• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK DAN PEMILU DALAM SISTEM PRESIDENSIIL MENURUT UUD NRI TAHUN 19451

Oleh: Suko Wiyono2

I. Pengantar

Sesuai dengan Kerangka Acuan pada Focussed Group

Discussion (FGD) tanggal 13 April 2017, makalah ini

menggunakan pendekatan historis- yuridis-konstitusional dalam dimensi lintasan peraturan perundang-undangan Partai Politik (Parpol) dan Pemilihan Umum (Pemilu). Substansi yang dikaji mencakup:

1. Parpol dan Pemilu pilar Demokrasi menurut UUD Negara RI Tahun 1945.

2. Sistem Pemilu dan Penyederhanaan Kepartaian.

3. Instrumen yuridis dalam penataan penyelenggaraan pemilu.

Tiga pokok bahasan ini yang menjadi acuan dalam pembahasan ringkas untuk menganalisis apa yang dapat dipahami dari Kerangka Acuan FGD pada pertemuan hari ini.

II. Pembahasan

1. Parpol dan Pemilu pilar Demokrasi menurut UUD 1945 Meskipun UUD 1945 yang ditetapkan dan disahkan 18 Agustus 1945 tidak mengatur satu pasal pun tentang Parpol dan Pemilu, tetapi sesuai nilai filosofis sila keempat Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”, maka jelas bahwa asas politik negara berdasarkan “kedaulatan rakyat”. Disamping itu dalam

1 Suko Wiyono, adalah Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Malang.

2 Disampaikan pada Facussed Group Discussion dengan Tema: Partai Politik dan Pemilu dalam Sistem Presidensiil Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, kerjasama Lembaga Pengkajian MPR RI bekerjasama dengan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, pada tanggal 13 April 2017

Partai Politik dan Pemilu 189

Batang Tubuh UUD 1945, Pasal 1 ayat (2) “Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dikaitkan dengan Pasal 28 yang menyatakan: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Jelas dapat dipahami dari hermeneutika hukum, NKRI adalah suatu “negara hukum yang demokratis” yang menempatkan parpol dan pemilu sebagai pilar demokrasi. Konstruksi yuridis ini kemudian dalam suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan diderivasi oleh Pemerintah RI melalui Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, yang isinya:

Pertama, Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai

politik karena dengan partai-partai politik itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat.

Kedua, Pemerintah berharap supaya partai-partai politik telah

tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota-anggota badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan demikian jelas dalam Demokrasi Pancasila diletakkan fondasi oleh pendiri negara, bahwa Parpol dan Pemilu merupakan pilar demokrasi.

Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945, merupakan dasar hukum berdirinya partai-partai politik dengan sistem multi partai, tetapi pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai rencana, karena situasi dan kondisi negara dalam keadaan revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Seiring dengan itu dinamika ketatanegaraan berubah cepat, NKRI berubah menjadi Negara RIS dengan berlakunya KRIS, 27 Desember 1949 (hasil KMB, kesepakatan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Belanda). Dalam waktu yang singkat kita “kembali” ke Negara Kesatuan, melalui tindakan hukum formal yakni Perubahan KRIS 1949 menjadi UUDS 1950 (dengan UU Federal No 7 Tahun 1950).

190 Partai Politik dan Pemilu

Di bawah UUDS 1950 kita menyelenggarakan Pemilu pertama 1955 di masa Demokrasi Parlementer dengan sistem kabinet palementer pula. Pemilu tersebut untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan memilih anggota Konstituante sebagai badan pembentuk undang-undang dasar (15 Desember 1955). Pemilu tahun 1955 itu diselenggarakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953. Pemilu 1955 diikuti oleh tidak kurang dari 29 Partai Politik dan perseorangan. Sistem pemilhan umum yang dianut sistem “proporsional” dikombinasikan dengan “sistem daftar”. Hasilnya ada empat komposisi besar, yaitu: PNI 57 kursi (22, 32% ), Masyumi 57 kursi (20, 92%), NU 45 kursi (18, 41%), dan PKI 39 kursi (16, 38%) untuk DPR untuk 257 anggota. Sedangkan untuk hasil Pemilu Konstituante, komposisi perolehan suara, sebagai berikut: PNI 119 kursi (23, 97%), Masyumi 112 kursi (20, 58%), NU 91 kursi (18, 47%), PKI 80 kursi (16, 4%). Memang tidak ada Partai yang memperoleh suara mayoritas mutlak, dalam hal ini nampaknya kehendak rakyat, konstituen pada Pemilu 1955 dapat dikatakan menghendaki “penyederhanaan sistem kepartaian”.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya: 1) pembubaran Konstituante ;

2) berlakunya kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950;

3) pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat singkatnya.

Pemerintah melalui wibawa Presiden Sukarno didukung ABRI dan sebagian Parpol mencanangkan gagasan Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian berakhirnya parlementerisme dan kita kembali ke presidensialisme, serta dilakukan “penyederhanaan kepartaian”. Instrumen hukum yang digunakan Penetapan Presiden (Penpres) No. 12 Tahun 1959 Tentang Penyederhanaan Kepartaian; ditindaklanjuti melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 1960 Tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran

Partai Politik dan Pemilu 191

Partai, diubah dengan Peraturan Presiden No. 25 Tahun 1960. Berdasarkan ketentuan itu dengan Kepres No. 128 Tahun 1961 Tentang Pengakuan Partai-partai Politik yakni: Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), Partai Murba, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Selanjutnya partai-partai yang ditolak pengakuannya yaitu: PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional (PRN) Bebaso Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional (PRN) Djodi Gondokusumo.

Mengenai pembubaran parpol dikeluarkan Kepres No. 200 Tahun 1960 dan Kepres No. 201 Tahun 1960, yang memerintahkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) agar dalam waktu 30 hari membubarkan diri dengan ketentuan apabila hal itu tidak dilakukan, maka dinyatakan sebagai “partai terlarang”. Ketentuan itu akhirnya dipenuhi oleh parpol tersebut. Disamping itu dengan Kepres No. 40 Tahun 1961 diakui pula Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti). Pada masa demokrasi terpimpin tidak ada penyelenggaraan pemilu, bahkan MPRS mengangkat Presiden Sukarno sebagai Presiden seumur hidup. Kondisi politik inilah menandai berlangsungnya otoritarianisme dalam pemerintahan presidensialisme Bung Karno.

Dalam dinamika ketatanegaraan di era Orde Baru pun muncul pula kebijakan penyederhanaan kepartaian melalui fusi parpol sebelumnya minus PKI dan Partindo. PKI dibubarkan serta dinyatakan sebagai partai terlarang dengan Ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966 Tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi di Seluruh Wilayah Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebar Luaskan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Lenenisme. Fusi tersebut melahirkan dua Partai Politik yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

192 Partai Politik dan Pemilu

dan satu Golongan Karya (Golkar). Kebijakan penyederhanaan kepartaian melalui fusi tersebut dituangkan dalam UU No.3 Tahun 1975. Dalam enam kali Pemilu di era Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997) menghasilkan satu parpol “mayoritas tunggal”, Golkar. Implikasi hasil Pemilu selama Orde Baru dalam ketatanegaraan kita menghasilkan format kepartaian yang hegemonik dan legislatif yang lebih berorientasi atau lebih tanggap kepada kepentingan pemerintah daripada konstituennya. Implikaasi lainnya yakni kebijakan penyederhanaan partai dan sistem pemilu yang tidak demokratis.

Dinamika ketatanegaraan pasca Orde Baru ditandai semangat demokratisasi dan hak asasi manusia (HAM), meskipun muncul keluhan euforia disertai beberapa tindakan terkesan irasional-emosional dengan jargon “kebebasan” diplesetkan menjadi “demokrasi kebablasan”.

Namun beberapa perubahan dalam penataan pemilu sejak perubahan UUD 1945 berlangsung dinamis yakni mekanisme pemilu legislatif (DPR dan DPD) dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pola rekruitmen Kepala Daerah dengan pemilihan secara demokratis yang efektif diimplementasikan sejak pemilu 2004. Implikasi penting dari pemilu sejak 2004 yang dapat dicatat adalah terbentuknya sistem ketatanegaraan presidensialisme dengan multi partai. Format pemerintahan presidensialisme ini menimbulkan problematik di satu sisi presiden yang dipilih langsung memiliki legitimasi yang kuat untuk memerintah (fix executive) di sisi lain legislatif juga memiliki power yang kuat untuk mempengaruhi jalannya pemerintahan. Problem inilah yang melahirkan pandangan perlu penataan penyederhanaan kepartaian melalui sistem pemilu dan instrumen yuridis penyelenggaraan pemilu menurut prinsip dasar langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil sesuai dengan Pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945.