• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 169-173)

VI. PENUTUP

VI.1. Kesimpulan

Dalam penelitian ini penulis melihat bahwa kemunculan Kerokhanian Sapta Darma tidak dapat dilepaskan dari konteks kebangkitan gerakan kebatinan. Kebangkitan kebatinan di Jawa berkembang dengan pesat pada sekitar pertengahan abad ke-20, dimana tumbuh dalam sebuah gelombang kegoncangan masyarakat pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20. Beberapa ilmuwan sosial yang meneliti mengenai gerakan kebatinan seperti Mulder dalam Lestari (2007) maupun Koentjaraningrat (1994), keduanya melihat bahwa kebangkitan gerakan kebatinan merupakan sebuah respons akan perubahan sosial budaya yang berlangsung cepat yang mengakibatkan gejolak sosial di masyarakat. Jadi sejarah berdirinya kelompok-kelompok kepercayaan tidak lepas dari sejarah kebangkitan gerakan kebatinan. Kebatinan dan kepercayaan pada dasarnya merupakan dua konsep yang maknanya sama. Namun, konsep kepercayaan lebih dipilih untuk digunakan guna membedakannya dengan agama

Secara sosiologis, Kerokhanian Sapta Darma merupakan sebuah kelompok keagamaan. Hal ini tercermin dari simbol dan ritual yang dimiliki oleh Kerokhanian Sapta Darma. Seperti yang dijelaskan Durkheim yang menekankan penggunaan simbol-simbol didalam agama yang membuat manusia merasa

langsung merasa dekat kepada suatu kekuatan yang “luar biasa”. Semua agama

menghubungkan dengan sesuatu yang “luar biasa” tersebut sehingga terciptanya

sebuah solidaritas dari kelompok agama. Simbol-simbol tersebut dapat kita lihat lewat ritual sujud memberikan jalan kepada para penghayat untuk manembah dan dekat kepada Allah Hyang Maha Kuasa yang merupakan sebuah kekuatan yang luar biasa. Sementara itu Simbul Pribadi Manusia dapat kita lihat sebagai sebuah simbol keagamaan yang secara sosiologis berperan penting dalam pembentukan kesadaran kelompok (jemaat) keagamaan terhadap agamanya

Dalam perkembangannya, proses pengakuan terhadap kelompok kepercayaan mengalami pasang surut dalam sejarah dan hubungannya dengan negara. Indonesia adalah negara berkeTuhanan, Pancasila sebagai dasar negara mencantumkan KeTuhanan Yang Maha Esa pada sila pertamanya yang implikasinya adalah semua warga negara mengacu kepada prinsip ketuhanan. Sebagai Negara yang berkeTuhanan, prinsip-prinsip ketuhanan dan kebebasan beragama ini dituangkan Di dalam pasal 29 ayat (1) UUD 45 pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan bahwa Negara Republik Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, ayat (2) ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Namun semangat Negara dalam merayakan kebebasan dalam beragama seakan bertolak belakang dengan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Spiritual landscape ditentukan oleh negara melalui instrumen hukum pada tahun 1965. Negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaannya, namun di sisi lain, negara menetapkan legalitas agama dan kepercayaan di masyarakat lewat pengakuan hanya enam agama.

Sebagai kelompok diluar „agama resmi‟ yang ditetapkan oleh pemerintah,

berbagai macam kesulitan dialami oleh kelompok penghayat Sapta Darma. Salah satunya dalam pemenuhan beberapa hak-hak sipil mereka sebagai warga negara. Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak sipil, kelompok penghayat Sapta Darma masih mengalami eksklusi sosial. Eksklusi yang disebabkan oleh buruknya

pelayanan di tingkat lokal dapat kita lihat dari pemenuhan hak atas pencatatan atas identitas agama di KTP dan hak untuk berkumpul dan membangun rumah ibadah, dalam hal ini proses pengajuan perizinannya. Sementara itu eksklusi sosial juga terjadi akibat pilihan dan lingkungan dimana individu berada terjadi pada pemenuhan hak atas lahan pemakaman dan penguburan sesuai dengan kepercayannya dan hak atas pencatatan dan registrasi perkawinan antar penghayat. Sementara itu dalam pemenuhan hak pendidikan agama anak-anak penghayat yang sesuai dengan kepercayaannya dan hak atas sumpah jabatan dengan tata cara penghayat masih mengindikasikan adanya eksklusi sosial dalam hal masih adanya Undang-Undang diskriminatif yang hanya mengatur

kepentingan „agama resmi‟ pemerintah tanpa mengakomodisi kepentingan

kelompok penghayat kepercayaan.

Sementara itu proses diskriminasi juga masih terjadi pada penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan terjadi melalui dua bentuk yaitu Diskriminasi Struktural (Structural Discrimination) dan Diskriminasi Individual (Individual Discrimination). Bentuk yang pertama mengarah pada Diskriminasi Struktural dimana individu terdiskriminasi lewat praktek-praktek institusional, seperti contohnya pelaksanaan Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok penghayat dan praktik oknum-oknum birokrasi yang mempersulit pemenuhan hak-hak penghayat kepercayaan. Sementara itu bentuk yang kedua mengarah pada Diskriminasi Individual dimana individu mengalami diskriminasi akibat proses

labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Contoh kasusnya seperti masih terjadinya labeling dan stereotyping

terhadap identitas mereka baik secara individu ke individu ataupun komunitas dengan warga masyarakat sekitar.

Dalam hal konstruksi identitas, karena mereka bukan salah satu bagian

dari „agama resmi‟ yang diakui oleh pemerintah maka dalam tahap perkembangan

identitas relijiusnya, meminjam penjelasan Peek (2005), berkembang ke tahap

Religion as Declared Identity. Jadi dalam perkembangannya, walaupun disatu sisi identitas relijius mereka sebagai penghayat masih mengalami labeling dan stigma, namun untuk para informan hal tersebut harus dijawab dengan lewat kasih ke

sesama yang sesuai dengan salah satu poin dalam wewarah pitu. Wewarah pitu merupakan pedoman hidup penghayat Sapta Darma mengajarkan untuk kasih dan sayang kepada sekitarnya, para informan secara perlahan berusaha mengubah pandangan tersebut di masyarakat lewat hubungan keterbukaan dan komunikasi yang baik di masyarakat.

Sementara itu, proses konstruksi identitas penghayat Sapta Darma juga berkaitan dengan negara sebagai institusi sebagai institusi yang dominan. Hal ini dapat kita lihat dari penentapan enam agama resmi oleh pemerintah lewat UU No.1/PNPS/1965 yang secara tidak langsung mendekonstruksikan identitas mereka di masyarakat sehingga akhirnya menuimbulkan kesulitan-kesulitan dalam pemenuhan beberapa hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dan stigma maupun labeling terhadap identitas mereka. Pada tahap ini terjadi dekonstruksi identitas penghayat Sapta Darma seperti yang dikemukakan Castells (1997) sebagai Legitimizing Identity, yaitu proses konstruksi yang diperkenalkan oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial.

Terkait dengan eksklusi sosial dan diskriminasi yang mereka alami terhadap identitas mereka, maka sebagai penghayat kepercayaan mereka perlu merekonstruksi identitas mereka terkait dengan identitasnya dan identitas lingkungan disekitarnya. Pentingnya merekonstruksi identitas mereka merupakan sebuah cara dalam mengatasi kesulitan demi kesulitan yang mereka alami terkait dengan eksklusi sosial. Proses rekonstruksi identitas penghayat kepercayaan yang lebih moderat dan kompromistis terhadap lingkungan masyarakat sekitar meminjam konsep dari Li (2003 dan 2004) dalam Rudyansjah (2009:243) merupakan sebuah usaha memposisikan diri dengan mempertimbangkan peluang-peluang yang dimiliki para pelaku yang terlibat dalam suatu arena sosial tertentu. Dengan dikembangkannya pola kepenghayatan yang lebih moderat, maka penghayat kepercayaan dapat terlibat di arena sosial secara lebih luas dan terhindar dari friksi antar identitas di masyarakat.

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 169-173)