• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyusun Kurikulum

Dalam merencanakan kurikulum, mempertimbangkan nilai‐nilai merupakan salah satu tahapan yang sangat penting. Kelly (1980) me‐

nyatakan bahwa “mengabaikan elemen nilai yang sangat esensial dan berusaha menyusun skema bebas nilai dalam perencanaan kuriku‐ lum sama halnya dengan melewatkan poin utama” (hlm. 10). Pada kenyataannya, Pring (1986) juga mengemukakan bahwa aktivitas‐ aktivitas pendidikan berkaitan erat dengan nilai‐nilai yang berlaku dalam masyarakat di mana pendidikan itu berlangsung.

Dengan pemikiran tersebut, di antara berbagai model penyusun‐ an kurikulum, School‐Based Curriculum Development – SCBD (Pe‐ nyusunan Kurikulum Berbasis‐Sekolah) (Skilbeck, 1984) dianggap sesuai dengan kurikulum PAI karena dua alasan. Pertama, SCBD mengakomodasi nilai‐nilai yang dipromosikan oleh PAI dalam satu tahapan penyusunannya, yakni analisis situasional. Penjelasan lebih lanjut tentang analisis situasional diberikan pada bagian ini nanti; dan kedua, SCBD memberikan kewenangan lebih kepada guru dalam penyusunan kurikulum. Hal ini karena SCBD adalah suatu jenis prak‐ tik berbasis sekolah yang berbentuk penyusunan kurikulum, dan gu‐ ru memainkan peran penting di dalamnya (Brady, 1992; Skilbeck, 1984). Hal ini penting khususnya berkaitan dengan kurikulum baru (2004), yang menekankan pada keterlibatan aktif para guru dalam penyusunan kurikulum.

Skilbeck (1984) mendefinisikan SCBD sebagai “perencanaan, de‐ sain, implementasi, dan evaluasi terhadap program pembelajaran sis‐ wa oleh institusi pendidikan yang menaungi siswa‐siswa tersebut” (hlm. 2). Menurut Marsh dan Willis (1999), definisi ini menekankan relasi yang mapan antara guru dan murid serta stakeholder penting lain di sekolah yang dicirikan oleh nilai‐nilai, norma‐norma, prosedur dan peran‐peran tertentu.

Terdapat lima proses yang saling berkaitan dalam model penyu‐ sunan kurikulum ini: analisis situasional, penentuan tujuan, desain program, implementasi, penilaian dan evaluasi. Analisis situasional dalam model ini mengindikasikan suatu pendekatan yang lebih kom‐ prehensif terhadap kurikulum daripada model‐model tradisional. “Si‐ tuasi” tersebut tidak hanya mengarahkan persepsi guru, orang tua, komunitas, dan siswa terhadap kurikulum, tetapi juga kesadaran re‐ flektif guru. Skilbeck (1984) membagi faktor‐faktor yang membentuk situasi itu menjadi dua kelompok besar, internal dan eksternal. Dua

faktor yang sesuai untuk diungkapkan di sini adalah: pertama, peru‐ bahan‐perubahan dan ekspektasi‐ekspektasi kultural dan sosial, termasuk ekspektasi orang tua, persyaratan kepegawaian, asumsi‐ asumsi komunitas, nilai‐nilai, hubungan‐hubungan yang berubah (misalnya antara orang dewasa dengan anak‐anak) dan ideologi; dan kedua, masalah‐masalah dan kekurangan‐kekurangan yang dirasa‐ kan ada dalam kurikulum.

Jelas bahwa SCBD menganggap penting situasi yang terdapat da‐ lam kurikulum dengan memulai penyusunan kurikulum dengan ana‐ lisis situasional. Dalam kaitannya dengan pendidikan Islam, analisis situasional yang meliputi tinjauan terhadap perubahan‐perubahan kultural dan sosial adalah sangat penting. Nilai‐nilai yang berubah seperti bagaimana orang Islam harus memandang pemeluk agama lain dan bagaimana mereka harus bersikap dapat diakomodasi dalam proses penyusunan kurikulum dengan menggunakan model SCBD.

Kurikulum Hidup

Brady dan Kennedy (2003) menjelaskan secara tuntas bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang definisi kurikulum sekolah. Se‐ bagian mengklaim bahwa suatu kurikulum merupakan muatan atau tujuan‐tujuan di mana sekolah menginginkan siswa untuk mencapai‐ nya. Sebagian lain mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat strategi instruksional yang direncanakan akan digunakan oleh guru. Brady dan Kennedy (2003) berpendapat lebih jauh bahwa perbedaan dalam mendefinisikan kurikulum tersebut disebabkan oleh kepen‐ tingan yang berbeda terhadap pendidikan sekolah. Masing‐masing pihak—mulai dari pemerintah hingga orang tua—memiliki kepen‐ tingan dalam pendidikan. Komunitas bisnis, misalnya, mengharapkan agar pendidikan menciptakan siswa dengan keterampilan‐keteram‐ pilan yang siap pakai. Kelompok‐kelompok agama menginginkan agar kurikulum mengakomodasi pengajaran agama sehingga siswa dapat dipandu menuju kebenaran yang diyakini oleh kelompok aga‐ ma tersebut.

Dalam konteks pendidikan Islam, Raihani (2001, hlm. 43) men‐ definisikan kurikulum sebagai “seperangkat pengalaman yang dija‐ lankan oleh siswa dengan panduan dari sekolah, untuk mencapai

tujuan‐tujuan sekolah mereka.” Definisi ini dianggap sesuai dengan sifat pendidikan Islam yang memberi tekanan kuat pada pentingnya internalisasi nilai‐nilai dalam diri siswa. Dalam bingkai taksonomi Bloom (1956), pendidikan Islam sangat memperhatikan domain afektif dari siswa. Dengan kata lain, pendidikan Islam bertujuan men‐ cetak siswa yang memiliki komitmen kuat terhadap Islam dan ber‐ akhlak mulia (Al‐Attas, 1979).

Definisi di atas juga menggarisbawahi beberapa poin penting, yakni: pertama, tujuan‐tujuan sekolah adalah fokus dan orientasi uta‐ ma dari kurikulum. Penyusunan kurikulum, perencanaan, implemen‐ tasi dan evaluasi di sekolah harus konsisten dengan tujuan. Ada bera‐ gam faktor yang memengaruhi formulasi tujuan seperti nilai‐nilai sosio‐kultural dan orang‐orang yang terlibat di sekolah; kedua, pene‐ kanan terhadap tujuan dalam definisi ini memungkinkan adanya pe‐ luang bagi guru untuk “bermain‐main” dengan pengalaman‐penga‐ laman belajar yang direncanakan secara tertulis selama hal itu seja‐ lan dengan tujuan‐tujuan tadi. Kreativitas guru juga dibutuhkan da‐ lam berinteraksi dengan siswa, dan sebaiknya mereka tidak dipaksa mengikuti kurikulum tertulis; ketiga, interaksi antara siswa dan guru harus merefleksikan hubungan yang berorientasi pada siswa, dan guru hanya menjadi pemandu; keempat, evaluasi implementasi kuri‐ kulum merupakan bagian penting dari kurikulum. Implementasi ha‐ rus dianggap berhasil jika sejalan dengan tujuan‐tujuan; dan kelima, kurikulum jauh lebih luas dari apa yang tertulis dalam dokumen. Salah satu poin di atas yang patut diperhatikan dalam kaitannya dengan topik tulisan ini adalah bentuk lain kurikulum yang diimpli‐ kasikan oleh definisi tersebut, yakni kurikulum yang hidup. Kuriku‐ lum hidup adalah seperangkat pengalaman yang dirasakan oleh sis‐ wa sebagai hasil interaksi antara mereka dengan guru dan situasi yang diciptakan oleh guru (Hunkins, 1985). Ini tidak tertulis dalam kurikulum yang direncanakan. Kurikulum ini tersembunyi, dan kare‐ na itu berhubungan erat dengan nilai‐nilai yang dipegang oleh guru maupun siswa. Kurikulum ini juga mencakup situasi‐situasi sekolah secara umum yang sangat berpengaruh pada perilaku siswa. Sebagai contoh, perilaku guru dalam proses pengajaran dialami oleh siswa, dan dapat menjadi pelajaran yang bisa diambil siswa. Sebagian peri‐

laku dimaksudkan sebagai contoh bagi siswa, dan sebagian yang lain tidak.

Peran kurikulum hidup ini sangat vital karena dapat memberi‐ kan kontribusi dalam proporsi yang lebih besar terhadap pengalam‐ an belajar siswa dibandingkan dengan kurikulum tertulis (Hunkins, 1985; Jones & Steinbrink, 1988; Kelly, 1980). Siswa dapat dengan mudah meniru perilaku guru—baik atau buruk—yang mereka saksi‐ kan selama di sekolah. Ini terjadi khususnya dalam kultur Indonesia yang memosisikan guru sebagai orang yang patut ditiru. Guru masih dianggap sebagai contoh “perilaku” yang sempurna. Karena itu, para guru pendidikan Islam harus sadar akan pentingnya kurikulum hidup karena perilaku mereka dapat menjadi kontraproduktif dengan tu‐ juan‐tujuan yang tertulis dalam kurikulum. Selain itu, sistem sekolah dan situasi harus secara sadar dibangun untuk memfasilitasi penca‐ paian tujuan‐tujuan pendidikan sekolah.

Masalah‐Masalah dalam Kurikulum PAI tentang