• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARTAI POLITIK DAN PEMILU DALAM SISTEM PRESIDENSIL BERDASARKAN UUD 1945

B. PEMILU DALAM SISTEM PRESIDENSIL

B. PEMILU DALAM SISTEM PRESIDENSIL

1. SISTEM PEMILU

Sistem pemilu merupakan salah satu instrument kelembagaan penting di dalam negera demokrasi. Tentang demokrasi sendiri ditnadai tiga syarat, yaitu : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, dan adanya jaminan hak-hak sipil dan politik. Karena itu untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem pemilu.

Dengan sistem ini kompetisi, partisipsai, dan jaminan hak-hak politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti instrument untuk menerjemahkan perolehan suara dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang dimenangkan partai atau calon. Sistem pemilu dibagai dalam 2 kelompok:

a. Sistem Distrik (Satu daerah pemilihan memilih satu wakil). Satu daerah kecil, misal kota atau kabupaten memilih satu wakil tunggal berdasarkan suara terbanyak. Melihat sebaran penduduk di Indonesia antara daerah satu dengan lainnya tidak sama (satu kota/kabupaten ada yang jauh lebih padat penduduknya dibanding lainnya) serta adanya kemajukan pendudukan, maka sistem ini tidak pas dijalankan di Indonesia. Ada kekhawatiran kelompok penduduk minoritas dalam suatu daerah tak terwakili. b. Sistem proporsional (satu daerah pemilihan memelihi beberapa wakil). Sudah 11 kali Indonesia menggelar pemilu sejak Kemerdekaan 1945 hingga 2014. Selama kurun waktu itu Indonesia selalu menggunakan sistem proporsional.

Partai Politik dan Pemilu 131

Di Indonesia sendiri, sistem proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari proporsional tertutup menjadi semi daftar terbuka, dan sistem proporsional daftar terbuka. Bahkan, pemilu setelah era reformasi selalu menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.

Namun, akhir-akhir ini dalam pembahasan UU Pemilu di DPR, kembali terjadi pro dan kontra terkait penerapan sistem proporsional. Ada parpol yang menginginkan proporsional tertutup dan ada sebagai parpol memilih proporsional terbuka. Pro dan kontra ini tentu tiap parpol mempunyai alasan keuntungan dan kelemahan dari kedua sistem itu.

Melihat perkembangan itu dan untuk mendapatkan anggota legislatif yang bagus, jujur, disiplin dan bertanggung jawab dengan menjunjung tinggi transparansi dan anti-korupsi demi meningkatkan kesejahteraan maupun kemakmuran rakyat, maka penulis menggagas, sebaiknya sistem pemilu di Indonesia merupakan gabungan proporsinal tertutup dan terbuka (semi terbuka).

Mengapa demikian? Merger sistem proporsional tertutup dan terbuka akan memberi keuntungan bahwa kader-kader terbaik parpol yang telah dupercaya menduduki kepengurusan akan banyak terpilih dalam pemilu. Para kader yang duduk di kepengurusan parpol bisa didistribusikan ke masing-masing dapil, meski bukan di domisilnya. Para kader ini merupakan orang pilihan parpol yang mempunyai kualitas dan dedikasi tinggi yang sebelumnya melalui seleksi ketat sesuai AD/ART masing-masing partai.

Sebagai contoh, untuk daftar calon tetap (DCT) nomor urut 1 di masing-masing daerah pemilihan (Dapil) secara otomatis akan terpilih apabila parpol itu mendapatkan kursi berdasarkan perhitungan perolehan suara. Baru DCT nomor urut 2 dan seterusnya dipilih berdasarkan suara terbanyak tetapi bersyarat, yaitu perolehan suaranya minimal 30 persen dari jumlah suara 1 kursi DPRD/DPR di suatu dapil. Apabila di suatu dapil, nomor urut 2 dan seterusnya tidak memenuhi syarat itu, sedangkan parpol meraih lebih dari satu kursi, maka parpol berhak milih calon dari

132 Partai Politik dan Pemilu

dapil itu untuk menduduki kursi kosong itu. Tentunya, calon yang dipilih parpol diharapkan yang benar-benar berkualitas.

2. PEMILIHAN DPD

Untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang sejak era reformasi pemilihannya selalu bersamaan dengan Pileg, perlu ada rumusan kembali, termasuk kriteria dan persyaratan untuk calon. Ini penting karena kader-kader parpol yang kalah bersaing untuk masuk DCT akan lari atau dipaksakan menjadi anggota DPD.

Karena itu, syarat independen bagi para calon anggota DPD perlu diterapkan, guna menjaga kemandirian dalama memperjuangkan kepentingan daerah. Sosialisasi tugas, pokok dan fungsi DPD juga harus gencar dilakukan karena hingga sekarang banyak masyarakat yang tidak mengetahu tupoksi dari DPD. Kalau banyak masyarakat yang tidak tahu tupoksi dari DPD, jelas dampaknya akan membuat partisipasi masyarakat dalam memililih wakil DPD angkanya kecil.

Bahkan, ketidakjelasan tupokasi DPD membuat masyarakat apriori, dan ada pula yang sampai memberikan komentar keras: Bubarkan saja lembaga DPD dan kembalikan fungsinya seperti saat masih bernama utusan daerah. Seperti diketahui DPD sebelumnya adalah utusan daerah. Ketika itu utusan daerah merupakan salah satu elemen anggota MPR.

3. PENATAAN INSTRUMEN

Penataan instrument politik dalam pemilu sangat penting. Sebenatnya KPU telah membuat aturan tentang instrumen politik dalam pemilu seperti pemasangan alat peraga kampanye (APK), pemasangan reklame calon di media massa, baik media cetak, elektronik maupun online, masa waktu dan tata kelola kampanye calon, dan sebagaianya. Semua itu telah tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU).

Partai Politik dan Pemilu 133

Hanya saja aturan-aturan itu perlu terus diperbaruhi agar tidak merugikan parpol maupun calon. Sebagai contoh, tentang reklame parpol dan calon di media massa, sebaiknya parpol dan para calon diberi kebabasan memasang iklan kampanye di media massa dengan catatan selama iklan itu merupakan paparan visi dan misi parpol atau calon, bukan hanya sekadar iklan display berupa ajakan mencoblos atau hanya sekadar tampilan gambar parpol atau calon.

KPU tak perlu memasang iklan visi dan misi parpol atau calon, kecuali iklan-iklan yang terkait sosialisasi pentahapan pemilu. Lembaga penyelenggara pemilu juga harus membatasi lembaga survey, relawan dan pendonor dana kampanye bagi parpol maupun calon. Lembaga survey harus mendapat legitimasi dari lembaga penyelanggara pemilu untuk menjalankan tugasnya. Untuk mengantisipasi lembaga survey liar, maka perlu ada regulasi berikut sanksinya.

Terkait proses rekrutmen komisioner KPU dan Bawaslu/Panwaslih saat ini sebenarnya sudah baik. Hanya saja saat rekrutmen perlu diperketat pengawasannya, baik oleh pemerintah, akademisi maupun lembaga independen (LSM) yang terpercaya. Hal ini untuk mendapatkan anggota komisioner KPU maupun Bawaslu yang bersih dan berwibawa. Selain itu, calon anggota komisioner juga harus dari indepneden, bukan dari kader partai, guna menghindari konflik kepentingan politik.

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Prihatmoko, dkk. 2008.Menang Pemilu Ditengah Oligarki Partai.Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Boyke Priyo Utomo, Peranan Parpol dalam Demokrasi

www.mpr.go.id

134 Partai Politik dan Pemilu