• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Pendidikan Islam

Ada beberapa masalah mendasar yang menggelayuti pendidikan Islam di Indonesia. Pertama, masih adanya kesan diskriminatif terha‐ dap pendidikan agama dibandingkan dengan pendidikan umum. Ke‐ dua, strategi manajemen dan pengajaran pendidikan Islam yang be‐ lum sempurna. Ketiga, evaluasi yang tidak mengena terhadap apa yang akan dinilai. Keempat, pengaruh eksternal yang terdiri dari ke‐ tiadaan model atau contoh dan media massa yang tidak sejalan de‐ ngan hakikat dan tujuan pendidikan Islam.

Diskriminasi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konste‐ lasi politik yang berkembang. Pada awal kemerdekaan, perdebatan tentang bentuk negara sangat hangat antara kaum nasionalis Islam dan nasionalis sekuler (Nieuwenhuijze, 1963). Nasionalis Islam menghendaki negara Islam, sementara nasionalis sekuler menolak‐ nya. Pada akhirnya kompromi cerdas dilakukan dengan menawarkan Pancasila sebagai dasar negara. Menurut sebagian besar sejarawan, Pancasila adalah solusi terbaik bagi pertikaian dua faksi besar terse‐ but, dan dianggap dapat mengikat semua anak bangsa (Effendy, 1998; Nieuwenhuijze, 1963). Pada langkah selanjutnya, kompromi politik juga terjadi dengan mengakomodasi kepentingan umat Islam dalam satu wadah departemen atau kementerian khusus, yaitu Departemen Agama. Dalam wadah inilah, pendidikan Islam ditempatkan, yang oleh karenanya, dinomorduakan dengan pendidikan umum yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan Nasional (Effendy, 1998).

Sampai tahun tujuh puluhan, pendidikan Islam dalam bentuk madrasah dan pesantren tidak diakui sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan nasional (Mastuhu, 1994). Kedua lembaga ini berjalan di luar sistem dengan dana sebagian besarnya dari masyara‐ kat. Bantuan terhadap pesantren khususnya hanya datang ketika akan ada pemilihan umum. Lulusan madrasah tidak bisa mengikuti pendidikan umum tingkat di atasnya karena kurikulumnya tidak se‐ tara, apalagi lulusan pesantren. Dengan kondisi seperti ini, kemudian terbitlah kebijakan‐kebijakan bersama beberapa menteri terkait, se‐

perti: (1) di tahun 1975 yang mengatur struktur kurikulum madra‐ sah yang sebelumnya 70% agama diganti dengan 30% agama dan 70% muatan umum; (2) muatan agama hanya menjadi 20% dari keselu‐ ruhan kurikulum sampai sekarang. Hasil dari kebijakan‐kebijakan ini kemudian membuat madrasah setara dengan sekolah umum dalam sistem pendidikan nasional (Mujiburrahman, 2006, 2007).

Tetapi kemudian apakah persoalan diskriminasi terhadap pendi‐ dikan Islam selesai? Menurut sebagian praktisi, ternyata tidak. Pada praktiknya, perbedaan‐perbedaan antara madrasah dengan sekolah tampak termasuk dalam hal pendanaan atau subsidi pemerintah, proses pendidikan, dan kualitas output‐nya. Anggaran dana untuk Departemen Agama hanya berkisar 3 sampai 4 persen dari keselu‐ ruhan anggaran setiap tahunnya. Tahun 2007, anggaran departemen yang mengurusi banyak hal ini hanya mendapat 4.6 persen yang ha‐ rus dibagi untuk sektor pendidikan madrasah dan pendidikan tinggi dari total Rp 836,4 triliun. Tentu saja ini tidak sebanding dengan ang‐ garan yang diberikan kepada Departemen Pendidikan Nasional yang menerima 11.8% tahun 2007, dan apalagi dengan anggaran ideal 20% yang diamanatkan oleh UU (Napitupulu, 2007). Diskriminasi anggar‐ an ini kemudian diikuti oleh Pemerintah Daerah dalam penyusunan anggarannya, dengan dasar bahwa urusan agama tidak ikut diotono‐ mikan sehingga pendidikan Islam pun tidak mendapat bantuan setara dari Pemerintah Daerah. Karena itu, dapatlah diasumsikan bahwa proses dan kualitas pendidikan Islam tidak akan bisa berjalan setara dengan pendidikan umum karena kebijakan‐kebijakan yang memang tidak menguntungkan.

Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah diskriminasi dari ma‐ syarakat sendiri terhadap pentingnya pendidikan Islam. Hal ini di‐ lihat dari cara pandang dan sikap mereka terhadap pendidikan aga‐ ma. Sekarang ini, pendidikan agama tidak lebih sebagai pendidikan pelengkap. Budaya kapitalis dan materialis yang begitu berurat ber‐ akar dalam masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat melu‐ pakan pentingnya aspek‐aspek spiritualitas. Lembaga‐lembaga pen‐ didikan Islam adalah pilihan terakhir. Alumni pendidikan agama di‐ anggap tidak lebih baik dari mereka yang tamat dari perguruan tinggi umum. Hal ini adalah hasil dari persepsi masyarakat yang meng‐

’anaktiri’kan ilmu‐ilmu agama dibandingkan dengan ilmu‐ilmu umum.

Strategi dan Manajemen Pendidikan Islam

Masalah mendasar berikutnya adalah strategi dan manajemen pendidikan Islam yang belum sempurna. Pendekatan pengajaran pendidikan agama Islam yang cenderung doktrinal dan separated dari ilmu‐ilmu lainnya membuat pendidikan Islam sulit untuk menca‐ pai tujuannya (Fadjar, 1999). Pengajaran agama cenderung tidak me‐ libatkan rasionalisasi dan intuisasi. Kebenaran ajaran agama, se‐furū‐ `iyyah apa pun adanya, disampaikan dan diterima secara mutlak oleh pendidik dan terdidik. Hal ini menimbulkan kekakuan, kejenuhan, dan kebosanan di kalangan siswa untuk belajar agama di sekolah secara optimal. Siswa tidak menemukan jawaban‐jawaban atas masa‐ lah‐masalah yang mereka hadapi dalam pendidikan agama. Pelajaran agama akhirnya menjadi ‘pelengkap penderita’ saja, yang dipelajari oleh siswa karena kewajiban saja (Fachruddin, 2006).

Masalah lainnya yang berkaitan dengan strategi pengajaran aga‐ ma di sekolah adalah penekanan aspek kognitif yang terlampau kuat dibanding aspek lainnya khususnya afektif (Adimassana, 2000). Pem‐ belajaran agama lebih banyak mengembangkan pemahaman siswa terhadap agama, sehingga banyak siswa yang mengerti teori‐teori beragama tetapi sikapnya tidak terbentuk untuk secara tulus ber‐ agama. Internalisasi nilai‐nilai keagamaan di sebagian besar sekolah atau madrasah gagal dilakukan oleh para guru. Hal ini antara lain di‐ sebabkan pemahaman guru yang dangkal akan masalah pedagogik dalam pengajaran agama, seperti pemilihan metode yang tidak pas, dan banyaknya tuntutan materi pelajaran yang tidak sebanding de‐ ngan alokasi waktu yang diberikan (Muhaimin, Suti'ah, & Ali, 2001).

Dari perspektif manajemen kurikulum, pelajaran‐pelajaran aga‐ ma secara sengaja atau tidak dipisahkan dari pengajaran bidang‐bi‐ dang studi yang lain. Nilai‐nilai luhur ajaran agama tidak mewarnai ilmu‐ilmu nonagama sehingga siswa belajar dalam kerangka ilmu un‐ tuk ilmu, bukan ilmu untuk iman. Hal ini kemudian menimbulkan dualisme dalam diri siswa dalam bentuk split personality (kepriba‐ dian terbelah) (Al‐Faruqy, 1982; Azra, 1999; Fadjar, 1999). Masalah

ini diperparah dengan makin diminimalkannya alokasi waktu untuk pengajaran agama di sekolah. Bahkan untuk madrasah sendiri, peng‐ ajaran agama yang sebelumnya tersebar pada lima mata pelajaran berbeda akan disatukan menjadi satu mata pelajaran, yaitu Pendi‐ dikan Agama Islam, seperti di sekolah‐sekolah yang berada di bawah administrasi Departemen Pendidikan Nasional. Ini terkait dengan tarik menarik politik antara Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang secara historis terjadi sejak awal kemerdekaan seperti disebutkan pada bagian terdahulu. Masalah kemudian adalah bahwa madrasah selalu mengorbankan idealis‐ menya untuk kepentingan‐kepentingan pragmatis.

Sistem Evaluasi Pengajaran Agama yang Tidak Komprehensif

Pengajaran yang lebih menekankan aspek kognitif daripada as‐ pek afektif kemudian diikuti secara linear dengan sistem evaluasi yang tidak mengukur keseluruhan aspek tujuan pembelajaran secara komprehensif. Penilaian pun hanya bertumpu pada domain kognitif dan psikomotor dari siswa. Penilaian melalui soal‐soal pilihan ganda terfokus pada pemahaman siswa akan ajaran agama seperti ibadah dan muamalah. Kepahaman siswa tidak diikuti dengan penilaian ter‐ hadap domain sikap atau afektif siswa dalam beragama. Ada bebe‐ rapa sebab mengapa hal seperti ini terjadi, antara lain adalah: minim‐ nya penguasaan guru terhadap makna kurikulum dan strategi peni‐ laian; sulitnya domain sikap atau efektif untuk dinilai karena seba‐ gian aspeknya tidak bisa diukur; dan manajemen pendidikan agama secara umum seperti diungkapkan di atas.

Faktor Eksternal yang Tidak Terkontrol

Masalah keempat yang erat kaitannya dengan keberhasilan pen‐ didikan agama di Indonesia adalah faktor‐faktor eksternal atau yang berada di luar sekolah. Faktor‐faktor ini tidak dapat dikontrol oleh lembaga pendidikan karena ia berada di luar sistem pendidikan na‐ sional. Faktor‐faktor ini meliputi lingkungan masyarakat, media mas‐ sa, dan kurangnya ketokohan yang bisa dijadikan panutan.

Lingkungan seperti apa pun adanya akan berpengaruh kepada proses pendidikan, utamanya pendidikan agama yang bertumpu pa‐ da dimensi moralitas dan etika. Kekuatan lingkungan sebagai faktor

yang memengaruhi ini ditekankan dalam sebuah hadis Nabi Muham‐ mad saw. yang populer tentang fitrah manusia. Para ahli dari golong‐ an empirisme seperti John Locke dengan teori Tabularasanya menya‐ takan pentingnya pengaruh lingkungan terhadap perkembangan anak. Kaitannya dengan pendidikan agama di Indonesia adalah bah‐ wa lingkungan yang ada tidak cukup kondusif untuk pengembangan moralitas siswa. Tawaran‐tawaran yang membawa dampak negatif kepada perkembangan siswa semakin banyak membuat proses pen‐ didikan agama dan moral semakin sulit untuk mencapai tujuannya. Fenomena kekerasan, kekasaran, premanisme, penyalahgunaan obat‐obatan dan narkoba, pergaulan bebas dan lain‐lain semakin hari semakin mendekat kepada kehidupan siswa yang secara psikologis merupakan pribadi‐pribadi yang sedang mencari jati diri dan dalam keadaan labil. Keadaan lingkungan seperti tergambar di atas banyak dipenga‐ ruhi oleh media massa yang menyajikan suguhan‐suguhan yang tidak mendidik. Sudah banyak dibahas baik secara ilmiah atau diskusi‐dis‐ kusi informal akan bahayanya media yang nonedukatif itu terhadap perilaku anak yang suka meniru‐niru. Sinetron‐sinetron yang berbau kekerasan dan mistik, acara‐acara infotainment yang banyak menge‐ tengahkan cerita‐cerita selebritis yang jauh dari nuansa edukatif, dan lain sebagainya lebih besar pengaruhnya daripada pendidikan agama di sekolah yang hanya dua jam pelajaran seminggu. Budaya hedonis‐ me yang disajikan melalui media TV menjadi contoh yang banyak di‐ ikuti oleh sebagian masyarakat dan anak‐anak. Media massa inilah yang turut bertanggung jawab atas merosotnya moralitas bangsa.

Di samping dua faktor di atas, ketokohan juga penting dalam pe‐ ningkatan kualitas pendidikan agama dan moral. Dalam masyarakat yang cenderung paternalistis seperti di Indonesia, figur yang dapat dijadikan panutan berperan sebagai pengarah dan penunjuk kepada jalan yang ditempuh oleh masyarakat dan siswa. Ketokohan ini tidak terbatas pada tokoh‐tokoh seperti ulama dan pemimpin agama yang lain, tapi juga mencakup orang tua atau yang dituakan, pemimpin‐ pemimpin formal dan informal. Akan tetapi, ada asumsi bahwa siswa atau anak sekarang kekurangan figur untuk bisa ditiru. Terkadang orang tua mereka tidak cukup taat dalam beragama untuk mereka

tiru. Pemimpin masyarakat sering bersikap mendua terhadap ke‐ nyataan yang seharusnya menuntut sikap idealisme dan konsisten pada kebenaran. Pemimpin formal di lingkungan mereka secara sem‐ pit dan luas menampilkan model‐model moralitas yang jauh dari ideal. Misalnya, pemimpin agama masuk penjara karena korupsi, dan sebagainya. Kesemua faktor eksternal di atas adalah gambaran dari eratnya pendidikan agama dengan lingkungan sekitar. Keberhasilannya turut diwarnai oleh faktor‐faktor tersebut.