• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan perkebunan

Perkembangan ekonom

III. Pembangunan perkebunan

I. No perkebunan II. Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit

III. Pembangunan perkebunan

(a) 0,1 lapangan kerja/ha (b) 0,2 lapangan kerja/ ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha Pertanian 27,7 53,4 91,8 148,6 220,0 106,9 168,6 510,6 1.024,0

Produk hasil hutan 24,4 40,9 21,2 33,5 31,6 67,1 0,0 20,9 15,1

Perusahaan kayu 13,4 16,1 164,9 161,9 162,1 20,0 20,0 20,0 20,0 Perkebunan 0,0 0,0 0,0 299,8 600,1 0,0 0,0 449,4 898,7 Pertambangan 0,2 0,3 0,3 0,3 0,2 0,4 0,5 0,6 0,6 Aparat pemerintah dan pegawai pemerintah 23,5 43,3 65,1 77,3 95,0 67,2 79,3 121,1 179,6 Industri perdagangan dan jasa 16,2 47,3 131,2 248,9 375,0 120,4 248,3 649,0 1.063,5 Retribusi kayu 2,5 3,0 15,4 52,6 52,6 3,7 3,7 3,7 3,7 Total 107,8 204,2 489,8 1.022,8 1.536,7 385,7 520,3 1.775,2 3.205,3

Rata-rata per rumah tangga (dalam juta rupiah)

Pondok untuk kegiatan ekoturisme yang dibangun oleh masyarakat Setulang di Malinau (Foto oleh Bruce Campbell)

kegiatan berbeda secara substansial untuk rumah tangga lokal dan pendatang. Pendatang pada saat ini sebagian besar adalah urban, dengan persentase rumah tangga yang aktif dalam industri perdagangan dan jasa tinggi (Tabel 4). Kesempatan kerja di sektor perkayuan dan perkebunan biasanya datang ke para pendatang yang seringkali mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, masyarakat lokal saat ini diberikan prioritas untuk mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan dan mereka juga mendapatkan biaya kompensasi dari penebangan (Tabel 4).

Masyarakat lokal mempunyai manfaat jangka pendek dari skenario II (2027) dengan pertanian yang lebih komersial, lebih banyak pekerjaan sebagai pegawai pemerintahan dan retribusi kayu. Setelah 40 tahun mereka pergi tanpa ada areal hutan di sekitar desa mereka, penghasilan mereka dari produk hasil hutan (termasuk ikan) menurun dan periode bera dalam perladangan berpindah lebih pendek, sebagai akibatnya menurunkan hasil panen mereka. Pendatang akan mendapatkan sebagian besar dari manfaat jangka pendeknya, mempertahankan sebagian besar pekerjaan di pembukaan hutan IPK. Setelah 40 tahun tingginya tingkat pengangguran di antara para pendatang akan menyebabkan migrasi keluar, meskipun sebagian besar pendatang diharapkan untuk tetap tinggal; yaitu sebagian orang yang akan membeli lahan pertanian dan memulai pertanian untuk pendapatan yang jauh lebih sedikit. Skenario ini diharapkan akan menyebabkan konlik tingkat tinggi. Koczberski

dkk. (2001) dan Casson (2000) melaporkan kasus- kasus kekecewaan masyarakat lokal bahwa pada kenyataannya manfaat dari perkebunan kelapa sawit seringkali diambil oleh orang luar.

Skenario III memperbaiki penghasilan masyarakat lokal dan pendatang. Penghasilan masyarakat lokal meningkat terutama pada tahun ke 2027 ketika retribusi kayu meningkat >20 kali (Tabel 3), kemudian menurun setelahnya pada saat penebangan IPK berakhir. Penghasilan tetap 38– 75% lebih tinggi dibandingkan dengan skenario I pada akhir simulasi, sebagian besar dikarenakan komersialisasi pertanian, meskipun kesempatan kerja di pemerintahan, industri perdagangan dan jasa juga berperan dalam meningkatnya penghasilan. Penghasilan pendatang paling tinggi juga terjadi pada tahun 2027 dikarenakan ketersediaan kesempatan kerja di penebangan IPK. Setelah penurunan tajam kesempatan kerja di IPK, sebagian pendatang akan dapat mengamankan pekerjaan di perkebunan dan sebagian lainnya akan membeli sebidang tanah untuk pertanian. Sementara penghasilan meningkat di bawah skenario

pembangunan kelapa sawit, tapi kesejahteraan secara keseluruhan lebih sulit dinilai. Colchester dkk. (2006) memberikan contoh kenaikan biaya- biaya sosial dan inansial dengan datangnya kelapa sawit. Sebagai contoh, ada biaya sosial untuk memecahkan konlik terhadap lahan dan pembagian keuntungan terkait dengan perkebunan kelapa sawit. Kualitas udara menurun dan ada peningkatan kekhawatiran terhadap penyalahgunaan alkohol

ya hutan di er

a desentr

alisasi

Tabel 4. Rata-rata penghasilan tunai tahunan (juta rupiah) untuk (a) rumah tangga lokal dan (b) rumah tangga pendatang; dan persentase kontribusi dari setiap kegiatan terhadap penghasilan tahunan, dalam tiga skenario berbeda

(a) Rumah tangga lokal

Mulai simulasi (2007)

Hasil simulasi – 2027 Hasil simulasi – 2047

I. No perkebunan II. Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit III. Pembangunan perkebunan I. No perkebunan II. Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit III. Pembangunan perkebunan (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha

Rata-rata penghasilan rumah

tangga tahunan (juta rupiah) 7,8 8,3 9,8 15,1 17,2 8,7 7,5 12,0 15,3

Terdiri dari:

Pertanian 29% 29% 34% 29% 31% 31% 40% 46% 49%

Produk hasil hutan 28% 24% 10% 10% 8% 21% 0% 4% 2%

Perkayuan, perkebunan dan

pertambangan 7% 4% 4% 15% 19% 3% 3% 11% 16%

Pegawai pemerintahan 24% 23% 30% 19% 18% 19% 26% 20% 18%

Perdagangan dan jasa 9% 17% 15% 10% 8% 25% 29% 18% 14%

Retribusi kayu 3% 2% 8% 17% 15% 1% 1% 1% 1%

(b) Rumah tangga pendatang

Mulai simulasi

(2007)

Hasil simulasi - 2027 Hasil simulasi - 2047

I. No perkebunan II. Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit III. Pembangunan perkebunan I. No perkebunan II. Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit III. Pembangunan perkebunan (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha (a) 0,1 lapangan kerja/ha Rata-rata penghasilan rumah

tangga tahunan (juta rupiah) 13,6 13,4 19,0 21,7 22,8 13,9 11,9 18,9 21,6

Terdiri dari:

Pertanian 10% 13% 9% 8% 9% 15% 24% 23% 28%

Produk hasil hutan 1% 1% 0% 0% 0% 1% 0% 0% 0%

Perkayuan, perkebunan dan

pertambangan 37% 25% 17% 4% 32% 31% 4% 32% 31%

Pegawai pemerintahan 12% 12% 2% 3% 3% 10% 3% 3% 3%

Perdagangan dan jasa 39% 50% 35% 31% 29% 58% 68% 43% 37%

di masyarakat lokal. Diperlukan lebih banyak penelitian tentang dampak positif dan negatif perkebunan kelapa sawit terhadap masyarakat lokal.

Pembangunan daerah

Sejak Malinau dinobatkan sebagai kabupaten baru pada tahun 1999, penghasilan daerah meningkat dengan cepat dari Rp. 5,8 milyar pada tahun 2000 (Barr dkk. 2001) menjadi Rp 405 milyar tahun 2002 dan Rp 615 milyar tahun 2003 (Andrianto 2006). Penggunaan pembayaran per ha dan per m3

yang diterapkan kepada IPPK di Malinau (Barr dkk. 2001), penerbitan izin IPK untuk membuka 500.000 ha lahan hutan akan memberikan tambahan

pendapatan kepada pemerintah daerah sebesar Rp 703 milyar selama 20 tahun. Pada skenario III, tambahan Rp 102.000 milyar diberikan oleh retribusi pengelolaan kelapa sawit selama 40 tahun simulasi. Penghasilan daerah akan lebih meningkat dibandingkan dengan retribusi tersebut, sejak peningkatan kegiatan ekonomi diharapkan dapat menambah secara substansial pembayaran pajak di daerah. Hasil simulasi tambahan pembayaran pajak di atas 40 tahun adalah Rp 22 milyar (skenario II), Rp 149 milyar (skenario IIIa) dan Rp 276

milyar (skenario IIIb).

Pembahasan

Apakah pembayaran jasa lingkungan merupakan suatu pilihan yang layak secara ekonomi untuk daerah ini?

Melihat daya tarik skenario pembangunan perkebunan kelapa sawit secara ekonomi untuk pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk masyarakat lokal, pertanyaannya adalah apakah para ahli konservasi mempunyai skenario pembangunan alternatif? Sudah banyak yang dibuat dari

pembayaran langsung untuk jasa lingkungan (PES) (Ferraro dan Kiss 2002; Boedhihartono dkk. 2007) dan seseorang bisa berpendapat bahwa ketertarikan masyarakat global terhadap keanekaragaman hayati bisa mengubah struktur insentif untuk pemangku kepentingan lokal dan daerah dengan cara membayar jasa keanekaragaman hayati yang diberikan oleh Malinau. Namun, wilayahnya sangat luas dan besaran pembayarannya (yang diperlukan untuk mencapai kenaikan penghasilan rumah tangga yang sama dengan skenario kelapa sawit) bisa mencapai kisaran antara US$ 25–48 juta/ tahun atau US$ 50–96/ha/tahun. Dan jumlah ini mungkin melebihi sebagian besar anggaran untuk kegiatan konservasi. Kesulitan dalam mengamankan pembayaran keanekaragaman hayati digambarkan oleh Wunder dkk. (2004).

Pembayaran jasa lingkungan untuk karbon mungkin mempunyai potensi paling besar untuk mempengaruhi keputusan-keputusan daerah mengenai konversi hutan. Khusus pembayaran karbon, untuk mendapatkan tingkat pendapatan daerah yang sama dengan skenario IIIb, diperlukan rata-rata pembayaran per tahun sebesar Rp 27 milyar (sekitar US$ 3 juta/tahun). Menurut de Bruijn (2005), kisaran kasar kandungan karbon dalam 1 ha hutan primer adalah 300 ton C/ha, sementara kandungan karbon untuk perkebunan kelapa sawit adalah 50–125 ton C/ha. Perkiraan sederhana jumlah karbon yang dapat disimpan apabila hutan tidak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit adalah sekitar 175 ton C/ha, sama dengan 647 ton CO2/ha (dengan asumsi bahwa seluruh hutan primer

habis). Untuk total wilayah 500.000 ha hutan primer yang akan hilang dalam skenario pembangunan perkebunan, akan mudah mengganti kerugian pendapatan daerah dengan pembayaran karbon, pada US$ 2/ton CO2 dan tambahan US$ 15 juta/

tahun dapat dihasilkan apabila pembayarannya direncanakan diatas 40 tahun. Karky (2006:14) menyebutkan asumsi harga konservatif sebesar US$ 2/ton CO2 dalam pasar Mekanisme Pembangunan

Bersih (CDM). Deforestasi yang terhindarkan (avoided deforestation) saat ini bukan bagian dari CDM, sehingga harganya mungkin akan lebih rendah. Biaya transaksi pada deforestasi yang terhindarkan akan tinggi. Sebagai contoh, sistem pemantauan yang lebih teliti perlu disiapkan untuk memenuhi standar pengecekan, tapi masih memungkinkan karbon bisa bersaing dengan kelapa sawit menyangkut pendapatan daerah. Skenario PES ini tidak akan mengarah pada lapangan kerja dan pembangunan ekonomi yang lebih tinggi di daerah. Skenario PES di mana sejumlah uang dibayarkan langsung kepada masyarakat juga perlu lebih digali.

Dapatkah ekoturisme dan sertiikasi produk hasil hutan memberikan jalan alternatif secara ekonomi untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit?

Perkiraan menunjukkan bahwa Malinau akan menampung 75.000–150.000 turis per tahun untuk memberikan penghasilan rumah tangga yang dihasilkan skenario kelapa sawit (diasumsikan turis akan tinggal rata-rata selama 10 hari dan menghabiskan dana US$ 30/hari yang masuk ke rumah tangga Malinau). Malinau mempunyai banyak hal yang bisa ditawarkan kepada turis dengan hutannya yang luas dan beragam

kebudayaan. Tapi, meskipun LSM yang bergerak di bidang konservasi telah melakukan lobby selama 19 tahun, kurang dari 40 turis per tahun tercatat di Taman National Kayan Mentarang (Iskandar, komunikasi personal 2007). Ekoturisme tidak akan

dapat bersaing dengan kelapa sawit, setidaknya di masa mendatang. Selain itu, meskipun di bawah skenario kelapa sawit, sebagian besar daerah ini akan tetap berhutan, sehingga pengembangan ekoturisme tetap ada pada skenario ini. Pelabelan perdagangan secara adil (fair- trade) dan produk alami hasil hutan akan meningkatkan harga-harga. Tetapi, tidak sejauh yang diperlukan apabila produk hasil hutan ini akan bersaing dengan perkebunan sebagai sumber penghasilan rumah tangga dan daerah. Untuk dapat bersaing, penghasilan dari produk hasil hutan harus bertambah setidaknya 5–7 kali. Paz Soldan dan Walter (2003) memberikan contoh kacang Brazil yang sudah disertiikasi di Chili, yang harganya meningkat 1,7–2,2 kali setelah sertiikasi.

Timbal balik konservasi dan pembangunan

Kabupaten Malinau menggambarkan tekanan yang ada antara konservasi dan pembangunan, tetapi juga memperlihatkan bagaimana timbal- balik ini diterima secara berbeda oleh pemangku kepentingan yang berbeda (Boedhihartono dkk. 2007). Malinau dengan hutannya yang masih luas adalah salah satu dari pusat keanekaragaman hayati dunia (Mittermeier dan Bowles 1993). Para ahli konservasi siap berjuang atas usulan rencana penebangan dan konversi lahan ke perkebunan kelapa sawit (lihat Wakker 2006, studi yang dilakukan oleh Friends of the Earth). Sementara Bupati Malinau bersedia mengumumkan daerahnya sebagai “kabupaten konservasi” (satu di antara dua kabupaten di Indonesia), dia tidak melihat konlik antara pengumuman ini dan dukungannya terhadap konversi lahan berskala besar menjadi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat lokal pada umumnya berpihak pada konservasi (Padmanaba dan Sheil 2007), tapi mereka mungkin akan tertarik untuk mendapatkan uang tunai apabila perusahaan kelapa sawit beroperasi ke daerah mereka.

Para peneliti telah melihat perubahan besar-besaran di Malinau dalam dekade terakhir ini (Sayer dan Campbell 2004; Gunarso dalam buku ini; Gunarso dkk. dalam buku ini) dan perubahan tata guna lahan sepertinya akan semakin meluas dan cepat, sebagian besar didorong oleh keputusan yang dibuat di ibukota kabupaten. Keputusan-keputusan ini sudah dapat dipastikan akan melibatkan kegiatan penebangan dan pembangunan perkebunan dan mungkin pertambangan. Mengalokasikan hutan primer dan hutan sekunder untuk perkebunan dan penggunaan lahan intensif lainnya dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak. Tapi, pada saat yang sama, keputusan itu dapat meningkatkan kemiskinan. Perilaku atau tindakan dari perusahaan perkebunan sangat penting

untuk melihat apakah taraf hidup akan meningkat atau memburuk. Keputusan yang sangat teliti harus dibuat sewaktu memilih perusahaan untuk pembukaan lahan dan kontrak harus jelas dan tegas agar perusahaan mentaati janji-janji mereka. Apabila perusahaan menanam kelapa sawit, masyarakat lokal melihat pekerjaan yang menjanjikan dengan penghasilan tunai lebih besar. Para pejabat daerah melihat kegiatan ekonomi yang semakin berkembang, pendatang lebih banyak dan anggaran daerah lebih besar. Para pendatang dari daerah yang lebih padat penduduknya melihat banyak kesempatan kerja. Sebagian pendapatan kembali ke kas negara dan para politisi nasional serta para pejabat melihat pembangunan sedang berlangsung, yang mana ini merupakan suatu aspirasi besar. Walaupun area hutan seluas 500.000 ha telah dibabat habis, sebagian besar daerah ini masih tetap berhutan pada akhir masa simulasi dengan periode 40 tahun. Apabila ini terjadi, banyak orang akan berpendapat bahwa skenario pembangunan perkebunan tidak bertentangan dengan usulan Malinau untuk dikelola sebagai kabupaten konservasi. Tapi pembangunan seperti ini mempunyai resiko. Pertama, kami berasumsi penebangan berhenti setelah 20 tahun. Kedua, kami tidak memasukan faktor kebakaran, apabila kebakaran hutan yang besar masuk ke sistem, seperti yang terjadi pada tahun 1997–1998 di bagian lain Kalimantan, maka kualitas hutan dapat dikompromikan. Ketiga, dengan begitu banyaknya pendatang dalam skenario kelapa sawit, tekanan terhadap lingkungan di masa yang akan datang sepertinya akan meningkat.

Dari sudut pandang ekonomi, sebagian dari wilayah hutan kemungkinan akan dikonversi di masa mendatang, meskipun keterpencilan dan buruknya kualitas tanah mungkin akan menjauhkan Malinau dari pembangunan perkebunan untuk sementara waktu. Ada biaya-biaya sosial dan lingkungan lainnya yang tidak tertangkap dalam argumen- argumen ekonomi. Sebagai contoh, Koczberski dkk. (2001) dan Casson (2002) keduanya telah mencatat kebencian masyarakat lokal kepada para pendatang dalam kaitannya dengan kesempatan kerja di perkebunan. Di Malinau, keadaan ini bisa lebih parah karena jumlah pendatang akan melebihi jumlah masyarakat lokal dengan cepat. Colchester dkk. (2006) melaporkan keluhan-keluhan masyarakat lokal tentang perkebunan di bagian lain Kalimantan tempat individu pencari keuntungan telah menggantikan tradisi berkelompok (komunitas) dan solidaritas. Namun, Sheil dkk. (2006) melihat bahwa “para pembuat keputusan lebih memilih untuk fokus pada yang umum ketimbang yang khusus”, jadi apakah aspek-aspek negatif ini akan

diperhitungkan apabila dan pada saat keputusan pembangunan dibuat, masih belum ada kejelasan, Apabila para ahli konservasi tidak menyukai ide perubahan tutupan lahan secara besar-besaran, apakah mereka mempunyai alternatif untuk mereka yang sangat menginginkan kemajuan dalam pembangunan? Sertiikasi produk hasil hutan dan ekoturisme saja sepertinya tidak akan memberikan insentif untuk menghentikan kegiatan konversi hutan. Pembayaran karbon dapat membawa manfaat kepada daerah sama besarnya dengan apa yang diperoleh dari penebangan dan perkebunan. Namun, sains dan politik dari pencegahan deforestasi masih kurang berkembang. Pertanyaan utamanya adalah: kapan pilihan- pilihan konservasi dapat memulai pembayaran? Keputusan tentang pembangunan perkebunan sekarang ini tidak akan menunggu proses panjang dari negosiasi internasional mengenai mekanisme pembayaran karbon.

Diskusi dengan bupati dan jajarannya mengenai hasil skenario dipusatkan seputar migrasi masuk dan pembayaran karbon. Para pejabat daerah sangat khawatir dengan tingkat imigrasi yang didorong oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar, karena daerah ini didominasi oleh suku Dayak (dan mereka juga mempunyai kuasa); ini dapat berubah dengan migrasi masuk yang tinggi. Daerah menjadi sangat tertarik dengan pembayaran karbon sebagai satu alternatif dan bupati merencanakan presentasi pada KTT tentang Perubahan Iklim yang diselenggarakan di Bali tahun 2007. Model ini dimaksudkan untuk mendorong diskusi dan membantu para pejabat dalam melihat beberapa potensi negatif dari pembangunan perkebunan kelapa sawit berskala besar.

Seperti kebanyakan model, model yang kami buat memiliki banyak asumsi-asumsi dan penyederhanaan. Kami telah mencoba membuat asumsi dan penyederhanaan ini selogis mungkin berdasarkan informasi yang ada. Walaupun demikian, apakah model kami menghasilkan gambaran tentang Malinau yang dapat dipercaya atau tidak, itu dapat dipertanyakan oleh orang- orang yang tidak setuju dengan pilihan-pilihan ini. Atau, kita tetap bertahan pada ketidaktahuan atau ketidakpastian. Sebagai contoh, model kami tidak bisa dipakai sebagai bukti bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit seluas 500.000 ha di Malinau akan sukses secara komersial - evaluasi kesesuaian lahan perlu dilakukan, misalnya. Selanjutnya, perhitungan dampak yang lebih teliti pada setiap skenario akan memerlukan penilaian dampak sosial dan lingkungan yang difokuskan pada areal tertentu yang akan ditanami,

sehubungan dengan rencana pembangunan tertentu yang diusulkan dan standar pengelolaan diterapkan - sesuatu yang tidak kami lakukan. Melihat peningkatan minat terhadap kelapa sawit untuk bahan bakar nabati, penelitian tentang dampak sosial dan ekonomi dari kelapa sawit sangat diperlukan.