• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 118-123)

V. EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

V.1. Dinamika Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana

V.1.1 Masalah Seputar Pemenuhan Hak-Hak Sipil Penghayat Kepercayaan Hak Sipil merupakan hak-hak yang dianggap paling dasar atau fundamental dari semua hak-hak manusia. Hak sipil adalah kebebasan yang mendapat perlindungan secara hukum. Menurut An-Na‟im, hak sipil mengacu

pada status hukum dan perUndang-Undangan, dan juga perlakuan kepada kelompok-kelompok minoritas yang terpinggirkan dari kelompok mayoritas atas dasar ras, agama dan asal-usul bangsa.(Kholiludin,2009:32) Oleh karena itu, pemenuhan hak-hak sipil, terutama bagi kalangan penghayat kepercayaan adalah sebuah kewajiban yang seharusnya diberikan oleh Negara setara dengan penganut agama-agama lainnya. Perkembangan hak-hak sipil penghayat kepercayaan saat ini sudah mulai mengalami perkembangan. Kelompok kepercayaan saat ini mulai mendapatkan legitimasi hukum. Dikeluarkannya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006 juga Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43 Tahun

2009 mengenai Pedoman Pelayanan Kepada Pengahayat Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, semakin memperjelas legitimasi terhadap kaum penghayat kepercayaan.

Namun, lahirnya peraturan-peraturan pemerintah tersebut tidak diimbangi dengan sosialisasi yang baik ke tingkat pemerintahan bawah seperti kelurahan dan RT/RW. Beberapa contoh implementasi dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penghayat ini dijabarkan oleh beberapa orang informan. Menurut informan ES, sosialisasi UU Adminduk ke tingkat RT hingga Kelurahan sangat kurang. Hal ini dialami informan ES sewaktu pengurusan KTP dimana informan harus membawa surat pernyataan yang di dalamnya memuat keterangan bahwa informan adalah penghayat kepercayaan. Hal serupa juga sama seperti yang dialami oleh informan GP. Tahun lalu saat informan mengurus perpanjangan KTP, pengisian kolom agama informan di KTP sempat bermasalah karena pihak RT hingga kelurahan masih belum bisa mencatatkan identitas informan sebagai penghayat kepercayaan. Berikut ini kutipan wawancara dari informan GP mengenai masalah ini:

“Jadi kondisinya kan gini, sistem di Indonesia itu kan antara policy di atas kan belum tentu nyambung kan dengan yang di bawah. Coba aja, pasti lambat itu di bawah nangkepnya. Kalo belum ada surat edarannya, jadi itu kan merupakan petunjuk teknis pelaksanaan dari suatu keputusan ke pelaksana di daerah, artinya itu bakal internal mengikat pegawai agar seperti ini. Kita memang harus punya wawasan yang luas terjun di masyarakat itu. Kalo orangnya nggak ngerti terus mau kita marahi juga ya nggak ketemu, jadi berantem. Tapi kalo kita ahu oh ini belum nyampe, ya sudah.. ikutin aja.” (Informan GP, 26 Maret 2011)

Informan GP melihat bahwa ada sistem yang salah mengenai sosialisasi kebijakan. Seringkali singkronisasi kebijakan antara tingkat pusat dengan tingkat birokrat yang lebih rendah kurang berjalan dengan baik. Pengetahuan akan Undang-Undang yang kurang pada tingkat birokrasi bawah dan keterlambatan pusat dalam memberikan surat edaran kepada birokrasi yang terkait dibawahnya menjadi kendala-kendala yang masih terjadi menurut informan GP. Ada beberapa daerah, menurut Informan BI, dimana pergantian identitas penghayat di KTP masih belum bisa diakomodasi oleh birokrasi setempat, daerah-daerah tersebut seperti Bekasi, Tangerang dan Tanjung Priok.

Selain masalah sosialisasi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang masih belum berjalan dengan baik, masih adanya diskriminasi terutama dalam pelaksanaan hak-hak sipil penghayat masih saja dilakukan oleh oknum-oknum birokrat terkait. Edwards (1992:2) menjelaskan bahwa diskriminasi merupakan sebuah proses peminggiran sekelompok manusia yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu dan memaksa mereka terpinggirkan dari masyarakat dan hidup dengan hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya. Proses diskriminasi terkait peminggiran identitas sosial penghayat kepercayaan dalam pemenuhan hak-hak sipil, terutama yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrat atau secara institusional contohnya dialami oleh informan BI. Informan BI mengakui dalam pengurusan perizinan sanggar, sempat mengalami kendala di PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Kendala tersebut lebih merupakan diskriminasi dari oknum-oknum yang ada di birokrasinya saat itu yang mempengaruhi pengurusan perizinan. Informan BI juga menambahkan saat mengajukan perizinan Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan di Polres, informan mengalami terjadinya pungutan liar dalam hal pengurusan izin oleh beberapa oknum kepolisian dengan alasan untuk memperlancar masalah perizinan.

Selain itu, diskriminasi terhadap identitas Sapta Darma juga terjadi dalam karir, terutama penghayat yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Hak-haknya sebagai pengahayat untuk melakukan sumpah jabatan secara penghayat memang untuk beberapa orang sudah bisa dilakukan, namun implikasinya bahwa akan berimbas ke karir kepegawaian yang nantinya tidak akan berkembang. Hal ini lebih lanjut dikatakan oleh informan BI sebagai berikut:

“nah, itu yang menjadi masalah adalah umumnya, mereka tidak berani menunjukkan identitas diri mereka sebagai penghayat, terutama di KTP-nya ya. Tapi beberapa kali di Depkeu, beberapa penghayat waktu naik jabatan eselon ke eselon tiga disumpahnya itu melalui Sapta Darma, bahkan biro kepegawaiannya yang minta. Ada lagi di BPPT, tapi kalau itu orangnya sendiri yang minta. Nah, tapi, ada tapinya nih, dia itu mentok karirnya, Cuma sampai eselon tiga, gitu.. gak mungkin kedua nih, kalo sampe kedua oke nih, sampe mau naik kesatunya, abis.. gak mungkin deh, kalo bukan titipan partai dan sebagainya.” (Informan BI, 23 Desember 2010)

Seperti beberapa contoh yang terjadi di Depkeu dan BPPT dimana ada penghayat Sapta Darma yang sudah dapat menjalankan sumpah jabatan secara kepercayaan.

Namun, menurut informan BI, politisasai identitas di badan-badan Negara menghambat kesempatan berkarir si penghayat.

V.1.2 Dinamika Identitas Penghayat Kepercayaan Di Masyarakat

Castells mengutip Giddens (1991) dalam Barker (2000:7) mengatakan bahwa identitas adalah sumber pemaknaan untuk dan oleh seorang aktor, yang dikonstruksikan melalui proses individuasi. Para penghayat Sapta Darma komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan telah secara terbuka membuka identitas mereka sebagai seorang penghayat kepercayaan di masyarakat. Tahapan hingga ke proses tersebut dibangun dari sebuah proses pemaknaan individu mengenai ajaran Sapta Darma itu sendiri sebagai sebuah ajaran yang mereka yakini dan amalkan. Beberapa informan seperti informan BI, GP dan ES memang semenjak kecil telah diperkenalkan dengan ajaran ini oleh kedua orang tua mereka yang juga merupakan penghayat Sapta Darma, dengan kata lain melalui saluran biologis, identitas mereka coba dikonstruksikankan melaui institusi keluarga.

Beberapa informan seperti informan BI dan GP memiliki garis keturunan dari para penghayat generasi Sapta Darma sebelumnya. Orangtua-orangtua informan BI dan GP merupakan Tuntunan Sapta Darma di daerahnya masing-masing. Sementara itu informan ES dan SK besar di keluarga yang akrab dengan tradisi kebatinan Jawa abangan.14 Walaupun besar dan tumbuh dalam lingkungan tersebut, mereka tidak lantas menjadikan Sapta Darma sebagai identitas relijius mereka. Para informan, seperti informan ES, GP dan SK, juga mengakui sebelum

mendalami ajaran Sapta Darma, mereka juga belajar salah satu „agama resmi‟

waktu mereka duduk di bangku pendidikan formal. Informan ES, GP dan SK menceritakan bahwa mereka mulai mendalami ajaran ini setelah mereka dewasa dan mulai sadar mengenai ajaran ini. Mereka melalui serangkaian pengalaman-pengalaman keagaamaan yang bersifat individu. Dari pengalaman-pengalaman-pengalaman-pengalaman tersebut, informan akhirnya meyakini dan menghayati ajaran Sapta Darma, dan

14

Abangan disini mewakili sikap memiliki segi sinkretisme Jawa yang menyeluruh dan secara luas berhubungan dengan petani (Geertz,1989:X). Abangan juga mengacu kepada rakyat kebanyakan yang tidak relijius atau mereka yang tidak melaksanakan peradaban Islam. (Mulder,2003:1)

mereka pada akhirnya mengkonstruksikan identitas relijius mereka sebagai penghayat Sapta Darma.

Menurut Peek (2005:9) Agama merupakan identitas sosial, sebagai sebuah identitas sosial ditonjolkan oleh individu penyandang identitas tersebut. Di Indonesia sendiri, identitas agama secara formal dimasukkan sebagai salah satu kolom isian di Kartu Tanda Penduduk. Artinya identitas keberagamaan tiap-tiap warga negara disandang dan ditonjolkan melalui sebagai salah satu identitas formal dalam tiap kartu identitas penduduk. Sebelum munculnya UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksaaan UU Nomor 23 Tahun 2006 kebanyakan penghayat kepercayaan masih mencantumkan identitas salah satu agama resmi. Namun setelah kedua perangkat hukum itu keluar, banyak dari penghayat yang langsung mengurus pergantian identitas mereka menjadi strip (-) atau lainnya.

Sebagai identitas yang ditonjolkan oleh individu yang menyandangnya, identitas sebagai penghayat kepercayaan masih memperjuangkan identitas

relijiusnya di masyarakat yang sebagian besar memeluk „Agama Resmi‟, yaitu

agama-agama yang diakui oleh pemerintah. Politik pengakuan identitas ini bisa kita runut semenjak diterapkannya Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), dimana pemerintah menerapkan agama-agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.

Castells (1997:8) lewat teori konstruksi identitasnya, melihat bahwa konstuksi sosial terhadap identitas ini selalu ditempatkan dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan. Negara sebagai institusi dominan berusaha mempertahankan dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Dalam kaitannya dengan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan, negara mencoba membuat sebuah konstruksi keberagaman agama di Indonesia dengan hanya menetapkan enam agama resmi. Akibat adanya kontruksi Negara terhadap identitas

keberagamaan maka timbulah dikotomi „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟.

labeling terhadap identitas mereka yang secara resmi tidak diakui oleh Negara. Label komunis, tak bertuhan dan sesat seringkali dialamatkan kepada komunitas penghayat kepercayaan. Memang diakui informan BI bahwa masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Sementara itu informan ES melihat bahwa masih terjadinya labeling sebagai orang kejawen di level penghayat menengah kebawah. Kurangnya informasi dan masih banyak orang yang awam mengenai kepercayaan Sapta Darma menjadi salah satu penyebab terjadinya labeling terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan.

Melihat fenomena yang terjadi terhadap identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat, dapat kita katakana terjadi sebuah label dan stigma. Maka menurut Peek (2005:9) dalam sebuah kelompok dimana identitas mereka merasa

“dimusuhi” atau semakin ditekan oleh orang-orang di sekitar, mereka merasa

perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya. Informan BI menekankan komunikasi dan approach ke masyarakat untuk menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang

ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Salah satu contohnya adalah dengan berbagi berkah dan makanan dengan masyarakat sekitar Sanggar Candi Busana Ganefo Jakarta Utara dalam kegiatan suroan adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri dengan komunitas masyarakat sekitar. Sementara itu informan SK sebagai Tuntunan Provinsi mensosialisasikan warganya agar tidak eksklusif dan selalu aktif mengikuti kegiatan di lingkungannya.

V.2 Dimensi Politik Sebagai Dimensi Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 118-123)