• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refleksi: Model Pendidikan Multikultural

Dari hasil penelitian ini, saya mencoba mengembangkan sebuah model pendidikan multikultural untuk konteks Indonesia. Model ini, seperti dalam gambar, mempertimbangkan tiga faktor utama dalam pendidikan multikultural, yaitu kondisi masyarakat Indonesia yang multireligius dan multietnik, kebijakan pendidikan nasional, dan pe‐ ngetahuan, nilai dan keterampilan dari para pelaku pendidikan. Di samping secara bersama memengaruhi visi dan kebijakan sekolah dalam hal pendidikan multikultural, ketiga faktor ini berpengaruh dan/atau dipengaruhi satu sama lain. Faktor kondisi keberagaman Indonesia akan memengaruhi kebijakan pendidikan nasional dan pe‐ ngetahuan dan nilai‐nilai dari para pelaku pendidikan termasuk peja‐ bat‐pejabat pelaksana kebijakan, pimpinan sekolah dan para guru. Sementara itu, kebijakan pendidikan nasional pada semua tingkatan‐ nya harus memperhatikan pengembangan pengetahuan dan kete‐ rampilan dari para pelaku pendidikan tersebut melalui pendidikan

dan pelatihan. Kebijakan pendidikan nasional sendiri harus secara eksplisit menegaskan bahwa pendidikan multikultural adalah salah satu fokus dari pendidikan nasional.

Model ini selanjutnya bertumpu pada visi dan kebijakan sekolah yang secara jelas dan tegas menjadikan pendidikan multikultural se‐ bagai inti dari visi dan kebijakan tersebut. Visi dan kebijakan ini ha‐ rus tecermin pada level‐level selanjutnya seperti dalam gambar ter‐ sebut. Visi ini harus di‐share atau menjadi visi bersama semua ko‐ munitas sekolah. Visi dan kebijakan yang implisit dan hanya dipunyai oleh sebagian kecil orang akan melahirkan inkonsistensi dan spora‐ disnya pelaksanaan pendidikan multikultural.

Kurikulum Ilmu‐Ilmu Sosial dan Humaniora yang memiliki muatan multikultural baik dari aspek konsep‐konsep dan kenyataan keragaman, keberagaman, dan perbedaan di Indonesia mutlak diper‐ lukan dalam rangka membangun pengetahuan yang benar peserta didik. Di samping itu, kurikulum harus memuat nilai‐nilai yang akan dikembangkan oleh guru dan siswa menjadi sikap‐sikap yang positif terhadap kenyataan keragaman. Dalam hal pendidikan agama, agak sulit dalam konteks Indonesia yang religius untuk mengubah pende‐

katan kurikulum yang konfesional. Maka, kurikulum pendidikan aga‐ ma harus berperan sebagai alat bagi prejudice reduction (mengurangi prasangka) antarkelompok agama dengan memuat lebih banyak pro‐ porsi pembahasan kenyataan multireligius di Indonesia termasuk menyajikan kajian tematik yang ditinjau dari sudut pandang agama‐ agama. Mengikuti pandangan para guru agama pada penelitian ini, sikap meyakini kebenaran agama masing‐masing itu perlu karena itu syarat keimanan, tetapi ada banyak hal yang bisa membawa orang dari beragam keyakinan untuk duduk bersama saling mendukung da‐ lam rangka mewujudkan masyarakat yang damai dan toleran. Di samping itu, praktik pembelajaran harus mampu memberikan suasa‐ na nyaman dan kondusif bagi setiap anak didik terlepas dari latar be‐ lakang mereka untuk mengembangkan kemampuannya secara mak‐ simal tanpa prejudis dan diskriminatif.

Penciptaan budaya sekolah adalah level berikutnya dari model ini. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa budaya sekolah tidak bisa dianggap subordinat terhadap kegiatan pembelajaran di sekolah, apalagi pendidikan multikultural banyak bersangkut paut dengan penanaman nilai. Simbol, kebiasaan, upacara, dan norma‐norma yang berlaku akan berbuah menjadi budaya. Oleh karena itu, semaksimal mungkin semua hal ini diarahkan untuk menjunjung tinggi prinsip dan nilai kebersamaan, keberagaman, keadilan, persamaan hak, dan toleransi. Ketidakseragaman pesan yang akan melahirkan kegamang‐ an dalam proses penciptaan budaya sekolah harus diminimalisasi melalui pernyataan dan kebijakan tegas dari pimpinan yang sudah mempunyai visi multikultural yang kukuh seperti disebutkan di atas.

Kegiatan Ekstrakurikuler

Seperti dalam temuan penelitian ini, kegiatan ekstrakurikuler memainkan peran penting dalam pembentukan kepribadian dan pe‐ nelusuran minat bakat siswa. Sudah benar bahwa pemerintah meng‐ haruskan siswa mengikuti paling tidak satu dari sekian banyak ke‐ giatan ekstra itu. Akan tetapi, dari temuan‐temuan penelitian ini, belum ada kesamaan visi dan spirit dari aktivitas ekstra untuk pe‐ ngembangan kepribadian multikultural. Semua berjalan sporadis dan tanpa desain. Karena itu, kegiatan‐kegiatan itu perlu diikat dalam bingkai pendidikan multikultural, sehingga infiltrasi‐infiltrasi kegiat‐

an atau gerakan yang mengarah kepada hal yang bertentangan de‐ ngan semangat multikulturalisme bisa diminimalkan.

Kepemimpinan

Kepemimpinan sekolah multikultural harus mencerminkan ni‐ lai‐nilai multikulturalisme seperti demokratis dan partisipatif. Peli‐ batan banyak pihak dalam pengambilan keputusan merupakan ciri khas dari kepemimpinan pendidikan multikultural. Kebijakan‐kebi‐ jakan yang lahir dari kepemimpinan harus berlandaskan kepada ke‐ adilan sosial, persamaan hak, dan menjunjung tinggi hak‐hak dan dignitas kemanusiaan. Kepemimpinan demokratis dan partisipatif tidak membuka celah adanya kebijakan dan keputusan berdasarkan like or dislike, nepotisme, dan kolusi. Di samping kepemimpinan yang demokratis, para kepala sekolah beserta pemimpin di bawahnya per‐ lu selalu meng‐update kompetensi mereka khususnya yang berkaitan dengan pengembangan dan penyempurnaan pendidikan multikul‐ tural.

Referensi

Banks, J. A. (1986a). Multicultural Education and Its Critics: Britain and the United States. Dalam S. Modgil, G. K. Verma, K. Mallick & C. Modgil (Eds.), Multicultural Education: The Interminable De‐ bate (hlm. 221–231). London: The Falmer Press.

Banks, J. A. (1986b). Multicultural Education: Development, Paradig‐ ma and Goals. Dalam J. A. Banks & J. Lynch (Editor), Multicultural Education in Western Societies (hlm. 2–28). London: Holt, Rine‐ hart and Winston.

Banks, J. A. (2006). Cultural Diversity and Education: Foundations, Curriculum, and Teaching (Edisi kelima). Boston: Pearson Educa‐ tion Inc.

Banks, J. A. (2010). Multicultural Education: Characteristics and Goals. Dalam J. A. Banks & C. A. M. Banks (Editor), Multicultural Edu‐ cation: Issues and Perspectives (Edisi ketujuh, hlm. 3–30). New Jersey: Wiley.

Blase, J., & Blase, J. (2000). Effective Instructional Leadership: Tea‐ chers' Perspectives on How Principals Promote Teaching and

Learning in Schools. Journal of Educational Administration, 38 (2), 130–141.

Bush, T., & Middlewood, D. (2005). Leading and Managing People in Education. London: Sage Publication. Caldwell, B. J., & Harris, J. (2008). Why Not the Best Schools? What We Learned from Outstanding Schools around the World. Camberwell: ACER Press. Grimmitt, M. H. (1987). Religious Education and Human Development: The Relationship Between Studying Religions and Personal, Social and Moral Education. Great Wakering: McCrimmons. Halstead, J. M. (1996). Values and Values Education in Schools. Dalam J. M. Halstead & M. J. Taylor (Editor), Values in Education and Education in Values (hlm. 3–14). London: The Falmer Press. Kementerian Pendidikan Nasional. (2006). KTSP Pendidikan Agama

Kristen: Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK. Jakarta: Depdiknas. Lynch, J. (1986). Multicultural Education. London: Routledge & Kegan Paul. Parekh, B. (2006). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. New York: Palgrave Macmillan.

Bab 10

Pesantren dan Pendidikan