• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM (PEMILU) DAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

I. Gambaran Umum

Indonesia telah melewati masa-masa transisi selama lebih dari 30 tahun setelah dibayang-bayangi oleh orde baru. Fase transisi ini membawa perubahan khazanah politik di Indonesia dengan harapan baru menuju alam demokrasi. Tidak dapat dipungkiri hal ini diberkati oleh semangat reformasi dan langkah konsolidasi politik antar partai yang mengharapkan perubahan teknokratik politik yang lebih demokratis. Para ilmuwan politik menyebutkan runtuhnya masa-masa otoritarian dan lahirnya masa transisi ini merupakan periode waktu yang krusial dimana demokrasi menjadi pertaruhan.

Demokrasi menjadi peraduan dalam konstelasi perpolitikan nasional yang didambakan oleh seluruh masyarakat, tidak terkecuali oleh seluruh partai politik. Cara-cara strategis disusun sebagai bentuk sistem pelembagaan demokrasi guna menjadi landasan pacu terselenggaranya kompetisi bagi partai politik nasional. Pembaharuan penyelenggaraan dan pelembagaan ini dibentuk dalam sebuah pemilihan umum (Pemilu) yang berlandaskan semangat demokratisasi perpolitikan nasional. Sebuah harapan muncul dari terselenggaranya Pemilu yang dimungkinkan akan menghasilkan pemerintahan yang legitimate, maka kepercayaan terhadap partai politik serta mekanisme pemilihan umum menjadi sesuatu hal yang penting.

Para akademisi memandang bahwa urgensi mekanisme pemilihan umum dan partai politik itu sendiri berada pada instrumen pemilihan umum dalam instrumen manajemen, terutama pada manajemen konflik-nya. Karenanya pemilihan umum muncul sebagai bentuk yang sekarang ada, sebagai salah satu bentuk pelembagaan manajemen konflik yang terjadi pada konstelasi perpolitikan partai di Indonesia. Cara kedua adalah dengan melembagakan demokratisasi dalam internal partai politik itu sendiri, sebagai bentuk mekanisme pergantian atau regenerasi elit politik.

Partai Politik dan Pemilu 53

Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak yang berpendapat bahwa partai politik-lah yang sebetulnya menentukan arah dan jalannya demokrasi. Karena itu, partai merupakan ‘tiang pancang’ yang sangat penting dalam setiap sistem politik yang demokratis. Namun demikian, banyak juga pandangan kritis bahkan skeptis terhadap partai politik, bahwa partai politik sebenarnya tidak lebih sebagai ‘kendaraan’ politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan ‘nafsu’ kekuasaan-nya sendiri. Atau dengan kata lain, partai politik hanya berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung yang berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui.

Hal tersebut pula menjadi implikasi dari lahirnya kebijakan pemerintah saat masa transisi, yakni diberikannya keleluasaan atau peluang bagi tumbuhnya partai politik diberbagai tempat, namun hal ini tidak harus dipandang sebagai satu implikasi negatif dari sebuah keputusan. Pandangan ini lebih diarahkan pada pemikiran-pemikiran positif atas semangat dan harapan serta bentuk mekanisasi perpolitikan nasional. Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap partai politik harus sama-sama kuat atau seimbang. Akan tetapi jika kedudukan dan peran partai politik tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsi masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim dapat merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.

Implikasinya tentu pada pelaksanaan pemilihan umum, dukungan massa, kekuatan pengaruh dan hegemoni pendukungan masing-masing partai atau anggota partai sebagai salah satu instrumen pergerakan politik. Massa masyarakat merupakan peletak kedudukan, peran dan kekuatan sebuah partai politik. Tidak pelak, dalam sistem pemilihan umum di negara ini, jumlah kursi yang diduduki pejabat politik maupun legislatif ditentukan oleh banyaknya suara yang diperoleh dalam pemilihan umum. Keterkaitan lain, adalah pemilihan presiden dan wakil presiden yang sama-sama dilakukan dengan

54 Partai Politik dan Pemilu

mekanisme pemilihan umum. Yang dalam pelaksanaannya, hasil jumlah suara terbanyak adalah penentu kedudukan, kekuatan pengaruh, peran, tanggungjawab serta wajah bangsa dan negara ini.

Karenanya, perlu disampaikan bahwa pelembagaan demokratisasi dalam pemilihan umum dan pula dalam kepartaian politik di Indonesia merupakan satu tema penting yang deliberative. Memandang bahwa deliberative penjabaran dalam sudut pandang akademisi merupakan bahasan teoritik maupun praktis. Empirical problem berada pada keterkaitan empiris dan ketentuan ‘seharusnya’ dalam peletakan bahasan sebagai penggambaran sosok partai politik dan pemilihan umum dewasa ini. Deskripsi singkat namun padat dan sarat dengan makna pula menjadi andil penting dalam penulisannya. Sehingga, tak dapat dipungkiri jika wajah partai politik dan pemilihan umum di negara ini masih menjadi isu strategis untuk dibahas.

Seringkali lingkungan awam masyarakat sendiri acapkali dibingungkan dengan wajah partai politik dalam pemilihan umum di negara ini. Partai maupun anggotanya mencitrakan diri sebagai lembaga nasional yang sah atas kolektifitas dukungan massa masyarakat yang mendukungnya. Namun di sisi yang berseberangan, partai atau anggotanya serta pejabat politik pun memposisikan dirinya sebagai personal yang berbeda dari partai lain maupun massa pendukungnya. Personalisasi yang demikian ini menjadi salah satu penyakit yang Meny dan Knapp (1998) anggap sebagai fragmen dari bentuk parameter its age, the depersonalization of organization, dan

organizational differentiation.

Perhatikan, bahwa dalam proses pelembagaan demokrasi bagaimana partai-partai seperti Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan sebagainya. Dalam proses pelembagaan demokrasi ini, banyak ditemui dan diiringi oleh perpecahan, ada pula yang belum sama sekali berhasil mengadakan forum Kongres, Musyawarah Nasional atau Muktamar. Gejala personalisasi juga terlihat tatkala suatu organisasi mengalami kesulitan dalam melakukan suksesi atau pergantian figur politik partai

Partai Politik dan Pemilu 55

maupun figur dalam pemilihan umum. Selama suatu organisasi belum dapat mengatasi krisis ini, maka partai politik maupun pemilihan umum belum dapat dikatakan berhasil meletakkan dasar pengaturan dan kepercayaan dukungan.