• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edmond Dounias, Audrey Selzner, Misa Kishi, Iwan Kurniawan dan Ronald Siregar

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 161-163)

Pendahuluan

Tampaknya, mengatakan bahwa masa depan ekosistem hutan tidak terpisahkan dari masyarakat yang tinggal di sekitar hutan merupakan klise. Namun yang menyedihkan adalah kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa bukti tersebut tidak sepenuhnya menjadi perhatian para pembuat keputusan dan praktisi pengelola hutan. Oleh sebab itu, kerusakan hutan dan manusia harus dikaji secara bersama-sama. Sayangnya, riset yang ditujukan untuk melihat dampak hilangnya keanekaragaman hayati bagi kesehatan manusia sudah sejak lama terfokus pada sistem ekologi dan global serta tetap kurang memperhatikan faktor sosiologi dan isiologi penduduk setempat yang juga ikut berperan. Sudah saatnya bagi para pecinta lingkungan, ahli ekologi, antropologi dan ilmuwan kesehatan/ahli medis untuk duduk bersama di satu meja mencoba untuk melakukan investigasi tentang hubungan antara banyak komponen sistem antropogenik hutan dalam rangka melakukan penilaian terhadap permasalahan yang secara terus-menerus harus berkompromi dengan kondisi kesehatan masyarakat hutan dan keberlangsungan ekosistem hutan. Pengelola hutan dan para pembuat keputusan perlu mengarahkan kegiatan demi mencari solusi yang bisa mengkombinasikan pengelolaan ekosistem dan intervensi sektor kehutanan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan manusia, selain menjaga kesehatan ekosistem hutan.

Situasi yang dihadapi oleh para pemburu- pengumpul, yang masih punya ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya hutan, merupakan sesuatu yang simbolis dan terkait dengan pesatnya konversi wilayah hutan, yang kini sedang menjadi pertaruhan. Studi terbaru tentang para pemburu- pengumpul menunjukkan bagaimana manusia hidup ketika gaya hidup dan garis keturunan

mereka berada sejajar. Menaksir pola berburu dan mengumpulkan makanan yang dipraktekkan manusia merupakan hal yang penting bagi kesehatan manusia secara umum. Pengalaman masyarakat yang hidup dengan meramu makanan dapat dicermati sebagai acuan bagi usaha-usaha mutakhir dalam meningkatkan kualitas kesehatan dan menghindari penyakit, bahkan di negara- negara maju.

Perubahan pola makan dan kondisi penduduk yang lebih rentan terhadap penyakit menjadi indikator yang sensitif bagi biaya ekologi dan budaya yang oleh penduduk sebelumnya seperti para pemburu- pengumpul seperti suku Pygmy di Afrika, suku Yanomami di Brazil dan suku Punan di Borneo, pada dasarnya telah membayar milik mereka yang hilang akibat adanya modernisasi. Indikator yang dibuat menggambarkan bahwa permasalahan sosial- politik memerlukan intervensi yang mendadak. Hal ini juga merespon minat pembangunan dan konservasi.

Gambaran ‘Rousseauistic’ dari kehidupan nyaman, harmonis dan sejahtera dalam sebuah lingkungan sudah lama ada. Namun demikian, bagi para praktisi kehutanan dan konservasionis, suasana yang romantis ini berubah total. Menurut mereka, hutan tidaklah sesuai untuk manusia. Tingginya keterkaitan antara keanekaragaman parasit dan penyakit menular juga semakin menyuburkan dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat bahwa hutan merupakan lingkungan yang tidak bersahabat. Persepsi semacam itu melecehkan sejumlah besar jasa/layanan yang disediakan oleh ekosistem alami dalam mengendalikan timbul dan meluasnya penyakit menular. Fungsi perlindungan yang melekat pada keanekaragamanhayati adalah menjaga keseimbangan di antara predator dan mangsa dan di antara vektor dan parasit tumbuhan, satwa dan manusia (Chivian 2001). Pemerintah yang

Konsumsi makanan di sebuah keluarga Punan, Kuala Rian, Juni 2003 (Foto oleh Edmond Dounias)

nampaknya tidak percaya dengan masyarakat yang selalu berpindah (nomadik), terlepas lokasinya yang berada di ketinggian, berpaling kepada pandangan ini untuk melakukan justiikasi terhadap keputusan mengasingkan masyarakat hutan dari wilayahnya secara sengaja untuk kepentingan mereka sendiri. Selama beberapa dekade, janji-janji untuk

memberikan akses kesehatan dan pendidikan yang baik, akses ke pasar dan membuka kesempatan kerja secara berulang-ulang digunakan oleh para pejabat yang berwenang untuk merayu masyarakat pemburu-pengumpul untuk dapat mengubah pola hidupnya menjadi lebih menetap. Namun demikian, modernisasi yang seringkali terkendala oleh insentif yang diberikan oleh pemerintah, pada umumnya menyebabkan peningkatan kemiskinan dan keuntungan berlimpah sehingga perubahan sosial dan pembangunan yang seharusnya dijalankan berubah menjadi penyebab kekacauan sosial dan kesehatan. Argumen-argumen baru yang muncul dan seharusnya dibuat bagi kepentingan manusia seringkali menyimpan atau menyembunyikan keinginan terbukanya akses terhadap sumberdaya biologi dan mineral yang sangat kaya. Sumberdaya itu berlokasi di wilayah yang sangat luas dan biasanya digunakan oleh organisma pemakan daun dan hewan ternak. Di kawasan yang tidak banyak dihuni, manusia nomadik ini mewakili sejumlah pekerja potensial, suara, wajib pajak dan orang yang tak beragama untuk menjadi beralih keyakinan. Orang-orang seperti ini memberikan gambaran orang yang memerlukan pertolongan

sehingga mengaburkan kredibilitas negara di mata internasional yang berharap untuk dianggap negara maju dan bangsa yang patut dihormati. Tidak kurang pentingnya, orang-orang ini kurang begitu perhatian dengan masalah administrasi (Lee dan Daly 1999; Panter-Brick dkk. 2001).

Relokasi masyarakat nomaden yang didorong oleh faktor ekonomi, lingkungan dan politik mengancam kondisi kesehatan mereka melalui besarnya

tekanan terhadap lingkungan. Jika kelompok yang biasa bergerak untuk mencari makan kemudian akhirnya menetap di satu lokasi serta menghabiskan waktunya dalam kelompok yang lebih besar lagi, kantung-kantung reservasi manusia akan terbentuk. Kondisi yang demikian akan mendorong semakin gencarnya serangan patogen. Perubahan lingkungan dalam tata guna lahan secara lokal setelah

terbentuknya pemukiman dan dikombinasikan dengan perubahan iklim secara global tentunya akan mengganggu ekosistem alami. Selanjutnya, habitat baru yang lebih sesuai bagi vektor pembawa penyakit dan menyebabkan naiknya resiko transmisi virus dan infeksi parasit ke manusia akan tercipta (Patz dkk. 2000).

Tujuan yang dibuat mengharuskan kami untuk mengenali bahwa masyarakat nomadik juga harus berjuang dengan kontradiksi yang menjangkiti mereka: di dunia globalisasi yang semakin berkembang, mereka menuntut haknya untuk bisa melangsungkan hidupnya yang erat dengan

alam. Sementara, pada saat yang sama, mereka juga tertarik oleh keinginan untuk memiliki barang-barang modern. Penolakan gaya hidup mereka yang nomaden harus dibayar mahal dengan tidak diterimanya mereka sebagai warga negara penuh dan juga dalam hal mendapatkan manfaat dari sisi peradilan sosial. Sayangnya, pilihan umumnya didorong oleh rasa puas sementara akan kesejahteraan materil dan kurang mempertimbangkan bermacam hal yang berkenaan dengan moral dan warisan demi generasi mendatang.

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 161-163)