• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYOAL SISTEM PRESIDENSIAL DAN MULTIPARTAI DI INDONESIA

C. Gagalnya Sistem Presidensial Multipartai

Beberapa pakar, misalnya Arend Lijphart dalam Electoral

Sistem and Party Sistems: a Study of Twenty-Seven Democracies

mensinyalir bahwa setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab gagalnya sistem presidensial multipartai yang diterapkan di Indonesia, yakni:

Partai Politik dan Pemilu 41

Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia, Presiden SBY, misalnya berasal dari partai politik yang memiliki suara dan kursi yang kecil. Partai Demokrat mendapatkan suara 7, 45%. Padahal di dalam sistem presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.

Nyatanya, partai yang berkuasa di Parlemen bukanlah partai dimana Presiden terpilih, melainkan Partai Lain, yakni Partai yang cukup besar dan lama berkuasa di Indonesia, yaitu Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Sehingga, secara Otomatis hal ini akan berdampak pada Kekuatan Parlemen yang tentunya akan cenderung untung menginterpleasi dan mengobok-obok pemerintahan presiden terpilih, karena cukup sulit bagi Presiden untuk tidak mengindahkan setiap campur tangan Parlemen, karena partai mayoritas di parlemen juga merupakan aspirasi dari rakyat sebagaimana presiden terpilih. Pada episentrum ini seolah olah kekuasaan Negara dipegang dan dikendalikan oleh “dua matahari”, karena aspirasi rakyat seolah-olah terpecah menjadi dua bagian, di mana parlemen yang berkuasa lebih cenderung pada partai yang telah lama berkuasa yakni Golkar, namun berbeda lagi aspirasi rakyat ketika menentukan siapa yang berkuasa di pemerintahan serta presiden terpilih. Sehingga, kedua kekuatan rakyat ini seolah saling bertarung sehingga sulit untuk melahirkan kebijakan kebijakan dan keputusan-keputusan penguasa yang efektif dan efisien, sehingga program program pemerintah yang mengorentasikan pada kepentingan dan kemakmuran rakyat bukan tidak mungkin akan cenderung terbengkalai.

Kedua, adalah masalah koalisi politik yang dibangun oleh partai partai politik yang membangun pemerintahan dan membangun koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang

42 Partai Politik dan Pemilu

sangat wajar dan umum terjadi. Koalisi partai-partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial—khususnya di Indonesia—tidak bersifat mengikat dan permanen, ia sangat rapuh dan nyaris selalu menjadi “kutu loncat” di tengah jalan. Partai politik yang tergabung dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik dukungannya, contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tiba-tiba menarik dukungannya ditengah perjalanan.

Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan oposisi.Bekalangan ini tentu dapat kita melihat Bagaimana sikap sikap partai politik koalisi pemerintahan SBY, ketika pemerintah tersandung terkait kasus dana bailout Century, dimana hal itu ditengarai terjadi penyimpangan penyimpangan dan bersifat Inkonstitusional. Maka, secara otomatis partai partai mayoritas di DPR yang tak lain juga terdapat anggota partai mitra koalisi pemerintahan SBY, yakni Golkar serta PKS, mereka secara otomatis menunjukkan sikap sikap kritisnya terhadap Pemerintahan SBY hingga membentuk Pansus Hak Angket untuk mengusut kasus tersebut. Maka, secara langsung sebenarnya antara partai partai koalisi yang membangun pemerintahan tersebut telah terjadi konflik, di mana SBY sebagai pimpinan partai yang paling kuat dalam koalisi menilai bahwa Golkar dan PKS telah berkhianat terhadap koalisi yang telah dibangun, karena menurut SBY mereka seharusnya senantiasa mendukung setiap kebijakan pemerintah. Namun PKS dan Golkar pun berkilah lain, mereka menggap bahwa untuk mengungkap sebuah kebenaran merupakan suatu bentuk sikap yang mendukung Pemerintah.

Eksesnya terus berlanjut pada sidang paripurna DPR ketika keputusan dari Hasil penyelidikan Hak Angket Pansus Century disidangkan. Di mana Golkar dan PKS serta PPP secara terang terangan mereka tidak mendukung Keputusan dari Partai Demokrat. Dan selanjutnya Golar dan PKS secara terang terangan juga tidak takut jika

Partai Politik dan Pemilu 43

nantinya mereka harus keluar dari Koalisi dengan SBY, jika ternyata seluruh menteri dari PKS dan Golkar harus direshufle oleh SBY. Maka, kasus ini secara jelas menunjukkan jika koalisi partai politik yang dibangun sangat rentan dengan perpecahan dan konflik.

Pada aspek ini, yang mejnadi penyebab disini tentunya adalah kelemahan pada koalisi yang dibentuk, di mana koalisi yang dibentuk tidak bersifat mengikat dan Permanen. Kita dapat melihat bahwa kesepakatan yang dibangun dalam Koalisi sangat bersifat umum sekali, bahwa setiap Partai Koalisi harus selalu mendukung Pemerintah, maka hal ini sifatnya masih umum dan kabur, dan juga tidak ada ikatan di dalamnya. Karena apabila mereka melakukan Penghinatan terhadap Koalisi Pemerintahan, maka cukup sulit bagi Pemerintah untuk menuntut atau tidak ada Landasan Hukum untuk mengatakan mereka berkhianat dan harus kembali pada Kebijakan Pemerintahan yang dibangun dalam koalisi Partai Politik.

Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden. Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah. Hal yang menarik adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP, PKB, yang memiliki wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang akan dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya.