• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma di Masyarakat Terkait

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 157-161)

V. EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

V.3. Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi

V.3.2. Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma di Masyarakat Terkait

Dalam melihat proses konstruksi identitas penghayat Sapta Darma, konteks kekuasaan merupakan konteks penting dalam melihat bagaimana identitas mereka dikonstruksikan melibatkan aktor-aktor di masyarakat. Aktor-aktor ini bisa diidentifikasi sebagai institusi-institusi yang dominan yang mencoba mengkonstruksikan identitas mereka di masyarakat dan actor-aktor dari dalam komunitas sendiri yang mencoba mengubah konstruksi dengan merekonstruksi identitas mereka kembali di masyarakat.

Pada tahap pertama kontruksi identitas Komunitas Sapta Darma yang berkaitan dengan kekuasaan adalah Legitimizing Identity. Tahap ini diperkenalkan

oleh institusi dominan dalam masyarakat untuk memperluas dan merasionalisasi dominasi mereka terhadap aktor-aktor sosial. Dalam tahap ini, maka konstruksi sosial terhadap penghayat kepercayaan bisa kita runut sejak dikeluarkannya instrumen hukum pada tahun 1965 lewat Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 (UU No.1/PNPS/1965), yang menetapkan agama resmi yaitu Islam, Protestan, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang ini maka terjadi dekonstruksi identitas penghayat kepercayaan oleh negara. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pemerintah bahwa kepercayaan dianggap bukan bagian dari agama, dan hal ini dikukuhkan lagi oleh TAP MPR No. IV/1978 juga menyatakan bahwa: “Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah bukan agama dan oleh karena itu pembinaannya dilakukan agart idak mengarah pada pembentukan agama baru dan penganutnya diarahkan unuk

memeluk salah satu agama yang diakui oleh Negara.”. Sehingga dapat kita

simpulkan bahwa dengan ditetapkannya hanya enam agama resmi, maka identitas Komunitas Sapta Darma terdekonstruksi. Dekonstruksi ini membawa identitas Komunitas Sapta Darma tidak diakui sebagai salah satu kepercayaan yang diakui dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah.

Dari sinilah muncul politik identitas di masyarakat dimana perangkat UU No. 1/PNPS/1965 merupakan cikal bakalnya. Dari Undang-Undang ini kemudian

lahirlah istilah dikotomis antara „agama resmi‟ dan „agama tidak resmi‟. Efeknya

kemudian bahwa timbulnya konstruksi di masyarakat bahwa penghayat kepercayaan bukan merupakan sebuah agama, dan kepada para penghayat yang masih menghayati ajarannya, banyak yang menganggap bahwa Ia tidak bertuhan atau atheis. Berikut ini pernyataan dari informan BI mengenai masalah ini:

“Nah sekarang ini, sangat mudah orang kita itu untuk bilang yang ini nih gini, nah yang itu tuh begitu, pokoknya katanya katanya katanya.. Jadi hambatan ini selalu mereka anggep kita itu atheis, nah sekarang saya tanya, atheis itu apa sih? Jadi kebanyakan dari mereka itu nggak ngeh apa sih itu sebenernya dan cenderung nggak mau tahu. Jadi makin kesini ini, saya kira rasa ketakutan ini sifatnya politis, karena Islam itu kan mayoritas, iya kan? banyak hal yang melenceng itu, yang membuat kita akhirnya, aduh kok susah amat ya. Kita dicapnya seperti ini, seperti itu, macem-macem deh.. Jadi ya nggak ada kesetaraan, sejak 65 itu ya kita merangkak lagi, memperjuangakan bahwa ini bukan sesuatu yang hmm.. ya bisa kita bilang sih bukan virus. Terus terang selalu problem yang menghambat kita adalah orang-orang muslim, karena ketakutan tadi, secara politis dan mereka yang radikal itu selalu punya cita-cita untuk membangun

negara ini menjadi negara Islam.. “ (Wawancara Informan BI, 23 Desember 2010)

Dalam kutipan wawancara dengan informan BI juga tersirat bahwa terjadinya ketakutan-ketakutan yang sifatnya politis dari kelompok mayoritas, sehingga dalam perjalanannya, dekonstruksi identitas penghayat kepercayaan oleh negara ini merupakan sebuah cara untuk melindungi agama-agama besar dari kepercayaan-kepercayaan lokal yang dianggap „tidak sehat‟ dan masih berbau klenik dan bid‟ah. Dekonstruksi identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat

menurut informan BI banyak yang melenceng dari inti yang sebenarnya, label dan stigma yang terlanjur melekat merupakan buah dari politisasi kelompok mayoritas terhadap identitas penghayat kepercayaan .

Pada tahap kedua, yaitu Resistence Identity. Yaitu yang mengarah pada pembentukan komunitas. Pembentukan komunitas ini untuk membentuk kolektif resisten terhadap bentuk-bentuk opresi yg berbasis identitas. Pada tahap ini kemudian dibentuklah sebuah komunitas, dalam kaitannya dengan studi ini, penghayat Sapta Darma membentuk Komunitas SCB Jakarta Selatan. Dalam kegiatannya, komunitas yang merupakan perwakilan dari wilayah-wilayah di DKI Jakarta dan sekitarnya. Terkait dengan ini, SCB Jakarta Selatan sebagai Sanggar Pusat DKI Jakarta mengadakan sanggaran tiap Sabtu minggu terakhir tiap bulannya. Selain diisi oleh kegiatan rohani, sanggaran ini biasanya menjadi ajang informasi perkembangan penghayat yang ada di wilayahnya, dan juga permasalahan-permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Ajang ini juga merupakan ajang konsolidasi untuk memecahkan permasalahan bersma yang ada terkait dengan warga penghayat Sapta Darma di daerah masing-masing. Komunitas ini sangat penting dalam kaitannya dengan membentuk kolektif resisten, dengan adanya komunitas ini maka tiap-tiap anggota bisa saling memecahkan masalah-masalah bersama terkait identitas mereka sebagai penghayat Sapta Darma. Dengan adanya komunitas ini, mereka juga bisa memperjuangkan hak-hak mereka yang tersidiskriminasi lewat instansi-instansi terkait seperti Direktorat Kepercayaan, Departemen Dalam Negeri, maupun Pemda DKI. Beberapa masalah yang mereka perjuangkan seperti masalah

pengisian kolom agama di KTP , dan yang saat ini sedang mereka perjuangkan adalah mengenai hak atas pendidikan bagi anak-anak penghayat.

Pada tahap ketiga, yaitu Project Identity. Yaitu yang terbentuk ketika aktor sosial, dengan dasar materi yang sudah ada dalam diri mereka, membangun identitas baru yang mendefinisikan ulang posisi mereka dalam masyarakat. Dalam kaitannya dengan konstruksi identitas kelompok Sapta Darma, pada tahap ini mereka sudah mulai mensosialisasikan kembali identitas mereka di masyarakat. Membangun kembali konsep sebagai kelompok penghayat kepercayaan yang merupakan sebuah kearifan budaya lokal yang terlepas dari agama-agama formal yang ada. Hal ini dilakukan untuk mengubah stigma dan labeling masyarakat yang terkadang masih melihat keterkaitan antara kepercayaan dengan agama-agama formal di masyarakat, sehingga seringkali mereka dianggap sesat karena ritualnya berbeda dengan agama-agama yang dikenal masyarakat saat ini. Berikut ini pernyataan dari informan ES:

“Nah kalau kami ditanya bukan agama, ya iya, tidak punya kitab suci, lha iya, so what? Stop, can not be compared, sampe disitu. Walaupun kami sendiri secara spiritual menganggap ini agama. Karena masyarakat kita memintanya hitam putih kan, ketika ditanya you apa? Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa titik, stop. We are different, yes. Kalau mau tau ajarannya ya silahkan. Kita juga tidak melarang. Kadang kita juga butuh suatu ketegasan bahwa iya kita begini, karena ya memang tuntutan mereka. Lalu yang kedua, kita kalau memperkenalkan itu kita itu bukan agama, jadi kalau ditanya ini agama apa, ya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kita ngikui rules dari negara yaa.” (Wawancara Informan ES, 20 Maret 2011)

Dalam pernyataannya, informan ES menyatakan bahwa kadang masyarakat kita ini selalu menginginkannya hitam-putih, sehingga menurut informan ES penting baginya untuk mensosialisasikan dalam rangka mendefinisikan ulang konsep di masyarakat tentang penghayat kepercayaan. Sebuah ketegasan untuk mengakui bahwa komunitas ini merupakan komunitas penghayat kepercayaan yang berbeda dengan agama adalah salah satu cara dalam mengkonstruksi ulang identitas masyarakat.

Adanya stigma dan labeling juga terjadi di Komunitas SCB Jakarta Selatan. Masih adanya pandangan miring mengenai keberadaan mereka sebagai sebuah komunitas oleh beberapa kalangan masyarakat yang fanatis pernah terjadi pada tahun 1980an di wilayah RW 04 Kelurahan Gandaria Utara, tempat

komunitas ini berada. Namun hal tersebut tidak lantas memicu konflik terbuka karena Komunitas SCB Jakarta Selatan dan individu-individu di dalamnya aktif dan memiliki peran yang cukup besar dalam kegiatan masyarakat setempat.

Dalam proses konstruksi ulang di masyarakat, komunitas SCB Jakarta Selatan sangat terbuka dengan masyarakat yang ingin mengetahui lebih jauh tentang ajaran ini. Melalui sifat keterbukaan dan tidak eksklusif, diharapkan masyarakat sekitar bisa mengetahui bahwa mereka itu adalah kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki otentisitas ajaran dan bukan merupakan kelompok pecahan dari agama besar manapun yang ada. Dengan demikian dapat dibangun komunikasi yang lebih baik sehingga hubungan yang baik dengan komunitas masyarakat sekitar terjaga dengan baik. Dengan dibangunnya pengertian dan keterbukaan antara komunitas Sapta Darma SCB Jakarta Selatan dengan komunitas masyarakat sekitar, diharapkan dapat mengikis stigma dan labeling terhadap diri mereka yang selama ini masih melekat.

V.4 Keterkaitan Antara Eksklusi Sosial dengan Konstruksi Identitas

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 157-161)