• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

B. Dinamika Partai Politik

Pada perkembangan dan dinamika pemilihan umum banyak pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Seringkali pendapat-pendapat tersebut menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih hanya sekedar kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan obsesi kekuasaannya sendiri. Atau dengan kata lain, partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui.

Partai Politik dan Pemilu 65

Dalam suatu negara dengan mekanisme pemilihan demokratis, kedudukan dan peranan setiap partai politik harus sama-sama kuat dengan sikap saling kontrol dalam hubungan “checks and

balances” terhadap kondisi perpolitikan nasional. Akan tetapi jika

kelembagaan ataupun pelembagaan partai-partai tersebut tidak berfungsi dengan baik, maka kinerjanya tidak efektif, atau wibawanya akan melemahkan fungsi kepartaiannya. Dampak yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim akan menduduki puncak kekuasaan yang pula akan merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.

Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip

“checks and balances” dalam arti yang luas. Sedangkan efektifitas

fungsi-fungsi kelembagaan kepartaian berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negara. Semua ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir demokratis dalam kehidupan bermasyarakat. Tradisi berpikir tersebut pada akhir-nya dapat mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.

Kedudukan partai politik dalam dinamika politik ini merupakan salah satu dari bentuk pelembagaan demokrasi sebagai wujud ekspresi ide-ide, pikiran-pikiran, pandangan, dan keyakinan bebas dalam masyarakat. Partai politik bertindak sebagai perantara dalam proses-proses pengambilan keputusan bernegara, yang menghubungkan antara warga negara dengan institusi-institusi kenegaraan. Kesempatan untuk berhasil dalam setiap perjuangan kepentingan sangat banyak tergantung kepada tingkat kebersamaan dalam organisasi. Derajat kebersamaan itu terorganisasikan secara tertib dan teratur dalam pelaksanaan perjuangan bersama di antara orang-orang yang mempunyai kepentingan serupa. Karena itu, dapat dikatakan bahwa partai politik merupakan prasyarat mutlak dan hakiki bagi setiap perjuangan politik. Harus diakui pula bahwa

66 Partai Politik dan Pemilu

peranan partai sangat penting dalam rangka dinamika pelembagaan demokrasi. Dengan adanya organisasi politik, perjuangan kepentingan bersama menjadi pekuat kedudukan dalam menghadapi konstelasi politik, karena kekuatan-kekuatan yang kecil dan terpecah-pecah dapat dikonsolidasikan dalam satu plot strategis.

Proses pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu, menurut Meny & Knapp (1998: 86), “A democratic

system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine” . Suatu sistem politik dengan hanya

satu partai (ter-sentralistik), sulit sekali dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali.

Namun, organisasi yang makin melembaga cenderung pula mengalami proses “depersonalisasi”. Konsep akademisi menyadari bahwa, penting bagi organisasi yang bersangkutan sebagai institusi untuk tidak mencampur-adukkan persoalan personal atau pribadi para individu dengan urusan politik dalam pemilihan umum. Banyak organisasi politik kepartaian tidak terbangun pada satu tradisi dimana urusan-urusan pribadi pengurusnya terpisah dan dipisahkan dari urusan keorganisasian. Sehingga, arti derajat pelembagaan organisasi tersebut sebagai institusi politis masih belum kuat, atau lebih tegasnya belum terlembagakan sebagai partai politik yang kuat.

Jika kita menggunakan parameter “personalisasi” untuk menilai organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik di tanah air dewasa ini, tentu banyak sekali organisasi yang derajat politiknya berbeda-beda, dan dapat dikatakan belum semuanya melembaga secara “depersonalized”. Perlu dipahami, bahwa seberapa jauh organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik yang bersangkutan berhasil mengorganisasikan diri sebagai instrumen untuk membolisasi dukungan konstituennya adalah satu parameter penting yang strategis. Hal ini menjadi pertentangan sekaligus tantangan dalam sistem demokrasi dengan multi partai politik. Implikasinya ada pada keragaman aspirasi dan kepentingan politik dalam

Partai Politik dan Pemilu 67

masyarakat yang memerlukan saluran tepat melalui pelembagaan partai politik. Perlu ditekankan, bahwa semakin besar dukungan yang dapat dimobilisasikan oleh dan disalurkan aspirasinya melalui suatu partai politik, semakin besar pula potensi partai politik itu untuk disebut telah terlembagakan secara tepat.

Maka dalam dinamika pemilihan umum dan sistem kepartaian di negara ini masih didapati beberapa kelemahan, bahwa organisasi partai cenderung bersifat oligarkis. Organisasi dan termasuk juga organisasi partai politik kadang-kadang bertindak dengan lantang untuk dan atas nama kepentingan rakyat, tetapi dalam kenyataannya di lapangan justru berjuang untuk kepentingan pengurusnya sendiri. Pandangan akademis maupun praktis memandang bahwa untuk mengatasi berbagai potensi buruk partai politik dalam sebuah perjalanan pemilihan umum yang demokratis ini seperti dikemukakan di atas diperlukan beberapa mekanisme penunjang. Pertama, mekanisme internal yang menjamin demokratisasi melalui partisipasi anggota partai politik itu sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Pengaturan mengenai hal ini sangat penting dirumuskan secara tertulis (rule of law) dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik (AD-ART kepartaian).

Kedua, mekanisme keterbukaan partai sebagai jalan bagi warga masyarakat di luar partai untuk dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang hendak diperjuangkan melalui dan oleh partai politik. Sudut pandang terfokus pada cara memahami pergerakan partai dan kegiatan berpartai dengan menitik-beratkan fokus tersebut pada prinsip “menjadi pengurus bukan lah segala-galanya, yang lebih penting adalah menjadi wakil rakyat”. Di samping itu, diperlukan pula dukungan iklim eksternal yang tercermin dalam, yaitu: Ketiga, penyelenggaraan negara yang baik dengan makin meningkatnya kualitas pelayanan publik (public

services), serta keterbukaan dan akuntabilitas organisasi kekuasaan,

khususnya yang berangkat dari jalur kepartaian. Sehingga dengan sendirinya, iklim politik dapat tumbuh sehat dan juga akan menjadi lahan subur bagi partai politik untuk berkembang secara dinamis.

68 Partai Politik dan Pemilu

Keempat, jaminan kebebasan berpikir, berekspresi, serta kebebasan untuk berkumpul dan beorganisasi secara damai. Pemahaman dan yang menjadi perhatian jika kebebasan dalam peri kehidupan bersama umat manusia itu adalah bermula dari kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir itu lah selanjutnya berkembang dalam prinsip-prinsip organisasi kepartaian terutama partai politik. Oleh sebab itu, iklim atau kondisi yang sangat diperlukan bagi dinamika pertumbuhan dan perkembangan partai politik di suatu negara, adalah iklim kebebasan berpikir. Artinya, partai politik yang baik memerlukan lahan sosial untuk tumbuh, yaitu adanya kemerdekaan berpikir di antara sesama warga negara yang akan menyalurkan aspirasi politiknya melalui salah satu saluran yang utama, yaitu partai politik.