Hasil PenelitianBAB IV
C. Hasil Penelitian
5. Dinamika Dukungan Keluarga pada Sofa a. Sebelum menjadi Kaprodi
Sofa adalah seorang perempuan yang menjabat se-bagai Kepala Program Studi Jurusan Sosiologi Agama, di salah satu Universitas X di Yogyakarta. Sofa sudah men-jabat sebagai Kaprodi sejak tahun 2015. Sebelum menjadi Kaprodi, Sofa adalah seorang dosen yang sehari-hari aktif mengajar dan produktif menulis. Sofa juga aktif di lembaga-lembaga kampus.
Saat ini Sofa tidak hanya menjabat sebagai Kaprodi, tetapi juga memiliki jabatan lain yaitu sebagai pemimpin redaksi majalah Suara ‘Aisyiyah milik Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah serta menjabat sebagai sekretaris 2 di Badan Pengelola Harian Pendidikan Ulama Tarjih Muham-madiyah (BPH PUTM).
“Betuul…. yang kedua pimred Suara ‘Aisyiyah. Oke.. semuanya tidak tibatiba ya tapi dari awal ya.”(N2.S/ W1.132-135)
“Kemudian misalnya, kebetulan saya ini juga BPH PUTM jadi Badan Pelaksana Harian PUTM.”(N2.S/ W1.319-320)
Sofa menceritakan bahwasannya ada proses yang sangat panjang untuk sampai di jabatan seperti yang di-emban nya sekarang. Sebagai pemimpin redaksi Majalah Suara ‘Aisyiyah misalnya, Sofa sudah mulai aktif di Suara ‘Aisyiyah sejak tahun 2001 atau ia menyebutnya sebagai
dzawil qurba. Ketika itu Sofa masih sekedar ikut sebagai pembantu wartawan pada momentum muktamar. Kemu-dian pada tahun 2005 Sofa mulai masuk sebagai anggota
redaksi sampai tahun 2010. Tahun 2010 sampai 2016 Sofa adalah wakil pemimpin redaksi, dan setelah itu di tahun yang sama Sofa diangkat menjadi pemimpin redaksi.
Pada saat yang sama Sofa juga sedang dalam proses me nyelesaikan disertasi. Setelah urusan disertasi selesai, Sofa dan suami kemudian pergi haji. Sepulang dari tanah suci, Sofa mendapatkan surat dari BPH PUTM yang berisi Surat Keputusan pengangkatan Sofa sebagai sekretaris 2 BPH PUTM. Jadi, saat ini Sofa menduduki 3 jabatan sekaligus yaitu Kaprodi, Pimred Majalah Suara ‘Aisyiyah dan Sekretaris 2 BPH PUTM. Awal-awal berada dalam situasi tersebut Sofa pernah merasa kesulitan membagi waktu dan ingin mundur sebagai pimred majalah serta BPH PUTM. Namun akhirnya sampai sejauh ini Sofa masih tetap bertahan dengan berbagai macam peran yang dijalannya tersebut meskipun harus ada yang dikorbankan.
“Kadang ada apa namanya capeknya ya misalnya karena saya susah bagi waktu disana gitu ya, baiknya gimana ya, apa mundur aja, pernah saya seperti itu. Apa mun dur aja karena yang sana hampir nggak kepegang gitu.”
(N2.S/W2.136-141)
“Semacam negosiasi bahwa saya mau jadi pimred di tengah kesibukan saya sebagai kaprodi, tetapi e..dengan apa namanya alokasi waktu dan tenaga sekian.(N2.S/ W2.178-182)
Sebelum diangkat menjadi Kaprodi Sofa merasakan bahwa tanggung jawabnya di kampus lebih ringan karena perannya hanya mengajar seperti biasanya, menulis, dan juga sambil menjalankan peran di lembaga kampus. Hal ter sebut berdampak pada jam masuk kantor Sofa. Sebagai
dosen mainstream dan penulis, Sofa bisa datang ke kantor lebih leksibel sesuai dengan jam mengajar. Tidak ada tuntutan bagi Sofa untuk datang sangat pagi dan pulang sangat sore. Dalam hal alokasi waktu, menjadi dosen dan penulis bisa lebih ringan alokasi waktunya daripada setelah menjadi kaprodi. Alokasi waktu yang dimaksud adalah Sofa tidak harus memikirkan setiap saat tentang program studi tempatnya mengajar. Sofa tidak terikat dengan target-target dan program kerja yang harus dilaksanakan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Begitu pula kedudukan Sofa sebagai dosen biasa dan penulis membuat waktunya bersama dengan keluarga menjadi lebih banyak. Sofa masih bisa menata dan beres-beres rumah serta dapat mengantar-jemput anak sekolah. Selain itu, Sofa juga masih memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan teman-teman mainnya.
“Yang jelas tanggung jawabnya tidak seperti sekarang ya, kalau waktu dengan keluarga itu juga lebih banyak nggak kayak sekarang. Sekarang waktunya habis di kantor Mbak. Lha gimana, dari hari senin sampai jum’at di kantor dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore terus hari sabtunya di PUTM. Sekarang saya sudah nggak bisa jemput anak, cuma mengantar saja nggak bisa jemput.” (N2.S/W2.426-437)
b. Setelah menjadi Kaprodi
Perubahan ritme aktivitas setelah diangkat menjadi kaprodi sangat dirasakan oleh Sofa. Tidak jarang, Sofa me-rasa lelah dengan rutinitas tersebut, namun mau tidak mau harus dijalani. Sebagai seorang Kaprodi,Sofa merasakan peru bahan dalam hal tanggung jawab yang menjadi
se-makin besar. Belum lagi tanggung jawab di tempat lain yang mengharuskan Sofa bisa mengelola semuanya supaya berjalan dengan baik.
“Tanggung jawab semakin besar.Jadi gimana poin pen ting nya mengajar tetap nomor satu. Dosen itu kan tetap nomor satu.” (N2.S/W2.30-32)
Menjabat sebagai kaprodi juga tidak serta merta menghilangkan kewajiban Sofa untuk mengajar. Meski-pun beban mengajar di kelas lebih sedikit, tetapi Sofa juga memiliki tanggung jawab untuk mengajar di gram pascasarjana. Selain itu, kaprodi juga memiliki pro-gram kerja, target-target yang bersifat jangka panjang maupun jangka pendek yang harus dilaksanakan dalam satu tahun dan satu periode. Sebagai salah satu target Sofa dalam menjalankan kepemimpinannya sebagai ka-prodi, Sofa menargetkan supaya Akreditasi prodinya me-ningkat menjadi A. Apabila Sofa benar-benar mampu mengantarkan prodi terakreditasi A, maka Sofa baru bisa merasa puas atas kerja-kerja kepemimpinannya. Meskipun harus ada hal yang dikorbankan untuk mendapatkan itu semua, dalam hal ini yang kembali harus dikorbankan adalah keluarga.
“Ya iya Mbak. Itu kan 8 sks kita harus nutup, tetap malah lebih. Lha S2 nya.”(N2.S/W2.26-27)
“Target saya tentang akreditasi prodi kan dari B ya saya ingin A tahun ini. Kalau itu betulbetul jadi A disitu saya puas. Kalau belum saya juga pikirpikir mau mene ruskan apa nggak ini, karena kalau B ya berrati kan sama aja saya nggak membawa perubahan apaapa. Ya
gitu contohnya itu.”(N2.S/W2.558-564)
Selain hal diatas, terkait dengan jam kerja juga tidak lagi leksibel sebagaimana dosen-dosen biasa yang tidak menjabat. Setiap hari senin-jum’at Sofa berangkat pukul 07.00 dan pulang sore hari pada pukul 16.00 Wib. Waktu kerja yang tidak lagi leksibel ini membuat Sofa tidak bisa melaksanakan tugas untuk menjemput anak. Sofa hanya bisa mengantarkan saja dan tidak bisa menjemput. Jadi, setelah menjabat sebagai kaprodi sebagian besar waktu Sofa habis di kantor. Kalau pun secara kuantitatif waktu Sofa di rumah juga tidak jauh berbeda dengan di kantor, namun ketika di rumah sebagian besar waktu digunakan untuk istirahat setelah lelah seharian bekerja.
Dengan banyaknya kegiatan serta terget-target jangka pendek dan jangka panjang, membuat Sofa mengalokasikan waktu dan mencurahkan pikiran lebih banyak untuk kantor daripada rumah. Apalagi saat musim akreditasi, Sofa harus mengurus banyak berkas yang cukup menyita waktu. Sementara Sofa juga harus tetap bertanggung jawab ter hadap urusan anak-anak dan rumah mengingat Sofa dan anak-anak sering ditinggal bertugas ke luar kota oleh suaminya. Sebagaimana pengalaman Sofa beberapa waktu lalu saat ia dan prodi harus mengurus persiapan akreditasi dengan menggelar kegiatan tersebut di Magelang.
Sebagai kaprodi, Sofa tidak bisa mendelegasikan orang untuk sementara menggantikan perannya, karena memang Sofa yang harus turun tangan. Sementara itu, sebagai Ibu rumah tangga Sofa merasa bahwa ia harus bertanggung jawab dalam mengurus anak-anak dan rumah. Sofa me-nga takan jika ia sudah tidak bisa mempercayakan urusan
anak-anak kepada orang lain karena beberapa kali ia me-laku kannya ternyata tidak terbukti dapat terlaksana dengan baik. Rasa tanggung jawab tersebut menggerakkan Sofa untuk tetap pulang meskipun pada tengah malam dan kembali ke Magelang lagi setelah tugas di rumah selesai.
Untuk dapat menjalankan kedua peran tersebut, Sofa harus mengorbankan waktu, tenaga dan biaya. Demikian menurut Sofa bahwa dalam manajemen kepemimpinan perempuan harus ada sesuatu yang dikorbankan.
“Jadinya apa menejemen kepemimpinan perempuan ya harus kayak gitu Mbak. Gimana mungkin nggak akan sama dengan yang lain tapi harus ada yang dikorbankan gitu.” (N2.S/W2.361-365)
Berbicara soal pengorbanan, menurut Sofa, pengor-banan suami dan anak-anak menjadi keharusan untuk memahami peran dirinya. Jika suami dan anak-anak tidak memahami peran Sofa saat ini, maka semua peran tidak akan bisa berjalan. Tanggung jawab pada jabatan yang diemban Sofa sekarang membuat waktu dengan keluarga semakin berkurang. Apalagi mengerjakan tugas-tugas domestik seperti beres-beres rumah, Sofa mengatakan jika ia sudah tidak sanggup untuk bersih-bersih dan beres-beres rumah. Oleh sebab itu, ada mahasiswa yang tinggal di rumah Sofa yang bertugas membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
“Kalau keluarga yang sekarang e dengan suami dan anakanak ya mesti pengorbanan mereka yang e apa nama nya jadi suatu keharusan, suatu syarat. Kalau misalnya mereka memang e tidak memahami untuk menyi sihkan waktu, e ibu saya memang eksis gitu ya
disini..disini..disini ya nggak akan jalan semuanya sih.”(N2.S/W1.112-119)
Meskipun tugas-tugas Sofa sebagai kaprodi juga d ibantu oleh sekprodi dan asisten pengelola prodi yang mem bantu melaksanakan tugasnya dalam hal teknis, namun tetap merasakan jika menjadi dosen sekaligus menduduki jabatan kaprodi itu berat. Oleh karena, tugas-tugas kepemimpinannya tidak selesai seiring dengan jam kerja yang berakhir. Saat berada di rumah, Sofa tetap me mi kirkan kantor, pun mempersiapkan materi-materi terkait dengan tanggungjawabnya sebagai pendidik. Di tambah lagi dengan tugas-tugas di persyarikatan sebagai wujud dedikasi Sofa sebagai kader.
“Belum lagi Bu Sofa kan pernah cerita bahwa dia itu kalau jadi seorang dosen itu juga berat, beda dengan karyawan. Karyawan masuk jam 7 pulang jam 4, pulang ke rumah dia nggak mikir. Udah keluarga full enaknya kan itu, kalau dosen apalagi yang berprofesi sebagai kajur itu banyak banget. Belum di, dia juga harus masuk sesuai karyawan jam 7 sampai jam 4 kalau jadi kajur, menjabat kan gitu. Terus di dalam kajur itu ada kegiatankegiatan yang harus dilakukan dalam satu tahun.”(SO4.F/W1.424-431)
Dalam kaitannya relasi dengan mahasiswa, Sofa memiliki hubungan yang cenderung dekat dengan para maha siswa. Mahasiswa datang kepada Sofa tidak hanya untuk mengurusi hal akademik. Lebih dari itu, mahasiswa menghubunginya meminta waktu untuk sesi curhat permasalahan pribadi. Ada yang datang kepada Sofa untuk curhat tentang dosennya, permasalahan dengan pacarnya,
tentang ibu kos, orangtua yang bercerai bahkan ada yang datang untuk meminjam uang. Berdasarkan penuturan Sofa, setiap hari ada sekitar lima sampai sepuluh mahasiswa yang datang baik untuk mengurusi akademik maupun di luar itu. Berhubungan dengan hal ini, Sofa bersedia mendengarkan curhat mahasiswa yang di luar akademik. Sebab, bagi Sofa semua hal yang di luar akademik tetapi menunjang kesuksesan belajar mahasiswa di perguruan tinggi harus ia dengarkan.
“Kalau mahasiswa ya ada 510 orang itu kan, curhat tentang skripsi, tentang dosennya, curhat tentang pacarnya, tentang ibu kos, tentang macammacam orangtuanya cerai, wah macammacam. Bilang aja terbuka minta waktu, untuk apa, untuk curhat Bu.”(N2.S/W2.502-508)
“Cuma Bu Sofa sering cerita, sering ada mahasiswa yang datang itu selain bahasin mata kuliah dia tuh masalahnya curhat, curhat keluarga ada yang juga minta pinjam uang.” (SO4.F/W1.852-856)
Selanjutnya, mengenai hubungan antara Sofa dan rekan kerja di prodi, memanganggap rekan kerja sebagai teman. Dalam membangun kedekatan diantara mereka Sofa berusaha untuk memberikan perhatian-perhatian pada hal-hal kecil. Seperti menyapa, menanyakan kabar, mengi ngatkan untuk hati-hati dan Sofa juga berusaha untuk tidak ada konlik dengan sesama rekan kerja.
“Temen ya saya anggap mereka temen. Walaupun misal nya sama Mbak Feriyanti di kantor yang selalu ngecek ngecek..ya bagian pengecekan lah itu ya selalu saya anggap sebagai temen. Kalau disini sama Bu Sulami staf
saya itu gimana pokoknya saya anggap sebagai teman saya sendiri lah, batih ya, anggap kakak, anggap apa kalau ada saya punya apaapa harus saya bagi gitu ya.”
(N2.S/W1.262-270)
Sofa dan suami adalah pasangan yang sama-sama memiliki kesibukan. Sofa sibuk dengan perannya sebagai kaprodi, pimred majalah, BPH PUTM, serta sebagai Ibu yang mengurusi kedua anaknya. Sementara, suami ada-lah seorang dosen di saada-lah satu universitas reputable di Yogya karta, aktif di Pusat Studi Daerah Perbatasan, aktif di ALBA (Alumni Bimbingan Haji ‘Aisyiyah), komite di sekolah anak, serta konsultan Bank Indonesia yang dalam tugasnya suami Sofa sering pergi ke luar kota. Dengan kondisi tersebut, Sofa muncul sebagai sosok istri yang mandiri dan tidak selalu bergantung dengan suami.
“Kalau saya tinggi ya lumayan tinggi, tapi ya partner gitu, nggak ..nggak…nggak harus selalu bergantung.”(N2.S/ W2.354-357)
Meski antara Sofa dan suami sama-sama sibuk, namun hampir tidak pernah ada konlik yang berkepanjangan dalam kehidupan rumah tangga. Selain karena secara pribadi Sofa pandai memanage waktu antara prodi, ke-luarga, anak-anak dan suami, serta Sofa juga menjaga diri untuk tidak menganggu kepemimpinan suami. Ketika dalam satu organisasi suami aktif, Sofa memilih hanya ber-peran sebagai pendukung dari kepemimpinan suami.
“Jadi, dimana suami saya disana aktif, saya pilih jalan yang lain. Biarkan suami saya disitu, jadi jangan sampai ada saya ngerecokin kepemimpinan suami saya,
itu beberapa trik. Terus juga apa namanya.. sebetulnya kalau misalnya eksis di dua tempat, duaduanya itu nggak bagus menurut saya.”(N2.S/W2.299-306)
“Harmonis banget, jadi bijaksana gitu ya. Ya namanya manusia ada kurang ada lebihnya gitu ya karena sama sama orang berpendidikan ya. Jadi tuh apa ya sesuatu tuh jangan dibuat susah, biasa aja, nggak ada konlik gini gini tuh nggak ada.”(SO3.U/W1.253-258) c. Dukungan yang Diterima Sofa
1) Dukungan Pemberian Bantuan
Dukungan yang bersumber dari orang-orang terdekat sangat penting untuk menjaga keberlangsungan dari peran yang sedang dijalankan. Keadaan keluarga yang harmonis sementara peran-peran publik berjalan lancar adalah kon-disi ideal yang didambakan oleh setiap perempuan pe-mimpin. Tidak terkecuali Sofa. Dalam menjalankan peran nya, Sofa mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat terutama suami dan anak. Sofa mendapatkan bantuan langsung dari anak yang berupa sikap kooperatif sang anak. Sebagaimana yang terlihat oleh peneliti saat anak kedua Sofa ikut rapat redaksi majalah.
Disana anak terlihat bisa kooperatif dengan duduk disamping Sofa, bermain sendiri, atau mengobrol dengan peneliti, tanpa rewel atau mengganggu Sofa. Selain itu, ketika sang anak ikut ke kantor juga dapat kooperatif. Saat Sofa mengajar di kelas, anak tetap berada di kantor entah bermain game atau tidur.
“Saat rapat berjalan, peneliti berusaha melambaikan tangan kepada anak narasumber supaya mendekat
kepada peneliti, karena ia tampak malumalu tetapi terus memandang ke arah peneliti. Setelah peneliti melam baikan tangan kembali sambil mengucapkan “sini” dengan lirih akhirnya anak narasumber mendekat, dan peneliti bisa kenal anak narasumber. Peneliti bisa ngobrol, bercanda, berfotofoto emskipun setelah itu fotofotonya dihapus sama dia. Anak narasumber juga tidak mengganggu jalannya rapat. Ia terlihat memutar menge lilingi ruangan sambil bergumam sendiri, larilari keluar masuk namun tidak rewel kepada narasumber. Kadang terlihat tiduran diatas kursi yang ditumpuk di pojok ruangan, atau duduk di samping narasumber sambil memandangi bergantian para peserta rapat. Se sekali jail dengan menggerakkan layar proyektor yang menjulur sampai hampir mendekati lantai, setelah semakin agresif, ditegur oleh narasumber dan sang anak manut.”(N2.S/OB-3.34-57)
“He’e dibawa ke prodi. Jadi, Bu Sofa ngajar anaknya sama saya udah, kan komputernya ada 2 tuh he’e satu buat anak nya lah kalau mau main game, game lah ng gak papa yang penting disini. Pokoknya sama Bu Sofa, udah disini nggak usah kemanamana gitu anteng. Kadang anaknya diajakin ke tempat ngajarnya. Tapi di suruh anteng, udah kamu sini, jangan kesini.hehehe Dikasih kertas dikasih apa, udah anaknya diam. Anak nya juga nurut sih, makanya anaknya kadang, aku disini aja Mah di kantor sama Mbak Fitri, oke gitu malah enak.”(SO4.F/W1.654-677)
Selain itu, ketika di rumah belum ada mahasiswa yang membantu disana, pekerjaan-pekerjaan rumah tangga di-lakukan bersama-sama. Anak-anak juga membantu Sofa
menyapu dan memasak.
“Masukin ke laundry kan gitu, rumah berantakan nggak papa ya. Ya..mana yang kemudian menjadi skala prio ritas tapi targettargetnya semuanya terpenuhi. Digotong bareng lah ya kadang suami nyuci piring, ngelap mobil. Saya sama anakanak masak, nyapu semuanya berbagi peran.” (N2.S/W1.471-478)
Anak pertama Sofa yang berjenis kelamin perempuan, saat ini masih duduk di kelas 3 SMP. Selepas SMP ia mengatakan bahwa dirinya ada rencana untuk melanjutkan sekolah di SMA 8 (Delayota) yang relatif dekat dengan kantor Sofa. Hal ini dilakukan, selain karena Delayota adalah salah satu sekolah favorit di Yogyakarta, pun supaya Sofa bisa sekaligus menjemput anaknya karena jarak yang dekat tadi.
“Iya dekat jadi biar Mama gampang jemputnya katanya gitu.” (SO5.A/W1.228-229)
Sofa juga mendapatkan bantuan dari suami. Suami Sofa adalah seorang dosen sekaligus konsultan BI di Jakarta sehingga membuat suami sering pergi ke luar kota. Meski -pun demikian, suami tetap tidak terlepas dalam mem beri dukungan bantuan langsungnya kepada Sofa. Ketika ada acara pertemuan keluarga atau acara di kampus yakni paguyuban keluarga, suami selalu datang untuk menun-jukkan supportnya kepada Sofa. Meskipun suami sedang sibuk, namun menyempatkan untuk tetap datang. Suami mengetahui betul atmosfer pergaulan yang ada di kampus tempat Sofa berkarir, serta suami akrab dengan semua teman-teman Sofa.
“Itu sih dia support, di PUTM dia support saya terus ya, ada kemarin ada acara pertemuan dengan keluarga ya dia selalu datang, di kampus acara..ngadain apa paguyuban keluarga dia selalu datang untuk menun jukkan support ya. Walaupun sesibuk apapun dia di luang kan waktu untuk datang acara keluarga di kam pus ya. Pada temanteman saya semua akrab suami saya, jadi dia ngerti apa atmosfer pergaulan di kampus se perti apa.”(N2.S/W1.430-440)
Di sisi lain, sebagai sesama akademisi, posisi antara Sofa dan suami saling menguntungkan dalam melakukan hal-hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Terkadang Sofa menjadikan suami sebagai pembicara di seminar yang diselenggarakan olehnya atau suami bersedia me nulis di majalah. Meskipun demikian, Sofa tetap menjaga profe-sionalitas dalam bekerja supaya tidak terjadi per campuran antara pekerjaan dan keluarga. Sofa juga sudah paham jika suaminya sangatlah sibuk dengan urusan peker jaannya. Namun, apabila Sofa benar-benar tidak bisa melakukan tugas yang merupakan bagian dari peker jaannya, suami siap sedia membantu. Seperti saat sistem penilaian di SIA kampus belum bagus. Sofa akhirnya meminta bantuan kepada suami untuk membuatkan sistem penilaian meng-gunakan program ms. excel.
“Kadangkadang malah saya jadikan narasumber maja lah atau narasumber sini apa e apa namanya..seminar gitugitu aja ya secara langsung ya.” (N2.S/W1.730-732)
“Paling bikinin excel.hahaha Excel saya katrok ya paling bikinin sistem aja kerjain saya gitu. Waktu disini SIA nya belum bagus, penilaian gitu ya dia bikinin sistem
penilaian pakai excel. Waktu itu belum, waktu itu SIA nya belum langsung connecting program.” (N2.S/ W1.739-745)
Ketika suami sedang berada di rumah dan tidak sibuk, suami juga bersedia mengantar Sofa pergi berkegiatan. Meski pun kemudian suami hanya mengantar dan ditinggal pergi ke tempat yang lain.
“Ya sih paling ngantar terus ntar ditinggal kemana. Misal nya nggak lagi ada pekerjaan gitu.”(SO5.A/ W1.330-332)
Saat berada di Yogyakarta, suami sering menjemput Sofa di kantor untuk makan siang bersama. Terkadang, Sofa yang menjemput ke kantor suami terlebih dahulu kemu dian makan bersama. Momentum makan bersama digunakan oleh mereka untuk berbagi cerita seputar aktivi-tas yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan, sehingga satu sama lain saling mengetahui aktivitas masing-masing. Makan siang bersama, selain sebagai ajang curhat juga sebagai sarana untuk saling memberikan support.
“Paling suami saya kayak kemarin ya itu menjemput makan siang, selama jam makan siang jemput makan di Ingkung Grobog balik lagi kesini, gitu. Pas break makan siang, kan support begitu, support bahwa dia bersemangat bahwa juga ingat ingat rumah, terus apa ingat keluarga. Mungkin bantuannya itu.” (N2.S/ W2.52-59)
Selanjutnya, suami bertanggungjawab untuk mem-berikan dukungan inansial kepada Sofa. Tidak hanya terkait dengan rumah tangga, ketika Sofa masih menempuh