Hasil PenelitianBAB IV
C. Hasil Penelitian
3. Identitas Narasumber 3 (Dian)
Dian merupakan seorang perempuan yang berusia 33 tahun. Dian lahir di Gunungkidul, 19 Januari 1984. Dian me nikah pada tahun 2009. Dian berasal dari Wonosari,
Gunung kidul, sedangkan suami Dian asli Kotagede. Latar bela kang pendidikan Dian adalah S1 jurusan Bimbingan Konseling, Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY. Kemudian Dian melanjutkan jenjang studinya di jurusan Manajemen Pendidikan, Pascasarjana UAD. Dian dan suami tinggal di daerah Condongcatur. Suami Dian adalah seorang dosen di STMIK Ahmad Yani sekaligus konsultan manajemen di Jakarta. Dian dan suami belum memiliki anak. Sebagai seorang konsultan, suami Dian sering pergi ke Jakarta. Ditambah lagi dengan peran Dian sebagai ketua umum organisasi masyarakat bersayap besar serta perannya sebagai kepala sekolah, Dian dan suami tidak sering sama-sama berada di rumah.
Dian yang saat ini merupakan pemimpin perempuan yakni menjabat sebagai Ketua Umum PPNA sekaligus Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah 2 Depok, Sleman memiliki postur tubuh yang berisi dan cukup tinggi. Tinggi badan Dian sekitar 160 cm, mengenakan kaca mata dan berjilbab. Dian diangkat menjadi Ketua Umum PPNA berdasarkan hasil Muktamar NA ke-XIII yang diselenggarakan di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Dian dan suami tinggal di perumahan daerah Condongcatur. Dian dan suami belum memiliki anak, sehingga saat suami pergi ke luar kota Dian hanya sendirian di rumah. Ini terlihat ketika peneliti melakukan observasi ke rumah Dian. Saat itu peneliti datang bersama kedua teman peneliti yang bermaksud untuk silatur-rahmi ke rumah peneliti. Kemudian, kegiatan tersebut sekaligus peneliti melakukan observasi di rumah Dian. Saat itu, Dian terlihat sendirian di rumah karena berdasarkan penuturannya, suami sedang berada di Jakarta.
Dian dan suami tinggal di sebuah rumah yang tidak ter-lalu besar. Rumah narasumber berukuran sekitar 6 x 8 m2 yang
didalamnya terdapat 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, ruang tv sekaligus ruang tamu, serta di depan rumah terdapat garasi mobil dan juga tampak pohon rambutan yang cukup rindang. Di dalam ruang tamu sekaligus ruang tv di rumah Dian, terdapat televisi , kipas angin, pohon hias, karpet, serta rak sepatu yang terletak di pojokan samping pintu masuk. Rak sepatu Dian tampak penuh berisi tumpukan sepatu. Saat peneliti datang, Dian sedang menonton televisi. Dian di rumah tampak mengenakan baju berbahan kaos dipadukan dengan rok dan jilbab instan yang semuanya berwarna gelap/ bold. Peneliti datang pada sore hari menjelang maghrib, sehingga peneliti ikut mendirikan sholat maghrib di rumah Dian. Ketika peneliti hendak berwudhu dan masuk ke kamar mandi, bagian lantai kamar mandi terlihat bersih dengan semerbak wangi pengharum kamar mandi. Sementara itu, suasana lingkungan tempat tinggal Dian terasa tenang. Dian bertetangga dengan dua orang temannya yang sama-sama aktif di persyarikatan dan sama-sama menjabat sebagai kepala sekolah.
Dian memiliki 2 kantor yaitu di Yogyakarta dan Jakarta. Di Yogyakarta sendiri Dian memiliki dua kantor yakni kantor di sekolah yang ada di daerah Depok, Sleman dan kantor organisasi yang ada di Jalan KH. Ahmad Dahlan. Peneliti me-lakukan observasi di lingkungan kantor Dian yakni di sekolah karena peneliti ikut menjadi tentor BTAQ disana sekaligus peneliti manfaatkan untuk mengobservasi lingkungan kerja dan interaksi Dian dengan rekan kerja di sekolah.
Interaksi Dian dan rekan kerja di sekolah baik dan saling menghargai dan narasumber tampak disegani. Dian terlihat membantu staf yang terlihat membutuhkan pengarahan, begitu pula dengan staf yang ingin pergi melakukan izin terlebih
dahulu kepada Dian, dan terdengar sering menggunakan bahasa Jawa kromo atau campuran. Selain itu, Dian juga terlihat tetap berada di ruangannya sambil tampak mengoperasikan
handphonenya ketika tidak ada tamu yang datang menemui. Dian juga tampak mengakui sambil bercanda kepada staf bahwa narasumber sering meninggalkan sekolah.
Dian adalah orang yang cenderung ramah terhadap orang lain, supel, namun tampak serius. Ini terlihat saat peneliti pertama kali menghubungi Dian dan kembali menghubungi lagi semenjak ada jeda yang cukup lama. Namun demikian, karena kesibukan Dian, seringkali ketika peneliti sudah janjian sebelumnya untuk melakukan wawancara lalu Dian datang ke sekolah dan ternyata Dian mempunyai kegiatan lain yang tidak bisa ditinggal, raut wajah Dian tampak bingung antara jadi wawancara atau tidak. Di pertemuan selanjutnya, Dian tampak tersenyum saat melihat peneliti datang. Setelah peneliti menanyakan apakah Dian memiliki cukup waktu pada hari itu, Dian menjawab jika ia akan stand by di sekolah selama beberapa hari ke depan karena sedang mengurus akreditasi sehingga peneliti dapat lebih mudah untuk wawancara.
Dian tampak mendapatkan bantuan instrumental dari staf di sekolah. Hal ini terlihat ketika peneliti sedang melakukan wawancara kepada Dian dan pada waktu-waktu itu Dian sedang disibukkan dengan berkas-berkas akreditasi, dan karena Dian sedang wawancara dengan peneliti, akhirnya Dian meminta tolong staf yang hendak pergi untuk sekaligus mengambil surat di polsek Depok Timur. Selang kurang lebih 30 menit, staf kembali dengan membawa berkas yang dimaksud kemudian Dian mengecek sembari mengucapkan terimakasih. Dian juga tampak mendapatkan dukungan emosional dari struktural
di atas nya saat Dian baru awal menjadi ketua umum. Ketika itu, peneliti sedang ada kepentingan liputan dengan Dian dan pe neliti sembari mengamati jika Dian diberi penguatan oleh beliau.
Selanjutnya, observasi juga dilakukan peneliti pada media sosial Dian terutama Instagram, karena Dian terlihat cukup sering memosting foto di Instagram. Di media sosial tersebut Dian memosting foto-foto yang terkait dengan kegiatan organi sasi, sekolah, foto bersama suami, dan sebagainya. Sam-pai sejauh peneliti melakukan pengamatan di Instagram Dian, foto terakhir yang diposting oleh Dian adalah foto saat Dian berada di Jepang beberapa hari yang lalu dalam rangka mengi-kuti program pertukaran budaya yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang yaitu program Jenesys.
Jumlah total foto yang di posting narasumber sejauh pe-ngamatan peneliti yaitu sebanyak 140 foto. Enam diantaranya adalah pose Dian bersama suami atau hanya suami saja. Ada yang memperlihatkan kebersamaan mereka saat sedang berlibur di pantai depok, makan bersama satu meja antara Dian, suami dan Pak Din Syamsuddin, Dian dan suami
njagong manten (menghadiri acara pernikahan), foto editan yang me nampakkan wajah Dian dan suami dalam satu frame serta foto suami saja.
Pada foto-foto tersebut peneliti membaca caption yang ditulis narasumber menggambarkan kehidupan rumah tangga yang selama ini dijalani, bunyinya yaitu, “7 tahun bukan waktu yang pendek. Dan kita telah melalui tahun2 yang me nakut kan itu. Tinggal kita ambil mimpi kita yg masih di genggamanNya.” tulis Dian tanpa mengetag suami. Lalu, pada foto yang hanya gambar suami saja, Dian menulis caption
ucapan selamat ulang tahun, berterimakasih, ungkapan cinta serta menunjukkan adanya dukungan emosional yang selama ini diberikan suami padanya. Bunyi caption tersebut ialah, “Selamat milad wahai lelaki yang menundukkan cintaku, semoga usia senantiasa berkah dan manfaat. Tetap mjd sinar dlm kehidupan ku.. Terimakasih sdh mendampingiku dg sabar dan ikhlas mengijinkanku utk berkativitas dlm kerja dakwah. Sedih juga hari ini tdk bisa menemani sahur krn saya hrs menjalankan tugas dakwah di kota yang berbeda.” tulis Dian disertai dengan tag ke akun suaminya.
Selanjutnya penulis juga melalukan observasi terhadap akun Instagram suami Dian. Di akun suami, tidak terlalu banyak terdapat foto, hanya sebanyak 6 foto dengan postingan terakhir yaitu tanggal 28 Januari 2017. Pada keenam postingan tersebut juga tidak terlihat adanya foto Dian, hanya foto selie
suami Dian serta foto suasana tempat. Di salah satu foto berlatar di ruang tunggu bandara Halim Perdanakusumah, tertulis hashtag yang secara tersurat menunjukkan rasa iba suami terhadap anak bayi, “Pasar tumpah di bandara Halim sore ini…#penuhsesak #kasihanparaBaby.”
4. Dinamika Dukungan Keluarga Lintang a. Sebelum menjadi Lurah
Narasumber 1 (Lintang) merupakan seorang perem-puan yang baru diangkat menjadi lurah sejak tanggal 3 Januari 2017. Sebelumnya Lintang adalah staf di Kelurahan Patehan, kemudian naik menjadi Kasi Pembangunan di kelurahan yang sama, sekretaris di Kelurahan Wirobrajan, lalu diangkat menjadi Lurah.
Lintang menikah dengan seorang laki-laki yang ber-profesi sebagai pilot. Dari pernikahannya, Lintang dan suami sudah dikaruniai 2 orang anak laki-laki yang ke-duanya masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sebagai istri dari seorang pilot, Lintang dan kedua anaknya sering ditinggal bertugas ke luar kota/luar negeri oleh suami sehingga Lintang harus pandai-pandai membagi waktu dalam menjalankan peran di luar rumah dengan peran sebagai Ibu di rumah.
“Membagi waktunya leksibel aja kalau saya Mbak, e anak saya kan 2, yang kebetulan suami itu dalam pekerjaannya sering ke luar kota. Jadi ada masamasa dimana saya bertiga dengan anakanak.” (N1.L/ W1.942-946)
Sebelum diangkat menjadi Lurah, Lintang memiliki lebih banyak waktu untuk bersama dengan keluarga dan mengurus anak karena secara tupoksi pekerjaan di jabatan sebelumnya, Lintang memiliki jam kerja normal, sehingga tidak membutuhkan waktu yang ektsra untuk kegiatan di masyarakat. Tanggung jawab Lintang dalam pekerjaan juga lebih ringan sehingga Lintang tidak harus stand by di luar jam kerja normal. Dalam kaitannya dengan agenda quality time dengan keluarga, Lintang juga bisa melakukannya lebih mudah karena tanggung jawab di kantor selesai pada jam kerja. Sebagai ibu bekerja, Lintang tetap mengerjakan tugas-tugas domestik mulai dari keperluan anak sekolah, mengantar anak ke sekolah, mencuci piring, dan menye-trika walaupun sudah dibantu oleh asisten rumah tangga di rumah.
b. Setelah menjadi Lurah
Saat ini Lintang menjadi salah satu lurah perempuan termuda di Kota Yogyakarta, mengingat Lintang masih berusia 35 tahun. Lintang baru pertama kali menjabat sebagai lurah sehingga menurutnya menjadi lurah mem-butuh kan keterampilan sosial yang tinggi dalam meng-hadapi masyarakat. Selain Lintang juga harus bisa ber-damai dengan diri sendiri ketika berhadapan dengan banyak orang.
“Kalau dari segi usia, nanti di cek ulang ya coba datanya, di kota sampai saat ini saya ini termasuk salah satu lurah termuda di kota Yogyakarta. Iya..perempuan lagi kan, usia saya tahun ini 35 tahun, kemudian baru menjabat lurah, baru pertama kali ini menjabat sebagai lurah, karena kan lurahlurah di tempat lain usianya sudah lebih sepuh, sudah lebih berpengalaman, jauh lebih mempunyai basic yang lebih banyak untuk menghadapi apa namanya e…masyarakat ya.” (N1.L/W1.54-66) Menurut penuturan Lintang, staf di kelurahan kaget saat mengetahui dirinya masih muda dan seorang perem-puan. Meskipun lurah sebelumnya di kelurahan yang sama juga perempuan. Namun dilihat dari segi usia Dian masih jauh lebih muda daripada staf-staf yang ada di kelurahan. Tidak heran jika faktor kemudaan dalam usia bagi se-bagian staf terasa mengganjal. Oleh sebab itu, Lintang memberikan pengertian sekaligus mengajak kepada para staf bahwa di kelurahan harus bekerjasama bukan hanya bekerja bersama-sama. Meski pada kenyataannya Lintang tetap memiliki rasa kekhawatiran karena menyadari bahwa kelurahan adalah organisasi terkecil dalam pemerintahan.
Dalam pandangan Lintang, semakin kecil organisasi dengan anggota yang semakin sedikit, maka friksi yang ada dalam organisasi justru semakin lebar. Lintang tetap khawatir kalau-kalau di belakangnya, staf menyimpan ketidaksukaan namun di depan Lintang mereka tampak baik-baik saja.
“Apa namanya saya ini kan masih muda, perempuan lagi, ratarata disini kan sudah lebih senior, dari segi umur sudah lebih senior dari saya, saya memberikan pe ngertian pada mereka bahwa saya disini bukan sebagai, tidak hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai rekan kerja, sebagai e apa namanya e.. fasilitator juga untuk mereka. Saya memberikan pengertian bahwa ini kerja sama, harus bekerja bersama tidak hanya sekedar be kerja bersamasama, tapi memang harus kerjasama ini.”
(N1.L/W1.409-420)
Setelah menduduki jabatan baru yakni sebagai lurah, tanggung jawab Lintang menjadi semakin besar. Se-lain harus mengurusi hal-hal yang bersifat administatif, menjadi lurah juga memiliki tanggungjawab untuk mem-berdayakan, mendidik, dan mengayomi masyarakat serta menjadi motor dalam mempererat solidaritas internal struktur organisasi kelurahan itu sendiri. Kelurahan Rejo-winangun memiliki jumlah warga sebanyak kurang lebih 12.300 sekian, dengan jumlah RW sebanyak 13, 49 RT, serta terdapat 25 lembaga sosial masyarakat.
“Pertanggal 1 Mei kemarin itu 12.365, nah sekarang udah tambah lagi karena banyak ada yang meninggal, ada yang itukan di update tiap bulan tuh. Nah sekitar itulah Mbak 12.300 sekian gitu.” (N1.L/W1.810-814)
“Jadi, apa ya terutama bu lurah, kan yang diaturi mesti bu lurah. Dari sini ada 13 Rw, ada 49 Rt kalau ada kegiatan kan mesti ngaturi.” (SO2.H/W1.52-53) “Nah itu yang belum saya ceritakan disini kan ada lembaga sosial masyarakat sekitar 25 lembaga.”
(SO2.H/W1.525-526)
Selain itu, dalam urusan administratif, Lintang ber-upaya untuk membangun kesadaran masyarakat dengan cara memberikan pemahaman terkait dengan regulasi-regulasi kependudukan. Dengan begitu, Lintang merasa mendapatkan kepuasan pribadi karena dapat berbagi ke-pada masyarakat dengan mengarahkkan mereka menjadi lebih baik.
“Jadi, e…masyarakat bisa lebih mengerti tentang itu. Itu kepuasan pribadi sih dan nggak ada ukurannya, nggak ada ukurannya.” (N1.L/W3.135)
Selanjutnya, dalam upaya mendidik masyarakat Lin-tang menerapkan kebijakan baru salah satunya menge nai rapat yaitu pukul 19.30 rapat sudah harus dimulai dan pukul 21.00 selesai. Begitu pula jika ada kegiatan sosial maka pukul 23.00 harus sudah selesai supaya tidak me-nganggu. Hal tersebut juga sebagai wujud ikhtiar Lintang dalam menjaga diri serta menjaga keberlangsungan dalam menjalankan peran-perannya di rumah.
“Ini juga trik saya supaya di rumah saya juga nggak keteteran. Lha bayangkan kalau sampai jam 1, jam 2 saya nggak bisa pulang nanti besok paginya harus nyiapin anakanak ke sekolah, nah ini saya juga sampaikan ke pada masyarakat, saya ini seorang Ibu, saya seorang istri,
mbatin kok Bu lurah, saat masyarakatnya berbuat itulah mereka pandai, daripada kita diamdiam, naaah…saya kalau sama masyarakat jujur Mbak, saya harus pulang karena besok saya harus mempersiapkan anak sekolah, saya jujur dan saya meminta maaf tidak bisa ikut acara tidak bisa sampai selesai gitu. Karena kalau nungguin sampai selesai tiap hari, ada undangan sampai jam 10, sampai jam 11 ya entek awake gitu.” (N1.L/W1.299-316)
Dalam konteks mengayomi masyarakat, Lintang me-laku kan pendekatan kepada mereka dengan cara aktif hadir di pertemuan-pertemuan seperti Posyandu, pertemuan RT, datang ke pertemuan pemuda, maupun kegiatan-kegiatan tentatif yang diselenggarakan oleh masyarakat. Frekuensi Lintang bertemu dengan masyarakat semakin meningkat. Sebagaimana yang diungkapkan Lintang bahwa frekuensi bertemu masyarakat meningkat hampir seratus persen. Ke nyataan bahwa di kelurahan Rejowinangun terdapat banyak lembaga masyarakat yang tiap kali Lintang datang, masyarakat terlihat lebih bersemangat merupakan bagian dari keberhasilan Lintang dalam mengayomi masyarakat. Secara psikologis, Lintang mengakui jika ia merasa bangga atas hal tersebut.
“Ini meningkat hampir seratus persen ini bertemu de ngan masyarakat itu. Kalau dulu kan e memang dalam masyarakat itu meskipun semua disini ada..disini ada pejabat, tapi sosok igur yang mereka inginkan hadir memang sosok seorang lurah gitu. Jadi itu yang perlu saya jaga, ini juga merupakan PR juga buat saya, karena ba nyak sekali lembaga masyarakat e yang ada disini yang memang setiap kali saya datang mereka terlihat lebih
bersemangat. Secara psikologis tidak dipungkiri bangga lah ya Mbak ya pasti yang saya rasakan begitu.”(N1.L/ W1.565-578)
Sementara itu, dalam internal organisasi kelurahan, Lintang menyadari bahwa ia adalah lurah yang masih berusia muda daripada staf-staf di kelurahan. Lintang mengajak para staf untuk menciptakan suasana kekeluargaan. Selain itu, Lintang berusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dengan memberikan pengertian ke-pada para staf narasumber disana bukan hanya sebagai pe-mimpin, tetapi juga rekan kerja, fasilitator. Saat Lintang menem patkan diri sebagai lurah, Lintang adalah pimpinan para staf, tetapi saat bekerja Lintang adalah rekan dari staf. Menjadi lurah menurut Lintang adalah amanah yang harus dijalankan bukan semata-mata karena ingin memimpin yang lain.
“Makanya saya selalu tekankan juga, tolong bertoleransi, tidak mungkin sebuah pekerjaan itu dilaksanakan oleh satu orang, pasti butuh teman yang baik, untuk mem backup, untuk membantu, untuk sekedar memberi informasi, itu pasti butuh yang lain, makanya mari kita tempat kan disini kita sebagai sauDian. Ndilalah…kok ndilalah saya yang ketepatan menjadi ibu dari semua staf yang ada disini meskipun saya yang paling muda. Makanya saya sering mengatakan, saat saya menjadi lurah maka saya adalah pimpinan kalian, tapi saat kita bekerja saya ini rekan kalian.” (N1.L/W1.430-444) Selain tanggungjawab yang semakin besar, Lintang juga harus meluangkan waktu yang lebih banyak dalam ber interaksi dengan masyarakat dan tentu saja siap sedia
saat situasi genting. Seperti ketika berkegiatan dengan masyarakat yang seringkali dilaksanakan pada waktu malam hari atau sore hari di luar jam kerja normal. Begitu juga saat terjadi situasi genting seperti yang pernah diceritakan oleh narasumber bahwa pernah ada kerusuhan yang terjadi di wilayah, Lintang ditelfon pukul 23.00 oleh kepolisian diminta mendampingi identiikasi. Maka, sebagai lurah Lintang harus stand by pada waktu-waktu di mana masyarakat membutuhkan kehadirannya.
“Dan kadangkala, masyarakat membutuhkan kami di waktuwaktu yang tidak bisa terukur jam kerjanya di jam kerja normal. hehe. Nggak mungkin nolak kan kalau jam 9 malam ada kurusuhan di wilayah kemu dian kita bilang, besok aja ya laporannya pas jam kerja. Itu kauistis kok Mbak tapi sering.hehe. Pernaah..pas puasa kemarin ada orang meninggal di selokan…jam 11 malam ditelpon polsek suruh mendampingi identiikasi.”
Terlepas dari tugas pokok dan fungsi sebagai Lurah, Lintang menyadari bahwa ia merupakan seorang perem-puan yang memiliki peran domestik. Lintang adalah Ibu dari kedua anaknya serta istri dari suaminya. Oleh sebab itu, Lintang berusaha menjaga keseimbangan kedua peran tersebut meskipun disadari atau tidak disadari beban kerja Lintang sebenarnya semakin bertambah. Di sisi lain, menjadi seorang istri sekaligus public igure, Lintang juga melakukan tugas untuk menjaga marwah diri sendiri, suami, dan keluarganya.
“Namun demikian saya pribadi menyadari bahwa fungsi saya itu selain sebagai lurah juga saya menempatkan diri tetap sebagai istri gitu. Jadi kalau di rumah itu saya nggak
main perintah, nggak ini dan saya memang membatasi betul kegiatan saya kepada masyarakat, kegiatan saya kantor itu tidak mengganggu kegiatan saya di rumah. Jadi saat memang keluarga membutuhkan kayak tadi pagi kan anak membutuhkan diantar ke sekolah, meski pun saya bisa serahkan ke ayahnya wong ayahnya ada di rumah gitu kan bisa saya, aku di kantor karena harus masuk gitu. Tapi tidak saya memang sengaja ah pamit di kantor sebentar untuk sekedar, bukan sekedar sih..untuk e memberikan support kepada anak dan juga suami. Jadi suami itu tidak merasa, ah dumeh dadi lurah terus opo opo waton merintah, waton nggak mau ngapangapain di rumah. Ini keseimbangan yang harus saya jaga, di rumah maupun di kantor.” (N1.L/W1.221-251) Meskipun keseimbangan peran sudah diupayakan oleh Lintang, namun perasaan akan berkurangnya waktu ber kumpul dengan keluarga dan harus benar-benar menyi-asati waktu untuk bisa quality time dengan mereka masih dirasakan oleh Lintang. Pada akhirnya Lintang sekarang lebih bisa menghargai saat waktu mengizinkan mereka untuk berkumpul bersama.
Bagi Lintang, menjadi lurah adalah sebuah prestasi yang satu paket dengan panggilan jiwa. Lintang senang ber interaksi dan bersanding dengan masyarakat, diberi ke-wena ngan untuk mengatur, mengelola dana, serta merasa puas karena dapat berbagi dengan masyarakat, me ngarah-kan mereka menjadi warga negara yang lebih taat hukum, dan dapat memberi semangat secara langsung pada masya-rakat adalah kepuasan pribadi tersendiri.
“Saya sampai mengatakan, siapakah seorang Lintang ini kok sampai dipercaya sebagai seorang lurah gitu tuh bagi
saya sebuah prestasi. Nanti mudahmudahan di masa depan, kalau memang saya mampu mudahmudahan diberi prestasi yang penting lagi, dan ini sebenarnya udah panggilan sih Mbak..udah apa namanya senang gitu berinteraksi dengan masyarakat, bersanding de ngan masyarakat, dan sekarang diberi kewenangan untuk mengatur, support untuk masyarakat itu kan saya