• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika kehidupan masyarakat

Dalam dokumen BUKU BAHAN AJAR BS IDEOLOGI (Halaman 104-109)

F. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DI TENGAH ERA GLOBAL

3. Dinamika kehidupan masyarakat

Arus globalisasi dan gelombang reformasi dalam berbagai bidang telah mengakibatkan terjadinya perubahan masyarakat yang sangat cepat dan seringkali menimbulkan terjadinya benturan di masyarakat. Iklim keterbukaan dan kebebasan yang menyertainya melahirkan berbagai peristiwa sosial, politik, dan kebudayaan yang berpengaruh cukup signifikan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara. Terjadinya penurunan moral bangsa, munculnya fenomena kekerasan, munculnya sikap-sikap yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok, merebaknya pemahaman agama

secara ekstrem dan fanatis, serta merebaknya konflik-konflik di sejumlah daerah dan permasalahan sosial lainnya dapat dijadikan indikasi bahwa ideologi negara di negeri ini sudah memudar dan menunjukkan adanya masalah identitas yang mengancam keutuhan bangsa dan jalannya demokrasi.

Jika dicermati, berbagai rangkaian peristiwa politik, sosial, ekonomi, dan keamanan akhir-akhir ini menandakan memudarnya ideologi nasional sehingga berbagai pihak sering mempertanyakan kelangsungan Indonesia sebagai bangsa dan negara. Pokok permasalahannya adalah bahwa kita tidak menyadari adanya perang ideologi yang dibarengi dengan perang kepentingan di dunia yang menjadikan negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia sebagai wilayah atau medan peperangan tersebut. Perang ideologi dan perang kepentingan yang meliputi politik, ekonomi, dan sosial budaya itu terjadi sekaligus dan saling berkaitan. Negara-negara industri yang haus untuk mengeksploitasi habis sumber- sumber ekonomi negara berkembang memaksa negara- negara lain mengikuti arus globalisasi. Dalam arus globalisasi itulah negara-negara tertentu memaksa negara-negara lain untuk mengikuti cara berpikir serta sistem politik, sosial, dan ekonomi mereka. Demokrasi, baik yang diusung oleh kaum demokrat liberal maupun demokrat sosial (sosdem) dijajakan secara setengah paksa terhadap negara atau masyarakat dunia ketiga dengan bungkus globalisasi.

Negara-negara sedang berkembang dianggap terbelakang secara ekonomi jika tidak mengikuti sistem politik, ekonomi, dan sosial mereka. Respons negara-negara berkembang terhadap tekanan tersebut berlainan satu sama lain. Sebagian tetap tegar pada ideologi dan sistem sendiri dengan cara mengisolasi atau melakukan penyesuaian-penyesuaian, tetapi tetap berpegang teguh pada konsep nasional masing-masing. Sebagian lagi mengikuti apa yang menjadi kemauan negara- negara besar karena tidak tahu cara melepaskan diri dari jerat negara-negara besar tersebut. Sebagian negara atau masyarakat lain mempunyai kesadaran untuk melawan kemauan negara-negara Barat. Mereka yang melawan ini

dibagi menjadi dua, yakni mereka yang berperang habis- habisan dengan keyakinan untuk menghancurkan negara- negara besar sebagai satu-satunya jalan untuk melepaskan cengkeraman ideologi Barat.

Alqaeda dan sejenisnya dapat digolongkan ke dalam kelompok ini. Kelompok lain yang berusaha melawan Barat adalah kaum nasionalis di berbagai negara yang berusaha menahan arus tekanan Barat di segala bidang dengan cara membangkitkan segenap kekuatan spiritual dan material bangsa agar bangsa tersebut tetap bertahan dan tetap bermartabat serta berkepribadian. Ideologi besar dunia yang diwakili demokrasi liberal dan demokrasi sosial saling bersaing untuk menyulap dunia ketiga sebagai bagian dari mereka. Alqaeda dan sejenisnya yang menjadikan "Islam" sebagai ideologi perjuangan dan jihad qital (jihad dalam pengertian membunuh) sebagai metode perjuangan dianggap sebagai musuh bersama oleh kaum demokrasi liberal dan demokrasi sosial.

Jihad qital sebagai ideologi perlawanan terhadap Barat bukanlah monopoli kelompok muslim ekstrem, tetapi juga diminati oleh orang-orang nonmuslim yang menentang paham- paham liberal dan sosialis,misalnya berbagai kasus aksi teror yang digerakkan oleh orang-orang Barat yang sebelumnya memeluk agama Kristen, kemudian masuk Islam. Indonesia sebagai kawasan dengan potensi sosial dan ekonomi yang sangat besar menjadi ajang peperangan mereka. Secara tidak disadari sebagian masyarakat kita telah menjadi sekutu ketiga ideologi tersebut. Tidak sedikit para elite nasional secara lantang menyuarakan kepentingan dari paham demokrasi liberal dan demokrasi sosial tanpa saringan. Mereka yang sangat berupaya ingin menjual Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis tanpa mempertimbangkan hajat hidup rakyat banyak sebagaimana amanat konstitusi adalah salah satu contoh pengikut atau mereka yang terpengaruh paham demokrasi liberal.

Sementara itu, mereka yang sering meneriakkan referendum di daerah konflik merupakan contoh mereka yang

menjadi pengikut demokrasi sosial. Sesungguhnya demokrasi liberal dan demokrasi sosial mengandung nilai positif sepanjang aplikasinya sesuai dengan nilai yang tumbuh di masyarakat. Akan tetapi, manakala nilai dan aspirasi masyarakat diabaikan sebagaimana contoh di atas, kedua paham tersebut menjadi sumber permasalahan di negara ini.

Mengabaikan muatan nasional dan lokal dalam penerapan suatu ideologi sama dengan mempersilakan pihak asing menguasai jalan pikiran kita. Baik negara-negara Barat yang mengikuti demokrasi liberal maupun demokrasi sosial sebenarnya mempunyai tujuan sama, yakni agar pengaruh dan penguasaan atas sumber-sumber ekonomi di Indonesia dapat mereka raih.

Lawan kelompok demokrasi tersebut adalah mereka yang mempergunakan simbol-simbol Islam sebagai slogan perjuangan yang sebagian di antaranya tampil secara vulgar dalam bentuk aksi teror. Sebagian yang lainnya melakukan perlawanan dengan saluran sosial dan politik dengan mengadopsi paham-paham radikal Islam Timur Tengah.

Benturan ketiga ideologi dari luar itulah yang memengaruhi kehidupan politik dan keamanan di negeri ini. Disisi lain Kurang mampunya para Elit Politik memahami secara mendalam tentang Pancasila sebagai Philosophische Groundslag dan Weltanschauung. Istilah Philosophisce Groundslag ia (Bung Karno) definisikan sebagai “Fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam dalamnya, untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka” Namun, sangat memprihatinkan sekelompok Elit Politik tertentu mulai menafsirkan dengan pengertian lain. Pengertian Bung Karno, tentang “Weltanschauung itu dekat dengan ideologi. Dengan kata lain, Pancasila sebagai pandangan hidup/ pandangan dunia (weltanschauung) bangsa Tndonesia hendak dijadikan ideokogi Negara, ( Latif, Yudi “Revolusi Pancasila” , Mizan, Bandung, 2015, Halaman 31) Bung Karno menyakan, "Saudara mengerti dan mengetahui, bahwa Pancasila adalah saya anggap sebagai Dasar daripada negara Republik in- donesia. Atau dengan bahasa Jerman: satu weltanschauung di

atas mana kita meletakkan Negara Republik Indonesia itu. Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakinyakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakitpenyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutarna sekali, Imperialisme. Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mernpunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya." (Kursus Presiden Sukarno tentang Pancasila di Istana Negara, 26 Mei 1958.) Peringatan tersebut, mendorong Kita semua harus lebih hati hati dalam menyikapi perkembangnjaman.

Kalau tidak hati-hati menyikapinya, bukan tidak mungkin Indonesia terhapus dari peta dunia. Terorisme yang tidak dapat dikendalikan akan mendorong campur tangan negara asing, bahkan mungkin dalam bentuk fisik. Liberalisme tanpa batas akan menimbulkan anarki dan kekacauan di segala bidang, sedangkan gagasan-gagasan pengikut sosdem tentang referendum dan disentralisasi yang sangat besar tanpa dilandasi oleh pemerintahan nasional yang efektif akan menyebabkan disintegrasi nasional.

Dalam dokumen BUKU BAHAN AJAR BS IDEOLOGI (Halaman 104-109)