• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata guna lahan, skenario tata guna lahan dan perubahan tutupan lahan

Tata guna lahan utama dan tipe hutan

Dengan adanya desentralisasi pada tahun 1999, alokasi penggunaan lahan ada di bawah

kewenangan pemerintah daerah, walaupun alokasi untuk kawasan kehutanan secara legal masih ada di bawah kewenangan pemerintah pusat (lihat Wollenberg dkk. dalam buku ini). Hutan konservasi dan hutan lindung membentuk sebagian besar Malinau, yang didominasi oleh Taman Nasional Kayan Mentarang (Tabel 1).

Untuk model ini, kami membagi hutan menjadi hutan primer, hutan primer bekas tebangan dan

hutan sekunder (Gambar 1). Hutan sekunder adalah semak belukar bekas ladang yang sudah ditinggalkan dan hutan yang ditebang secara sangat intensif (dengan izin pemanfaatan berskala besar (IPK) dan skala kecil (IPPK)). Berdasarkan hasil dokumentasi dari kantor-kantor kabupaten dan estimasi lahan yang digunakan untuk berladang selama tahun 1967–2002, luas hutan sekunder adalah ~ 120.000 ha. Diperkirakan 20% dari lanskap ditebang sampai tahun 2004.

Izin penebangan dan konversi

Dengan desentralisasi, para pejabat daerah telah mendapatkan kewenangan yang lebih besar terhadap sumberdaya hutan dan seringkali melampaui batas otoritas legal mereka. Mereka mulai mengeluarkan izin penebangan untuk perusahaan kayu kecil (IPPK) di area yang

seharusnya diklasiikasikan sebagai hutan konversi (Obidzinski dan Barr 2003). Tidak banyak peraturan yang mengatur penebangan berikutnya. Barr dkk (2001:13) melaporkan mengenai antusiasme manajer perusahaan perkebunan kelapa sawit tentang proses desentralisasi: “…kegiatan akan lebih lancar dan eisien apabila perusahaan dapat berhubungan langsung dengan Bupati.”

Praktek yang sering kali teramati di Indonesia adalah bahwa perusahaan-perusahaan IPK (yang memegang izin pemanfaatan kayu berskala besar) memang benar-benar mengambil kayunya tetapi tanpa ada niatan untuk mengkonversi areal tersebut menjadi perkebunan. Dari 2,5 juta ha yang ditebang

untuk perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, hanya 20% dari areal tersebut yang sudah ditanami sampai tahun 2005 (Wakker 2006) dengan sisa area yang diperkirakan akan ditebang hanya untuk mengambil kayunya. Bupati Kabupaten Berau sedang dalam proses pendakwaan karena masalah penyalahgunaan kekuasaan, atas dikeluarkannya izin-izin untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit jutaan hektar antara tahun 1999 dan 2002 (Laporan TTM 2006). Perusahaan yang menerima izin tersebut membuka lahan dan membabat habis kayunya tapi tidak pernah dilanjutkan dengan penanaman kelapa sawit. Di Malinau juga telah ada usulan- usulan besar untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di mana lahan tersebut sebenarnya tidak sesuai untuk kelapa sawit: wilayah terpencil, sangat curam dan tidak subur (Basuki dan Sheil 2005; Lynam dkk. 2006). Hal ini mengarahkan pada keyakinan bahwa usulan mengkonversi lahan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit hanya sekedar kamulase untuk tujuan yang sebenarnya yaitu penebangan pohon. Kabupaten di sekitarnya yang letaknya lebih dekat ke laut dengan kawasan dataran rendah yang luas bisa merupakan investasi berbiaya murah untuk perkebunan kelapa sawit dalam jangka pendek. Namun, jaringan jalan berkembang sangat pesat dengan jalan- jalan yang baru dibangun, yang menghubungkan Kabupaten Malinau ke Nunukan dan Bulungan, sehingga pasar menjadi lebih terjangkau dan investasi perkebunan kelapa sawit kemungkinan akan terealisasi.

Hutan primer bekas tebangan

Lahan bera dan hutan sekunder Tambang Pertanian Konsesi hutan Kebun sawit Hutan primer

Skenario kelapa sawit

Saat ini belum ada perkebunan di Malinau. Dalam simulasi kami mengasumsikan pembangunan perkebunan kelapa sawit yang akan dimulai dalam 5 tahun mendatang (2012). Untuk meneliti dampak potensial dari pembangunan perkebunan kelapa sawit di masa mendatang, kami menggunakan empat skenario:

• I tanpa pembangunan perkebunan kelapa sawit

(seperti kondisi saat ini)

• II pembukaan hutan, tapi tanpa penanaman

kelapa sawit

• III pembukaan hutan dan penanaman kelapa

sawit dengan mengasumsikan (a) tingkat lapangan kerja rendah dan (b) tingkat lapangan kerja tinggi.

Dalam skenario II dan III, lima izin penebangan untuk konversi hutan dikeluarkan untuk masing- masing luasan area 100.000 ha. Izin tersebut biasanya diberikan untuk jangka waktu 25–30 tahun dan setelah itu ada kemungkinan diperpanjang atau diputus. Pembabatan kayu melalui izin IPK dalam skenario II dan III diasumsikan terjadi selama 20 tahun (dari 2012–2023 dalam simulasi ini), intensitasnya meningkat seiring waktu (sangat sedikit pekerja dan alat yang tersedia pada tahun-tahun pertama). Sehingga setelah 25 tahun, areal hutan seluas 500.000 ha akan ditebang habis.

Pada skenario II, kami mensimulasikan “spekulator kayu” yang menebang secara intensif hutan primer bekas tebangan yang dikategorikan sebagai hutan konversi dan mengubahnya menjadi

hutan sekunder, dengan beberapa penebangan di kawasan hutan negara. Beberapa hutan yang ditebang akan ditempatkan di areal yang curam. Selain itu, kami mengasumsikan juga bahwa perusahaan memberikan pekerjaan hanya kepada pendatang dan hanya membayar biaya kompensasi yang paling minimal kepada desa-desa, yaitu sebesar Rp 5.000/ m3.

Dalam Skenario III (a) dan (b), kami mensimulasikan perusahaan yang lebih bertanggung jawab menanam seluruh areal seluas 500.000 ha, 40% hutan

sekunder dan 60% hutan primer bekas tebangan, semuanya termasuk dalam hutan konversi. Kami mengasumsikan sebagian besar perkebunan tersebut terletak di wilayah dataran rendah yang lebih dekat dengan rute-rute transportasi (misalnya dekat dengan kota Malinau). Skenario III (a) mengasumsikan penyediaan lapangan kerja 0,1 pekerjaan per hektar perkebunan kelapa sawit, di mana sesuai dengan angka tenaga kerja saat ini di perkebunan kelapa sawit Malaysia (van Noordwijk, komunikasi pribadi 2007). Skenario III (b) mengasumsikan rata- rata 0,2 pekerjaan per hektar perkebunan kelapa sawit sesuai dengan konteks Indonesia (Sargeant 2001). Diasumsikan desa mendapatkan retribusi sebesar Rp 20.000/m3.

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 2007 2011 2015 2019 2023 2027 2031 2035 2039 2043 2047 Hutan primer Hutan sekunder Lahan pertanian Area perkebunan

Lahan terdegradasi (lahan bera + lahan bekas tambang)

0 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 2007 2011 2015 2019 2023 2027 2031 2035 2039 2043 2047 Hutan primer Hutan sekunder Lahan pertanian Area perkebunan

Lahan terdegradasi (lahan bera + lahan bekas tambang)

500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000 4.500.000 2007 2011 2015 2019 2023 2027 2031 2035 2039 2043 2047 Hutan primer Hutan sekunder Lahan pertanian Area perkebunan

Lahan terdegradasi (lahan bera + lahan bekas tambang)

Gambar 2. Simulasi 40 tahun penutupan lahan di Kabupaten Malinau a) Tidak ada pembangunan perkebunan

b) Pembukaan hutan tanpa penanaman kelapa sawit

Biaya kompensasi untuk kayu sebesar Rp 5.000 - 20.000/m3 merupakan perkiraan dari yang paling

rendah sampai sedang, seperti yang disebutkan oleh Palmer (2004) bahwa retribusi tersebut bisa mencapai Rp 50.000/m3, sementara Barr dkk

(2001) mencatat retribusi dapat mencapai Rp 30.000/m3. Retribusi sebesar Rp 5.000 mengikuti

contoh yang ada di Malinau yang disebutkan oleh Barr dkk. (2001:32).

Pertanian

Selama bertahun-tahun, mata pencaharian di Kabupaten Malinau didominasi oleh pertanian dan berburu-mengumpulkan (Levang dkk. dalam buku ini). Dari total jumlah penduduk lokal, sekitar 75% tinggal di luar ibukota kabupaten, dengan mayoritas penduduknya adalah peladang berpindah. Dan sedikit rumah tangga yang termasuk pemburu- pengumpul, sekitar 80–85% dari rumah tangga Punan ini bertani dan di daerah terpencil persentase ini bahkan lebih tinggi (Levang dkk. 2005).

Meskipun pertanian merupakan kegiatan yang umum di kabupaten ini, tapi kontribusinya terhadap ekonomi daerah hanya 6% pada tahun 2002 (BPS 2003 dalam Andrianto 2006). Populasi sub-model mendorong tingkat kenaikan atau penurunan rumah tangga yang bertani dan ini sesuai dengan areal yang ditanam. Perubahan kecil dari lapangan pekerjaan di pertanian ke lapangan pekerjaan di layanan jasa dan industri perdagangan dibuat modelnya sebagai akibat dari urbanisasi.

Kami membedakan pertanian menetap dan perladangan berpindah. Pertanian menetap merupakan penanaman dan pengelolaan tanaman pangan dan pohon. Perladangan berpindah umum ditemukan. Dimulai dengan konversi hutan primer bekas tebangan ke perladangan. Setelah dua tahun, pada saat hasil panen tanaman pangan rendah dan gangguan gulma meningkat, para petani meninggalkan lahan tersebut dan kemudian akan berubah menjadi semak belukar. Pada saat ini, tekanan pada lahan sangat rendah sehingga areal semak belukar akan dibiarkan untuk kemudian berkembang menjadi hutan sekunder, tempat konversi menjadi ladang pada saat areal tersebut sangat tua dan akan menyerupai hutan primer kembali di masa mendatang. Namun, di bawah skenario kelapa sawit, hutan primer dan hutan sekunder tua di sekitar desa menjadi langka sehingga para petani terpaksa memperpendek waktu bera, yang pada akhirnya akan menurunkan hasil ladang per hektarnya dan tingkat gangguan gulma lebih tinggi. Keadaan ini dapat mendorong peningkatan pemakaian herbisida.

Pertambangan

Sedikit areal dialokasikan untuk penambangan batubara (Tabel 1), tapi hanya sekitar 30% yang benar-benar digunakan. Saat ini, kegiatan penambangan berhenti semuanya. Memprediksi kegiatan penambangan di masa mendatang merupakan suatu hal yang sulit dilakukan, tapi dengan biaya transportasi yang tinggi di Malinau kami berasumsi bahwa hanya akan ada kenaikan yang sedikit dari areal yang ditambang (dari 1.000 sampai sekitar 2.000 ha/tahun dalam Skenario IIIb). Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan jumlah penduduk, di mana sebagian dari pengangguran memulai kegiatan penambangan emas.

Produk hasil hutan

Penduduk Malinau sangat bergantung dengan produk hasil hutan sebagai mata pencaharian mereka (Levang dkk. dalam buku ini). Levang dkk. (2005) menemukan bahwa sekitar 72% Punan mengumpulkan produk hasil hutan tapi hanya 16% merupakan sumber penghasilan tunai utama mereka. Studi mereka menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan tahunan rumah tangga Punan dari pertanian sebesar Rp 1,67–2,25 juta sementara dari produk hasil hutan sebesar Rp 1,72–4,56 juta, tergantung dari aksesibilitas desa-desa tersebut. Angka ini berlaku lebih baik lagi untuk masyarakat pemburu-pengumpul dari daerah yang lebih terpencil. Menurut Pambudhi dkk. (2004), perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri seringkali melibatkan pemindahan desa-desa and kebun rotan masyarakat lokal. Kenaikan dalam penebangan IPK dan perkebunan diasumsikan dalam model ini, mengakibatkan penurunan ketersediaan hasil hutan bukan kayu (NTFPs). Di dalam model kami mengasumsikan sekitar 70% masyarakat lokal terlibat dalam pengumpulan produk hasil hutan tapi hanya 10% pendatang terlibat di dalamnya.

Hasil simulasi perubahan tutupan lahan

Dalam skenario tanpa pembangunan perkebunan, kami berasumsi bahwa hutan sekunder saat ini (~120.000 ha) dapat tumbuh menjadi hutan primer selama simulasi ini, sementara dalam skenario yang lain kami berasumsi tidak ada perubahan tutupan lahan dikarenakan tekanan yang tinggi terhadap hutan. Tanpa pembangunan perkebunan, kerusakan hutan primer hanya ~5% selama 40 tahun, sebagian besar disebabkan oleh kegiatan perusahaan-perusahaan kayu (ijin HPH/IUPHHK) yang sedang beroperasi (Gambar 2). Simulasi di mana izin pemanfaatan kayu dikeluarkan (II dan III) menunjukkan kerusakan hutan primer sekitar 20%

selama 40 tahun. Asumsinya di sini adalah bahwa penebangan IPK dimulai dari tahun ke 5–25 dari simulasi, sementara penebangan HPH/IUPHHK terjadi sepanjang simulasi.

Pertanian hanya merupakan bagian kecil dari penggunaan lahan di Malinau, pada awalnya dikarenakan jumlah penduduk yang sedikit dan permintaan hasil-hasil pertanian yang rendah. Dengan skenario pembukaan hutan, lahan pertanian meningkat 4,5–11 kali (masing-masing untuk skenario II dan IIIb), dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk (lihat bagian berikutnya). Hutan yang terdegradasi (semak belukar dan lahan bekas penambangan) mencapai 16.000 ha pada tahun pertama tapi kerusakan ini meningkat menjadi 58.000 ha (skenario I), 74.000 ha (skenario II), 91.000 ha (skenario IIIa) dan 109.000 ha (skenario IIIb), sebagian besar sebagai akibat dari kenaikan luasan semak belukar.

Kebakaran tidak dimasukkan di dalam model dan bukan merupakan itur Malinau. Namun, besarnya luasan hutan yang hilang bisa di bawah perkiraan dalam skenario kelapa sawit karena kebakaran merupakan ancaman besar di daerah-daerah lain di Indonesia dan perusahaan-perusahaan HPH dan perusahaan yang membangun hutan tanaman industri dianggap sebagai kontributor utama terhadap frekuensi kebakaran (FAO 2003; Gönner 2000). Begitu kebakaran masuk ke dalam sistem, kemungkinan akan tetap sebagai itur permanen (du Toit dkk. 2004). Departemen Kehutanan dan Perkebunan (1998, dalam Casson 2000) beranggapan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab sebagian atas kebakaran

hutan tahun 1997–1998 yang berdampak pada kerusakan lebih dari 5 juta ha hutan di Kalimantan.