• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip dasar model alternatif perencanaan dan pengelolaan

Menurut Lloyd dan Peel (2007), perencanaan yang ketat membatasi ruang leksibilitas dan peluang untuk mendelegasikan pengambilan keputusan. Pada umumnya, para perencana cenderung membatasi partisipasi publik, meskipun ada

keinginan baik di belakangnya (Friedman 2003). Mereka melihat bahwa pekerjaan perencana bersifat teknis dan bukannya politis dan partisipasi cenderung mahal harganya. Oleh karena itu, keputusan yang bersifat strategis seringkali diambil di luar rencana formal yang telah dibuat (Quinn 1980 dalam Stacey 2003:71), mengingat keputusan harus diambil secara terus menerus dan dari waktu ke waktu dan bukannya sekaligus.

Adanya penyederhanaan perencanaan dan fokus perencanaan merupakan dasar utama

penyelenggaraan negara yang memberikan peluang kepada pemerintah untuk melakukan rasionalisasi dan standardisasi realitas ke dalam suatu

format (Scott 1998:6). Penyederhanaan tersebut dimaksudkan untuk membuat kenyataan yang ada di dunia menjadi mudah dibaca dan dikendalikan. Penyederhanaan tersebut mencerminkan bentuk aksi (Forester 1989:120) yang dapat mengakomodasi keperluan birokrasi untuk melakukan kontrol, persyaratan serta penyederhanaan melalui peraturan yang ada (Scott 1998). Sebagai imbalannya,

penyederhanaan tersebut tidak mampu memuat kompleksitas yang ada, mengakomodasi terjadinya perubahan serta ketidakpastian, di samping itu juga tidak tahan terhadap adanya gangguan. Perencanaan semacam ini menjadi tidak relevan lagi apabila tidak diperlukan atau tidak dimungkinkan dilakukannya kontrol dan persyaratan. Hal ini terutama terjadi pada kondisi politis yang tidak stabil atau di masa transisi, kondisi lingkungan yang berubah atau pada saat inovasi diperlukan.

Tantangannya adalah bagaimana rencana tata guna lahan dapat dilakukan dengan cara yang lebih relevan? Di satu sisi, perencanaan konvensional memberikan aturan yang jelas yang mengisyaratkan adanya kewajiban dan keinginan untuk eisiensi, serta transparansi yang diperlukan oleh para pembuat kebijakan; di sisi lain, kompleksitas yang ada menuntut adanya pemahaman yang bersifat praktis, delegasi pengambilan keputusan serta proses sosial dan adaptasi (Rose 1994). Kami berpendapat bahwa rencana tata guna lahan harus terkait dan menyeimbangkan kedua pendekatan tersebut di atas pada berbagai level. Tata guna lahan bukan hanya kumpulan penunjukan maupun pengendalian, tetapi merupakan suatu proses yang terus menerus berlangsung yang dilandasi dengan pengalaman praktis serta komunikasi yang terjadi antar berbagai kelompok pada berbagai tingkatan. Pengetahuan lokal yang bersifat praktis bersama dengan sistem teknis saling berinteraksi memberikan ruang bagi pengambil keputusan untuk menghadapi keteraturan yang ada serta kenyataan yang lebih sederhana. Namun demikian, keduanya merupakan bagian dari suatu proses yang mencerminkan kondisi lokal

yang lebih nyata serta ketidakpastian yang dihadapi selama ini. Perencanaan oleh karena itu menjadi bagian kecil dari rencana tata guna lahan yang dilakukan oleh kelompok kerja di tingkat kabupaten. Guna mencapai tujuan tersebut, dengan demikian pendekatan alternatif terhadap perencanaan tata guna lahan harus dilakukan berdasar hal-hal sebagai berikut:

1. Menghubungkan pengetahuan dan pengalaman lokal serta aspirasi yang ada pada berbagai kelompok ke dalam perencanaan tata guna lahan serta pengambilan keputusan secara formal (termasuk di antaranya adalah diskusi tentang hak kepemilikan).

2. Membangun kapasitas adaptasi para pimpinan serta institusi yang ada melalui komunikasi yang lebih baik serta penyertaan para pengguna lahan dan pengelola lahan tingkat lokal; membangun mekanisme transparansi sangat diperlukan. 3. Memanfaatkan kerangka sistem untuk

memahami tata guna lahan sebagai suatu proses dan antisipasi terhadap perubahan. Melakukan identiikasi terhadap pendorong adanya perubahan dan membangun skenario berbagai pilihan tata guna lahan, termasuk di dalamnya timbal balik antara berbagai tujuan.

4. Melakukan analisis dan intervensi pada berbagai tingkatan, termasuk di tingkat provinsi serta tingkat nasional.

5. Membangun kapasitas melalui berbagai kegiatan dan prosedur yang bersifat eksplisit.

Kelima prinsip tersebut di atas memungkinkan perencanaan sebagai suatu aktivitas yang bermakna bagi semua pihak(Forester 1989:120) dan

bukannya sebagai alat birokrasi ataupun alat untuk mengedepankan keinginan kelompok tertentu.

Menghubungkan pengetahuan lokal, pengalaman dan aspirasi ke dalam perencanaan formal tata guna lahan

Rencana tata guna lahan hanya akan menjadi laporan semata dan tidak dimanfaatkan GIS nya apabila tidak diintegrasikan ke dalam pemerintahan lokal yang ada dan apabila tidak dibarengi dengan rasa memiliki para pihak pada berbagai tingkatan. Masyarakat luas dalam hal ini perlu menuntut terciptanya transparansi perencanaan dan memiliki akses terhadap dokumen yang mana tahapan proposal sampai dengan inal mudah diperoleh serta dibaca. Masukan dari publik harus dimunculkan dan didukung dengan pendanaan yang jelas oleh pemerintah kabupaten untuk memperoleh kejelasan

akan hak dan penggunaan terhadap perencanaan tata guna lahan.

Membangun kepemimpinan dan institusi dengan kapasitas yang adaptif berdasarkan komunikasi dan keterlibatan para pengguna dan pengelola lahan setempat

Kepemimpinan harus siap untuk mengambil kesempatan, secara cepat merespon adanya ancaman serta secara bijaksana menyeimbangkan berbagai timbal-balik. Tersedianya komunikasi yang terbuka melalui berbagai macam saluran, serta dukungan terhadap transparansi komitmen memungkinkan masyarakat untuk mempertanyakan, mendiskusikan serta bertukar informasi tentang kesesuaian dari suatu perencanaan yang disusun serta kemungkinan untuk melakukan penyesuaian. Komunikasi pada situasi yang sensitif dan

kritis perlu dijalani demi memenuhi struktur pemerintahan lokal.

Menggunakan sistem kerangka untuk memahami penggunaan lahan sebagai suatu proses dan mengantisipasi perubahan

Penatagunaan lahan kemungkinan akan sesuai dengan kondisi saat dibuatnya, di mana pada kondisi yang tidak menentu dan perubahan terjadi begitu cepat maka perencanaan akan bersifat situasional. Pemahaman terhadap perubahan yang mungkin terjadi atau perspektif sistem akan membuat para pengambil keputusan semakin memiliki perhatian terhadap bentuk-bentuk perubahan yang mungkin terjadi serta upaya untuk menghadapinya (Prato 2007). Metode

pemahaman berbasis sitem mampu mengakomodasi pengetahuan masyarakat lokal maupun

menggambarkan secara sederhana perubahan yang terjadi guna melengkapi peta yang ada.

Analisis serta intervensi pada berbagai tingkatan

Rencana tata guna lahan pada akhirnya akan difokuskan pada skala unit analisis tertentu. Di Malinau fokus tersebut diambil pada tingkat kabupaten, yang ditentukan oleh keputusan penggunaan lahan di tingkat operasional serta dipengaruhi oleh adanya keputusan di tingkat provinsi dan nasional. Dengan demikian, diperlukan adanya analisis dan intervensi di berbagai level atau tingkatan (Sayer dan Campbell 2004). Sebagai implikasinya adalah bahwa perencana di tingkat kabupaten perlu didukung dengan perencanaan yang dilakukan di tingkat desa. Selain itu, mereka perlu menyeimbangkan pandangan dan perspektif para pihak di tingkat yang berbeda, serta melakukan pendekatan di tingkat yang lebih atas dan

memfasilitasi berbagai pihak untuk secara bersama- sama mengambil suatu kesepakatan.

Kapasitas eksplisit serta prosedur untuk membangun kapabilitas

Upaya untuk memperbaiki perencanaan umumnya dilakukan melalui fokus kegiatan teknis dan melupakan adanya kelemahan kapasitas untuk melakukan perbaikan tersebut. Pada kondisi ketika pengambilan keputusan untuk tata guna lahan telah didelegasikan, diperlukan sistem

pemerintahan yang mendukung ke arah transparansi serta sensitivitas dan pembangunan kapasitas di antara para pengambil keputusan (Lloyd dan Peel 2007). Kapasitas perlu dibangun baik di lingkup pemerintahan maupun masyarakat sipil, termasuk di dalamnya nara sumber dari universitas atau LSM yang dapat memberikan pelatihan dan komunikasi.