• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran umum desa lokas

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 116-118)

Studi kasus dilakukan di dua desa, yaitu Setulang dan Sengayan. Informasi berikut disampaikan oleh Sidiyasa dkk. (2006):

Setulang

Desa Setulang dibentuk pada tahun 1968 dan batas wilayahnya ditetapkan melalui surat keputusan Bupati Bulungan pada tahun 1974. Status desa tersebut belum diterima oleh semua pihak, di mana berbagai kelompok melakukan gugatan atas hutan serta potensi kayu yang ada di dalamnya. Jumlah penduduk pada tahun 2002 adalah 851 orang, terutama dari suku Oma’ Long yang berasal dari Long Sa’an di kabupaten Pujungan. Perladangan berpindah merupakan praktek pertanian yang dilakukan penduduk dengan tetap mempertahankan tanaman berkayu yang ada. Pertanian merupakan penopang pendapatan masyarakat, di mana hasil bumi padi gunung dari Malinau merupakan komoditas yang terkenal di daerah perkotaan serta desa lain. Penduduk kelompok usia muda banyak yang merantau ke Malaysia terutama untuk bekerja di perusahaan kayu dimana upah yang diterima selanjutnya digunakan sebagai modal untuk membeli generator atau kendaraan bermotor ataupun untuk membangun rumah.

Selama periode tahun 2000 sampai dengan 2002 masyarakat mengalokasikan 50% atau 5.300 ha dari luas hutan alam yang ada sebagai hutan lindung, yang selanjutnya disebut sebagai Tane’ Olen. Keputusan ini diambil dengan dua alasan sebagai berikut. Yang pertama, timbulnya ketidakpuasan dengan adanya hak pengusahaan hutan yang diberikan semenjak tahun 1970 yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan serta sumberdaya yang diperlukan masyarakat, serta polusi di perairan sungai. Sebagai dampaknya, masyarakat selalu merasa khawatir dengan berbagai persetujuan yang diajukan oleh para pengusaha. Yang kedua, adanya lebih dari satu perusahaan konsesi IPPK (Izin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu) yang memanfaatkan masyarakat desa Setulang dan sekitarnya di awal tahun 2000 guna memperoleh izin penebangan. Desa Setulang khawatir bahwa izin tersebut akan mengakibatkan kerusakan yang lebih jauh lagi di daerahnya, dengan demikian sisa hutan yang ada dilindungi oleh masyarakat dengan menyatakan sebagai Tane’ Olen. Masyarakat mengharapkan adanya jaminan untuk tetap memperoleh akses terhadap hasil hutan kayu di masa mendatang, di samping luas tanah yang cukup untuk kegiatan pertaniannya. Pemerintah kabupaten Setulang mendukung upaya perlindungan ini dengan cara menyesuaikan rencana

pembangunannya guna menghindari dampak negatif yang akan menimpa hutan lindung. Pada tahun 2003, pemerintah setempat juga memulai mediasi dengan desa Setulang dan sekitarnya guna menyelesaikan perselisihan batas wilayah yang tak kunjung selesai.

Wilayah Tane’ Olen (3º 23’ – 3º 29’ LU dan 116º 24’ – 116º 29’ BT) memiliki topograi bergelombang dengan tingkat kecuraman yang tinggi. Ketinggian tempat mencapai 150 m hingga 500 m dpl, dipisahkan oleh beberapa riam yang kesemuanya mengalir menuju sungai Setulang. Kondisi hutan dikaji dari survei lapangan serta analisis citra satelit (Landsat TM-7 Band 542 Path/ Row 117/58 skala 1:100.000 penutupan, 23 Januari 2003) yang menunjukkan kondisi baik dengan gangguan minimal.

Menurut masyarakat, tujuan dari ditetapkannya

Tane’ Olen adalah sebagai cara untuk mempertahankan sumber air bersih di daerah tersebut, serta menjamin kelestarian penggunaan hutan dan perburuan. Alokasi tata guna lahan hutan yang disusun dilanjutkan dengan penyusunan hukum adat yang menjadi landasan pengaturan pengelolaan hutan. Sebuah Badan Pengelola ditetapkan untuk melakukan koordinasi dan kontrol terhadap pengelolaan yang dilakukan. Masyarakat juga membangun pos penjagaan di

perbatasan hutan sebagai tempat pengawasan dan peristirahatan apabila dilakukan kunjungan lapangan. Pengaturan tersebut menunjukkan adanya tanda peningkatan kesadaran di masyarakat dalam hal pengelolaan sumberdaya alam.

Pada masa puncak IPPK yang terjadi selama kurun waktu tahun 2000 - 2003 terjadi dua kali insiden penyerobotan yang dilakukan oleh pengusaha kayu ke dalam wilayah hutan lindung. Masyarakat menghentikan penyerobotan tersebut dengan menyita alat berat perusahaan dan negosiasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan perusahaan dan fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah guna menyelesaikan konlik tersebut tidak menghasilkan solusi yang disepakati. Sebagian kelompok menginginkan dikenakannya denda terhadap perusahaan, tetapi hanya 50% dari total denda yang diminta dibayarkan. Di pihak lain, meskipun perambahan tersebut dihentikan namun tidak ada sanksi yang dikenakan.

Sengayan

Desa Sengayan terletak di lokasi dengan jarak separuh jalan menuju sungai Malinau. Desa ini memiliki wilayah hutan yang luas termasuk 3.325 ha hutan produksi yang terletak di sepanjang batas wilayah mata air desa Adiu dan mata air Peang Kocop yang merupakan anak sungai Sengayan di muara Malinau. Penduduk Sengayan pada bulan Desember 2002 berjumlah 280 orang (70 keluarga), sebagian besar berasal dari etnis Merap dan pendatang lain dari pulau di sekitarnya yang sebelumnya bekerja di perusahaan tambang dan menikah dengan wanita setempat. Topograi bergelombang hingga bergunung-gunung yang dipotong oleh berbagai anak sungai yang mengalir menuju sungai Sengayan, termasuk anak sungai Prokem dan Maketi, serta Lunuk, Peang Kocop dan sungai Pelancau. Ketinggian tempat bervariasi dari 150 m hingga mencapai 700 m dpl.

Semenjak diberlakukannya desentralisasi serta adanya revisi undang-undang kehutanan yang memungkinkan pengusaha menengah dan kecil untuk melakukan penebangan hutan di wilayah desa pada tahun 1999, masyarakat setempat bersemangat untuk bekerjasama dengan pengusaha kayu yang datang ke desa. Izin pertama diberikan pada tahun 2000 berdasarkan kesepakatan dengan penduduk desa Sengayan untuk melakukan penebangan pada wilayah hutan seluas 2000 ha dari total wilayah desa seluas 10.000 ha. Kegiatan ini berakhir pada tahun 2003 di saat izin yang diberikan sudah berakhir dan kegiatan penebangan hutan menjadi ilegal. Dari kegiatan yang ada masyarakat memperoleh keuntungan tambahan sebesar Rp 20.000 dari adanya penebangan kayu

selain kesempatan untuk memperoleh akses terhadap penggergajian melalui kendaraan yang disediakan perusahaan secara cuma-cuma untuk mengangkutnya ke desa. Pimpinan desa menghargai izin yang diberikan oleh pemerintah kabupaten, mengingat jarak dari desa ke kota kabupaten yang dapat ditempuh selama dua jam dengan kendaraan bermotor serta masyarakat dapat menikmati keuntungan yang dihasilkan dari izin tersebut. Pengalaman positif tersebut akan dilanjutkan oleh pimpinan desa Sengayan dengan mengikuti aturan kehutanan yang baru. Namun demikian, tidak ada niatan untuk mengalokasikan seluruh wilayah hutan Sengayan untuk kegiatan penebangan. Rencana pembangunan daerah sudah mengalokasikan seluas 6.000 ha hutan di daerah hulu sebagai hutan lindung guna menjaga keseimbangan antara daerah yang dieksploitasi serta untuk mencukupi kebutuhan lain seperti misalnya rotan, perburuan dan hasil hutan bukan kayu lainnya.

Melalui diskusi yang dilakukan dengan CIFOR, masyarakat secara bertahap membangun ide untuk menyusun rancangan tata guna lahan dan rancangan pengelolaan hutan. Faktor yang menjadi pertimbangan antara lain adalah aksesibilitas, potensi untuk diekstrasi, penggunaan subsisten, perlindungan tata air dan eksploitasi secara komersial. Pada tahun 2004 ditetapkan usulan untuk penggunaan luasan hutan ± 3.000 ha dengan kategori i) hutan produksi yang diperuntukkan bagi eksploitasi komersial yang dapat dilakukan oleh perusahaan ataupun anggota masyarakat, ii) hutan kas desa untuk kegiatan non-komersial bagi anggota masyarakat, iii) hutan lindung atau hutan rekreasi di mana penebangan pohon tidak diperkenankan dan iv) wilayah berhutan yang dialokasikan untuk perluasan lahan pertanian, misalnya untuk membangun kebun karet. Pada saat ini, masyarakat mempertimbangkan untuk dapat menjual kayu yang dihasilkan ke kota Malinau. Mereka mengantisipasi kemungkinan adanya perubahan kebijakan desentralisasi yang akan mempengaruhi beroperasinya perusahaan kayu di daerahnya. Alternatif lain yang diajukan adalah menggunakan gergaji mesin atau chain saw serta memasok kebutuhan kayu yang meningkat selaras dengan pembangunan kabupaten yang tinggi. Namun demikian, masyarakat ragu apakah usaha tersebut dapat dilakukan mengingat berbagai dokumen yang diperlukan untuk bisa menjual hasil kayu tersebut.

Citra satelit yang ada menunjukkan bahwa kondisi hutan di wilayah ini masih belum terganggu dan survei yang dilakukan mempertegas analisis citra tersebut dimana pohon besar dengan tinggi lebih dari 40 m serta diameter lebih dari 20 cm masih

banyak ditemukan di daerah ini. Kerapatan rata-rata pohon berdiameter di atas 20 cm adalah 262 pohon per hektar. Jenis yang mendominasi adalah keruing (Dipterocarpus sp.) serta ulin (Eusideroxylon zwageri). Jenis lain masih melimpah kecuali gaharu yang semakin sulit ditemukan. Adanya praktek penebangan yang tidak lestari, seperti misalnya menebang pohon untuk mengambil hasil buahnya telah mengakibatkan kelangkaan dari buah- buahan yang sebelumnya melimpah di daerah ini. Kejadian ini terutama ditemukan di lokasi yang aksesibilitasnya sangat terbatas.

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 116-118)