• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen dan Sistem Akuntabilitas Pendidikan Islam

Isu sentral dalam manajemen pendidikan Islam ini adalah kepe‐ mimpinan sekolah yang mampu menerjemahkan kurikulum pendi‐ dikan Islam ke dalam kebijakan dan strategi‐strategi yang sesuai untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Raihani, 2007). Tentu saja ini tidak mengatakan bahwa kepemimpinan itu terletak di tangan kepala sekolah/madrasah sendiri, akan tetapi kepemimpinan yang baik haruslah partisipatif yang melibatkan banyak pihak dalam mengambil keputusan‐keputusan sekolah. Dalam kaitan dengan pen‐ didikan Islam, kepemimpinan partisipatif ini menjadi lebih penting karena konsep kurikulum yang disebutkan terdahulu menghajatkan satu pola hubungan yang harmonis antara semua pihak untuk mewujudkan proses pembelajaran pendidikan Islam yang efektif.

Paling tidak ada empat pola hubungan yang harus diciptakan dan dijaga oleh sekolah dalam mewujudkan manajemen dan proses pendidikan Islam yang efektif. Pertama, hubungan antara guru agama dengan guru mata pelajaran lain. Ini penting dalam kaitannya dengan integrasi nilai‐nilai Islam pada mata pelajaran nonagama, dan proses penilaian atas kesinambungan sikap siswa. Kedua, hubungan antara guru, baik agama dan nonagama, dengan siswa. Pola interaksi antara guru dan siswa yang diwarnai penuh dengan nilai‐nilai ajaran agama mutlak diperlukan untuk mewujudkan pengalaman belajar yang sempurna. Dengan kata lain, ajaran‐ajaran agama terefleksi dalam in‐ teraksi konstruktif, tidak hanya dimuat dalam ucapan dan buku‐buku dasar saja. Ketiga, hubungan antara sekolah dengan orang tua siswa. Pola hubungan sekolah dengan orang tua siswa tidak boleh memakai pola patron‐client, tapi masing‐masing harus menjadi mitra bagi

pengembangan kepribadian siswa. Siswa lebih banyak berada dalam lingkungan keluarga daripada lingkungan sekolah. Karena itu, pem‐ berdayaan orang tua sebagai mitra sekolah menjadi penting adanya. Keempat, hubungan sekolah dengan masyarakat. Di samping dengan orang tua, sekolah perlu menciptakan dan menjaga hubungan kon‐ dusif dengan masyarakat karena pendidikan Islam adalah pendidikan yang berbasis masyarakat. Sekolah yang baik adalah sekolah yang dapat menyahuti kebutuhan‐kebutuhan masyarakat, dan masyarakat yang baik adalah yang anggota‐anggotanya terlibat aktif mendukung program‐program yang dilaksanakan oleh sekolah. Lebih jauh lagi, masyarakat bisa berperan sebagai observer bagi kehidupan keagama‐ an siswa di masyarakat.

Akuntabilitas diartikan sebagai pertanggungjawaban terhadap tindakan atau proses yang dilakukan. Dalam pendidikan, akuntabili‐ tas dimaknai sebagai pertanggungjawaban sekolah terhadap proses pendidikan siswa selama berada di sekolah. Dengan demikian, akun‐ tabilitas ini erat kaitannya dengan keberhasilan belajar siswa, peni‐ laian, dan pelaporannya.

Ada delapan karakteristik dari sistem akuntabilitas yang baik (Englert, Fries, Martin‐Glenn, & Douglas, 2007; Raihani, 2006; Raiha‐ ni & Gurr, 2006), yang meliputi:

1. Tingginya harapan pencapaian hasil belajar oleh siswa. Harapan tinggi ini harus dimiliki oleh setiap pihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Harapan yang tinggi mencerminkan tekad dan keinginan untuk menjadi lebih baik. Harapan ini juga mela‐ hirkan usaha‐usaha maksimal dalam mewujudkan tujuan yang dicita‐citakan.

2. Kualitas penilaian hasil belajar yang tinggi. Telah disebutkan ter‐ dahulu bahwa salah satu kelemahan pendidikan Islam adalah sistem penilaian yang tidak komprehensif dan tidak sesuai de‐ ngan tujuan yang sudah ditetapkan. Karena itu, di atas juga su‐ dah dikemukakan strategi‐strategi penilaian pendidikan Islam. 3. Kesesuaian dan ketersediaan fasilitas dan sumber daya dengan

tujuan peningkatan kualitas pendidikan. Model‐model akuntabi‐ litas menekankan pentingnya hal ini. Kualitas pembelajaran aga‐

ma Islam akan meningkat jika tersedia fasilitas dan sumber daya yang sesuai.

4. Adanya sanksi dan penghargaan yang terkait erat dengan hasil. Proses peningkatan pendidikan Islam akan berjalan manakala ada sanksi dan penghargaan bagi siswa. Demikian juga, sanksi dan penghargaan ini bisa dilakukan oleh stakeholder sekolah. Dalam sistem pendidikan yang mapan biasanya masyarakat bisa memberikan sanksi kepada sekolah yang tidak well‐performing dengan tidak memasukkan anak‐anaknya ke sekolah itu.

5. Sumber daya yang beragam. Pendidikan Islam akan berhasil jika terdapat sumber daya, baik manusia atau finansial, yang bera‐ gam dan mencukupi. Gaji guru‐guru harus ditingkatkan karena beban dan tanggung jawab mereka semakin besar kalau mereka melaksanakan sistem pendidikan Islam yang sempurna seperti yang digambarkan di atas. Guru juga memerlukan sumber pe‐ ngetahuan baik berupa konsultan pendidikan maupun perpus‐ takaan dan lainnya yang cukup.

6. Pengukuran akan keberhasilan siswa yang bervariasi. Hal ini untuk meyakinkan kita bahwa keberhasilan yang kita dapat itu tepercaya. Siswa yang berprestasi, dengan alat ukur apa pun asal sesuai, akan menunjukkan nilai yang bagus. Karena itu, metode penilaian yang bervariasi sangat penting.

7. Informatif kepada orang tua dan masyarakat. Sudah disinggung di atas bahwa kerja sama harmonis antara sekolah, orang tua dan masyarakat perlu dijalin sebagai satu pengejawantahan dari pendidikan berbasis masyarakat, dan untuk mencapai tujuan‐ tujuan pendidikan Islam yang menekankan kesinambungan si‐ kap siswa di luar sekolah. Karena itu, informasi tentang proses dan hasil pendidikan harus selalu dikomunikasikan kepada orang tua dan masyarakat, di samping mengajak mereka untuk ikut terlibat aktif dalam proses pendidikan.

8. Di samping kepada orang tua dan masyarakat, pertanggungja‐ waban juga harus ditujukan kepada Allah swt. sebagai wujud dari keimanan kepada‐Nya. Keyakinan ini akan membawa kepa‐ da sikap amanah dari para penyelenggara pendidikan.

Dus, aspek‐aspek manajemen dan akuntabilitas seperti yang di‐ sebutkan di atas merupakan di antara sekian banyak tugas dan fungsi kepemimpinan di sekolah. Karena itu, seperti disebutkan terdahulu, tipe partisipatif merupakan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan pendidikan Islam.

Penutup

Tulisan ini telah mengetengahkan secara singkat upaya‐upaya yang diperlukan dalam rangka reorientasi pendidikan Islam dan membangun sistem akuntabilitas yang baik. Reorientasi pendidikan Islam mencakup tiga hal penting dari proses pendidikan, yaitu refor‐ mulasi tujuan, pemaknaan kembali konsep kurikulum pendidikan Islam, dan perbaikan metodologi pengajaran dan strategi evaluasi terhadap pencapaian siswa. Dalam hal manajemen pendidikan Islam, maka pola hubungan antara pihak‐pihak yang terlibat dalam proses‐ nya harus harmonis dan terfokus kepada upaya peningkatan mutu dengan menempatkan setiap pihak sebagai mitra, bukan memakai pola hubungan patron‐client. Sistem akuntabilitas juga harus diba‐ ngun agar pertanggungjawaban proses dan hasil pendidikan Islam menjadi jelas. Semua usaha ini keberhasilannya bergantung pada niat, komitmen, dan kesungguhan dari setiap stakeholder. Wallāh a`lam.

Referensi

Adimassana, Y. B. (2000). Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal. Dalam A. Atmadi & Y. Setyaningsih (Editor), Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (hlm. 30–42). Yogyakarta: Kanisius.

Al‐Faruqy, I. R. (1982). Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Washington: International Institute of Islamic Thought.

Azra, A. (1999). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos.

Benda, H. J. (1958). The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation 1942‐1945. The Hague: W. Van Hoeve Ltd.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003a). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Dasar dan Madrasah Ibitidaiyah. Jakarta: Departemen Pendidik‐ an Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003b). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta: Departemen Pen‐ didikan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional. (2003c). Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Departe‐ men Pendidikan Nasional.

Dhofier, Z. (1985). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Effendy, B. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.

Englert, K., Fries, D., Martin‐Glenn, M., & Douglas, B. (2007). Accoun‐ tability Systems: A Comparative Analysis of Superintendent, Principal, and Teacher Perceptions. International Journal of Edu‐ cation Policy & Leadership, 2(4), 1–12.

Fachruddin, F. (2006). Agama dan Pendidikan Demokrasi: Pengalam‐ an Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Jakarta: Pustaja Alva‐ bet. Fadjar, M. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia. Hasbullah. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Ra‐ jawali Press. Madjid, N. (1985). Merumuskan Kembali Tujuan Pesantren. Dalam M. D. Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M).

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Ka‐ jian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakar‐ ta: INIS.

Muhaimin, Suti'ah, & Ali, N. (2001). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Ban‐ dung: Rosda Karya.

Mujiburrahman. (2006). Feeling Threatened: Muslim‐Christian Rela‐ tions in Indonesia's New Order. Amsterdam: Amsterdam Univer‐ sity Press/ISIM.

Mujiburrahman. (2007). The Political Context of Religion Classes in Indonesia, Teaching for Tolerance in The Indonesian Context. Ma‐ kassar: UIN Makassar & The Oslo Coalition.

Napitupulu, E. L. (2007). PGRI Desak Pemerintah Penuhi Anggaran 20%. Kompas.

Nieuwenhuijze, C. A. O. V. (1963). Islam and National Self‐Realization in Indonesia. Dalam C. A. O. V. Nieuwenhuijze (Ed.), Cross‐Cul‐ tural Studies. The Hague: Monton & Co.

Rahardjo, M. D. (Ed.). (1974). Pesantren dan Pembaharuan (Cet. 1. ed.). Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Raihani. (2001). Curriculum Construction in the Indonesian Pesantren. Unpublished Masters, The University of Melbourne, Melbourne. Raihani. (2006). The Principal Perspective of Successful School Lea‐ dership in Yogyakarta, Indonesia. Post Script, forthcoming. Raihani. (2007). Successful School Leadership in Indonesia: A Study of Principals' Leadership in Successful Senior Secondary Schools in Yogyakarta. The University of Melbourne, Melbourne.

Raihani, & Gurr, D. (2006). Value‐Driven School Leadership: An Indo‐ nesian Perspective. Leading and Managing, 12(1), 121–134. Steenbrink, K. A. (1994). Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: Lem‐

baga Penelitian, Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Yunus, M. (1979). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mu‐ tiara.

Bab 2

Pendidikan Islam untuk Keadilan