• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID"

Copied!
279
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Studi Kasus:

Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan

SKRIPSI

Oleh:

ARMAN RIYANSYAH 0606095840

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

KOMUNITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Studi Kasus:

Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) dalam Program Studi Sosiologi

ARMAN RIYANSYAH 0606095840

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM SARJANA SOSIOLOGI

(3)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Arman Riyansyah NPM : 0606095840 Tanda Tangan :

(4)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Arman Riyansyah NPM : 0606095840 Program Studi : Sosiologi

Judul Skripsi : Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Drs. Johannes Frederik Warouw, M.A ( )

Penguji : Dr. Erna Karim, M.Si ( )

(5)

HALAMAN PERNYATAAN

JUDUL KARYA AKHIR UNTUK KEAKURATAN DATA

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Arman Riyansyah

NPM : 0606095840

Program Studi : S1 Departemen : Sosiologi Jenis Karya Akhir : Skripsi

Demi keakuratan data informasi akademik Universitas Indonesia, dengan ini saya menyampaikan dan menyatakan judul karya akhir saya dalam 2 Bahasa yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris sesuai dengan Hard Cover terakhir yang diserahkan ke Program/Perpustakaan dan sudah selesai dengan data yang dimasukkan dalam SIAK NG sebagai berikut:

Kolom Judul Karya Akhir dalam Bahasa Indonesia:

Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan.

(Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan.)

Kolom Judul Karya Akhir dalam Bahasa Inggris:

Exclusion of Civil Rights and Identity Construction of Faith Group. (Case Study: Sapta Darma Faith Group Sanggar Cadi Busana Community, South

Jakarta.)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 12 Juli 2011 Mengetahui,

Ketua Program Yang Menyatakan

(Dr. Erna Karim, M.Si) (Arman Riyansyah)

Pembimbing Penulisan Karya Akhir

(6)

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Arman Riyansyah NPM : 0606095840 Program Studi : Sosiologi Departemen : Sosiologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada Tanggal : 12 Juli 2011

Yang Menyatakan,

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas bimbingan dan kemurahanNya penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulisan Skripsi ini dilakukan salam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Program Studi Sosiologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dalam prosesnya, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan baik moriil dan materiil dari berbagai pihak tentunya perjalanan proses penulisan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

Drs. Johannes Frederik Warouw, MA yang telah dengan sabar membimbing penulis menyusun skripsi ini. Kesediaan waktu dan atensinya sangat penulis hargai, juga atas masukan-masukannya dalam proses ini, penulis ucapkan banyak terimakasih. Dr. Erna Karim sebagai Ketua Program Sarjana, dan penguji ahli. Terima kasih Bu atas masukan-masukan berharganya.

Dr. Linda D. Ibrahim sebagai Ketua Departemen Sosiologi, Dr. Hari Nugroho sebagai pembimbing akademik. Juga segenap staf dosen Program Sarjana Sosiologi dan staf Jurusan Sosiologi, Mbak Maya dan Mas Riyanto.

Drs. Hadar Nafis Gumay, mantan pembimbing akademik sekaligus mentor penulis di Cetro (Center of Electoral Reform). Terima kasih atas kesempatannya dalam menimba ilmu seputar Ke-Pemilu-an di Indonesia dan belajar beraktifitas di NGO.

Kepada pihak Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Persada Pusat, Mas Robby, Pak Turmudji. Juga untuk komunitas SCB Jakarta Selatan, Pak Bagjo, Pak Eddy, Pak Kamto, Pak Gatot, Bu Dono. Terima kasih atas keterbukaan dan penyambutan yang hangat terhadap penulis.

(8)

sepupu-sepupu, dan keponakan-keponakan, terima kasih atas dukungannya selalu. Om Ady, Tante Etty, dan sepupu jagoan penulis, Ade Andriansyah, terima kasih atas kesabarannya menghadapi penulis yang suka pulang dini hari, juga atas motivasinya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Keluarga besar Sosiologi Universitas Indonesia sahabat-sahabat seangkatan: Andaru (teman berbagi kamar dan kegemaran), Karfianda Toyor (si ‘bintang’ FISIP), Rofi’I, Dhania, Ayu.T, Gembel (kompatriot 34) Olivia, Cia (pengalaman seru backpack bareng kalian sampe Gili Trawangan!), Ninis (teman menjelajahi gedung DPR), Djoko, Frendy, Fery (penerus Tri Koro Darmo, Jawa Sedjati), Miun, Dhenia, Ayu.H, Sari (bukan FISIP namanya tanpa senyum-senyum cantik kalian), Jason, Roy (yang selalu keras mencari proyekan), Nining (geng lima tahun), Lu’lu, Afiy, Erna (trio muslimah yang saya kagumi), Heidy (teman sepergalauan), Mansyur, Adrian, Dicky, Rani, Wening, Ovi, Septi, Devi, dan Ica. Juga para senior-senior pendahulu seperti Eja, Momon, Ajay, Nala, Gigi, Andro, Babaw, Oji, Aseng, Kodok, Nandes, Ucil, Saski, Dedes, Tawang, Idel, Sopar, One, Fajri Japri, Arga, Alavi dan kawan-kawan. Juga untuk adik-adik seperguruan Dio, Hansen, Mike, Dhurand, Ikyu, Resa, Chandra, Satryo, Aby, Angga Kutang (tim Jumat Ceria), Adia, Wina, Neno, Reni, Astari, Molly, Chikita, Rae, Emir (smeagol dan rekan siaran di ruang lain radio), Arie Gapuak, Purna, Bubur, Duljohn, Dady, Aulia, Alma, Bibop, Dipi, Mega, Anggun, Timothy, Fasya, Indah, Haris, Bugis, Ilham, Umay dan masih banyak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih atas atmosfer pertemanan yang sangat menyenangkan!

Keluarga besar 34-2006 Chapter Universitas Indonesia, Bogy, Mangap, Nangro, Sari, Malita, Mamin, Anis, Batani, Pe’I, Dhania, Teta, Sawi (FISIP), Syarif (FT), Alvin, Aldo, Febrian, Mika (FH), Etep, Masteng, Dewi, Adis (Sastra), Wintul, Denny (FE) dan seluruh keluarga besar 34-2006 dan saudara seperjuangan Gazper VII 34 yang sangat saya cintai dimanapun kalian berada.

(9)

Skripsi ini memang masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sehingga bermanfaat baik secara akademis maupun non-akademis. Penulis juga berharap skripsi ini menjadi sebuah bagian dari perjuangan mempromosikan keberadaan kelompok penghayat kepercayaan sebagai sebuah budaya spiritual Indonesia dan memberikan pemahaman terkait masalah-masalah yang masih melekat pada kelompok ini.

“Sepi ing pamrih. Rame ing gawe. Memayu Hayuning Bawana.”

(10)

ABSTRAK

Nama : Arman Riyansyah

Program Studi : Sosiologi

Judul : Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan, Studi Kasus: Komunitas Kerokhanian Sapta Darma Sanggar Candi Busana, Jakarta Selatan (1967 – 2009).

Skripsi ini membahas tentang eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas komunitas penghayat kepercayaan Sapta Darma. Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), yang menetapkan enam agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu secara tidak langsung berpengaruh terhadap pemenuhan hak-hak sipil kelompok kepercayaan diluar enam agama resmi dan identitas mereka di masyarakat. Skripsi ini mendeskripsikan bagaimana konstruksi identitas yang dilakukan oleh komunitas terhadap eksklusi sosial yang mereka alami. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mewawancarai sembilan orang informan. Penelitian memunculkan kesimpulan bahwa masih terjadi eksklusi sosial terhadap beberapa hak-hak sipil yang dalam definisi Barry (Haralambos, Holborn & Heald,2004:282) diakibatkan baik oleh pelayanan di tingkat lokal dan pilihan individu terkait dengan lingkungannya. Diskriminasi secara struktural dan individual juga masih terjadi terhadap kelompok ini. Dalam proses konstruksi identitas, penghayat kepercayaan mengalami dekonstruksi melalui penerapan beberapa Undang-Undang yang mendiskriminasi identitas mereka. Sebagai bagian dari proses eksklusi sosial yang mereka alami, penghayat kepercayaan merekonstruksi identitas mereka menjadi lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat supaya dapat terlibat di arena sosial atau publik secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat.

(11)

ABSTRACT

Name : Arman Riyansyah Study Program : Sociology

Title : Exclusion of Civil Rights and Identity Construction of Faith Group, Case Study: Sapta Darma Faith Group Sanggar Candi Busana Community, South Jakarta. (1967 – 2009).

This undergraduate thesis describes exclusion of civil rights and identity construction of the Sapta Darma faith group. PenPres 1, 1965 (UU No.1 /PNPS/1965) which determines the six legal religions recognized under the constitution (Islam, Catholic, Protestant, Hindu, Buddhist, and Confucianism) had brought a negative impact to Sapta Darma faith group. In relation to those problems, this thesis tries to describe how the Sapta Darma faith group has been excluded from civil rights fulfillments and how they construct their identity towards problems of exclusion. This undergraduate thesis utilizes qualitative approach as a tool to describe the problems presented by interviewing nine informants. Using Barry’s (Haralambos, Holborn & Heald, 2004:282) concept of social exclusion, this final paper concludes that the social exclusion of civil rights existed in the level of local government’s service and also social environment. Sapta Darma faith group experienced structural and individual discrimination. During the identity construction process they also got identity deconstruction through several regulations (UU) which tend to discriminate them. Along with the social exclusion process, Sapta Darma faith group reconstructed their identity to become more moderate and compromise in order to take apart in the wider social arena and avoid the friction of identity.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN JUDUL KARYA AKHIR UNTUK KEAKURATAN DATA ... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH ... vii

ABSTRAK ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Permasalahan ... 4

I.3. Asumsi dan Pertanyaan Penelitian ... 7

I.4. Tujuan Penelitian ... 8

I.5. Manfaat Penelitian ... 9

I.6. Struktur Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP ... 12

II.1. Tinjauan Pustaka ... 12

II.1.1. Makalah Abdul Latif Bustami ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik) ... 12

II.1.2. Skripsi Puji Lestari “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005 ... 14

II.1.3. Buku Tedi Kholiludin “Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus „Agama Resmi‟ dan Diskriminasi Hak Sipil” .. 17

II.2. Kerangka Konseptual ... 22

II.2.1. Kepercayaan (Kepada Tuhan Yang Maha Esa) ... 22

II.2.2. Konstruksi Identitas ... 26

II.2.3. Eksklusi Sosial ... 30

II.2.4. Diskriminasi ... 33

II.2.5. Hak Sipil ... 35

III. METODE PENELITIAN ... 41

III.1. Pendekatan Penelitian ... 41

III.2. Jenis Penelitian ... 42

III.3. Unit Analisis ... 43

(13)

III.5. Informan ... 46

III.5.1. Informan BI ... 48

III.5.2. Informan ES ... 50

III.5.3. Informan GP ... 51

III.5.4. Informan SK ... 52

III.6. Etika Penelitian ... 54

III.7. Tahap Pengumpulan Data ... 55

III.8. Validasi Data Temuan ... 56

III.9. Analisis Data ... 57

III.10. Proses Penelitian ... 58

III.11. Keterbatasan Penelitian ... 61

IV. SEJARAH KEBANGKITAN GERAKAN KEBATINAN DAN KEMUNCULAN SAPTA DARMA: KOMUNITAS SANGGAR CANDI BUSANA JAKARTA SELATAN ... 63

IV.1. Sejarah Kebangkitan Gerakan Kebatinan di Indonesia ... 63

IV.1.1. Gerakan Kebatinan di Indonesia ... 63

IV.1.2. Kemunculan Kerokhanian Sapta Darma: Sebuah Revelasi Dari Pare, Kediri ... 71

IV.1.3. Ajaran Kerokhanian Sapta Darma ... 76

IV.1.4. Komunitas Penghayat Sapta Darma di DKI Jakarta ... 81

IV.2. Gambaran Sejarah dan Keorganisasian Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 88

IV.2.1. Sejarah Berdirinya Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 88

IV.2.2. Keorganisasian dan Aktifitas Penghayat Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 92

IV.3. Deskripsi Gambaran Kerokhanian Sapta Darma: Sebuah Kesimpulan ... 98

V. EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS PENGHAYAT KEPERCAYAAN SAPTA DARMA ... 102

V.1. Dinamika Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 102

V.1.1. Masalah Seputar Pemenuhan Hak-Hak Sipil Penghayat Kepercayaan ... 102

V.1.2. Dinamika Identitas Penghayat Kepercayaan di Masyarakat ... 105

V.2. Dimensi Politik Sebagai Dimensi Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat Kepercayaan Sapta Darma ... 107

V.2.1 Eksklusi Penghayat Kepercayaan Sapta Darma dalam Pemenuhan Hak-Hak Sipil ... 111

V.2.1.1. Eksklusi Dalam Pencantuman Identitas Penghayat di Kolom Agama dalam KTP ... 114

(14)

V.2.1.3. Eksklusi Hak Atas Pendidikan Anak-Anak Penghayat

Sesuai Dengan Keyakinannya ... 120

V.2.1.4. Eksklusi Hak Atas Sumpah Jabatan Dengan Tata Cara Penghayat ... 122

V.2.1.5. Eksklusi Hak Atas Lahan Pemakaman dan Penguburan Sesuai Dengan Kepercayaannya ... 125

V.2.1.6. Eksklusi Hak Untuk Berkumpul dan Membangun Rumah Ibadah ... 127

V.2.2. Bentuk-Bentuk Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 131

V.2.2.1. Eksklusi Sosial Aktif ... 131

V.2.2.2. Eksklusi Sosial Pasif ... 132

V.2.3. Diskriminasi Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 133

V.3. Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 137

V.3.1. Kontruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Sebagai Identitas Sosial yang Disandang Oleh Penghayatnya ... 137

V.3.2. Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma di Masyarakat Terkait Dengan Relasi Kekuasaan ... 141

V.4. Keterkaitan Antara Eksklusi Sosial dengan Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 145

V.5. Diskusi Akhir Eksklusi Sosial Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat Kepercayaan Sapta Darma ... 149

VI. PENUTUP ... 153

VI.1. Kesimpulan ... 153

VI.2. Saran ... 157

GLOSARI ... 159

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel II.1 Resume Tinjauan Pustaka ... 20

Tabel II..2 Penjelasan Mengenai Hak Asasi Manusia Dalam Pasal 28 UUD 45 ... 36

Tabel III.1 Kategori Informan Penelitian ... 50

Tabel IV.1 Persebaran Sanggar di Provinsi DKI Jakarta ... 86

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar II.1 Bagan Kerangka Konseptual ... 40

Gambar III.1 Peta Lokasi Penelitian ... 47

Gambar IV.1 Bapa Panuntun Sri Gutama ... 72

Gambar IV.2 Kegiatan-Kegiatan Sanggar Candi Sapta Rengga Yogyakarta ... 75

Gambar IV.3 Simbol Pribadi Manusia ... 77

Gambar IV.4 Bagan Susunan Kepengurusan Organisasi Sapta Darma Provinsi DKI Jakarta ... 85

Gambar IV.5 Bapak Soedono ... 89

Gambar IV.6 Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan ... 90

(17)

Pendahuluan

Dalam iklim demokratis pasca reformasi 1998 ditambah gencarnya semangat kampanye multikultutalisme dan pluralisme yang berlandasakan keragaman latar belakang penduduk Indonesia seharusnya negara dapat menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan hak-haknya secara penuh sebagai warga negara. Ternyata dalam perkembangannya masih ada beberapa komunitas, seperti komunitas minoritas penghayat kepercayaan masih belum bisa menikmati hak-hak sipil mereka sebagai warga negara secara utuh. Oleh karena itu penelitian ini ingin melihat proses eksklusi sosial terhadap hak-hak sipil penghayat kepercayaan dan konstruksi identitas mereka di masyarakat.

I.1 Latar Belakang Masalah

(18)

Dengan keluarnya ketetapan itu, maka negara berhak menentukan legalitas agama. Spiritual landscape1 ditentukan oleh negara melalui instrumen hukum pada tahun 1965 lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu (Bustami,2005:15). PNPS 1965 menjadi corong ampuh untuk melakukan “campaign against heresy”2 karena aturan tersebut dilengkapi sanksi yang merujuk pada pasal 156A KUHP3 (Kholiludin,2009:326). Di satu sisi negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya, namun di sisi lain, negara menetapkan legalitas agama dan kepercayaan di masyarakat lewat pengakuan hanya enam agama.

Lebih lanjut lagi hal ini menjadi benteng terakhir untuk mempertahankan ortodoksi agama-agama besar dari penoda agama dan sebagai cikal bakal dan asal mula politik pengakuan atas agama bisa diidentifikasi. Dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟4

terjadi lewat pengabsahan enam agama ini, dan

1

Spiritual Landscape disini menurut Tedi Kholiludin dalam bukunya “Kuasa Negara Atas Agama: Proses Pengakuan, Diskursus, “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil.” merupakan sebuah gambaran kemajemukan dan keberagaman agama-agama di Indonesia yang dilembagakan dalam sebuah Undang-Undang.

2 Campaign against haresy

disini mengacu pada gerakan kelompok agama-agama besar dalam menentang penodaan terhadap ajaran agama oleh aliran-aliran dan gerakan-gerakan keagamaan

„yang tidak sehat‟, seperti aliran-aliran atau gerakan keagamaan yang sifatnya klenik dan bid‟ah. Klenik mengacu pada sebuah ritual dimana pelakunya dianggap tersesat karena dirinya telah dirasuki oleh hasrat rendahan dan kebendaan, serta dipandu oleh dunia kegelapan spiritual (Mulder,2001:89). Praktik klenik dianggap membahayakan bangsa dan mengakibatkan ketidakstabilan sosial sehingga dengan demikian dianggap ilegal. Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama (Muhieb et.al,2009:84). Dalam Islam sendiri terdapat dua macam Bid‟ah, Bid‟ah selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” (Sumber: http://hukumonline.com/klinik/detail/cl4464 diakses pada Jumat, 29 April 2011)

4 „Agama Resmi‟ mengacu kepada enam agama yang diakui oleh neg

ara lewat UU No.1/PNPS/1965 penjelasan Pasal 1 yang menyebut enam agama yang dipeluk sebagian besar

penduduk Indonesia sebagai „Agama Resmi‟ (Kholiludin,2009:231). Sementara itu „Agama tidak

(19)

lebih jauh lagi merupakan pengingkaran atas Pancasila sebagai titik temu antar kelompok di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi hal ini adalah sebuah pengingkaran terhadap hak asasi manusia yang diberikan oleh Tuhan. Bahkan di titik ini tersirat diskriminasi atas agama-agama lokal dan indigenous5 (Ridwan,2003:261). Diskriminasi yang secara struktural dibuat oleh negara sebagai sebuah institusi yang dalam prakteknya merugikan kelompok-kelompok minoritas penghayat kepercayaan dan agama-agama lokal.

Dampak pengakuan negara mengenai agama resmi yang diakui oleh negara menyebabkan timbulnya masalah-masalah yang dirasakan terutama oleh penghayat kepercayaan, agama-agama lokal, maupun agama-agama tidak resmi. Masalah-masalah tersebut mulai dari yang sifatnya politis, hingga yang menyangkut masalah pemenuhan hak-hak sipil warga negara yang agama dan kepercayaannya di luar dari agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah. Dampak kebijakan pengakuan pemerintah terhadap enam agama mendorong beberapa komunitas agama lokal atau kepercayaan dipaksakan masuk ke suatu agama. Kebijakan negara yang mengintervensi agama mencapai 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama hingga radiogram (Bustami,2005:19). Kebijakan enam agama resmi turut membangun konstruksi pengetahuan bahwa agama atau kepercayaan di luar enam agama resmi bukanlah agama yang patut hidup atau setidaknya berkembang setara dengan enam agama resmi lainnya (Cholil et al,2009:17).

Beberapa contoh masalah dari sekian banyak masalah yang berkaitan dengan pemenuhan hak sipil penghayat kepercayaan seperti halnya dalam perkawinan antara penghayat kepercayaan yang masih sulit dicatatkan di kantor catatan sipil, dalam hal pendidikan dimana belum adanya kurikulum bagi anak-anak penghayat. Lalu dalam hal pencatatan identitas kependudukan di KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang hanya diisi (-) yang mengindikasikan bahwa mereka ini adalah warga negara yang tidak beragama dan patut diawasi oleh negara (Kholiludin,2009:329). Belum lagi ditambah dengan masalah sulitnya mengurus

5Indigenous

(20)

izin dalam membangun rumah ibadah, pengangkatan sumpah dengan model aliran kepercayaan dan problematika lainnya. Namun tidak berhenti sampai disitu, masalah penerimaan masyarakat terhadap identitas mereka sebagai penganut diluar „agama resmi‟ dan pandangan negatif terhadap komunitas penghayat kepercayaan masih terus terjadi. Politisasi yang masif terhadap agama pasca tragedi Gerakan 30 September serta cap sebagai aliran sesat yang melekat pada penghayat kepercayaan mengakibatkan komunitas ini tidak jarang mendapatkan resistensi dari warga masyarakat hingga terjadinya tindak kekerasan fisik yang dilakukan oleh masyarakat.

I.2 Permasalahan

(21)

Keberadaan penghayat kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia dijamin melalui produk hukum seperti UUD 45 Pasal 28E ayat (2), Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 32 ayat (1) dan (2). Lalu UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) dan masih banyak lagi instrumen HAM Internasional yang memberikan jaminan dan perlindungan (Tresno,2005:87-88).6 Di satu sisi negara menjamin kemerdekaan dan kebebasan dalam beragama, namun di sisi lain negara membatasi jaminan kemerdekaan dan kebebasan tersebut hanya kepada enam agama yang diakui oleh negara melalui UU No.1/PNPS/1965. Keberadaan undang-undang tersebut dapat kita identifikasi sebagai awal mula politik pengakuan atas agama.

Implikasi politis terhadap ditetapkannya enam agama resmi oleh negara membawa pengaruh yang sangat besar, terutama kepada penghayat kepercayaan. Secara nyata, politik pengakuan pertama-tama telah memilah agama ke dalam „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Dengan diakuinya hanya enam agama oleh negara, secara tidak langsung memberikan label kepada penghayat kepercayaan. Label sebagai sebuah kelompok kepercayaan ilegal yang tidak mendapatkan pengakuan dan dan jaminan negara diluar enam agama resmi. Hal ini berimplikasi dengan tergerusnya hak-hak sipil mereka. Bukan hanya masalah hak sipil, pasca G30S/PKI sekitar tahun 1965-1966 terjadi stigmatisasi identitas penghayat kepercayaan yang mengakibatkan „migrasi keyakinan‟ secara besar -besaran karena alasan politis dan praktis, bukan murni masalah kesadaran untuk berpindah keyakinan.

Selain itu, ada beberapa masalah yang masih terjadi berkaitan dengan pemenuhan hak sipil penghayat kepercayaan. Seperti dikemukakan Kholiludin (2009), masalah pertama terkait dengan pengisian kolom agama pada KTP. Walaupun sehari-hari mereka para penghayat kepercayaan memilih untuk menganut, mempercayai dan menjalankan etika moralitas ajaran yang mereka hayati. Tetapi karena status kepercayaan yang tidak diakui oleh negara maka yang terjadi kemudian adalah keharusan untuk „transfer keyakinan‟. Mereka digiring

6

(22)

untuk memilih agama resmi yang diakui negara atau jika menolak mereka akan mendapatkan kolom agama di KTP mereka akan dibubuhi tanda strip (-). Padahal untuk segala urusan negara mengharuskan warganya untuk mempunyai KTP.

Kedua, pencatatan perkawinan penghayat kepercayaan di kantor catatan sipil. Bagi pasangan suami istri yang melaksanakan perkawinan secara penghayat, pihak Kantor Catatan Sipil tidak mau mencatatkannya dan memberi akte perkawinan. Meski sudah ada UU Adminduk Tahun 2006 yang membuka jalan tereliminirnya masalah, namun aturan tersebut tidak sepenuhnya menyelesaikan permasalahan. Ketiga, hak atas pendidikan. Dalam praktek mendapatkan pendidikan formal, anak-anak penghayat kepercayaan masih belum bisa mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan keyakinannya. Mereka diharuskan memilih untuk mengikuti salah satu agama di sekolah itu demi mendapatkan nilai pelajaran agama. Ini menunjukkan pemerkosaan atas hak asasi anak dalam menentukan pilihannya.

Keempat, hak untuk mengucapkan janji pegawai. Kebanyakan dari penghayat dan masyarakat penganut diluar enam agama yang diakui pemerintah yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), dapat kehilangan hak promosi jabatan jika tidak melalakukan sumpah janji tidak sesuai dengan model enam agama resmi, ataupun kalau diperbolehkan, maka karirnya tidak akan berkembang.

(23)

Keenam masalah tersebut menjadi sangat penting untuk diangkat karena berkaitan dengan life cycle penghayat. Mulai dari pencatatan identitas hingga penguburan, keenam hak-hak sipil tersebut merupakan hak-hak paling dasar dan fundamental dalam kehidupan manusia yang harus dapat diakses dengan setara. Selain keenam masalah tersebut, tentunya masih ada masalah-masalah lainnya yang masih dialami oleh penghayat Sapta Darma, bukan hanya dalam kaitannya dengan pemenuhan hak sipil mereka sebagai warga negara, tapi juga masalah pengakuan identitas mereka ditengah ruang diskursus yang dibuka pemerintah lewat dikotomi „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟.

I.3 Asumsi dan Pertanyaan Penelitian I.3.1 Asumsi Penelitian

Dalam Undang-Undang Dasar 1945, negara menjamin warga negaranya lewat Pasal 29 Ayat (2) ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Penerapan peraturan pemerintah lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965) dengan hanya memberikan aspek legalitas kepada 6 agama resmi seakan-akan bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan memeluk agama dan kepercayaan. Hal ini juga memberikan dampak serius terhadap pemenuhan hak-hak sipil maupun tindakan diskriminatif terhadap identitas komunitas penghayat kepercayaan, terutama dalam hal ini penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Studi ini bertolak dari asumsi penelitian sebagai berikut:

(24)

penguburan sesuai dengan kepercayannya; hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah.

I.3.2 Pertanyaan Penelitian

Terkait dengan permasalahan penelitian ini mengenai eksklusi sosial dan konstruksi identitas yang dialami oleh penghayat Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, penelitian ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

Bagaimana proses eksklusi sosial yang dialami oleh kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma terkait dengan pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara?

Bagaimana konstruksi identitas kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma? Terkait masih terjadi diskriminasi dalam pemenuhan hak-hak sipil terutama yang terjadi pada penghayat Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

I.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh isu seputar relasi antara negara dan agama-agama di masyarakat. Aspek penting yang melatarbelakanginya, yaitu penetapan spiritual landscape lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965) yang mendikotomikan antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Dari latar belakang tersebut penelitian ini ingin melihat bagaimana pengaruh kebijakan pemerintah tersebut terhadap komunitas penghayat aliran kepercayaan terutama yang terjadi terhadap penghayat Kerokhanian Sapta Darma di Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Dalam penelitian ini ada 2 aspek ,

(25)

hak-hak sipil. Berkaitan dengan butir-butir tersebut, studi ini akan mengkaji hal-hal yang berikut ini:

Deskripsi keberadaan kelompok penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma, mulai dari sejarah kemunculan hingga perkembangannya hingga saat ini.

Menjelaskan dan menganalisis proses eksklusi sosial dalam pemenuhan hak-hak sipil warga penghayat Kerokhanian Sapta Darma.

Menjelaskan proses konstruksi identitas kelompok sosial penghayat Kerokhanian Sapta Darma terkait dengan terjadinya eksklusi dalam pemenuhan hak-hak sipil.

I.5 Manfaat Penelitian

I.5.1 Manfaat Akademis

Penelitian mempelajari dan menganalisis eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Kerokhanian Sapta Darma. Dengan mengambil fokus dua tema besar ini, penulis memberikan gambaran dan pemahaman mengenai keterkaitan antara eksklusi sosial dan konstruksi identitas. Lebih lanjut lagi, penulis berharap penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan bagi kajian-kajian sosiologi, terutama bagi kajian-kajian sosiologi yang berkaitan dengan kajian sosiologi agama, identitas sosial dan kajian-kajian kelompok minoritas.

I.5.2 Manfaat Praktis

(26)

Hasil dari penelitian ini diharapkan menggambarkan kondisi riil yang terjadi pada kelompok penghayat kepercayaan, baik berhubungan dengan pemenuhan hak-hak sipil sebagai warga negara, maupun hubungannya dengan identitas mereka di masyarakat. Selain itu, penulis berharap penelitian ini dapat menjadi sebuah bahan masukan dan acuan kepada para pembuat kebijakan, baik di tingkat pusat atau daerah terhadap kelompok-kelompok minoritas.

I.6 Struktur Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya kedalam enam bab. Bab I Pendahuluan. Bab pertama berisi pendahuluan yang menggambarkan latar belakang masalah mengenai eksklusi dan diskriminasi terhadap penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Dalam bab ini juga termasuk di dalamnya sub-bab permasalahan, tujuan penelitian, asumsi dan pertanyaan penelitian.

Bab II Kerangka Konseptual dan Tinjauan Pustaka. Pada bab kedua ini difokuskan pada tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran. Dalam bab ini terdapat sub-bab tinjauan pustaka, yaitu penelitian-penelitian atau karya tulis yang menjadi referensi terhadap penelitian ini. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai alur kerangka pemikiran yang digunakan untuk studi mengenai fenomena eksklusi dan diskriminasi penghayat Kerohanian Sapta Darma.

BAB III Metode Penelitian. Pada bab ketiga terdapat penjelasan mengenai metode penelitian yang digunakan. Diantaranya pendekatan penelitian, deskripsi informan, lokasi penelitian, proses penelitian, serta keterbatasan penelitian. Hal-hal tersebut penting dijelaskan untuk menggambarkan secara jelas bagaimana proses penelitian ini dari awal, mulai dari proses penjajagan terhadap informan, wawancara dan observasi lapangan, hingga proses penulisan hasil penelitian lapangan.

(27)

Indonesia dan kemunculan Kerokhanian Sapta Darma sebagai salah satu kepercayaan di Indonesia. Sejarah kemunculan gerakan kebatinan hingga perkembangan komunitas sosial penghayat Kerokhanian Sapta Darma. Dalam menggambarkan sejarah gerakan kebatinan dan perkembangan komunitas penghayat Kerokhanian Sapta Darma, peneliti mencoba melihatnya dalam paradigma hubungan antara negara dengan agama, melihat bagaimana hubungan negara dengan kelompok-kelompok minoritas aliran kepercayaan.

BAB V Eksklusi Hak-Hak Sipil dan Konstruksi Identitas Penghayat Kepercayaan Sapta Darma: Sebuah Diskusi Hasil Temuan. Bab kelima, penelitian ini diisi dengan analisis mengenai dimensi politik dalam eksklusi sosial yang dialami komunitas penghayat Kerohanian Sapta Darma dalam pemenuhan hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dan konstruksi identitas penghayat Sapta Darma terhadap eksklusi hak-hak sipil yang mereka alami. Analisis hak-hak sipil warga negara mencakup enam hal, keenam hal tersebut seperti dalam pencantuman identitas pada KTP, pengurusan perkawinan antar pasangan penghayat, pengucapan sumpah jabatan secara kepercayaan bagi penghayat yang berkakrir sebagai PNS, lalu masalah pengurusan pemakaman bagi penghayat yang meninggal dunia, dan yang terakhir adalah seputar izin pendirian rumah ibadah. Setelah itu penulis juga akan menganalisis terkait dengan konstruksi identitas penghayat. Pada bagian akhir, penulis melihat keterkaitan antara eksklusi hak-hak sipil dengan konstruksi identitas penghayat kepercayaan Sapta Darma.

(28)

Tinjauan Pustaka dan Kerangka Konseptual

Pada Bab II ini, ada dua hal utama yang akan dipaparkan: pertama, merupakan pemaparan tinjauan kepustakaan mengenai penelitian atau karya ilmiah terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Beberapa tinjauan pustaka ini memberikan sebuah gambaran awal mengenai fenomena terkait dengan penelitian yang dilakukan. Kedua, merupakan pemaparan kerangka konseptual terkait dengan penelitian mengenai eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat Kerokhanian Sapta Darma, beberapa konsep yang digunakan seperti konsep konstruksi identitas, eksklusi sosial, hak sipil, dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa).

II.1 Tinjauan Pustaka

II.1.1 Makalah Abdul Latif Bustami ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa

Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik)”

Makalah Abdul Latif Bustami ini berjudul ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi

Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik)” makalah ini disajikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Makalah ini mengkaji bagaimana peran kuasa negara besar terhadap keyakinan keagamaan masyarakat. Dalam makalah ini, Abdul Latif Bustami memaparkan mengenai bagaimana negara melakukan hegemoni melalui penetapan agama resmi. Dari sini Abdul Latif Bustami menganalisis bahwa negara masih terperangkap pada wacana kolonial yang memaksakan penjelasan ‟besar‟ dan ‟kecil‟ dilihat dari konteks kekuasaan.

(29)

mendorong perumusan Ketetapan MPRS No.2 Tahun 1960 dimana negara berhak menentukan legalitas agama. Spiritual landscape ditentukan oleh kekuasaan negara melalui instrumen hukum Pepres No.1 Tahun 1965 yang menetapkan agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Abdul Latif Bustami juga menjabarkan bagaimana klaim terhadap dikotomi agama dan aliran kepercayaan mencuat pada tahun 1973. Beberapa kalangan dalam masyarakat merasa keberatan dengan isu yang menyebar secara nasional bahwa akan dikabulkannya aspirasi penghayat kepercayaan yang akan menjadi agama. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) saat itu mempermasalahkan keberadaan aliran kepercayaan dan dinyatakan sebagai kebudayaan. Langkah kompromi diambil pemerintah dengan memasukkan urusan penghayat kepercayaan berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan agama formal tetap berada di bawah Departemen Agama.

Secara legal aliran kepercayaan diakui oleh negara pada tahun 1955 melalui dibentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia) di Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro. Dalam kongres BKKI tahun 1956 di Solo ditegaskan bahwa kebatinan bukan mengarah pada pembentukan agama baru, tapi merupaka usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama. Dampak pengakuan resmi terhadap lima agama itu kemudian mendorong beberapa komunitas agama lokal atau keyakinan dipaksakan masuk ke suatu agama. Kebijakan negara yang mengintervensi agama mencapai 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama hingga radiogram. Ketua Umum ICRP, Djohan Effendy menyatakan data dari Kejaksaan Agung periode 1949-1992 terdapat 51 aliran kepercayaan yang dilarang di Indonesia. (Kompas 6 Mei 2004).

(30)

sebuah kritik terhadap lemahnya pemerintah dalam mengakomodasi hak-hak warga penghayat kepercayaan.

Makalah Abdul Latif Bustami memberikan gambaran awal kepada penulis dalam proses penulisan penelitian ini. Selain itu juga, makalah ini juga memberikan pijakan penelitian ini dengan menekankan pada inkonsistensi negara lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat yang mempengaruhi terjadinya dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟

II.1.2 Skripsi Puji Lestari “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005.”

Penulis menggunakan Skripsi Puji Lestari yang berjudul “Perkembangan

Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005.” sebagai salah satu tinjauan pustaka untuk menggali gambaran mengenai sejarah dan eksistensi komunitas Sapta Darma. Skripsi Puji Lestari ini menggunakan metode sejarah atau historiografi dalam penulisannya. Dalam skripsi ini, metode sejarah dideskripsikan sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui sejarah awal munculnya organisasi Sapta Darma, lalu untuk Mengetahui perkembangan komunitas penghayat Sapta Darma di Kecamatan Juwana dalam rentang waktu 1958-2005 dan yang terakhir adalah untuk mengetahui peran dan pengaruh komunitas Sapta Darma terhadap masyarakat Kecamatan Juwana.

(31)

zaman modern membawa serta macam- macam perubahan. Dalam teorinya, Rahmat Subagya menilai bahwa kebatinan menuju integrasi kembali kepada nilai- nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Seluruh kebatinan bergerak di bawah tanda protes dan kritik, terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik itu dilontarkan dari sudut tertentu, yaitu kerinduan akan zama lampau dan akan nilai- nilai lama yang hilang.

Perkembangan komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana dimulai sejak masuknya ajaran kerohanian Sapta Darma di kecamatan Juwana yang dibawa langsung oleh Bapak Panutan agung Sri Gutomo. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah kabupaten Pati. Sejak masuk dan dikenalnya ajaran Sapta Darma di Kecamatan Juwana, masyarakat yang menjadi warga Sapta Darma pada tahun 2005 bekisar antara 300 sampai 400 orang. Puji Lestari dalam skripsinya menjelaskan 3 tipologi penghayat yang ada di Kecamatan Juwana dibedakan menjadi: 1). Warga yang beragama. Yaitu orang yang sebelum masuk kedalam ajaran Sapta Darma sudah mengenal dan menjalankan ajaran agama, misalnya sebelum masuk Sapta Darma orang tersebut beragama Islam, Kristen, Budha maupun Hindu, kemudian meninggalkan agamanya dan menjalankan ajaran Sapta Darma 2). Warga yang beragama dan kepercayaan. Yaitu orang yang masuk Sapta Darma, tetapi juga beragama. Jadi orang tersebut selain menjalankan agama, misalnya agama Islam ataupun kristen, juga menjalankan ajaran Sapta Darma. 3). Warga yang hanya mengenal kepercayaan. Yaitu orang yang masuk Sapta Darma dan sebelumnya tidak pernah mengenal agama apapun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

(32)

dianggap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Walaupun demikian para warga Sapta Darma di daerah kecamatan Juwana tetap menjalankan kegiatan peribadatan dibawah tuntunan Pak Suklar, yaitu penuntun Sapta Darma pertama di Kecamatan Juwana. Sapta Darma di Kecamatan Juwana pada waktu itu juga mengalami pengawasan dari pihak kepolisian. Akan tetapi karena ajarannya dianggap tidak melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan dibiarkan berkembang. Penelitian yang dilakukan Puji Lestari tentang Organisasi Sapta Darma di Kecamatan Juwana mengungkapkan bahwa dalam organisasi Sapta Darma sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan, keluar masuk menjadi warga Sapta Darma adalah suatu kebebasan, hanya setelah G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan lain-lain.

Skripsi ini juga menggambarkan perkembangan selanjutnya setelah peristiwa tahun 1965. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah Kabupaten Pati. Pada awal tahun 1990 manajemen keorganisasian mengalami kemajuan dan mengalami perbaikan dengan dibentuknya sistem kepengurusan.

Pada bagian akhir, skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa keberadaan ajaran kerohanian Sapta Darma di Kecamatan Juwana mempunyai dua fungsi yaitu fungsi internal bagi warganya dan fungsi eksternal yaitu fungsi ajaran kerohanian Sapta Darma bagi warganya dalam hidup bersosialisasi dengan masyarakat. Peran dan pengaruh adanya komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana tidak dapat terlihat secara jelas, tetapi dapat dirasakan bahwa keberadaan mereka membawa dampak yang baik bagi kehidupan bermasyarakat . Hal ini dikarenakan mereka masih menggunakan etika Jawa yang menjunjung tinggi

sikap tepo seliro, andap asor lan nrimo serta nilai tata karma.

(33)

Lestari juga melihat bagaimana keterkaitan identitas penghayat pasca tragedi 1965 dan bagaimana keterkaitan antara pola pemahaman wewarah tujuh terhadap peranan warga Sapta Darma di masyarakat. Hal ini menjadi gambaran bagi penulis dalam melihat konstruksi identitas penghayat di masyarakat.

II.1.3 Buku Tedi Kholiludin “Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan,

Diskursus „Agama Resmi‟ dan Diskriminasi Hak Sipil.”

Dalam buku sekaligus karya akademis Tedi Kholiludin, ia mencoba menggambarkan potret kebijakan politisasi negara atas agama. Buku ini disusun melalui serangkain kegiatan penelitian yang dilakukan Tedi Kholiludin melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Untuk mendapatkan data yang diperlukan peneliti menggunakan metode library research. Tedi Kholiludin juga melakukan serangkaian wawancara untuk menambah data temuan tulisan ini.

Karya Tedi Kholiludin ini dilatarbelakangi oleh inkonsistensi negara dalam mengelola kehidupan keberagamaan. Inkonsistensi yang seringkali muncul dalam bentuk kontradiksi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. salah satu aspek yang masih menjadi perdebatan pokok adalah perihal dikotomi „agama yang diakui‟ dan „agama yang tidak diakui‟. Pada buku ini, Tedi Kholiludi mencoba menggambarkan bagaimana perjalan kebijakan negara mengenai keberagamaan semenjak jaman Kerajaan hingga Kolonial, lalu pada masa Orde lama, masa Orde Baru, dan pasca reformasi. Pembahasan kebijakan agama di tiap fase-fase sejarah Indonesia dibahas secara runut. Mulai dari kebijakan politik pengawasan agama pada era Orde Lama dimana kemudian lahirlah UU No.1/PNPS/1965 mengenai penodaan agama, hingga lahirnya Bakorpakem sebagai lembaga pengawasa aliran-aliran kepercayaan yang ada di masyarakat.

(34)

Pada masa ini agama menjadi perumus identitas. Konstelasi agama pada orde baru menggiring agama sebagai arena kontestasi politik, ekonomi dan sosial. Agama akhirnya masuk dalam sebuah fase kegamangan untuk mempertahankan sifat kudusnya dan masuk dan ambil bagian dalam kemungkaran sosial. Pada era ini juga ditunjukkan bagaimana sikap pemerintah yang meyakini bahwa aliran kepercayaan bukan merupakan agama semakin kuat dengan lahirnya keputusan Presiden No. 27 tahun 1978, sebagai realisasi dari ketetapan MPR No. IV/1978 tentang pembentukan Direktorat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada era Reformasi, dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, menjadi penanda era baru perubahan kebijakan negara atas Hak Minorias. Pada era Gus Dur Khonghucu kembali diakui menjadi salah satu agama resmi setara dengan agama lainnya dan kembali pada formasi yang dulu muncul pada saat orde lama. Komunitas penghayat kepercayaan juga tidak luput dari perhatiannya. Gebrakan ia buat dengan memerintahkan Menteri Dalam Negeri saat itu Soerjadi Soedirdja agar mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 477/7405 tanggal 18 November 1978 mengenai Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran SK Mendagri No. 221a Tahun 1975. Menurutnya, kolom agama dalam masalah administrasi kenegaraan merupakan sebuah potensi diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi dan ia sepertinya hendak menghapuskannya dengan meniadakan kolom agama SK Mendagri No. 221a Tahun 1975, dan sebagai piranti yuridis, Soerjadi Soedirdja mengeluarkan surat edaran Mendagri No. 477/805/SJ Tanggal 31 Maret 2000 sebagai penggantinya.

(35)

ilegal‟ dan „agama legal‟. Agama legal hanya dibatasi enam saja, mereka diakui karena, pertama, ada legitimasi historis dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesia (sosiologis). Di luar agama legal itu, seperti Zarasturian, Shinto, Thaoism, pemerintah hanya memberikan jaminan. Sementara yang posisinya sangat lemah dalan PNPS 1965 adalah kelompok aliran kepercayaan, karena mereka dianggap bukan agama dan harus dikembalikan ke pangkuan agama resmi.

Tedi Kholiludin lebih lanjut menjelaskan bahwa imbas politik pengakuan dalam konteks hak sipil dirasakan oleh penganut aliran kepercayaan, agama lokal, atau lebih jelasnya adalah mereka yang menganut agama diluar „agama resmi‟. Beberapa kesulitan yang mereka temuiseperti kesulitan dalam pengisian kolom agama di KTP, lalu pencatatan perkawinan mereka di catatan sipil tidak dapat dikabulkan. Belum lagi tambahan bukti dengan ditemukannya kesulitan-kesulitan dalam pembangunan rumah ibadah, pengangkatan sumpah model kepercayaan dan probematika lainnya. Pada akhirnya Tedi Kholiludin memberikan beberapa saran untuk menutup bukunya ini. Menurutnya, tugas negara dalah menjamin, bukan mengakui. Jaminan memiliki semangat yang lebih substantif daripada mengakui. Jaminan dari negara tidak boleh disekat-sekat dalam dalam enclave-enclave tertentu. Dalam konteks regulasi, karena begitu vitalnya peran dan fungsi PNPS 1965 dalam menciptakan agama resmi, maka kehadirannya perlu ditinjau ulang. Begitu juga dengan TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, UU Adminduk serta Perber 2 Menteri.

(36)

menjadi poin-poin yang mengukur bagaimana proses eksklusi sosial terjadi di tingkat penghayat.

Tabel II.1

Resume Tinjauan Pustaka

Judul Penelitian Penulis Hasil Kajian Tanggapan

Tuhan,

(37)
(38)

Judul Penelitian Penulis Hasil Kajian Tanggapan

agama

Beberapa masalah terkait dengan pemenuhan hak sipil seperti

pengisian kolom agama dalam KTP, pencatatan perkawinan, pengurusan akte kelahiran anak, hak atas pendidikan, hak mengucapkan sumpah dan janji pegawai, hak penguburan, dan pembangunan rumah ibadah.

Sumber: Diolah Kembali oleh Penulis

II.2 Kerangka Konseptual

II.2.1 Kepercayaan (Kepada Tuhan Yang Maha Esa)

Konsep kepercayaan muncul tidak luput dari terjadinya gerakan dikotomi antara konsep „agama‟ di satu sisi dan „kepercayaan‟ di sisi lainnya. Istilah kepercayaan mengacu kepada pasal 29 ayat 2 UUD 1945, ”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaan masing-masing” dan Ketetapan MPR 1973. Agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) dua kata yang memiliki wilayah makna (semantical domain) yang sangat sulit dibedakan satu sama lain secara „jelas dan terpisah‟(Lubis,2005:59). Menurut Prof. Dr. Ridwan Lubis dalam artikelnya yang berjudul “Agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa.”, ia berpendapat bahwa agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) merupakan dua hal yang sama-sama mempersoalkan substansi yang berkaitan dengan sistem kepercayaan (belief system), ritual, pengalama relijius, serta relasinya dengan aspek kehidupan lainnya.

(39)

praktek kedisiplinan moralitas dan spiritualitas yang harus dipatuhi peyakinnya (faith as obedience), 4) sistem yang mengajarkan pada pengalaman ketergantungan dan penyerahan diri pada zat yang disakralkan (faith as dependence and as experience), serta 5) sistem yang membangun tradisi relijius (as deposit of the faith) (Eliade,1987:250-254).

Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari dua hal, yang pertama yaitu mengenai darimana sumber ajarannya, lalu yang kedua adalah siapakah pembawa risalahnya. Menurut Prof. Dr. Ridwan Lubis, dalam konteks ini, agama merupakan ajaran yang diturunkan oleh Tuhan melalui Rasul-Nya, sementara kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) sebagian besar merupakan hasil penafsiran dan reformulasi ajaran oleh seseorang yang mengaku dirinya sebagai „penerima wahyu‟.

Secara sosiologis, Kerokhanian Sapta Darma ini dapat dikaji lewat berbagai definisi mengenai agama. Emile Durkheim menekankan penggunaan simbol-simbol didalam agama yang membuat manusia merasa langsung merasa dekat kepada suatu kekuatan yang “luar biasa” dan manusia ingin terlibat di dalam kekuatan yang besar tersebut sehingga membuat mereka berfikir simbol-simbol yang muncul lewat realitas itu adalah sebuah jalan menuju hal tersebut. Berikut ini kutipannya (Durkheim,1964:2):

”…. one must know how to go underneath the symbol to the reality which it represents and which gives it its meaning”.

(40)

Kata kepercayaan (berasal dari kata sanskrit: Percaya yang artinya mengakui kebenaran) berarti pengakuan terhadap kebenaran apa yang diceritakan /disampaikan oleh orang mengenai suatu kejadian atau keadaan (Lubis,2005:64). Sebagai sebuah proses, maka kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat diartikan sebagai suatu pengakuan terhadap suatu kebenaran ajaran yang dibawa seseorang „penerima wahyu‟6

dari Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu sebagai suatu ajaran, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan seperangkat tata nilai yang diterima oleh seorang „penerima wahyu‟ (Lubis,2005:65). Sementara itu Lubis (2005:67) berpandangan bahwa kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, lebih merupakan bentuk kepercayaan yang diakarkan pada suatu agama tertentu atau merupakan campuran antara agama dan kepercayaan “animisme dan dinamisme”, atau campuran dari dua atau lebih ajaran agama besar yang dipeluk masyarakat Indonesia.

Dalam buku Pedoman Teknis Pemberdayaan Pengayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang dikeluarkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, yang dimaksud dengan Penghayat adalah penganut yang melaksanakan kepercayaan dengan kesadaran yang utuh hingga kedalaman bathin, jiwa dan rohani yang berakar kepada kebudayaannya. Sementara itu yang dimaksud dengan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau peribadatan serta pengalaman budi luhur.

Sementara itu, konsep „kepercayaan‟ yang belakangan ini banyak dipakai, merupakan sebuah pilihan untuk membedakannya dengan „agama‟7

. Kata

6

Penerima wahyu disini didefinisikan oleh Lubis (2005) sebagai seseorang yang mengakui dirinya sebagai seorang nabi setelah nabi-nabi agama besar yang dipeluk masyarakat Indonesia.

7

(41)

kepercayaan dipakai selain untuk membedakannya dengan agama, juga karena seringkali istilah „kebatinan‟ kurang disukai oleh pengikutnya (Hadiwijono,1983:9). kepercayaan atau keyakinan juga merupakan unsur dari religi, untuk lebih jelasnya Koentjaraningrat menjelaskan sebagai berikut:

“Religi sebagai suatu sistem merupakan bagian dari kebudayaan tetapi cahaya Tuhan yang menjiwai dan membuatnya keramat tentunya bukan bagian dari kebudayaan, istilah

agama adalah untuk menyebut agama resmi yang di akui oleh pemerintah dan istilah

kepercayaan untuk sistem di luar kategori.” (Koentjaraningrat,2000:149).

Ada beberapa kelompok yang lebih senang disebut sebagai „kerohanian‟ (umpamanya Sapta Darma), ada yang lebih suka disebut kejiwaan (umpamanya Subud dan Pangestu). Sehingga kata „kepercayaan umumnya‟ dipakai untuk merujuk kepada kelompok penghayat kebatinan. Sebagai sebuah konsep, „kebatinan‟ merupakan konsep inti yang mengemukakan ciri yang khas (Hadiwijono,1983:9).

Sebagai sebuah kelompok kepercayaan, Kerokhanian Sapta Darma memiliki sistem simbol dan ritual. Simbol secara sosiologis berperan penting dalam pembentukan kesadaran kelompok (jemaat) keagamaan terhadap agamanya (Hendropuspito,1983:100). Bahasa simbol atau lambang merupakan sarana untuk menjelaskan masalah keagamaan yang abstrak bagi pemeluknya. Oleh karena itu seluruh lambang atau simbol diambil dari dunia jasmani yang kongkret yang pada dasarnya menjembatani dunia ilahi dengan dunia manusiawi. Hendropuspito (1983:100) mengelompokkan simbol atau lambang dalam tiga kategori yaitu: 1).

Lambang Visual, 2). Lambang Auditif, dan 3). Lambang Motoris.

(42)

sejatinya memang memiliki arti fungsional yang sangat penting bagi kelompok, walaupun kenyataan bahwa hal ini bukan merupakan maksud dari partisipannya.

Dalam penelitian mengenai kelompok penghayat Kerokhanian Sapta Darma ini, penting dalam mengkaji posisi kelompok ini ditengah dikotomi dengan agama, terutama agama-agama resmi yang diakui oleh negara. Penulis menggunakan konsep Eliade mengenai belief system, dimana pada dasarnya merupakan: 1) faith as credo, 2) faith as faithfulness, 3) faith as obedience, 4)

faith as dependence and as experience, serta 5) as deposit of the faith

(Eliade,1987:250-254). Dalam kaitannya dengan dikotomi antara agma dan kepercayaan, ia berpendapat bahwa agama dan kepercayaan (kepada Tuhan Yang Maha Esa) keduanya merupakan sistem kepercayaan (belief system) yang menyediakan seperangkat ajaran serta pengalaman dan pengetahuan keagamaan. Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari dua hal, yang pertama yaitu mengenai darimana sumber ajarannya, lalu yang kedua adalah siapakah pembawa risalahnya. Selain itu penulis juga mengkaji Sapta Darma secara sosiologis melalui simbol dan ritual melalui konsep Durkheim dan Geertz

II.2.2 Konstruksi Identitas

“Identity are sources of meaning for the actor themselves, and by themeselves, constructed through a process if individuation. Although … identities can also be originated from dominant institution, they become identities only when and if social

actors internalize them, and construct their meaning around this internalization.”

(Barker,2000:7)

(43)

identitas belum bisa menjadi identitas sebelum aktor sosial menginternalisasinya. Lebih lanjut Castells menulis bahwa:

“… But Individual, social groups, and societies process all these materials, and rearrange their meaning, according to social determination and cultural projects that are

rooted in their social structure, and in their space/time framework.”(Barker,2000:7)

Proses internalisasi ini dilakukan oleh aktor sosial seperti individu, kelompok sosial, dan masyarakat, dengan cara memproses semua materi-materi pembentuk identitas yang telah disebutkan, dan menata ulang pemaknaan mereka berdasarkan ketentuan/determinasi sosial dan proyeksi budaya yang telah mengakar dalam struktur sosial mereka dan dalam kerangka ruang dan waktu yang mereka miliki.

Karena konstuksi sosial terhadap identitas ini selalu ditempatkan dalam konteks yang ditandai oleh hubungan kekuasaan, Castells mengemukakan tiga bentuk dan asal-usul terbentuknya identitas (Castells,1997:8), antara lain

Legitimizing Identity. Yaitu yang Diperkenalkan oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Hal ini sejalan dengan tema yang dinyatakan oleh teori dari Sennett mengenai kekuasaan dan dominasi, namun juga sesuai dengan berbagai teori nasionalisme.

Lalu yang kedua adalah Resistance Identity, yaitu yang dibentuk oleh aktor-aktor yang berada dalam posisi atau kondisi direndahkan dan/atau distigmasasi melalui kerangka logika dominasi sehingga membangun resistensi dan kebertahanan berbasis prinsip-prinsip yang “berbeda dari” atau “berlawanan dari” yang dipersepsikan oleh insitusi masyarakat. Resistence Identity mengarah pada pembentukan komunitas. Membentuk kolektif resisten terhadap bentuk-bentuk opresi yg berbasis identitas yg didefiniskan melalui sejarah, geografis, atau biologi, yang memudahkan terbentuknya garis batas resistensi (boundaries of resistance).

(44)

Secara alami, konstruksi identitas dimulai dari identitas yang bersifat resisten yang kemudian masuk ke fase selanjutnya menjadi proyek identitas hingga berproses menjadi identitas yang dominan dalam institusi masyarakat. Setelah menjadi identitas yang dominan, kemudian tahap selanjutnya menjadi identitas yang terlegitimasi untuk kemudian merasionalisasikan dominasi mereka. Tidak ada identitas yang dapat menjadi paling penting diantara yang lain, dan tidak ada identitas yang progresif atau regresif nilainya di luar sejarah. Yang menjadi persoalan penting adalah keuntungan yang di dapatkan dari setiap identitas bagi mereka yang memilikinya.

Konstruksi mengenai jati diri seorang pelaku dan pelaku lain (construction self and other) senantiasa berkaitan dengan relasi kekuasaan. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Li (2003 dan 2004) bahwa identitas adalah sebuah artikulasi dari upaya memosisikan diri dengan mempertimbangkan peluang-peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu (Rudyansjah,2009:243).

(45)

dewasa, mereka mulai merenungkan pertanyaan hidup yang lebih penting dan juga latar belakang agama mereka, dan dengan ini menguji-ulang identitas mereka. Pada tahap kedua ini mereka tidak lagi melihat agama sebagai karakteristik yang diterima begitu saja, namun sebagai identitas yang mereka pilih. 3). Religion as Declared Identity, tahap ketiga dari perkembangan identitas agama ini muncul dalam respon terhadap suatu krisis. Karena merasa “dimusuhi” atau semakin ditekan oleh orang-orang di sekitar, mereka merasa perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya. Banyak ahli yang menyatakan bahwa salah satu respon terhadap ancaman yang nyata atau ancaman yang dibayangkan yaitu meningkatnya solidaritas kelompok.

Dalam proses konstruksi identitas Religion as Declared Identity, menarik membahas bagaimana komunitas menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik lagi dari sebelumnya sebagai respons dari suatu krisis. Menurut Etzioni (1996) dalam Karim (2008:44), komunitas bersifat sangat responsif terhadap kebutuhan sebenarnya dari tiap-tiap anggotanya. Komunitas mempunyai dua kekuatan yang berpengaruh terhadap anggota-anggotanya, yakni kekuatan Centripetal dan Centrifugal. Kekuatan centripetal mendorong anggota-anggota komunitas untuk bertindak atas nama komunitasnya (seperti contohnya menunjukkan apa yang bisa diberikan oleh komunitasnya terhadap kehidupan masyarakat). Kekuatan centrifugal mendorong para anggota komunitas untuk bertindak atas dasar kepentingan masing-masing individu. Dalam tataran civil society, menurut Etzioni, idealnya setiap komunitas menggabungkan penggunaan kedua kekuatan ini secara berimbang (Karim,2008:44).

(46)

keagaamaan yang mereka pilih dan jalani sebagai sebuah identitas sosial. Sementara itu konsep Etzioni dipakai dalam memperdalam konsep Lori Peek mengenai Religion as Declared Identity. Dimana konsep Etzioni ini sejalan dengan Peek dalam menekankan respons komunitas terhadap suatu krisis.

II.2.3 Eksklusi Sosial

Eksklusi sosial adalah keadaan dimana individu tidak dapat berperan serta secara penuh di masyarakat karena secara sistematik dan struktural tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang setara dengan anggota masyarakat lainnya (Seda,2006:44). Ada juga yang mendeskripsikan sebagai:

"Social exclusion describes a situation where certain groups within a society are

systematically disadvantaged because they are discriminated against. Such groups are

often differentiated by race, ethnicity, age or gender. Social exclusion exists to some

degree in all societies, and can occur across a number of dimensions: economic, social,

political and cultural. These different forms of disadvantage form a self-reinforcing

cycle.” (

http://www.gsdrc.org/go/topic-guides/justice/human-rights-gender-and-social-exclusion)

Eksklusi sosial ini sendiri memiliki berbagai makna. Silver (1994) mendenifinisikan eksklusi dengan tiga paradigma besar yaitu: 1). Paradigma solidaritas, yang menjelaskan eksklusi dalam terminologi antara individual dan masyarakat; 2). Paradigma spesialisasi, yang menjelaskan dalam berbagai macam variasi dari distorsi, secara nama, diskriminasi, kegagalan pasar dan hak-hak yang tidak memiliki kekuatan, paradigma ini didasari oleh pemikiran dari sekolah liberal yang dominan di Amerika Serikat; 3). Paradigma monopoli, menjelaskan dalam berbagai macam kelompok yang mengontrol atau memonopoli sumber daya untuk keuntungan mereka, paradigma ini dominan di daerah Eropa Barat (Bhalla,2004:13).

(47)

secara lahir dapat berupa etnis, agama, ras, orientasi seksual yang dialami seseorang, kasta, gender, usia, kecacatan, HIV, status migrasi atau tempat tinggal. Menurut Barry, eksklusi sosial itu tidak hanya disebabkan karena pilihan dan lingkungan dimana individu itu berada, tetapi juga disebabkan karena kebijakan nasional dan pelayanan di tingkat lokal (Haralambos, Holborn &Heald,2004:282).

Sementara itu proses eksklusi adalah sebuah proses yang multidimensional. Dalam kajian menganai eksklusi ini kita dapat mengkajinya ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi dalam mengkaji eksklusi sosial antara lain: (Bhalla,2004:13) 1). Dimensi ekonomi, menekankan pada pendapatan dan produksi, serta akses terhadap barang dan jasa dari sekumpulan orang yang mengalami eksklusi sosial. Pendekatan Ekonomi menekankan pada pertanyaan

income dan produksi serta akses terhadap berang dan jasa dari seseorang yang tereksklusi dan orang lain yang tidak. Dalam studinya Sen (1975:5) mendefinisikan konsep pekerjaan dalam bentuk pendapatan, produksi, dan rekognisi. Pandangan eksklusi melalui pendekatan ekonomi dilihat dari dua faktor pertama, dan faktor rekognisi dapat diinterpretasikan sebagai penyedia dimensi sosial dari konsep eksklusi itu sendiri. 2). Dimensi Sosial, eksklusi sosial berakar pada tradisi sosial yang menekankan pada isu relasional dimana konsep Sen tentang pemberian hak berakar pada tradisi ekonomi dan menekankan pada distribusi. Sen telah menambahkan konsep pemberian hak untuk melindungi pemberdayaan dan kemampuan. Gore (1993) menjelaskan konsep pemberian hak dan menghubungkan dengan moral.Dimensi sosial lain adalah pemberian konsep

Gambar

Tabel II.2
Gambar II.1
Gambar III.1
Gambaran umum sejarah dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menanggulangi masalah tersebut dilakukan upaya pengendalian penyakit DBD dengan cara membunuh larva nyamuk Aedes aegypti menggunakan kaporit.Tujuan penelitian ini

elektrik sesuai dengan konsentrasi pada kotak perlakuan, siapkan kotak perlakuan, tutup lubang pada kotak kasa, tempatkan alat reppelensi elektrik pada kotak perlakuan

1) Sistem pendukung keputusan ini bertujuan untuk membantu pegawai HRD (Human Resources Departement) menentukan pegawai yang sesuai dengan kriteria yang di

Stoga je dan je pregled i opis korištenih algoritama, uključujući formulaciju problema dinamike deformabilnih tijela korištenjem metode konačnih elemenata izvedene na

Alasan Praktikan melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Koperasi Pegawai Pos Indonesia Jakarta Timur karena koperasi Pegawai Pos Indonesia Jakarta Timur merupakan

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara organizational commitment dan psychological ownership , dengan asumsi

Melalui uraian diatas dapat di pahami hasil dari kegiatan pengabdian kepada masyarakat (PkM) yang dilakukan ini softskills para peserta siswa dan siswi yang