• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskriminasi Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 149-153)

V. EKSKLUSI HAK-HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI IDENTITAS

V.2. Dimensi Politik Sebagai Dimensi Eksklusi Sosial Terhadap Penghayat

V.2.3. Diskriminasi Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi

Kelompok penghayat Sapta Darma sebagai sebuah kelompok minoritas yang identitas relijiusnya belum diakui secara resmi oleh negara dalam perkembangannya mengalami berbagai macam kendala dalam pemenuhan hak-haknya sebagai warga negara. Bukan hanya dalam pemenuhan hak-hak-haknya, juga dalam kehidupan bermasyarakat identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan juga masih dianggap sesuatu yang aneh dan diluar kewajaran. Sehingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan dari segala hambatan-hambatan yang mereka terima, mereka masih dianggap sebagai warga negara kelas dua. Sebagai sebuah kelompok yang memiliki ciri dan karakteristik yang berbeda, secara tidak langsung ada proses peminggiran dari masyarakat dan juga mereka hidup dengan hambatan-hambatan terhadap kehidupan normal pada umumnya.

Hambatan-hambatan yang dialami kelompok penghayat Sapta Darma pada umumnya masih berkisar pada dua hal utama. Pertama, dengan status identitas relijiusnya yang masih belum diakui oleh negara, hal berdampak pada hak-hak sipil mereka sebagai warga Negara. Pemenuhan hak-hak sipil masih terkendala aturan-aturan yang diskriminatif terhadap identitas mereka. Pelayanan birokrasi pun juga masih terpengaruh isu-isu identitas yang membuat pelayanan kepada kelompok penghayat Sapta Darma terkadang juga masih mengalami diskriminasi dari oknum-oknum tertentu. Dalam menjelaskan fenomena ini, dapat dikatakan bahwa penghayat Sapta Darma masih mengalami bentuk diskriminasi secara struktural dimana terjadinya praktik-praktik institusional yang terakumulasi yang mengahasilkan kerugian kepada kelompok minoritas.

Praktik Undang-Undang yang mendiskriminasi penghayat kepercayaan dapat kita lihat dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam Undang-Undang ini, kepentingan pendidikan agama bagi anak-anak penghayat kepercayaan tidak bisa terpenuhi karena UU Sisdiknas hanya mengatur hak pendidikan bagi pemeluk-pemeluk agama yang diakui oleh Negara. Seperti yang dikemukakan oleh informan ES, bahwa kebanyakan penghayat Sapta Darma di Jakarta akhirnya harus memilih salah satu pelajaran agama yang tersedia di sekolah. Informan ES mengatakan bahwa kedua anaknya masih ikut agama formal dengan alasan kepraktisan. Sementara itu menurut informan SK masalah pendidikan merupakan salah satu masalah yang masih mengganjal, hal ini menurutnya juga masih diperjuangkan. Kebanyakan anak-anak penghayat kepercayaan di Jakarta masih mengikuti agama resmi yang diminati.

Proses diskriminasi tidak hanya terjadi lewat praktik-praktik institusional yang terakumulasi yang mengahasilkan kerugian kepada kelompok minoritas rasial, namun di tingkat lingkungan masyarakat, praktik diskriminasi terjadi akibat adanya sebuah pemikiran yang didasarkan atas sikap dan kepercayaan yang mendasari individu A memberikan sebuah label dan stereotip kepada individu B, atau melakukan bentuk-bentuk tertentu yang secara jelas mendiskriminasi individu. Dalam proses ini, pengahayat Sapta Darma masih mengalami bentuk

diskriminasi individual dalam kaitannya dengan hubungan dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.

Secara kelas sosial kebanyakan warga penghayat Sapta Darma di Jakarta adalah warga kelas menengah kebawah. Mereka banyak berkerja pada sektor non-formal dan berpendidikan rendah. Secara statistik informan ES mengungkapkan bahwa sebanyak 75% warga Sapta Darma di DKI Jakarta masuk dalam kategori sosial tersebut. Dengan level ekonomi dan pendidikan yang rendah, menurut informan ES Di level penghayat menengah kebawah masih adanya labeling orang kejawen terhadap identitas relijiusnya. Karena masih banyak orang yang belum tahu mengenai kepercayaan Sapta Darma. Lebih lanjut hal ini dijelaskan oleh informan BI yang mengakui bahwa masih ada pandangan aneh terhadap komunitas penghayat, terutama yang datang dari orang-orang yang fanatis. Stigma dan labeling terhadap identitas Sapta Darma diakibatkan oleh kurangnya level edukasi masyarakat dan ketakutan secara politis dari kaum mayoritas. Dengan pengalaman tersebut informan BI membebaskan anak-anaknya dalam memeluk agama, Ia juga memikirkan perkembangan kejiwaan anak-anaknya. Informan BI berpandangan bahwa Iklim politis di Indonesia dinilainya masih belum sehat.

Sementara itu pengalaman mengenai labeling dan stereotyping terhadap identitas penghayat juga dirasakan melalui pengalaman-pengalaman pribadi informan. Seperti yang dialami oleh informan ES sewaktu informan kuliah. Informan pernah mendapatkan teror karena kepercayaannya yang dianggap menyimpang oleh lingkungan pergaulan informan. Sementara itu Informan SK juga mengalami pengalaman serupa. Informan yang bekerja di Dinas Olahraga Pemda DKI Jakarta sering menerima ejekan dan celaan dari teman sekantornya yang terkadang mengganggunya, tapi informan tidak pernah ambil pusing. Informan juga sering dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan awam mengenai identitasnya. Selain itu, informan SK juga memiliki pengalaman terkait dengan identitasnya sebagai penghayat kepercayaan di keluarganya. Pilihan informan sebagai penghayat Sapta Darma sempat mendapat sedikit pertentangan dan menjadi bahan pembicaraan keluarganya. Hal ini terjadi karena pilihan informan SK menjadi penghayat Sapta Darma dianggap aneh oleh keluarganya dan menjadi

bahan perbincangan. Hal ini juga terjadi karena informan adalah anak pertama yang seharusnya memberi panutan kepada adik-adiknya. Jadi pada kesimpulannya bahwa diskriminasi di masyarakat masih terjadi lewat labeling dan stereotype bagi pengahayat kepercayaan Sapta Darma komunitas SCB Jakarta Selatan.

Sementara itu di tingkat komunitas, diskriminasi juga pernah dirasakan oleh Komunitas SCB Jakarta Selatan terkait dengan hubungannya dengan warga masyarakat sekitar. Masih melekatnya pandangan miring terhadap komunitas ini memang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindarkan, apalagi bagi sebagian kalangan masyarakat yang fanatis terhadap ajaran agama tertentu. Pengalaman tersebut sempat diceritakan oleh informan MR yang merupakan Ketua RW 04, yang wilayahnya merupakan tempat Komunitas SCB Jakarta Selatan berada. Berikut ini pernyataan informan MR:

“Kalo masalah tentang kepercayaannya komunitas itu, dulu memang pernah ada warga yang memang karena kefanatikan dari pandangan mereka terhadap agama masing-masing, dulu sih itu pada tahun 1980an sekarang kan yang begitu kan warganya udah pada meninggal. Kalo itu ya waktu masih ada warga-warga yang fanatis aja gitu.. karena mereka fanatik jadi ya ada pertanyaan-pertanyaan juga. Kata mereka ya itu termasuk kategori apa itu, apa temasuk kafir atau apa itu, ya ada pandangan-pandangan gitu sih.” (Informan MR, Sabtu 7 Mei 2011)

Menurut informan MR, keberadaan Komunitas SCB Jakarta Selatan masih mengundang pandangan negatif warga masyarakat sekitar, terutama di RW 04. Peristwa ini terjadi pada tahun 1980an, ketika beberapa warga yag fanatis sempat mempertanyakan dan me-labeling komunitas ini, yang dalam pandangan mereka, sebagai kafir dan golongan yang menyimpang. Namun saat ini ketika warga-warga fanatis tersebut telah meninggal dunia, diakui oleh informan MR bahwa saat ini sudah berbeda dengan era 1980an. Pada saat ini masyarakat wilayah RW 04 yang umumnya dihuni oleh kalangan menengah keatas sudah tidak terlalu memperdulikan lagi masalah tersebut. Menurut informan MR, faktor ini disebabkan karena memang karakteristik lingkungannya yang memang individualistis dan tingkat pemahaman agama warga yang tidak begitu mendalam. sehingga kecenderungan warga di wilayahnya mengarah ke moderat dan lebih toleransi terhadap keberadaan Komunitas SCB Jakarta Selatan

Jadi dapat disimpulkan bahwa proses diskriminasi yang terjadi pada penghayat Komunitas SCB Jakarta Selatan terjadi melalui dua bentuk. Bentuk yang pertama mengarah pada Diskriminasi Struktural dimana individu terdiskriminasi lewat praktek-praktek institusional, seperti contohnya pelaksanaan Undang-Undang yang diskriminatif terhadap kelompok penghayat dan praktik oknum-oknum birokrasi yang mempersulit pemenuhan hak-hak penghayat kepercayaan. Sementara itu bentuk yang kedua mengarah pada Diskriminasi Individual dimana individu mengalami diskriminasi akibat proses labeling dan

stereotyping terhadap identitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Contoh kasusnya seperti masih terjadinya labeling dan stereotyping terhadap identitas mereka baik secara individu ke individu ataupun komunitas dengan warga masyarakat sekitar.

V.3 Konstruksi Identitas Penghayat Sapta Darma Komunitas Sanggar Candi

Dalam dokumen EKSKLUSI HAK HAK SIPIL DAN KONSTRUKSI ID (Halaman 149-153)