• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kontruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Sebagai Identitas

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 153-157)

V. EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

V.3. Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi

V.3.1. Kontruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Sebagai Identitas

Identitas Sapta Darma sebagai identitas relijius berkembang menjadi sebuah identitas sosial yang berkembang dan ditonjolkan oleh para

penghayatnya. Peek (2005) mengatakan, sebagai sebuah identitas sosial, identitas keagamaan berkembang melalui tiga tahap meliputi: Religion as Ascribed Identity, Religion as Chosen Identity, dan yang terakhir adalah Religion as Declared Identity.

Pada tahap pertama perkembangan identitas relijius penghayat Sapta Darma adalah lewat tahap Religion as Ascribed Identity. Pada tahap ini, individu mendapatkan identitas sebagai suatu agama karena ia lahir pada keluarga yang beragama tersebut. Jika kita lihat pada beberapa informan, latar belakang keluarga para informan kesemuanya berasal dari latar belakang keluarga abangan jawa

yang masih kental dengan tradisi kebatinan. Beberapa informan bahkan lahir dari keluarga dimana para orang tua mereka adalah penghayat Sapta Darma. Informan BI dan GP lahir dari keluarga dimana kedua orang tua mereka adalah Tuntunan Sapta Darma di daerahnya masing-masing. Orang tua dari informan ES juga merupakan penghayat Sapta Darma, sementara itu keluarga dari informan SK merupakan keluarga jawa abangan yang memang tidak terlalu taat menjalankan syariat Islam. Dari latar belakang keluarga tersebut maka bisa disimpulkan bahwa institusi keluarga memiliki pengaruh dalam mengkonstruksikan ajaran Sapta Darma kepada para informan.

Pada tahap yang kedua, perkembangan identitas relijius Sapta Darma adalah melalui tahap Religion as Chosen Identity. Pada tahap kedua ini mereka tidak lagi melihat agama sebagai karakteristik yang diterima begitu saja, namun sebagai identitas yang mereka pilih. Pada akhirnya para informan memilih menghayati ajaran Sapta Darma karena memang tiap-tiap informan memiliki pengalaman-pengalaman relijius tersendiri mengenai ajaran ini. Ajaran ini bukan hanya diturunkan dan disosialisasikan dalam keluarga, namun pada akhirnya lebih karena ketertarikan informan mengenai ajaran ini. Pada umumnya, informan baru secara aktif menjalankan ajaran ini dan menjadikannya pegangan hidup pada usia-usia dewasa dan dianggap telah matang dan menyadari pilihan-pilihannya. Beberapa informan seperti informan ES, GP dan SK mulai aktif menjadi penghayat pada saat usia mereka diatas 17 tahun atau pada masa-masa SMA dan perkuliahan. Mereka pada umumnya merasa telah membuktikan manfaat dari

ajaran-ajaran Sapta Darma dan merasakan pengalaman-pengalaman relijius sehingga pada akhirnya mereka meyakini ajaran ini sebagai identitas relijius yang mereka pilih.

Pada tahap terakhir, yaitu Religion as Declared Identity. Tahap perkembangan identitas agama ini muncul dalam respon terhadap suatu krisis sehingga mereka merasa perlu menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka lebih baik dari sebelumnya karena merasa “dimusuhi” atau semakin

ditekan oleh orang-orang di sekitar. Pada tahap ini, perkembangan identitas relijius penghayat Sapta Darma berkaitan dengan stereotype maupun labeling di masyarakat terkait dengan identitas mereka. Tidak dapat dipungkiri lagi, sebagai sebuah identitas relijius di luar agama resmi yang ditetapkan oleh pemerintah, masih banyak orang yang berpandangan miring terhadap identitas mereka. Namun sebagai penghayat Sapta Darma yang juga berkewajiban untuk kasih dan sayang kepada sekitarnya, para informan secara perlahan berusaha mengubah pandangan tersebut di masyarakat lewat hubungan keterbukaan dan komunikasi yang baik di masyarakat. Seperti yang diungkapkan Informan GP, bahwa ia tidak menutupi identitasnya, tetapi terbuka bagi yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma. Menurut informan GP, salah satu pengamalan Wewarah tujuh poin ke-enam adalah bebrayan atau bergaul ke sesamanya dan saling kasih sayang di lingkungan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh informan ES, bagi informan, yang terpenting ia dapat menempatkan diri ke sekitarnya. Informan ES juga sangat terbuka dan membuka pintu jika ada yang ingin bertanya mengenai identitasnya.

Bagi informan BI komunikasi dan pendekatan ke masyarakat juga menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Informan BI juga menceritakan bahwa pada acara suroan yang dilakukan komunitas Sapta Darma DKI Jakarta tahun lalu, komunitas ini sembari mengadakan acara ini, mereka juga saling berbagi berkah dengan masyarakat sekitar. Hal ini menurut informan BI adalah salah satu cara untuk mendekatkan komunitas Sapta Darma dengan komunitas masyarakat sekitar.

Bukan hanya mengembangkan komunikasi yang baik dan keterbukaan, namun banyak juga dari informan yang mengabdikan diri di lingkungannya. Seperti yang dikatakan oleh informan SK bahwa banyak warga Sapta Darma yang mengabdi di lingkungannya lewat kelebihannya dalam pangusadan atau pengobatan lewat jalan Sapta Darma dan memberikan pengobatan secara gratis di lingkungannya. Selain itu, dalam kaitannya dengan Komunitas SCB Jakarta Selatan, informan MR selaku Ketua RW 04 juga mengatakan bahwa peran Keluarga Bapak Soedono cukup besar di lingkungannya. Ibu Soedono misalnya, beliau aktif dalam kepengurusan RT dan aktif menggalang para pemuda dan ibu rumah tangga di wilayah RW 04 dalam berbagai kegiatan seperti paduan suara, arisan dan pembuatan kerajinan tangan.

Menarik jika lihat tahap religion as declared identity dalam kaitannya dengan bagaimana Komunitas Sapta Darma SCB Jaksel menjelaskan dan mendemonstrasikan kepercayaan mereka dengan lebih baik lagi ke masyarakat sekitar. Kita dapat melihat hal ini lewat konsep kekuatan komunitas menurut Etzioni (1996) dalam Karim (2008:44) lewat kekuatan centripetal dan centrifugal. Pengabdian diri ke lingkungan sekitar dengan memaksimalkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki beberapa penghayat. Seperti dalam pangusadan, yaitu melakukan Penyembuhan di jalan Tuhan secara Kerokhanian Sapta Darma kepada orang yang menderita sakit. Hal ini diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat yang membutuhkan. Sementara itu dapat juga dilakukan dengan memaksimalkan peran sosial di lingkungan sekitar. Seperti yang ditunjukkan oleh keluarga Soedono yang aktif di lingkungan Komplek Yado. Rumahnya selain digunakan sebagai sanggar, tetapi juga menjadi pusat aktifitas warga seperti tempat perkumpulan RT dan RW, arisan warga, dan Sekertariat Senam Jantung Sehat Yado. Pada era 1980an Ibu Soedono juga aktif dalam mengasuh para remaja sekitar untuk diajari beberapa macam kesenian di rumahnya, seperti paduan suara dan seni tari. Bukan suatu hal yang mengherankan apabila Keluarga Soedono dijadikan warga sekitar sebagai tokoh masyarakat atau yang dituakan. Hal-hal tersebut dapat dianalisis sebagai kekuatan centripetal. Dengan kekuatan

dengan menunjukkan apa yang bisa diberikan terhadap komunitas masyarakat sekitar.

Sementara itu dengan melakukan komunikasi dan pendekatan ke masyarakat dan menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya, maka hal ini dapat kita lihat sebagai kekuatan centrifugal. Kekuatan

centrifugal ini mendorong masing-masing anggota komunitas untuk bertindak atas dasar kepentingan masing-masing individu. Jadi dengan menjaga hubungan baik dengan masyarakat sekitar, kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan individu penghayat tidak akan mendapatkan resistensi dari lingkungan masyarakat sekitar.

Jadi dalam perkembangannya, walaupun disatu sisi identitas relijius mereka sebagai penghayat masih mengalami labeling dan stigma, namun untuk para informan hal tersebut harus dijawab dengan lewat kasih ke sesama yang sesuai dengan salah satu poin dalam wewarah pitu poin ke-enam yang bunyinya:

“Sikapnya dalam hidup bermasyarakat, kekeluargaan, harus susila beserta halusnya budi pakerti, selalu merupakan penunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuaskan.”

V.3.2 Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma di Masyarakat Terkait

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 153-157)