• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Pendidikan Sekarang

Laporan Bank Dunia tahun 2015 menyebutkan bahwa ketim‐ pangan antara kaya dan miskin di Indonesia peringkatnya sama de‐ ngan negara miskin Uganda dan bahkan lebih jelek dari Ethiopia. Hal ini antara lain disebabkan akses pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, yang tidak berpihak kepada orang‐orang dengan tingkat eko‐ nomi bawah. Biaya masuk, biaya bulanan dan biaya tambahan lain membuat pendidikan tinggi semakin sulit terjangkau oleh orang‐ orang miskin. Sementara itu, beasiswa yang disediakan sering tidak tepat sasaran.

Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah, isunya bukan pada akses pendidikan, tetapi pada akses kepada kualitas pendidikan.

Kalau kita amati sekarang ini, orang‐orang miskin hanya disediakan pendidikan dengan kualitas menengah ke bawah yang diwadahi oleh sekolah‐sekolah negeri biasa. Sementara mereka yang kaya biasanya dapat mengirim anak‐anak ke sekolah negeri unggulan ataupun swasta yang bonafide. Pemerataan akses pada kualitas pendidikan ini masih menjadi masalah besar dalam pendidikan di negara kita.

Dalam konteks yang lebih mikro, kita dapat melihat beberapa temuan penelitian pendidikan sebagai contoh yang terkait dengan ketidakadilan sosial dan harmoni sosial. Temuan‐temuan ini secara detail dimuat dalam buku saya yang berjudul Creating Multicultural Citizens: A Portrayal of Contemporary Indonesian Education diterbit‐ kan Routledge, New York, 2014 (Raihani).

Di sebuah Madrasah Aliyah di Kalimantan ada satu program unggulan yang dikembangkan dan disebut dengan Kelas Model. Kelas Model jumlahnya satu di kelas dua dan kelas tiga. Para siswa yang masuk ke kelas ini adalah mereka yang terpilih dari kelas satu. Kri‐ terianya adalah nilai ujian akhir tahun sebelumnya di kelas satu, dan mampu membayar uang tambahan untuk fasilitas kelas model. Wal‐ hasil, para siswa yang masuk di kelas model ini adalah mereka yang pintar dan kaya. Siswa yang hanya mempunyai kecerdasan tetapi orang tuanya tidak mampu membayar uang yang ditetapkan, mereka tidak bisa dimasukkan ke dalam kelas model ini. Yang menarik adalah bahwa guru‐guru yang mengajar di kelas model ini adalah guru‐guru pilihan yang dipandang mempunyai performa yang lebih dari guru‐guru yang lain. Sementara itu, ruang kelasnya secara fasi‐ litas dilengkapi dengan multimedia, AC dan jumlah siswanya yang hanya maksimal 25 orang. Menurut guru‐guru yang mengajar di kelas model ini, para siswanya cerdas‐cerdas sehingga memberi ke‐ mudahan untuk mengajar. Pada akhirnya, mereka membandingkan dengan siswa‐siswa kelas biasa dan tidak sedikit guru yang menga‐ takan bahwa lebih susah dan kurang bersemangat untuk mengajar kelas‐kelas biasa.

Temuan di atas mengindikasikan bahwa kelas model yang di‐ kembangkan sebenarnya bertujuan baik, namun efek samping dari kelas tersebut yang membuat keadilan sosial tercederai. Di samping kriterianya yang menjadikan kekayaan orang tua sebagai penentu,

efek samping dari manajemen kelas model ini juga melahirkan ke‐ cemburuan sosial di kalangan guru dan siswa, segregasi sosial pada komunitas siswa, dan demotivasi terhadap para siswa kelas biasa. Contoh seperti ini tidak hanya terisolasi di satu sekolah saja, tapi di sekolah lain terdapat banyak kasus yang sama di mana siswa cerdas dan kaya mendapatkan privilige yang tidak diterima oleh siswa‐siswa yang miskin. Contoh lain adalah manajemen penjurusan di sekolah menengah yang selalu menomorsekiankan jurusan sosial dengan stigma‐stigma yang tidak memotivasi dan cenderung mengabaikan. Ini membuat jurang pemisah semakin melebar di antara siswa, apa‐ lagi kemudian sebagian guru yang menunjukkan kesukaannya kepa‐ da jurusan tertentu. Segregasi sosial menjadi sangat terasa di kalang‐ an siswa.

Temuan yang tidak kalah menarik adalah fenomena menjamur‐ nya sekolah‐sekolah Islam terpadu yang kebanyakan menargetkan segmen pasar kelas menengah ke atas. Prinsip neoliberal yang ber‐ ujung kepada komersialisasi pendidikan agama begitu tampak dalam konteks sekolah‐sekolah tipe ini. Terlepas dari kualitasnya, para orang tua yang berduit menginginkan anak‐anaknya bersekolah di tempat yang sesuai dengan status sosial mereka sembari belajar agama. Pertemuan dua kepentingan, yaitu antara profit taking atau mengambil keuntungan dan aktualisasi diri dan prestise orang tua membuat pendidikan menjadi kehilangan maknanya. Pada akhirnya, dalam jangka panjang para siswa ini akan terus mengembangkan mo‐ dal kulturalnya sebagai orang kaya dan kemungkinan besar memberi sumbangsih terhadap ketimpangan sosial yang lebih dalam. Temuan lain dari observasi yang saya lakukan berkaitan dengan proses pendidikan agama yang cenderung monolitik dan dogmatik di beberapa sekolah. Pendidikan agama di sekolah‐sekolah ini meng‐ anut pendekatan confessional sempit yang ingin menanamkan keya‐ kinan agama dan nilai‐nilainya ke dalam diri siswa tanpa membe‐ rikan kesempatan kepada mereka untuk melihat adanya perbedaan. Apa yang ditemukan ini bukanlah dalam konteks hubungan antar‐ umat beragama (interreligious relations) akan tetapi dalam konteks intra‐religious relations (hubungan intern umat beragama) dalam hal ini Islam. Pengajaran yang diberikan seakan‐akan memberi kesan

bahwa hanya ada satu interpretasi terhadap teks‐teks suci sehingga siswa dibiasakan untuk melihat bahwa interpretasi di luar mereka adalah salah. Bahkan ada di antara sekolah ini yang menolak untuk melakukan upacara bendera karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Sekolah‐sekolah seperti ini memang sedikit dan cen‐ derung sporadis, akan tetapi melihat pergerakannya, mereka mem‐ punyai rencana ekspansi yang cukup matang dan terukur. Sekolah seperti ini jelas tidak mampu berperan dalam menciptakan harmoni sosial di tengah masyarakat yang cenderung plural dalam hal pema‐ haman keagamaan.