• Tidak ada hasil yang ditemukan

School Approach

Multikulturalisme adalah ide yang dikontestasi dan berkembang tentang bagaimana melihat realitas keragaman masyarakat (Kym‐

licka, 1995; Siegel, 2007). Sebagai satu konsep yang muncul untuk merespons atas kegagalan teori‐teori asimilasi beberapa dekade se‐ belumnya, mutikulturalisme tidaklah sebuah konsep yang baru. Dis‐ kusi dan debat seputar konsep itu sudah lama bergulir dan sampai sekarang terus menghangat. Dunia global yang ditandai dengan se‐ makin intensnya proses migrasi dan pertemuan‐pertemuan kebuda‐ yaan yang berbeda semakin mensignifikasikan konsep multikul‐ turalisme. Kerekatan sosial melalui pemahaman, penghargaan, dan pengakuan atas dasar keadilan sosial dan harga diri manusia adalah idealisme yang ingin dicapai dengan multikulturalisme (Parekh, 2006). Karena multikulturalisme dalam penerapannya berkaitan de‐ ngan kebijakan negara terhadap realitas perbedaan utamanya kaum minoritas (Kymlicka, 1995), maka bermunculanlah teori‐teori politik seputar konsep multikulturalisme. Terdapat perbedaan‐perbedaan partikular dalam penerapan multikulturalisme ini yang banyak ber‐ gantung pada sejarah, komposisi etnisitas dan budaya serta ideologi dari masing‐masing negara.

Pendidikan multikultural adalah “an inclusive concept used to describe a wide variety of school practices, programs and materials designed to help children from diverse groups to experience educa‐ tional quality” (Banks, 1986, hlm. 222). Definisi ini menekankan pada strategi pendidikan yang membantu setiap siswa untuk mengem‐ bangkan potensi dan kapasitasnya secara maksimal. Setiap siswa penting dan harus diperhatikan secara adil karena masing‐masing mempunyai potensi yang unik untuk dikembangkan terlepas dari latar belakang ras, etnis, dan budayanya. Definisi ini juga mengindi‐ kasikan bahwa pendidikan multikultural bukanlah tentang satu prog‐ ram saja, akan tetapi adalah usaha yang simultan untuk mempro‐ mosikan keadilan sosial (social justice) dan kesempatan yang sama (equal opportunity) bagi setiap anak. Definisi ini mengisyaratkan pen‐ dekatan holistik atau menyeluruh terhadap pendidikan multikultural, dan juga sejalan dengan konsep komprehensif yang ditawarkan oleh Bennet (1990; 2001). Konsep pendidikan multikultural Bennet me‐ liputi gerakan menuju pencapaian pemberian kesempatan yang sama bagi setiap siswa, kurikulum yang dapat mengembangkan pemaham‐ an tentang perbedaan budaya, proses yang memfasilitasi siswa untuk

menjadi orang yang secara budaya kompeten, dan komitmen untuk melawan kesewenangan diskriminasi dan ketidakadilan sosial (Ben‐ net, 1990, hlm. 11–12).

Pendidikan multikultural difokuskan pada proses pengembang‐ an kemampuan siswa untuk memahami, mengakui, menghormati, dan hidup dan berfungsi secara nyaman dan efektif dalam realitas perbedaan (Gollnick & Chinn, 1986). Ini penting apalagi dalam ma‐ syarakat yang kompleks di mana bahkan batas‐batas geografis ne‐ gara sudah tidak signifikan lagi. Budaya adalah beragam, dan setiap orang memegang budayanya masing‐masing. Memang betul bahwa ada nilai‐nilai universal yang dimiliki oleh manusia, namun partiku‐ laritas karena keragaman etnis, geografis, dan latar belakang agama juga secara signifikan berpengaruh dalam tata interaksi antarmanu‐ sia (Parekh, 2006). Pertemuan budaya yang berbeda bisa saja men‐ ciptakan friksi‐friksi yang sebenarnya tidak perlu hanya karena tidak adanya pemahaman yang benar, tidak terukurnya keyakinan dan nilai, dan sikap‐sikap diskrimintaif terhadap perbedaan tersebut. Karena itu, pendidikan multikultural dikonseptualisasikan atas dasar empat prinsip utama yang pada gilirannya akan mampu membekali siswa untuk hidup dan berguna di masyarakat yang majemuk. Keem‐ pat prinsip ini adalah pluralisme kultural, keadilan sosial, nihilisasi rasisme, sexisme, dan bentuk‐bentuk lain dari prejudis dan diskrimi‐ nasi, serta inkorporasi budaya dan visi untuk keadilan dan pencapai‐ an pendidikan bagi setiap anak (Bennet, 2001, hlm. 173).

Dalam pengembangan pendidikan multikultural, para sarjana seperti Banks (1997) dan Bennet (1990) melihat pentingnya pende‐ katan yang melibatkan variabel‐variabel utama sekolah. Variabel‐ variabel ini mencakup etos dan budaya sekolah, kurikulum dan pem‐ belajaran, prosedur dan sistem evaluasi, kebijakan bahasa, dan pen‐ dekatan terhadap keragaman budaya. Dalam hal ini, Lynch (1986) menekankan pada pentingnya upaya sekolah memberikan kesempat‐ an kepada siswa‐siswa dari kalangan minoritas untuk memelihara identitas‐identitas unik mereka tetapi pada saat yang sama mampu bersosialisasi dengan yang lain. Di samping variabel‐variabel penting di atas, kepemimpinan, visi sekolah, dan organisasi dan aktivitas ke‐ siswaan merupakan variabel yang tidak bisa dilupakan untuk men‐

capai tujuan‐tujuan pendidikan multikultural. Ringkasnya, semua variabel ini harus bekerja secara simultan untuk menuju satu titik di mana setiap siswa berkembang sesuai dengan potensinya dan meng‐ hargai keragaman budaya yang kompleks.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk me‐ lihat secara mendalam fenomena pendidikan multikultural di sebuah pesantren di Yogyakarta (Merriam, 1988, 1998). Pendidikan multi‐ kultural meliputi wilayah kajian yang tidak bisa diinvestigasi melalui kuantifikasi fenomena dan tren seperti interaksi sosial dan budaya, tujuan, isi dan orientasi kurikulum, proses pembelajaran di kelas, bu‐ daya sekolah dan sebagainya. Wilayah ini harus dilihat dengan kaca‐ mata kualitatif yang menggunakan beragam metode pengumpulan data. Oleh karena itu, penelitian ini juga menggunakan schoolyard dan classroom ethnographies untuk melihat dan mengalami sendiri interaksi antara anggota komunitas pesantren, interaksi kelas dan pembelajaran, sikap dan perilaku individu. Penelitian ini juga meng‐ gunakan in‐depth interviews dengan Pak Kyai, ustaz/ah, santri, kepala sekolah dan para orang tua santri tentang isu‐isu yang berkaitan de‐ ngan topik penelitian. Saya juga melakukan beberapa kali Focus Group Discussions (FGD) dengan guru dan santri untuk memperda‐ lam isu‐isu yang muncul pada saat wawancara dan observasi. Selain itu, saya mengumpulkan dokumen‐dokumen penting yang relevan dengan penelitian seperti demografi pesantren, profil, newsletter, dan lain‐lain. Metode yang beragam ini sangat membantu dalam me‐ ngumpulkan data yang kaya dan temuan‐temuan komprehensif se‐ hingga tingkat ketepercayaan informasi dan hasil dari penelitian ini semakin tinggi (Maxwell, 1996; Strauss & Corbin, 1998). Pesantren yang diteliti ini didirikan pada 1970‐an dan dianggap sebagai salah satu pesantren ternama di Yogyakarta. Untuk menghin‐ dari identifikasi terhadap pesantren ini karena alasan etika peneliti‐ an, saya tidak menggambarkannya secara detail. Pesantren ini memi‐ liki berbagai level pendidikan termasuk Madrasah Aliyah (MA) yang menjadi objek kajian penelitian. Selain pendidikan dengan kurikulum madrasah (pemerintah), pesantren juga menyediakan pendidikan agama pada sore hari dan program khusus tahfiz Al‐Qur’an. MA di

pesantren ini pada 2009 memiliki 230 siswa dan 377 siswi atau seki‐ tar 36% dari jumlah santri keseluruhan. Sekitar 80% dari jumlah ini berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta, dan 7% dari Jawa Barat yang mampu memberikan pengaruh yang signifikan dalam proses interaksi santri. Sisanya berasal dari daerah Jawa lainnya dan luar Jawa. Fieldwork saya lakukan dari periode September sampai Okto‐ ber di tahun 2009 dengan banyak menghabiskan waktu setiap hari‐ nya di kompleks pesantren. Meskipun fokus saya adalah MA, tetapi observasi juga dilakukan secara ekspansif terhadap kompleks‐kom‐ pleks yang lain untuk memberikan gambar yang utuh dan kompre‐ hensif tentang topik yang sedang dikaji.