• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Pustaka

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 28-38)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP

II.1. Tinjauan Pustaka

II.1.1 Makalah Abdul Latif Bustami ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik)”

Makalah Abdul Latif Bustami ini berjudul ”Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik)” makalah ini disajikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Pembinaan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Makalah ini mengkaji bagaimana peran kuasa negara besar terhadap keyakinan keagamaan masyarakat. Dalam makalah ini, Abdul Latif Bustami memaparkan mengenai bagaimana negara melakukan hegemoni melalui penetapan agama resmi. Dari sini Abdul Latif Bustami menganalisis bahwa negara masih terperangkap pada wacana kolonial yang memaksakan penjelasan ‟besar‟ dan ‟kecil‟ dilihat dari konteks kekuasaan.

Makalah ini juga menyajikan bagaimana perjalanan agama dan negara juga kemunculan Departemen Agama yang disebut memiliki otoritas untuk menentukan yang sah atau mudaradnya kelompok kegamaan dan ditempel dengan fatwa. Belum lagi tafsir legal negara terhadap konsep negara agama yang

mendorong perumusan Ketetapan MPRS No.2 Tahun 1960 dimana negara berhak menentukan legalitas agama. Spiritual landscape ditentukan oleh kekuasaan negara melalui instrumen hukum Pepres No.1 Tahun 1965 yang menetapkan agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu.

Abdul Latif Bustami juga menjabarkan bagaimana klaim terhadap dikotomi agama dan aliran kepercayaan mencuat pada tahun 1973. Beberapa kalangan dalam masyarakat merasa keberatan dengan isu yang menyebar secara nasional bahwa akan dikabulkannya aspirasi penghayat kepercayaan yang akan menjadi agama. MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) saat itu mempermasalahkan keberadaan aliran kepercayaan dan dinyatakan sebagai kebudayaan. Langkah kompromi diambil pemerintah dengan memasukkan urusan penghayat kepercayaan berada di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan agama formal tetap berada di bawah Departemen Agama.

Secara legal aliran kepercayaan diakui oleh negara pada tahun 1955 melalui dibentuknya BKKI (Badan Kongres Kebatinan Seluruh Indonesia) di Semarang yang dipimpin oleh Mr. Wongsonegoro. Dalam kongres BKKI tahun 1956 di Solo ditegaskan bahwa kebatinan bukan mengarah pada pembentukan agama baru, tapi merupaka usaha ikhtiar meningkatkan mutu semua agama. Dampak pengakuan resmi terhadap lima agama itu kemudian mendorong beberapa komunitas agama lokal atau keyakinan dipaksakan masuk ke suatu agama. Kebijakan negara yang mengintervensi agama mencapai 18 buah, mulai dari surat keputusan, surat keputusan bersama hingga radiogram. Ketua Umum ICRP, Djohan Effendy menyatakan data dari Kejaksaan Agung periode 1949-1992 terdapat 51 aliran kepercayaan yang dilarang di Indonesia. (Kompas 6 Mei 2004).

Makalah ini kemudian lebih lanjut mengungkapkan bagaimana lemahnya peran negara dan berharap negara kembali kepada fungsi semula dalam melindungi warganegaranya dalam melaksanakan kewajiban mencatatkan kelahiran, perkawinan dan kematian warganya tanpa mencampuri hal-hal yang bersifat pribadi dan hakiki. Diungkapkannya hal ini oleh penulis merupakan

sebuah kritik terhadap lemahnya pemerintah dalam mengakomodasi hak-hak warga penghayat kepercayaan.

Makalah Abdul Latif Bustami memberikan gambaran awal kepada penulis dalam proses penulisan penelitian ini. Selain itu juga, makalah ini juga memberikan pijakan penelitian ini dengan menekankan pada inkonsistensi negara lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat yang mempengaruhi terjadinya dikotomi antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟

II.1.2 Skripsi Puji Lestari “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005.”

Penulis menggunakan Skripsi Puji Lestari yang berjudul “Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005.” sebagai salah satu tinjauan pustaka untuk menggali gambaran mengenai sejarah dan eksistensi komunitas Sapta Darma. Skripsi Puji Lestari ini menggunakan metode sejarah atau historiografi dalam penulisannya. Dalam skripsi ini, metode sejarah dideskripsikan sebagai proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Tujuan dari skripsi ini adalah untuk mengetahui sejarah awal munculnya organisasi Sapta Darma, lalu untuk Mengetahui perkembangan komunitas penghayat Sapta Darma di Kecamatan Juwana dalam rentang waktu 1958-2005 dan yang terakhir adalah untuk mengetahui peran dan pengaruh komunitas Sapta Darma terhadap masyarakat Kecamatan Juwana.

Dalam skripsi ini, pendekatan yang digunakan Puji Lestari dalam penelitiannya mengenai perkembangan komunitas Sapta Darma 1958- 2005 adalah pendekatan kebudayaan. Penghayat kerohanian Sapta Darma adalah salah satu bentuk kebudayaan spiritual Jawa yang masih berkembang sampai saat ini. Adanya Komunitas Kerokhanian Sapta Darma ini menunjukan bahwa masih adanya budaya- budaya lama yang muncul kembali ditengah kebudayaan modern. Dalam skripsi ini, Puji Lestari menggunakan teori atau konsep yang mendukung pendekatan kebudayaan. Teori dan konsep mengenai kemunculan budaya lama salah satunya dijelaskan melalui teori Rahmat Subagya yang menyatakan bahwa

zaman modern membawa serta macam- macam perubahan. Dalam teorinya, Rahmat Subagya menilai bahwa kebatinan menuju integrasi kembali kepada nilai- nilai asli yang terdesak oleh modernisasi. Seluruh kebatinan bergerak di bawah tanda protes dan kritik, terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik terhadap zaman sekarang. Protes dan kritik itu dilontarkan dari sudut tertentu, yaitu kerinduan akan zama lampau dan akan nilai- nilai lama yang hilang.

Perkembangan komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana dimulai sejak masuknya ajaran kerohanian Sapta Darma di kecamatan Juwana yang dibawa langsung oleh Bapak Panutan agung Sri Gutomo. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah kabupaten Pati. Sejak masuk dan dikenalnya ajaran Sapta Darma di Kecamatan Juwana, masyarakat yang menjadi warga Sapta Darma pada tahun 2005 bekisar antara 300 sampai 400 orang. Puji Lestari dalam skripsinya menjelaskan 3 tipologi penghayat yang ada di Kecamatan Juwana dibedakan menjadi: 1). Warga yang beragama. Yaitu orang yang sebelum masuk kedalam ajaran Sapta Darma sudah mengenal dan menjalankan ajaran agama, misalnya sebelum masuk Sapta Darma orang tersebut beragama Islam, Kristen, Budha maupun Hindu, kemudian meninggalkan agamanya dan menjalankan ajaran Sapta Darma 2). Warga yang beragama dan kepercayaan. Yaitu orang yang masuk Sapta Darma, tetapi juga beragama. Jadi orang tersebut selain menjalankan agama, misalnya agama Islam ataupun kristen, juga menjalankan ajaran Sapta Darma. 3). Warga yang hanya mengenal kepercayaan. Yaitu orang yang masuk Sapta Darma dan sebelumnya tidak pernah mengenal agama apapun. Jadi orang tersebut pada dasarnya hanya mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Puji Lestari dalam skripsinya juga mengungkapkan bahwa perkembangan warga Sapta Darma di kecamatan Juwana mengalami kemunduran pada tahun 1965. hal ini disebabkan karena adanya Pemberontakan G-30-S/PKI, pada tahun ini masyarakat mulai masuk kedalam agama-agama yang telah diakuai oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak memeluk satu agama

dianggap sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia). Walaupun demikian para warga Sapta Darma di daerah kecamatan Juwana tetap menjalankan kegiatan peribadatan dibawah tuntunan Pak Suklar, yaitu penuntun Sapta Darma pertama di Kecamatan Juwana. Sapta Darma di Kecamatan Juwana pada waktu itu juga mengalami pengawasan dari pihak kepolisian. Akan tetapi karena ajarannya dianggap tidak melenceng atau sesat, maka ajaran ini diberi ijin dan dibiarkan berkembang. Penelitian yang dilakukan Puji Lestari tentang Organisasi Sapta Darma di Kecamatan Juwana mengungkapkan bahwa dalam organisasi Sapta Darma sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan, keluar masuk menjadi warga Sapta Darma adalah suatu kebebasan, hanya setelah G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan lain-lain.

Skripsi ini juga menggambarkan perkembangan selanjutnya setelah peristiwa tahun 1965. Warga Sapta Darma semakin bertambah sehingga pada tahun 1978 di kecamatan Juwana didirikan Sanggar Candi Busono dimana sanggar ini merupakan sanggar pusat tidak hanya di wilayah kecamatan Juwana tetapi juga dibentuk wilayah Kabupaten Pati. Pada awal tahun 1990 manajemen keorganisasian mengalami kemajuan dan mengalami perbaikan dengan dibentuknya sistem kepengurusan.

Pada bagian akhir, skripsi ini mengambil kesimpulan bahwa keberadaan ajaran kerohanian Sapta Darma di Kecamatan Juwana mempunyai dua fungsi yaitu fungsi internal bagi warganya dan fungsi eksternal yaitu fungsi ajaran kerohanian Sapta Darma bagi warganya dalam hidup bersosialisasi dengan masyarakat. Peran dan pengaruh adanya komunitas Sapta Darma di kecamatan Juwana tidak dapat terlihat secara jelas, tetapi dapat dirasakan bahwa keberadaan mereka membawa dampak yang baik bagi kehidupan bermasyarakat . Hal ini dikarenakan mereka masih menggunakan etika Jawa yang menjunjung tinggi

sikap tepo seliro, andap asor lan nrimo serta nilai tata karma.

Skripsi Puji Lestari ini memperkaya kajian literatur sejarah penelitian ini melalui penggambaran mengenai gambaran sejarah gerakan kebatinan di Indonesia. Sementara itu dalam konteks identitas penghayat, penelitian Puji

Lestari juga melihat bagaimana keterkaitan identitas penghayat pasca tragedi 1965 dan bagaimana keterkaitan antara pola pemahaman wewarah tujuh terhadap peranan warga Sapta Darma di masyarakat. Hal ini menjadi gambaran bagi penulis dalam melihat konstruksi identitas penghayat di masyarakat.

II.1.3 Buku Tedi Kholiludin “Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus „Agama Resmi‟ dan Diskriminasi Hak Sipil.”

Dalam buku sekaligus karya akademis Tedi Kholiludin, ia mencoba menggambarkan potret kebijakan politisasi negara atas agama. Buku ini disusun melalui serangkain kegiatan penelitian yang dilakukan Tedi Kholiludin melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka yang menjadi sumber data, sumber data tersebut berupa literatur yang berkaitan dengan substansi penelitian ini. Untuk mendapatkan data yang diperlukan peneliti menggunakan metode library research. Tedi Kholiludin juga melakukan serangkaian wawancara untuk menambah data temuan tulisan ini.

Karya Tedi Kholiludin ini dilatarbelakangi oleh inkonsistensi negara dalam mengelola kehidupan keberagamaan. Inkonsistensi yang seringkali muncul dalam bentuk kontradiksi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. salah satu aspek yang masih menjadi perdebatan pokok adalah perihal dikotomi „agama yang diakui‟ dan „agama yang tidak diakui‟. Pada buku ini, Tedi Kholiludi mencoba menggambarkan bagaimana perjalan kebijakan negara mengenai keberagamaan semenjak jaman Kerajaan hingga Kolonial, lalu pada masa Orde lama, masa Orde Baru, dan pasca reformasi. Pembahasan kebijakan agama di tiap fase-fase sejarah Indonesia dibahas secara runut. Mulai dari kebijakan politik pengawasan agama pada era Orde Lama dimana kemudian lahirlah UU No.1/PNPS/1965 mengenai penodaan agama, hingga lahirnya Bakorpakem sebagai lembaga pengawasa aliran-aliran kepercayaan yang ada di masyarakat.

Beralih ke era Orde Baru dimana agama menjadi sebuah diskursus dimana terjadi pertandingan antara rezim kebenanran yang dibela masing-asing yang mungkin tidak berjalan seimbang, dimana yang satu menguasai yang lainnya.

Pada masa ini agama menjadi perumus identitas. Konstelasi agama pada orde baru menggiring agama sebagai arena kontestasi politik, ekonomi dan sosial. Agama akhirnya masuk dalam sebuah fase kegamangan untuk mempertahankan sifat kudusnya dan masuk dan ambil bagian dalam kemungkaran sosial. Pada era ini juga ditunjukkan bagaimana sikap pemerintah yang meyakini bahwa aliran kepercayaan bukan merupakan agama semakin kuat dengan lahirnya keputusan Presiden No. 27 tahun 1978, sebagai realisasi dari ketetapan MPR No. IV/1978 tentang pembentukan Direktorat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilingkungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada era Reformasi, dengan terpilihnya KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden, menjadi penanda era baru perubahan kebijakan negara atas Hak Minorias. Pada era Gus Dur Khonghucu kembali diakui menjadi salah satu agama resmi setara dengan agama lainnya dan kembali pada formasi yang dulu muncul pada saat orde lama. Komunitas penghayat kepercayaan juga tidak luput dari perhatiannya. Gebrakan ia buat dengan memerintahkan Menteri Dalam Negeri saat itu Soerjadi Soedirdja agar mencabut surat edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 477/7405 tanggal 18 November 1978 mengenai Petunjuk Pengisian Kolom Agama pada Lampiran SK Mendagri No. 221a Tahun 1975. Menurutnya, kolom agama dalam masalah administrasi kenegaraan merupakan sebuah potensi diskriminasi terhadap agama-agama tidak resmi dan ia sepertinya hendak menghapuskannya dengan meniadakan kolom agama SK Mendagri No. 221a Tahun 1975, dan sebagai piranti yuridis, Soerjadi Soedirdja mengeluarkan surat edaran Mendagri No. 477/805/SJ Tanggal 31 Maret 2000 sebagai penggantinya.

Pada bab terakhir dari buku ini, Tedi Kholiludin mencoba mengambil kesimpulan atas kebijakan keberagamaan dari masa ke masa. Implikasi yang ditunjukkan sangatlah serius, yaitu tergerusnya hak sipil warga negara. Mereka yang tergerus hak sipilnya, tentu mereka yang dianggap „sakit‟ oleh pemerintah sehingga menurut Tedi Kholiludin, harus diberikan resep hingga sembuh. Secara nyata, politik pengakuan pertama-tama telah memilah agama ke dalam „agama

ilegal‟ dan „agama legal‟. Agama legal hanya dibatasi enam saja, mereka diakui karena, pertama, ada legitimasi historis dalam perkembangannya di Indonesia. Kedua, agama-agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh penduduk Indonesia (sosiologis). Di luar agama legal itu, seperti Zarasturian, Shinto, Thaoism, pemerintah hanya memberikan jaminan. Sementara yang posisinya sangat lemah dalan PNPS 1965 adalah kelompok aliran kepercayaan, karena mereka dianggap bukan agama dan harus dikembalikan ke pangkuan agama resmi.

Tedi Kholiludin lebih lanjut menjelaskan bahwa imbas politik pengakuan dalam konteks hak sipil dirasakan oleh penganut aliran kepercayaan, agama lokal, atau lebih jelasnya adalah mereka yang menganut agama diluar „agama resmi‟. Beberapa kesulitan yang mereka temuiseperti kesulitan dalam pengisian kolom agama di KTP, lalu pencatatan perkawinan mereka di catatan sipil tidak dapat dikabulkan. Belum lagi tambahan bukti dengan ditemukannya kesulitan-kesulitan dalam pembangunan rumah ibadah, pengangkatan sumpah model kepercayaan dan probematika lainnya. Pada akhirnya Tedi Kholiludin memberikan beberapa saran untuk menutup bukunya ini. Menurutnya, tugas negara dalah menjamin, bukan mengakui. Jaminan memiliki semangat yang lebih substantif daripada mengakui. Jaminan dari negara tidak boleh disekat-sekat dalam dalam enclave-enclave tertentu. Dalam konteks regulasi, karena begitu vitalnya peran dan fungsi PNPS 1965 dalam menciptakan agama resmi, maka kehadirannya perlu ditinjau ulang. Begitu juga dengan TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang GBHN, UU Adminduk serta Perber 2 Menteri.

Buku dari Tedi Kholiludin ini menjadi salah satu acuan dalam penulisan penelitian ini. Beberapa konsep dan penjelasan di buku ini penulis ambil untuk dijadikan acuan dalam penelitian yang dilakukan. Beberapa konsep tersebut seperti konsep hak sipil dan sejarah perkembangan konstitusi keberagamaan diambil dari buku ini. Sementara itu beberapa poin di buku ini mengenai diskriminasi hak-hak sipil menjadi acuan awal dalam meneliti eksklusi hak-hak sipil yang terjadi terhadap kelompok penghayat kepercayaan Sapta Darma. Beberapa poin tersebut digabungkan dengan informasi dari beberapa informan

menjadi poin-poin yang mengukur bagaimana proses eksklusi sosial terjadi di tingkat penghayat.

Tabel II.1

Resume Tinjauan Pustaka

Judul Penelitian Penulis Hasil Kajian Tanggapan

Tuhan, Agamamu Apa? (Relasi Kuasa Republik dan Keyakinan Keagamaan Publik) Abdul Latif Bustami

Peran kuasa negara besar terhadap keyakinan keagamaan masyarakat melalui instrumen hukum Pepres No.1 Tahun 1965

Peran negara masih lemah dan berharap negara kembali kepada fungsi semula dalam melindungi mengakomodasi hak-hak warga penghayat kepercayaan.

Dikotomi agama dan kepercayaan serta kemunculan Departemen Agama memiliki otoritas untuk menentukan yang sah atau mudaradnya kelompok kegamaan dan ditempel dengan fatwa.

Makalah ini memberikan gambaran awal penulisan penelitian ini. Selain itu juga, makalah ini juga memberikan pijakan penelitian ini dengan menekankan pada

inkonsistensi negara lewat kebijakan-kebijakan yang dibuat yang mempengaruhi terjadinya dikotomi antara agama resmi dan agama tidak resmi. Perkembangan Komunitas Sapta Darma di Kecamatan Juwana Tahun 1958-2005.

Puji Lestari Penghayat kerohanian Sapta Darma adalah salah satu bentuk kebudayaan spiritual Jawa yang masih

berkembang sampai saat ini. Adanya Komunitas Kerohanian Sapta Darma ini menunjukan bahwa masih adanya budaya- budaya lama yang muncul kembali ditengah kebudayaan modern

Ada 3 tipologi penghayat yang ada di Kecamatan Juwana dibedakan menjadi: 1). Warga yang beragama. 2). Warga yang beragama dan kepercayaan. 3). Warga yang hanya mengenal kepercayaan.

Perkembangan warga Sapta Darma di kecamatan Juwana mengalami kemunduran pada tahun 1965. Pada tahun ini masyarakat mulai masuk kedalam agama-agama yang telah diakuai oleh pemerintah, karena pada saat itu masyarakat yang tidak

Beberapa poin penting yang Puji Lestari kemukakan dalam keterkaitan dengan studi yang penulis lakukan diantaranya adalah mengenai gambaran sejarah gerakan kebatinan di Indonesia. Sementara itu masalah konteks identitas penghayat pasca tragedi 1965 dan bagaimana keterkaitan antara pola pemahaman wewarah tujuh terhadap peranan warga Sapta Darma di masyarakat menjadi gambaran bagi penulis dalam melihat konstruksi identitas penghayat di masyarakat.

Judul Penelitian Penulis Hasil Kajian Tanggapan memeluk satu agama dianggap

sebagai PKI (Partai Komunis Indonesia).

Dalam organisasi Sapta Darma sebenarnya tiap warganya tidak memiliki ikatan, keluar masuk menjadi warga Sapta Darma adalah suatu kebebasan, hanya setelah G-30-S PKI, harus diadakan penelitian bagi warga yang baru, misalnya tanda bersih diri, kartu tanda penduduk dan siapa yang bertanggung jawab dan lain-lain Kuasa Negara Atas Agama: Politik Pengakuan, Diskursus ‘Agama Resmi’ dan Diskriminasi Hak Sipil. Tedi Kholiludin

Implikasi kebijakan keberagamaan dari masa ke masa memperlihatkan pengaruh yang cukup serius, yaitu tergerusnya hak sipil warga negara. Dalam konteks regulasi, karena begitu vitalnya peran dan fungsi PNPS 1965 dalam menciptakan agama resmi, maka kehadirannya perlu ditinjau ulang. Begitu juga dengan TAP MPR No.

IV/MPR/1978 tentang GBHN, UU Adminduk serta Perber 2 Menteri. Tugas negara dalah menjamin, bukan mengakui. Jaminan memiliki semangat yang lebih substantif daripada mengakui. Jaminan dari negara tidak boleh disekat-sekat dalam dalam enclave-enclave tertentu.

Imbas politik pengakuan dalam konteks hak sipil dirasakan oleh penganut aliran kepercayaan, agama lokal, atau lebih jelasnya adalah mereka yang menganut agama diluar „agama resmi‟.

Terjadinya eksklusi hak-hak sipil penganut kepercayaan dan agama lokal diakibatkan dari ketiadaannya batasan yang jelas mengenai apa itu

Buku Tedi Kholiludin menjadi salah satu acuan dalam penulisan penelitian ini. Beberapa konsep seperti konsep hak sipil dan sejarah perkembangan konstitusi keberagamaan diambil dari buku ini. Selain itu buku ini juga membahas aspek-aspek eksklusi hak-hak sipil yang beberapa aspek diantaranya penulis ambil dan dijadikan poin-poin dalam

menganalisa eksklusi hak sipil yang dialami penghayat kepercayaan.

Judul Penelitian Penulis Hasil Kajian Tanggapan agama

Beberapa masalah terkait dengan pemenuhan hak sipil seperti

pengisian kolom agama dalam KTP, pencatatan perkawinan, pengurusan akte kelahiran anak, hak atas pendidikan, hak mengucapkan sumpah dan janji pegawai, hak penguburan, dan pembangunan rumah ibadah.

Sumber: Diolah Kembali oleh Penulis

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 28-38)