap terciptanya keadilan dan harmoni sosial menjadi titik tolak bagi reformasi ini.

Revisiting the Aim of Islamic Education

Dimensi kedua dari upaya reformasi terhadap pendidikan Islam adalah menengok kembali tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Se‐ lama ini, dalam bahasan teori yang sering kita dapat adalah bahwa tujuan pendidikan Islam itu sering berorientasi kepada pengembang‐ an diri pribadi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam praktiknya, tujuan ini dipahami dan diterjemahkan malah lebih me‐ nyempit lagi sehingga yang dituju lebih banyak berfokus pada kesa‐ lehan personal (personal piety). Seseorang dianggap beragama de‐ ngan baik manakala ia berhasil menampilkan keberagamaannya se‐ cara personal yang tidak jarang ini pun direduksi ke dalam simbol‐ simbol superfisial beragama. Dalam proses pendidikan, tidak heran jikalau kurikulum dan evaluasi pendidikan Islam lebih banyak berku‐ tat dalam ranah kognitif keagamaan dan tampilan semunya. Kesale‐ han sosial (social piety) yang merupakan paruh lainnya dari keber‐ agamaan belum menjadi perhatian dalam proses pendidikan. Oleh karena itu, tujuan pendidikan Islam harus bergerak ke arah yang lebih substantif dan berdimensi sosial yang nyata. Karakteristik sosial harus disebutkan secara eksplisit seperti halnya kualitas‐kua‐ litas individu. Saya menyarankan bahwa tujuan Pendidikan Islam di‐ formulasikan sebagai berikut: “untuk mengembangkan pribadi‐pri‐

badi yang bertakwa yang secara aktif berperan positif dalam masyarakat dan berkontribusi terhadap pembangunan bangsa sebagai warga negara yang baik”. Tujuan ini harus tecermin dalam

semua aspek pendidikan termasuk kurikulum dan pembelajaran.

Critical Teacher Education

Dimensi selanjutnya yang harus menjadi fokus perhatian kita da‐ lam mereformasi pendidikan Islam untuk keadilan dan harmoni sosial adalah pendidikan keguruan. Dalam pengamatan saya, pendi‐ dikan keguruan kita semakin berorientasi kepada keterampilan mengajar semata tanpa membekali mahasiswa calon guru dengan teori dan pemahaman akan sosial dan budaya yang memadai. Guru‐ guru kita sekarang yang merupakan cermin dari hasil pendidikan ke‐

guruan gagal menampilkan diri sebagai sosok‐sosok pendidik yang sensitif terhadap persoalan kemasyarakatan dan kebudayaan. Daya kritis mereka mandul, dan kemampuan analisis mereka tidak tampak. Mereka bahkan tidak mampu melihat relasi atau hubungan antara apa yang mereka ajarkan di kelas dengan yang akan terjadi di ma‐ syarakat sebagai hasil pengajaran tersebut. Ini antara lain disebab‐ kan oleh pendidikan keguruan yang hanya berorientasi membekali mahasiswa dengan pengetahuan bagaimana mengajar dengan baik di kelas. Walhasil, proses pendidikan keguruan kita sekarang seakan‐ akan bergerak untuk menciptakan robot‐robot pendidik di sekolah.

Oleh karena itu, pada dimensi pendidikan keguruan ini, kita per‐ lu mengubah orientasi dan kurikulumnya dengan lebih menekankan kepada critical pedagogy (pedagogi kritis). Critical pedagogy adalah sebuah falsafah atau konsep pendidikan yang menekankan pada ke‐ sadaran akan kebebasan, mengenali tendensi‐tendensi otoritarianis‐ me, dan menghubungkan pengetahuan dengan kuasa dan kemam‐ puan untuk bertindak (Hussein, 2007). Intinya konsep ini menentang dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya dalam masyarakat, mengedepankan keadilan sosial, dan menjunjung tinggi kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. Sejalan dengan ajaran Islam, critical peda‐ gogy berperan untuk memperkecil kesenjangan antara kelas‐kelas sosial di masyarakat. Untuk itu, perubahan kurikulum pendidikan ke‐ guruan kita perlu memasukkan pengetahuan‐pengetahuan kritis se‐ perti logika, antropologi, sosiologi yang akan membekali para maha‐ siswa dengan keterampilan berpikir kritis, menganalisis problema‐ tika sosial dan budaya dengan tajam dan menunjukkan keberpihakan kepada keadilan dan kesejahteraan merata untuk semua anggota ma‐ syarakat.

Humanist Confessional Approach

Seperti yang disebutkan terdahulu bahwa pengajaran agama di Indonesia, dan sebetulnya juga di negara‐negara nonsekuler, meng‐ anut pendekatan konfesional (Raihani). Sebetulnya ini tidak keliru, karena bukanlah keyakinan kita orang Islam untuk mengajarkan aga‐ ma hanya untuk ilmu pengetahuan semata. Kita mengajarkan agama kepada anak didik adalah untuk membina iman dan Islam mereka. Namun demikian, fenomena intoleransi bahkan dalam konteks hu‐

bungan intern umat Islam yang akhir‐akhir ini semakin menguat tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan agama yang kita laksa‐ nakan. Oleh karena itu, confessional approach yang kita yakini seba‐ gai sebuah pendekatan pendidikan agama yang cocok untuk konteks negeri ini haruslah mengalami penyesuaian dengan tujuan‐tujuan sosial pendidikan Islam dan konteks keindonesiaan yang majemuk. Saya menawarkan sebuah konsep “humanist confessional approach” atau pendekatan konfesional yang humanis. Maknanya, pendidikan Islam masih terus akan membekali dan membuat keyakinan anak di‐ dik bertumbuh dalam kerangka penghargaan akan nilai‐nilai kema‐ nusiaan. Nilai‐nilai universal kemanusiaan seperti kebebasan, persa‐ maan hak, keadilan, toleransi dan perdamaian harus menjadi fokus dalam pengajaran agama. Intinya, menjadi seorang Muslim adalah menjadi individu yang humanis, bukan sebaliknya menjadi Muslim adalah menjadi orang yang berpikir sempit, sektarian, dan intoleran terhadap perbedaan‐perbedaan dalam masyarakat.

Participative Control of the State

Keberadaan negara sebagai tulang punggung pendidikan bangsa harus lebih terlihat khususnya pada sekolah‐sekolah swasta yang rentan dimasuki oleh paham‐paham intoleransi. Keengganan seko‐ lah‐sekolah ini untuk mengikuti aturan‐aturan bernegara seperti hal‐ nya pengibaran dan penghormatan bendera dan pengajaran kewar‐ ganegaraan yang sesuai dengan dasar negara menunjukkan sikap non‐compliance yang semestinya menjadi perhatian pemerintah. Walaupun jenis sekolah‐sekolah ini jumlahnya sedikit dan sporadis, akan tetapi pengaruh mereka bisa terus menguat seiring dengan se‐ makin kuatnya ideologi transnasional yang tidak compatible dengan prinsip‐prinsip dasar Islam tentang tasāmuḥ (toleransi), `adālah (ke‐ adilan) dan salām (perdamaian). Keberadaan negara di sekolah‐seko‐ lah ini bisa dalam bentuk mekanisme kontrol yang partisipatif – meli‐ batkan pihak‐pihak yang berkepentingan – dan tidak bertentangan dengan prinsip‐prinsip demokrasi. Keberadaan negara juga bisa ber‐ wujud dalam hal bantuan dana dan pendampingan untuk pengem‐ bangan kurikulum dan sumber daya manusia. Intinya, saya kira, tidak ada negara yang ingin melihat proses pendidikan di sebagian seko‐ lahnya melenceng dari tujuan dan kepentingan pendidikan nasional.

Demokrasi tidak berarti bahwa setiap sekolah dapat mengajarkan ajaran‐ajaran dan keyakinan yang pada akhirnya menggerogoti prin‐ sip‐prinsip demokrasi itu sendiri. Dalam sistem yang demokratis, se‐ tiap sekolah seharusnya berkontribusi untuk menciptakan warga ne‐ gara yang secara aktif berperan dalam pembangunan bangsa dan ne‐ gara sembari menjadi individu‐individu yang taat dan bertakwa ke‐ pada Allah swt.