• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diskusi dan implikasi pengelolaan

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 110-115)

Penebangan, penyaradan dan kerusakan tegakan tinggal

Jika dibandingkan dengan praktek penebangan konvensional, teknik RIL dapat mengurangi kerusakan jumlah pohon sampai sebesar 40%. Bagaimanapun juga, proporsi kerusakan pohon dengan menggunakan kedua teknik tersebut sama, terutama pada areal yang ditebang dengan intensitas tinggi, yang menunjukkan bahwa RIL hanya efektif digunakan untuk intensitas penebangan rendah hingga sedang. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Sist dan The (2002) di Berau, juga di Kalimantan Timur. Dalam studi ini juga ditunjukkan bahwa kerusakan yang disebakan oleh penebangan berbeda ketimbang kerusakan akibat penyaradan. Penebangan lebih banyak melukai pohon dengan diameter antara 30–50 cm (dbh) sementara penyaradan menyebabkan kematian besar-besaran pada tegakan pohon berukuran kecil, yaitu 10–20 cm dbh. Manfaat utama RIL adalah untuk mengurangi kerusakan akibat penyaradan hingga 25% dari tegakan semula di CL hingga mencapai hanya 9,5%. Operasi penyaradan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada tegakan tinggal, rendahnya proporsi pohon yang mati atau rusak akibat penerapan teknik RIL tampaknya akibat teknik penyaradan yang semakin baik.

Penentuan arah rebah yang dilakukan secara hati-hati juga berpengaruh terhadap praktek pengelolaan lestari, yang paling jelas adalah kecepatan pohon yang ditebang untuk kembali pulih semakin baik dan akses untuk kembali ke tempat ini tidaklah sulit. Penentuan arah rebah juga bertujuan untuk melengkapi kegiatan penyaradan dengan cara meletakkan batang pohon pada posisi yang memudahkan penyaradan dan membatasi kerusakan akibat penyaradan pada tegakan tinggal. Perlu untuk dicatat bahwa dalam operasi RIL, kerusakan akibat penyaradan berhubungan dengan intensitas penebangan, sedangkan pada penebangan konvensional hal ini tidak terjadi. Jelas bahwa studi ini menunjukkan kerusakan yang sebagian besar terjadi saat operasi penebangan dapat dikurangi melalui penerapan metode pemanenan kayu yang lebih baik.

Kerusakan akibat penebangan juga dapat dikurangi dengan cara mengatur pemotongan tumbuhan pelilit atau perambat sebelum penebangan dilakukan. Kegiatan ini biasanya dilakukan sebagai perlakuan silvikultur setelah pemanenan yang bertujuan untuk membebaskan dan mempercepat pertumbuhan jenis pohon yang diinginkan. Meskipun demikian, studi yang dilakukan oleh Azman dkk (1999) di Pahang (Peninsular Malaysia) menunjukkan bahwa sekitar 15% dari 3.000 pohon yang diberi tanda untuk ditebang telah dililiti oleh tumbuhan perambat yang dapat menyebabkan kerusakan yang serius pada pohon yang ada di dekatnya. Pemotongan tumbuhan pelilit ini sekitar 10 bulan sebelum penebangan dapat membuat tumbuhan tersebut membusuk dan tidak mengakibatkan kerusakan pada pohon yang ada di dekatnya pada saat operasi penebangan dilaksanakan.

Ketidakpastian lahan (eksternal) Pembalakan liar

Manajemen tidak mendukung Kompleksitas masalah teknis Terlalu mahal

Tidak dipersyaratkan oleh pemerintah

Tuntutan lahan oleh masyarakat (eksternal) Konflik tata guna lahan

Kurang pelatihan Lemahnya kualitas staf Perlu investasi teknologi

Komposisi jenis

Meskipun dari segi struktur hutan, pengukuran yang dilakukan setelah penebangan menunjukkan bahwa tipe kurva terbalik mereleksikan potensi regenerasi hutan yang tinggi, karena masih ada perubahan jenis yang sangat jelas pada vegetasi yang baru tumbuh. Contohnya adalah penebangan konvensional di mana pembukaan tajuk sangat besar, banyak jenis Euphorbiaceae yang tercatat sebagai hasil suksesi vegetasi, yang banyak di antaranya juga merupakan jenis perintis, seperti

Macaranga spp. Meskipun banyak dari Dipterokarpa juga membutuhkan cahaya untuk pertumbuhannya, regenerasinya dipengaruhi oleh meningkatnya kompetisi dengan jenis perintis dan anakan dipterokarpa akan memerlukan waktu lebih lama untuk tumbuh (van Gardingen dkk. 1998). Oleh karena itu jika kekayaan jenis per se tetap tidak terpengaruhi, akan terjadi perubahan yang sangat berbeda ke arah taxa suksesi dini yang tegakan kayunya tidak memiliki nilai komersial. Situasi yang sama juga tercatat di hutan di Afrika Tengah di mana hutan bekas tebangan dapat menciptakan kondisi yang tidak memungkinkan bagi mahoni yang toleran terhadap naungan untuk beregenerasi (Sunderland dan Balinga 2005).

Tanah dan aliran permukaan

Dari sisi tanah dan aliran permukaan, studi yang dilakukan di Malinau menyimpulkan bahwa tidak ada perubahan yang nyata antara operasi penebangan konvensional dan RIL terutama dari sisi aliran permukaan, kecepatan erosi tanah dan kecepatan iniltrasi yang diamati empat tahun setelah kegiatan penebangan dihentikan. Bagaimanapun juga, pencucian potasium dan fosfor lebih besar di blok konvensional karena intersepsi tajuk terhadap hujan yang lebih kecil. Jelas di sini bahwa isu kesuburan tanah menjadi penting dan jika pencucian berkurang di areal RIL, maka dampaknya akan menguntungkan.

Kurangnya adopsi RIL

Kasus yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa hanya sedikit saja perusahaan kayu yang menerapkan RIL di dalam wilayah konsesinya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh sejumlah faktor internal dan eksternal, termasuk lemahnya kebijakan pemerintah atau bimbingan terhadap RIL, kurangnya kapasitas para pegawainya, permasalahan teknis dan manajerial, serta adanya anggapan bahwa penerapan RIL akan memakan biaya lebih

mahal ketimbang penebangan konvensional (Priyadi dkk. 2006).

Kurangnya kesadaran dan apresiasi tentang manfaat terjadi pada tingkat pengambilan keputusan yang penting dan juga bagi sektor swasta. Tanpa kepemimpinan yang kuat dari kesemuanya yang disebutkan sebelumnya, manajer level menengah dan pekerja lapangan serta supervisor memperoleh sedikit insentif untuk merubah status quo, meskipun ada perkecualian dalam aturan yang ada (Suparma dkk. 2001). Pada kasus Malinau, Sustainable Forest Management (SFM) atau pengelolaan hutan lestari dalam Unit Pengelolaan Hutan milik PT Inhutani II tidak diterapkan mengingat kenyataan bahwa perusahaan ini dipaksa oleh pemerintah untuk melakukan sub-kontrak kegiatan penebangannya kepada pihak ketiga. Dengan sendirinya menjadikan peraturan menjadi sulit.

Implikasi bagi kebijakan

Riset yang dilakukan juga mengungkapkan beberapa kekurangan dalam peraturan yang dibuat untuk TPTI. Seperti contohnya, riap sebesar 1 cm yang menjadi dasar bagi limit penebangan tidaklah dapat dipertanggungjawabkan (perhitungan kami tentang dipterokapa memberikan angka antara 0,35–0,62 cm/tahun). Dengan demikian, tingkat penebangan saat ini terlalu tinggi dan mungkin rotasi 35 tahun juga terlalu pendek untuk dapat menjamin pemulihan tegakan yang memadai setelah penebangan. Peraturan tentang TPTI juga harus melibatkan pedoman khusus untuk mempersiapkan rencana pengelolaan yang mantap dan juga

menyarankan perlunya peta topograi untuk membantu operasi penebangan dan penyaradan sehingga jalur jalan sarad dapat direncanakan dan ditempatkan secara tetap. Peraturan TPTI juga harus merekomendasikan pembersihan tumbuhan perambat atau pelilit sebelum dilakukannya

penebangan, praktek arah rebah yang terencana dan inventarisasi serta pemantauan setelah penebangan yang lebih baik.

Pembalakan liar dan konversi hutan di dataran tinggi menjadi penghambat terbesar untuk menerapkan RIL (Smith dan Applegate 2001). Kurangnya personil yang terlatih dan berpengalaman menjadi persyaratan yang paling penting agar RIL dapat berhasil jika diterapkan dalam skala besar, terutama tersedianya personil penebangan yang ahli atau terpercaya (Dykstra 2001). Sebagian besar negara di Asia dan Pasiik memiliki peraturan yang memadai untuk mengatur pemanenan dan pengelolaan hutan. Apa yang kurang bukanlah hukum dan peraturan, namun lebih disebabkan kurang efektifnya penegakan hukum dan insentif jika pihak yang berkepentingan tidak mematuhi aturan. Namun

demikian, kajian kebijakan harus secepatnya dilaksanakan untuk memodiikasi peraturan TPTI saat ini untuk mereleksikan perlunya tambahan untuk menyediakan kerangka kerja peraturan yang lebih tepat yang diperlukan untuk menerapkan RIL.

Kesimpulan

Penerapan teknik RIL menunjukkan pengurangan dampak yang merugikan terhadap tegakan tinggal dan keanekaragaman hayati secara lebih luas, namun hanya jika intensitas pembalakan berada di tingkat sedang (moderate) dengan maksimum 8 pohon/hektar. Pengurangan intensitas penebangan akan memberikan keuntungan, tidak hanya bagi regenerasi dan pertumbuhan tegakan tinggal, namun juga untuk kelestarian ekologi hutan dalam jangka panjang. Implikasi dari preskripsi silvikultur yang baru, seperti yang dijelaskan sebelumnya, perlu untuk dikembangkan lebih jauh lagi dan diterapkan dalam rangka meningkatkan operasi pemanenan.

Daftar pustaka

Azman, H., Ismail, H. dan Mohd. Ridza, A. 1999 Climber cutting before felling: an evaluation towards implementation. Paper presented to the 36th meeting of MAJURUS, Kuala Terengganu, Terengganu, Malaysia.

Barreto, P., Amaral, P., Vidal, E. dan Uhl, C. 1998 Costs and beneits of forest management for timber production in eastern Amazonia. Forest Ecology and Management. 108:9–26.

Dwiprabowo, H., Grulois, S., Sist, P. dan Kartawinata, K. 2002 Cost-beneit analysis of reduced-impact logging in a lowland dipterocarp forest of Malinau, East Kalimantan. Dalam:

CIFOR. Forest, science and sustainability: the Bulungan Model Forest, 39–55. ITTO project PD 12/97 Rev.1 (F): Technical Report Phase 1, 1997–2001. CIFOR dan ITTO, Bogor, Indonesia. Dykstra, Dennis P. 2001 Reduced impact logging:

concepts and issues. Paper presented at the International Conference on Application of Reduced Impact Logging to Advance Sustainable Forest Management: Constraints, Challenges and Opportunities, 26 February to 1 March 2001, Kuching, Sarawak, Malaysia.

Elias, T. Applegate, G., Kartawinata, K., Machfudh dan Klassen, A. 2001 Pedoman Reduced-Impact Logging di Indonesia. CIFOR, Bogor, Indonesia. Holmes, T.P., Blate, G.M., Sweede, J.C., Pereira,

Financial costs and beneits of reduced impact logging relative to conventional logging in the Eastern Amazon. Tropical Forest Foundation and the USDA Forest Service.

Hout, van der, P. 1999 Reduced-impact logging in the tropical rain forest of Guyana. Tropenbos- Guyana Series 6. 335.

Jennings, S.B., Brown, N.D. dan Sheil, D. 1999 Assessing forest canopies and understorey illumination: canopy closure, canopy cover and other measures. Forestry. 72:59– 73.

Kartawinata, K., Priyadi, H., Sheil, D., Riswan, S., Sist P. dan Machfudh. 2006 A ield guide to the permanent sample petaks in the reduced-impact blocks 27 at CIFOR Malinau research forest East Kalimantan. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Natural Resource Management Project (NRM) 1994 Avoidable logging waste. USAID Report No. 37. Jakarta, Indonesia.

Priyadi, H., Gunarso, P., Sist, P. dan Dwiprabowo, H. 2006 Reduced-impact logging (RIL) Research and Development in Malinau Research Forest, East Kalimantan: A challenge of RIL adoption. Dalam: Tantra, M.G., T. Elias.,Supriyanto (eds.) Proceedings ITTO-MoF Regional Workshop: RIL Implementation in Indonesia with reference to Asia-Paciic Region: Review and Experiences, 147–167. ITTO and MoF Indonesia.

Priyadi, H., Kartawinata, K., Sist, P. dan Sheil, D. 2002 Monitoring Permanent Sample Petaks (PSPs) after conventional and Reduced Impact Logging in the Bulungan Research Forest, East Kalimantan, Indonesia.Dalam: Shaharuddin bin Mohammad Ismail, Thai See Kiam, Yap Yee Hwai, Othman bin Deris and Svend Korsgaard (eds). Proceedings of The Malaysia-ITTO International workshop on growth and yield of managed tropical forest, 226–235. 25–29 June 2002, Pan Paciic Hotel, Kuala Lumpur, Malaysia. Forestry Department Peninsular Malaysia.

Putz, F. 1994 Approaches to sustainable forest management. Working Paper No. 4. CIFOR, Bogor, Indonesia.

Sist, Plinio., Sheil, D., Kartawinata, K. dan Priyadi, H. 2003 Reduced Impact Logging in Indonesian Borneo: some results conirming the needs for new silvicultural precriptions. Forest Ecology and Management 179:415–27.

Sist, P. and Nguyen-Thé, N., 2002 Logging damage and the subsequent dynamics of a dipterocarp forest in East Kalimantan (1990–1996). Forest Ecology Management 165:85–103.

Sist, P. Dykstra, D. dan Fimbel, R. 1998 Reduced- Impact logging guidelines for lowland and hill dipterocarp forests in Indonesia. Occasional Paper No. 15. CIFOR, Bogor, Indonesia. Smith, J. dan Applegate, G. 2001 Could trade in

forest carbon contribute to improved tropical forest management? Paper presented at the International Conference on Application of Reduced Impact Logging to Advance Sustainable Forest Management: Constraints, Challenges and Opportunities, 26 February to 1 March 2001, Kuching, Sarawak, Malaysia.

Sunderland, T.C.H. dan Balinga, M.P.B. 2005 Evaluation preliminaire de la vegetation du parc national de Nouabale-Ndoki et de sa zone tampon, Congo. Une rapport pour le “Central African Regional Program for the Environment” (CARPE). http://carpe.umd.edu/resources/ Documents/rpt_smithsonian_ndoki_june05_ french.pdf/view

Suparma, Nana, Harimawan dan Hardiansyah, Gusti. 2001 Implementing reduced impact logging in the Alas Kusuma Group. Paper presented at the International Conference on Application of Reduced Impact Logging to Advance Sustainable Forest Management: Constraints, Challenges and Opportunities, 26 February to 1 March 2001, Kuching, Sarawak, Malaysia.

Van Gardingen, P.R., Clearwater, M.J., Niinluri, T., Effendi, R., Ruswantoro, P.A., Ingleby, K. dan Munro, R.C. 1998 The impacts of logging on the regeneration of lowland dipterocarp forest in Indonesia. International Forestry Review. 77:71–82.

Kehutanan berbasis masyarakat dan rencana

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 110-115)