• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. METODE PENELITIAN

III.5. Informan

Proses penentuan informan merupakan salah satu hal penting dalam sebuah penelitian. Dengan penentuan informan yang tepat, maka akan didapat data dan informasi yang mendalam dan akurat. Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai 9 orang informan. Informan-informan dalam penelitian ini terdiri dari orang-orang yang terkait langsung dan merupakan anggota dari Komunitas SCB Jakarta Selatan. Penulis anggap mengerti, memahami dan juga memiliki pengalaman seputar masalah konstruksi identitas sebagai penghayat kepercayaan dan eksklusi hak-hak sipil penghayat Kerokhanian Sapta Darma, dalam kategori ini diambil empat orang informan. Sementara itu untuk mendapatkan gambaran mengenai sejarah dan aktifitas SCB Jakarta Selatan, dalam proses penelitian ini juga mewawancarai dua orang informan yang merupakan pengurus SCB Jakarta Selatan. Rekomendasi dan kontak informan-informan yang berasal dari Komunitas SCB Jakarta Selatan didapat melalui seorang gatekeeper yaitu informan BI. Ia merupakan Tuntunan Provinsi DKI Jakarta, yang merekomendasikan ke beberapa orang informan lainnya seperti informan SK, yang juga merupakan Tuntunan Provinsi DKI, lalu informan GP, dan informan ES. Informan BI diwawancarai sebanyak dua kali dalam kapasitasnya sebagai anggota Komunitas SCB Jakarta Selatan dan sebagai pengurus SCB Jakarta Selatan.

Selain itu, informan juga diambil dari pengurus Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta, yang merupakan sanggar Sapta Darma Pusat, yang terdiri dari satu orang Staf Tuntunan Agung dan satu orang Pengurus Persada (Persatuan Warga Sapta Darma) Pusat. Beberapa orang yang diwawancarai seperti informan RW yang merupakan Pengurus Remaja Pusat Persatuan Warga Sapta Darma (Persada), dan informan TD yang merupakan Staf Tuntunan Agung Sapta Darma. Dari kedua informan ini penulis mendapatkan gambaran mengenai gambaran Sapta Darma secara umum, baik mengenai sejarah kemunculannya dan juga ajaran-ajarannya, dan masalah-masalah yang masih dihadapi. Melalui kontak dengan Sanggar Sapta Rengga Yogyakarta, penulis juga mendapatkan data

sekunder lewat buku Kerokhanian Sapta Darma yang di dalamnya menjelaskan dari mulai asal usul sejarah turunnya wahyu hingga ajaran-ajaran Sapta Darma.

Yang terakhir adalah dari unsur warga masyarakat sekitar yang diambil sebanyak dua orang informan. Dua orang informan penulis ambil untuk mewakili unsure warga masyarakat yang terdiri dari satu orang pengurus RW 04 dan satu orang tokoh masyarakat setempat. Informan MR merupakan Ketua RW 04 dan informan SG merupakan salah seorang tokoh yang dituakan di Komplek Yado. Proses wawancara terhadap warga masyarakat sekitar dilakukan untuk menggali gambaran mengenai konteks hubungan komunitas SCB Jakarta Selatan dengan warga masyarakat RW 04 yang merupakan komunitas masyarakat yang hidup berdampingan dengan keberadaan SCB Jakarta Selatan

Tabel III.1

Kategori Informan Penelitian

Informan Unsur Jenis Data Yang

Dibutuhkan RW, TD Pengurus Organisasi

Pusat Sanggar Candi Sapta Rengga,

Yogyakarta (Sanggar Pusat Nasional)

Gambaran umum sejarah dan ajaran Sapta Darma,

keorganisasian Sapta Darma Secara Nasional, dinamika penghayat dan masalah-masalah umum yang masih terjadi. BI, ES, GP, SK Penghayat Sanggar Candi

Busana Jakarta Selatan

Gambaran masalah mengenai pemenuhan hak-hak sipil (KTP, Perkawinan, Pemakaman, Sumpah PNS, Pendidikan, Pendirian Sanggar dan

Berkumpul), gambaran masalah yang dihadapi seputar konstruksi identitas penghayat.

BI, KS Pengurus Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan.

Gambaran sejarah masuknya ajaran Sapta Darma di Jakarta, sejarah pendirian Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan, gambaran umum keorganisasian dan kegiatan penghayat di Sanggar

Informan Unsur Jenis Data Yang Dibutuhkan Candi Busana Jakarta Selatan.

MR, SG Pengurus RW 04

Kelurahan Gandaria Utara dan Masyarakat di Lingkungan RW 04.

Gambaran mengenai konteks hubungan komunitas SCB Jakarta Selatan dengan warga masyarakat RW 04 yang merupakan

komunitas masyarakat yang hidup berdampingan dengan keberadaan SCB Jakarta Selatan

Sumber: Diolah oleh penulis

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik wawancara mendalam dan juga observasi untuk mendapatkan informasi terkait dengan eksklusi hak-hak sipil dan konstruksi identitas penghayat kepercayaan. Adapun karakteristik masing-masing informan adalah sebagai berikut:

III.5.1 Informan BI

BI seorang bapak berusia 51 tahun, berstatus menikah memiliki dua orang anak. Anak pertama beliau kuliah di salah satu kampus swasta di bilangan Sudirman sementara anak kedua beliau masih duduk di kelas dua SMA. BI merupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada sekitarawal 1980an. Dengan latar belakangnya itu ia pernah bekerja di bagian legal beberapa Bank swasta sampai akhirnya ia mengundurkan diri dan membentuk law firm dan konsultan hukum terutama untuk masalah-masalah yang sifatnya non-litigasi. Informan BI juga aktif dalam keorganisasian Sapta Darma, ia merupakan Tuntunan Agung tingkat Jakarta. Oleh karena itu informan BI sangat paham mengenai permasalahan hukum terkait hak-hak sipil penghayat dan dalam kapasitasnya sebagai Tuntunan Provinsi, pengetahuan beliau mengenai masalah kerohanian dapat dijadikan acuan dan hubungan-hubungan beliau dengan penghayat dapat memberikan gambaran mengenai masalah-masalah yang dialami penghayat di tingkat bawah.

Latar belakang Informan menjadi penghayat kepercayaan tidak lepas dari latar belakang keluarga informan yaitu bapak dan ibu informan merupakan penghayat Sapta Darma. Ayahanda informan, Bapak Soedono, merupakan salah

satu orang kepercayaan Bapa Panunutun Sri Gutama, beliau merupakan sesulih

atau perwakilan organisasi Sapta Darma. Sementara itu ibunda informan, Ibu Kartini Soedono, saat ini menjadi staf Tuntunan Agung yang bergerak di bidang kewanitaan. Walaupun informan BI merupakan salah satu Tuntunan Provinsi, namun beliau membebaskan anaknya dalam hal keyakinan keagamaan. Hal ini bisa dilihat karena dalam keluarganya, anak dan istrinya memeluk agama Islam. Iklim politis di Indonesia yang masih belum sehat membuat informan membebaskan anak-anaknya dalam memeluk agama, ia juga memikirkan perkembangan kejiwaan anak-anaknya. Sebelum UU Adminduk keluar, beliau masih mencatumkan salah satu agama resmi di KTP beliau, namun semenjak UU Adminduk itu keluar beliau segera menggantinya, walaupun tidak diikuti oleh istri dan anak-anaknya.

Mengenai identitas informan sebagai penghayat, informan menceritakan bahwa memang masih terjadi diskrminasi identitas. Bahkan hal tersebut dialaminya di level institusi keluarga, terutama di keluarga mertuanya, hal ini yang kemdian juga secara tidak langsung berimbas ke anak-anak informan. Memang diakui informan masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Menurut informan, adanya Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, menurut informan sangat penting membangun komunikasi dan approach ke masyarakat juga menjaga hubungan baik, juga tidak bersifat mentang-mentang ke sekitarnya adalah kunci menjaga hubungan dengan masyarakat sekitar. Ia mencontohkan seperti pada event Suroan

kemarin yang diadakan di SCB Ganefo, semangat berbagi dengan masyarakat sekitar Sanggar adalah salah satu cara untuk dekat dengan komunitas masyarakat sekitar.

III.5. 2 Informan ES

Informan ES berusia 41 Tahun merupakan salah satu penghayat Sapta Darma di Komunitas Sanggar Candi Busana Jakarta Selatan. Informan ES memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Mekanisasi Pertanian di Intitut Pertanian Bogor angkatan 1987. Informan sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang putra. Informan bekerja di salah satu perusahaan swasta yang bergerak di bidang sertifikasi ISO 9000. Informan ES merupakan salah satu generasi muda penghayat Sapta Darma yang cukup aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam komunitas dan hubungan-hubungan dengan dengan Tuntunan Provinsi DKI Jakarta maupun Tuntunan Agung di Yogyakarta. Informan direkomendasikan oleh salah seorang staf pengajar dosen Sosiologi Pedesaan, yaitu Bapak Daddy Heryono Gunawan. Dari informan juga didapatkan informasi-informasi yang berharga seputar masalah-masalah yang dialami oleh para penghayat terutama dalam masalah identitas penghayat dalam masyarakat.

Informan berasal dari keluarga abangan Jawa, menjadi penghayat di usia 16 tahun. Informan sempat juga mengikuti pendidikan Islam di Madrasah saat informan kecil. Identitas istri informan juga merupakan penghayat kepercayaan. Informan juga memperkenalkan ajaran ini juga ke anak-anaknya. Namun karena anak tertuanya bersekolah di sekolah negeri, supaya tidak bermasalah di sekolah, informan mengikutkan identitas Kartu Keluarga anak-anaknya ke salah satu agama formal. Menurut informan faktor lambannya regenerasi penghayat menurut informan diakibatkan oleh faktor pendidikan anak yang semakin tidak memberikannya waktu untuk melakukan aktifitas lainnya disamping juga faktor gesekan identitas anak di pergaulannya, apalagi si anak tidak mendapat support

yang cukup dari orangtuanya.

Informan ES tidak menutup-nutupi identitasnya sebagai penghayat kepercayaan kepada lingkungan sekitarnya. Yang penting bagi informan, ia dapat menempatkan diri ke sekitarnya. Sebagai seorang penghayat kepercayaan, informan juga membuka pintu jika ada yang ingin bertanya mengenai identitasnya. Pendidikan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal informan yang memang masih kurang juga dikeluhkan informan, walaupun secara umum

baik, tapi mereka masih dinilai belum siap dalam menghadapi perbedaan. Mengenai identitas penghayat Sapta Darma di masyarakat, informan mengatakan bahwa pada level penghayat menengah kebawah masih adanya labeling orang

kejawen. Karena masih banyak orang yang belum tahu mengenai kepercayaan Sapta Darma. Informan juga sangat terbuka dalam membagi cerita pribadi mengenai identitasnya sebagai seorang penghayat kepercayaan. Terutama mengenai pengalamannya mendapatkan teror dari teman-temannya karena kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh lingkungan pergaulan informan. Hal ini terjadi semasa informan dahulu menjalankan masa perkuliahannya di Institut Pertanian Bogor (IPB).

III.5. 3 Informan GP

Informan GP merupakan salah satu informan yang di rekomendasikan dari hasil wawancara sebelumnya dengan informan BI. Informan GP berusia 56 tahun, Informan GP memiliki seorang istri dan tiga orang putra dan putri. Istrinya bekerja sebagai guru BK (Bimbingan dan Konseling) di SMA Negeri 90 Jakarta. Sementara itu putra-putrinya sudah ada yang menamatkan jenjang perkuliahan, putri keduanya masih menempuh jenjang perkuliahan di Universitas Padjajaran Bandung, sementara putra terakhirnya masih duduk di bangku kelas II SMA Negeri 112. Informan GP merupakan salah seorang pegawai Departemen Keuangan. Ia ditempatkan pada bagian Sekertariat Pengadilan Pajak setelah sebelumnya di Biro Hukum. Pada bulan Maret ini ia akan segera pensiun dari jabatannya tersebut. Informan GP menrupakan alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 1976.

Ayahanda dan ibunda informan merupakan tuntunan Sapta Darma di Surabaya. Informan sejak kecil diperkenalkan ajaran Sapta Darma, namun informan mulai aktif menjadi penghayat semenjak SMA. Informan tidak menutupi identitasnya, malah ia terbuka bagi yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma. Salah satu pengamalan Wewarah tujuh nomor enam, bebrayan atau bergaul ke sesamanya, saling kasih sayang di lingkungan. Di dalam keluarganya,

hanya informan yang menjadi penghayat dan mencatatkannya di KTP dan juga KK. Anggota keluarga informan yang lain beragama Islam. Bahkan istri dan anak perempuan pertamanya sudah melaksanakan ibadah Haji. Informan GP aktif di keorganisasian Sapta Darma semenjak beliau pindah ke Jakarta dan masuk bangku perkuliahan pada tahun 1975. Semenjak itu beberapa posisi penting keorganisasian Sapta Darma seperti Ketua Remaja Nasional hingga perwakilan Sapta Darma Pusat di Jakarta pernah dipercayakan kepada informan.

Menurut informan ada beberapa faktor yang menyebabkan minimnya aktifitas penghayat saat ini. Masalah regenerasi secara biologis menurut informan masih berjalan. Namun sulitnya berkumpul dan berinteraksi karena kesibukan dianggap menjadi penghalang. Juga keengganan generasi muda untuk menjalankan ritual dan sedikitnya orang yang mau turun hingga ke tingkat penghayat menjadi masalah tersendiri dalam regenerasi. Karena sifat dari ajaran ini lebih banyak “diam” atau lebih defensif mengenai tata cara penghayatannya dan penyebarannya, sehingga dapat menghindari benturan-benturan yang tidak perlu. Informan sendiri pernah terlibat ketegangan dengan pihak keluarga terkait dengan identitas informan sebagai penghayat. Pada saat prosesi pemakaman ayahanda dari informan GP, beberapa orang dari pihak keluarga merasa keberatan jika prosesi pemakaman menggunakan tata cara kepercayaan, padahal informan sudah merelakan prosesinya menggunakan tata cara yang umum. Selebihnya, tidak pernah ada masalah mengenai identitas informan, malah informan sering berdiskusi dengan teman-temannya di kantor yang ingin mengetahui tentang ajaran Sapta Darma.

III.5. 4 Informan SK

Informan SK merupakan salah satu tuntunan provinsi DKI. Informan SK juga dinilai oleh informan GP juga lebih sering turun di tingkat warga jadi beliau cukup bisa menggambarkan dinamika yang terjadi di warga Sapta Darma khususnya di Jakarta. Informan SK berusia 58 tahun adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil Pemda DKI Jakarta yang ditempatkan di Dinas Olahraga. Beliau

pensiun pada tahun 2006 lalu dan sampai saat ini masih aktif berolahraga tenis dua kali tiap minggunya di Gelanggang Olahraga Ragunan. Beliau pensiun dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Gelanggang Olah Raga Ragunan. Beliau merupakan lulusan Sekolah Tinggi Olahraga (STO) di Solo yang lulus pada tahun 1978.

Dari beberapa informan yang penulis wawancarai, hanya informan SK yang menikah dengan tata cara penghayat. Pernikahannya sendiri dilakukan pada 1980 di Purwokerto. Baik informan maupun istri merupakan penghayat. Beliau lahir di keluarga abangan yang cukup bebas dalam menentukan keyakinan, hal ini dapat dilihat dari saudara saudari informan yang berbeda keyakinan. Menurutnya hal ini dikarenakan kultur di Solo yang tidak terlalu ekstrim dalam masalah keyakinan, membuat terjadinya bermacam keyakinan dalam satu keluarga dimungkinkan terjadi.

Sebagai salah seorang Tuntunan Provinsi DKI Jakarta, informan menuturkan bahwa belakangan ini terjadi penurunan aktifitas penghayat yang diakibatkan oleh dua faktor, yaitu perpindahan penghayat dan juga kondisi kesibukan dan kemacetan Jakarta yang makin parah. Regenerasi penghayat ke generasi yang lebih muda masih terjadi. Penggunaan teknologi informasi seperti jejaring sosial membantu banyaknya masuk penghayat-penghayat baru. Namun unuk generasi yang lebih tua, fenomena ini sudah sulit untuk diikuti.

Dalam hal identitas, informan SK tidak pernah menutup-nutupi identitasnya sebagai penghayat kepercayaan. Walaupun sewaktu informan bekerja sebagai PNS di Pemda DKI Jakarta, KTP informan masih diisi oleh salah satu agama resmi. Informan menceritakan bahwa seringkali ia mendapat ledekan-ledekan dari teman sekantornya yang kadang mengganggunya, tapi informan tidak pernah ambil pusing. Informan juga sering dihadapkan banyak pertanyaan-pertanyaan awam mengenai identitasnya. Pilihan informan sebagai penghayat Sapta Darma sempat dianggap aneh oleh keluarganya dan menjadi pembicaraan. Hal ini terjadi karena informan adalah anak pertama yang seharusnya memberi panutan kepada adik-adiknya. Dari pengalamannya tersebut informan sebagai tuntunan provinsi selalu mensosialisasikan warganya agar tidak eksklusif dan

selalu aktif mengikuti kegiatan di lingkungannya. Informan juga mengatakan bahwa banyak warga Sapta Darma yang mengabdi di lingkungannya lewat kelebihannya dalam pangusadan atau pengobatan lewat jalan Sapta Darma dimana mereka memberikan pengobatan secara gratis ke lingkungan sekitarnya.

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 62-70)