• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantangan Aktualisasi Pancasila

Dalam dokumen BUKU BAHAN AJAR BS IDEOLOGI (Halaman 100-104)

F. PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA DI TENGAH ERA GLOBAL

2. Tantangan Aktualisasi Pancasila

Pancasila pada hakikatnya adalah ideologi humanis yang bercirikan emansipatoris. Sebagai ideologi Pancasila mempunyai daya kekuatan yang menggerakkan masyarakat agar menjalankan tindakan-tindakan riil dalam kehidupan masyarakat sesuai dengan aspirasi nilai-nilai yang dikandungnya. Tindakan-tindakan itu bersifat emansipatoris karena pada dasarnya merupakan langkah pembebasan bangsa dari berbagai bentuk penjajahan, penindasan, kekerasan, dan dominasi.

Berkaitan dengan hal itu, harus disadari bahwa kita pun sekarang ini hidup dalam zaman global. Berkat penetrasi iptek, informasi, modal, dan media komunikasi, dunia kita sering disebut sebagai Global Village (Anthony Giddens), Borderless

World (Kenichi Ohmae), ataupun bercirikan Space

Compression (D. Harvey) beserta arus kepentingannya yang

menyebar ke pelosok-pelosok dunia pada umumnya. Ini berarti kalau tidak hati-hati karena tidak mampu bertahan karena kepribadian yang lemah, orang akan terombang-ambing oleh pengaruh arus global yang tentu saja membawa kepentingannya sendiri.

Proses globalisasi yang menimbulkan tantangan dan ancaman bagi bangsa Indonesia dewasa ini adalah desakan konsumerisme (Baudrillard) yang melanda kehidupan bangsa bagaikan tsunami.

Globalisasi membawa masyarakat dapat menyaksikan gedung-gedung menjulang dan hotel-hotel yang mewah untuk dihuni,dandikunjungi.

Globalisasi juga mendorong mereka untuk mengagumi mal-mal yang penuh dengan komoditas yang dijajakan melalui etalase model pakaian ala Marks & Spencer, Nike dan Adidas, restoran-restoran bergengsi, seperti Starbucks, Kentucky Fried Chicken, dan McDonald serta iklan-iklan di layar TV serta pertunjukan-pertunjukan menarik melalui multimedia. Itu semua tidak sekadar menawarkan komoditas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi juga secara halus (tidak disadari) mendesakkan, bahkan memaksakan semuanya menjadi seakan-akan merupakan kebutuhan riil yang sebenarnya. Dengan demikian, masyarakat membeli gengsi dengan makan di restoran dan mal-mal tersebut. Ini berarti bahwa masyarakat menjalani kehidupan yang semu (Hyper Reality, Baudrillard) karena tidak hanya keputusan pribadi yang otentik dalam menentukannya, tetapi status yang dibentuk oleh faktor pengaruh dari luar melalui iklan dan tayangan yang tiada berkesudahan dan menjadi ukuran semu pula. Dengan demikian, masyarakat tidak menyadari telah dikelabui oleh desakan serta pengaruh iklan dan media massa tersebut sehingga konsekuensinya membuat masyarakat makin konsumtif walaupun masyarakat pada dasarnya memang konsumtif pasif dan tidak mampu memproduksi bahan-bahan kebutuhannya sendiri.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia dibuat menjadi "bangsa importir" yang terpaksa hidup dari barang-barang kebutuhan yang berasal dari luar negeri. Dengan demikian, masyarakat menjalani kehidupan yang palsu. Masyarakat dibuat hidup mewah karenanya walaupun sebenarnya miskin. Ancaman konsumerisme ini terletak dalam kenyataan bahwa kekuatan-kekuatan perusahaan ekonomi merupakan pemegang kekuatan global yang mampu menjadikan konsumerisme sebagai alat untuk mendatangkan keuntungan dengan mengeksploitasi kondisi bangsa-bangsa miskin yang bergantung kepada kekuatan-kekuatan ekonomi global tersebut.

Dengan kata lain, konsumerisme menjadi alat untuk mempertahankan dominasi kekuatan ekonomi global terhadap bangsa-bangsa yang menderita itu. Oleh karena itu, agar masyarakat dapat hidup bebas sesuai dengan jati diri serta hidup otentik, sepatutnya bangsa Indonesia bangkit dari keterpurukannya. Bangun artinya menggalang kekuatan untuk mencegah konsumerisme dan ketergantungan tersebut dengan membuat bangsa berorientasi kepada kerja yang produktif. Kerja produktif tidak sekadar meneruskan cara kerja masyarakat secara tradisional, tetapi juga meningkatkan kualitas kerja yang rasional. Ini berarti menumbuhkan etos kerja yang menjadi andalan masyarakat produktif. Melalui proses itu, bangsa Indonesia akan menghargai hasil karyanya sendiri dan mempunyai percaya diri karena etos kerja adalah wujud yang mencerminkan perkembangan dan peningkatan harkat bangsa sebagai manusia. Dengan meninggalkan bentuk kehidupan yang palsu dan semu itu, bangsa Indonesia akan kembali sebagai bangsa yang sadar akan harkatnya sendiri untuk mampu bersaing. Namun, semua itu adalah suatu tekad dan satu niat yang penting. Untuk itu, ada tantangan berat yang harus diatasi terlebih dahulu, yaitu menghadapi ancaman oportunisme karena secara kultural paham itu merupakan akar keterpurukan bangsa dewasa ini.

Sikap oportunistik yang sudah merambah ke mentalitas kaum elite masyarakat Indonesia berakibat melemahkan daya ketahanan bangsa dari dalam, membuyarkan rasa komitmen nasional, merenggangkan solidaritas terhadap sesama warga, dan, dengan demikian, membiarkan kesatuan dan keutuhan bangsa sebagai formalitas belaka. Itu semua terjadi karena diawali dengan anggapan yang tidak memperhatikan dan bahkan mengingkari prinsip-prinsip sebagai norma hidup yang harus ditaati, dengan menyatakan bahwa setiap perbuatan adalah baik selama berguna bagi seseorang dan bermanfaat bagi pencapaian kepentingan pribadinya.

Jadi, pada dasarnya tidak ada nilai-nilai dasar, termasuk nilai-nilai Pancasila yang wajib diterima untuk mengatur kehidupan secara normatif. Jelaslah sikap yang pragmatis itu

membuka lebar-lebar merajalelanya nafsu serakah di segala bidang, keserakahan untuk memiliki harta benda (hebzucht), keserakahan untuk berkuasa (heerzucht); dan keserakahan untuk dihormati (eerzucht) (I. Kant).

Dengan memprioritaskan nafsu keserakahan itu dalam perilaku serta peri kehidupan, timbul anggapan bahwa tujuan menghalalkan segala cara, tiada nilai-nilai moral sebagai pedoman hidup, dan tiada hati nurani diindahkan lagi karena kesadaran moral sudah tumpul dan bahkan punah. Kondisi oportunistik semacam itu mendorong seseorang untuk bertindak tidak jujur, tidak adil, dan bahkan bertindak semena- mena dengan menyalahgunakan wewenang, menjalankan KKN, dan tidak segan-segan menjalankan kekerasan dan kriminalitas. Disposisi mental seperti itu membuat seseorang mudah berbohong, munafik, sanggup berkhianat terhadap rekan sahabatnya, hingga tega menjual bangsa dan tanah airnya. Pada kenyataannya ia kehilangan martabat serta harga diri sebagai manusia. Meskipun dikelilingi oleh kekayaan serta jabatan berlimpah, ia tetap bukan lagi manusia yang sebenarnya. Itulah bahaya oportunisme yang dapat menyebabkan bangsa dan negara terpuruk sampai ke titik yang rendah hanya karena ulah elite masyarakat, elite politik, dan elite kepemimpinan bangsa tertentu yang tenggelam dalam kubangan oportunistik. Mampukah bangsa Indonesia yang terjangkit oleh wabah penyakit oportunisme ini menghadapi ancaman konsumerisme untuk bisa bangun kembali? Perlu disadari bahwa kondisi oportunistik ini memberi peluang yang makin besar bagi dominasi kelompok kepentingan global terhadap kelompok bangsa-bangsa yang miskin, menderita, dan tersingkir. Oleh sebab itu, kalau kita ingin mengatasi keterpurukan bangsa dan berhasil membangun bangsa seutuhnya, kita perlu mengusahakan peningkatan ketahanan budaya bangsa dan mengintegrasikannya dengan bentuk-bentuk ketahanan di bidang lainnya melalui tindakan-tindakan komunikatif (Habermas) dalam praksis sebagai wujud kenyataan riil yang berinspirasikan pengetahuan dan kehendak emansipatoris. Fragmentasi ketahanan bangsa dalam setiap bidang

kehidupan berakibat fragmentasi pula dalam keberhasilan pembangunan.

Adapun pembentukan ketahanan budaya berarti menjalankan reorientasi semangat dan cita-cita moral Pembukaan UUD 1945 yang intinya memperjuangkan pembebasan bangsa berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Justru karena itu kita hidup pada zaman global ketika masalah dan tantangan baru harus direinterpretasi dengan tepat sehingga bisa ditemukan arahan kebijakan-kebijakan nasional secara benar dan relevan. Pembebasan adalah proses usaha melepaskan diri dari berbagai dominasi dan ketergantungan menuju pembentukan sikap yang mencerminkan jati diri bangsa serta hidup bersama dalam interdependensi yang sehat. Selanjutnya, agar bisa dilakukan tindakan-tindakan serta langkah-langkah konkret secara bersama sebagai cerminan hasil dialog dan komunikasi, perlu diusahakan kembali, terutama di daerah masing-masing, tumbuhnya ranah publik atau public sphere (Habermas), yaitu suatu arena tempat komunikasi dan diskusi terbuka diselenggarakan secara teratur di antara berbagai unsur kekuatan sebagai kontrol sosial, seperti organisasi masyarakat, pers dan media massa, lembaga studi dan penelitian, dan perguruan tinggi untuk mencapai kesepakatan bersama sebagai wujud usaha pembebasan bangsa dari keterpurukannya.

Dalam dokumen BUKU BAHAN AJAR BS IDEOLOGI (Halaman 100-104)