Minat masyarakat dalam rencana tata guna lahan
Pengalaman dengan IPPK menyebabkan
meningkatnya keinginan masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah mereka. Dalam sebuah lokakarya yang difasilitasi oleh CIFOR, perwakilan masyarakat menekankan pentingnya keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi. Di lain pihak, pola penghidupan masyarakat mengalami perubahan dan ada peningkatan minat dalam hal pendapatan tunai, hak kepemilikan lahan ketimbang hak pemanfaatan dan peningkatan ketergantungan terhadap adanya dukungan dari pihak ketiga. Tampak adanya kesia- siaan dalam rencana jangka panjang.
Dalam diskusi dengan penduduk desa, jelas bahwa alasan di balik manfaat jangka panjang dari hutan yang dikelola dengan baik bukanlah insentif yang cukup bagi rencana yang realistis. Mungkin saja masyarakat digunakan hanya untuk mempercepat siklus dan disamping mencuatnya IPPK mereka yakin bahwa suatu saat akan terjadi titik puncak. Tampaknya sudah ada tanda-tanda gelombang kedua eksploitasi hutan yang mungkin akan menghasilkan kenaikan pendapatan tunai penduduk.
Rencana jangka panjang juga memerlukan kepemimpinan dan kepercayaan. Pengalaman IPPK, dengan hasilnya yang ingin diperoleh dengan cepat, telah mengurangi kepercayaan yang telah terbangun hingga saat ini. Akibatnya, sejumlah kecil masyarakat menunjukkan hubungan keeratan yang diperlukan untuk membangun saling percaya antar satu dengan yang lain dan dalam kapasitas bersama dalam membuat perencanaan. Di tengah masyarakat sangat sulit untuk melibatkan kelompok yang lemah untuk masuk dalam proses (misalnya, perempuan, anggota masyarakat yang miskin). Perhatian perlu diberikan untuk memastikan bahwa kelompok yang paling lemah memiliki saluran untuk memberikan masukan dalam sebuah proses jika mereka menginginkan. Harus diketahui bahwa minat di dalam masyarakat yang terlibat dalam proses perencanaan berbeda: beberapa orang mungkin hanya ingin diberi informasi tentang rencana tata guna lahan saat ini, sementara yang lainnya ingin berpartisipasi dari tahap pengumpulan informasi dan dalam diskusi tentang pilihan-pilihan tata guna lahan. Tidak akan banyak manfaatnya jika pemerintah ingin membuat rencana tata guna lahan sendiri tanpa melibatkan rencana tata guna lahan desa dan yang paling penting adalah, pemerintah
pusat mengeluarkan atau menerbitkan izin
penebangan dan atau pembangunan hutan tanaman tanpa memberitahu penduduk setempat.
Diskusi juga menunjukkan bahwa ketika penduduk desa berkeinginan untuk berkontribusi dalam rencana tata guna hutan mereka kemudian mengharapkan orang lain untuk menerapkannya. Dengan demikian ada gambaran harapan bahwa pemerintah, namun sebagian besar berasal dari perusahaan, akan membangun jalan, sistem irigasi, sistem pasokan air bersih dan bahkan menanam pohon di lahan petani sebagai bagian dari skema hutan tanaman.
Keamanan penguasaan
Aspek permasalahan lainnya adalah penguasaan lahan dan sumberdaya untuk kepentingan masyarakat di Malinau, seperti di sebagian besar daerah di Indonesia, masih belum pasti. Kelompok yang lebih lemah (misalnya, Punan) ragu untuk mengajukan gugatan secara keras dan mereka biasanya kalah cepat dengan gugatan yang diajukan oleh kelompok lain. Hubungan erat antara elit lokal, pengusaha lokal dan pejabat pemerintah membuat kelompok atau individu ini bisa memperoleh manfaat besar yang biasanya digunakan untuk melakukan gugatan kembali. Gugatan ini tumpang tindih dengan wilayah hutan, sehingga hal ini tidak menghiraukan kepastian masyarakat berkaitan dengan akses terhadap lahan dan sumberdaya. Pertikaian batas wilayah dan tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya menjadi isu yang berbenturan dengan kerjasama antar desa.
Kemudian hal ini berlanjut dengan pengembangan rencana tata guna lahan, pemerintah pusat dan kabupaten perlu untuk membicarakan isu terkait dengan penguasaan sumberdaya dan lahan.
Sebagai akibatnya, masyarakat ragu tentang rencana detil kategori pemanfaatan atau merencanakannya terlalu jauh. Dengan cara merancang kategori umum seperti areal untuk tanaman hasil bumi atau kehutanan masyarakat dilengkapi dengan beberapa aturan pengelolaan secara umum, masyarakat menjaga leksibilitas untuk melakukan penyesuaian ketika peluang tiba-tiba muncul, seperti halnya program pemerintah atau kerjasama dengan sektor swasta.
Hambatan untuk melaksanakan usulan yang berasal dari masyarakat
Secara ringkas ada beberapa hal yang menghambat pelaksanaan hutan kemasyarakatan dan hambatan tersebut terjadi pada beberapa level. Penguatan masyarakat merupakan solusi untuk mengatasinya.
Pada tingkat desa, masyarakat dihadapkan pada permasalahan sebagai berikut:
• Lemahnya kelembagaan atau institusi di tingkat
desa
• Lemahnya model pembagian keuntungan yang
disepakati
• Kurangnya pengelolaan konflik yang efektif • Lemahnya pasar, informasi pasar serta kerugian
atas biaya transportasi yang tinggi
• Tidak ada akses terhadap peralatan
• Lemahnya pengakuan serta hubungan antara
aturan yang berlaku di masyarakat dengan kerangka aturan formal
• Ketidakjelasan batas kepemilikan dan
hak kepemilikan
• Kurangnya pemahaman terhadap
pengelolaan hutan
Permasalahan di tingkat kabupaten adalah sebagai berikut:
• Terbatasnya pengalaman dan pemahaman
teknis yang berkaitan dengan model hutan kemasyarakatan
• Pembangunan hutan kemasyarakatan
memerlukan tenaga kerja yang intensif serta waktu yang berkepanjangan bagi dinas kehutanan
• Hutan kemasyarakatan tidak mudah untuk
digeneralisasikan atau diaplikasikan pada lokasi yang berbeda
• Ketidakpastian kerangka hukum penggunaan
lahan dan kehutanan serta perpajakan yang berimplikasi pada kontrol dan akses terhadap lahan hutan
• Kompetisi penggunaan lahan yang berpotensi
tinggi bagi kabupaten untuk menggalang perolehan pendapatan daerah
• Wilayah yang luas serta posisinya yang terisolir
menyulitkan untuk melakukan survei
• Ketidakpastian tentang hutan kemasyarakatan
dengan alokasi tata guna hutan yang ada saat ini Di tingkat pemerintah pusat permasalahan utamanya adalah:
• Bagaimana membuat peraturan yang memastikan
adanya keberlangsungan tapi cukup punya ruang untuk penyesuaian dengan berbagai kondisi
• Bagaimana menciptakan mekanisme perpajakan
yang layak dan berbagi keuntungan untuk beberapa pilihan berbeda
• Bagaimana mengendalikan dan mengawasi
bagaimana peraturan-peraturan itu diterapkan LSM dapat memfasilitasi permasalahan tersebut tetapi dihadapkan pada kesulitan:
• Ketersediaan tenaga kerja yang secara intensif
membantu fasilitasi pembangunan hutan kemasyarakatan
• Cara untuk melakukan mediasi antara
pemerintah kabupaten dengan masyarakat
• Cara untuk mengaplikasikan pengalaman yang
diperoleh di tempat lain ke dalam berbagai alternatif lokal
• Cara untuk menghindari ketergantungan
masyarakat terhadap LSM
Pelajaran yang dapat diambil
Meskipun kami sudah berhasil menunjukkan bahwa ada banyak jenis perencanaan berbasis masyarakat dan kehutanan, ada juga beberapa bentuk yang secara umum juga dapat diterapkan. Kami
menyarankan beberapa langkah berikut sebagai titik awal yang penting:
• Menghargai dan melindungi pengguna yang
ada saat ini dan prioritas mereka, terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar pangan dan pendapatan
• Mulai dengan percobaan berskala kecil • Masyarakat harus dianggap sebagai mitra
yang setara di dalam proses ini, atau mereka harus mempercepat proses untuk memastikan kepemilikan dan komunikasi yang baik bisa berlangsung
• Fokus pada kedua aspek baik teknis (pengelolaan
hutan dan sumberdaya) dan sosial, seperti pembagian keuntungan secara adil, partisipasi anggota masyarakat dalam pembuatan
keputusan, transparansi, cek dan perimbangan di dalam masyarakat dan diantara masyarakat dengan mitranya
• Membangun mekanisme pengelolaan konflik
yang efektif
• Penguasaan lahan yang terjamin misalnya
melalui tata batas dan status lahan atau hak pengelolaan
Desentralisasi telah membuka pintu bagi pengelolaan hutan berskala kecil di Indonesia. Pertanyaannya adalah, peran apakah yang dapat dimainkan oleh masyarakat dalam pengelolaan hutan berskala kecil? Daftar hambatan bagi pengembangan kehutanan masyarakat menjadi sesuatu yang substansial atau penting, namun mengingat potensi manfaatnya maka hal ini menjadi upaya yang sangat berguna. Proyek percontohan yang didukung oleh jejaring kerja dalam berbagi pengalaman akan sangat penting untuk memperoleh pengetahuan dan memberikan contoh bagi masyarakat lainnya. Pemerintah daerah atau kabupaten harus mendukung inisiatif lokal untuk menstimulasi debat kebijakan pemerintah di tingkat pusat dan kabupaten dalam rangka
mengembangkan peluang lebih lanjut bagi masyarakat untuk mempraktekkan pengelolaan hutan yang bermanfaat.
Sementara mempelajari semua langkah yang telah disebutkan di atas, kami belajar bahwa sangat penting untuk mempertimbangkan alokasi waktu di tiap-tiap langkah. Sebuah proses yang cepat bisa memakai momentum saat minat masyarakat mulai muncul. Meskipun demikian, ada resiko yang muncul bahwa tidak semua pilihan atau informasi akan ikut dipertimbangkan dalam proses. Dengan cara mengalokasikan lebih banyak waktu, informasi yang diperoleh akan lebih lengkap dan membuka peluang bagi berbagai pilihan yang dipertimbangkan dengan lebih hati-hati. Dengan menggunakan proses iteratif, hambatan yang muncul di tahap pertama dapat ditangani pada tahap berikutnya. Namun demikian anggota masyarakat bisa juga kehilangan minat atau perhatian jika proses ini berjalan sangat lambat, karena hal ini bisa meningkatkan biaya transaksi yang tidak dibagi rata di antara semua pihak-pihak yang berkepentingan (Adhijari dan Lovett 2006). Kami menyatakan bahwa diskusi iteratif yang dilakukan selama periode empat tahun terlalu lama. Akan lebih baik jika kita bisa terlibat secara intensif mulai tahun pertama untuk mencapai hasil yang dapat dinilai dengan uang (tangible) secara cepat dan kemudian memanfaatkan waktu selanjutnya untuk memperbaikinya. Menghasilkan manfaat yang dapat dinilai dengan uang penting untuk mempertahankan agar partisipasi dapat berlangsung terus (Salam dan Noguchi 2006). Saat fasilitasi rencana tata guna lahan desa banyak menguras waktu, satu kemungkinan untuk menangani permasalahan ini adalah dengan membangun kapasitas lokal, dimulai dari lembaga yang sesuai di pemerintah kabupaten dan secara bertahap melibatkan administrasi tingkat kecamatan dan masyarakat. Setelah beberapa waktu, peningkatan kapasitas lokal bisa membuat proses berjalan lebih cepat dan membutuhkan banyak pegawai dan juga akan membuat proses berjalan terus untuk jangka panjang.
Masukan dari lembaga pemerintah tentang program pembangunan yang ada saat ini diperlukan dalam proses. Alokasi waktu untuk membuat masukan juga penting namun juga menjadi masalah: jika masukan dari pemerintah terlalu dini, hal ini akan membatasi eksplorasi minat dan prioritas dari masyarakat. Jika masukan diberikan terlalu lama, hasil diskusi masyarakat akan terbuang percuma karena hasilnya tidak sesuai dengan rencana pemerintah atau bisa saja sulit diakomodasi dalam proses rencana pemerintah. Kami menyarankan bahwa masyarakat bisa menghasilkan konsep awal yang relatif cepat dan memperoleh tanggapan sesegera mungkin.
Pengalaman yang kita peroleh yakni minat pemerintah lokal dalam rencana tata guna lahan minimal dan sulit untuk menunjukkan relevansi dari rencana tersebut ketika rencana tata guna lahan kabupaten itu sendiri memiliki keterbatasan untuk digunakan oleh masyarakat dalam pengambilan keputusan berdasarkan insentif ekonomi. Berdasarkan argumen seperti ukuran luas kabupaten dan keterbatasan sumberdaya manusia dan dana, pemerintah kabupaten cenderung menitikberatkan pada rencana dan pengembangan skala besar. Untuk menggambarkan permasalahan ini, kami menyitir kalimat yang dibuat oleh seorang konsultan yang terlibat dalam pembangunan rencana tata guna lahan di kabupaten Malinau: ‘Rencana tata guna desa terlalu mikro, kita harus lebih memfokuskan diri agar bisa melihat gambaran besarnya.’ Dalam pandangannya, memasukkan rencana tata guna lahan desa dalam rencana tata guna lahan kabupaten tidaklah praktis. Sedangkan untuk bisa melihat ‘gambaran besar’nya diperlukan pemahaman tentang kebutuhan dan pandangan dari penduduk desa. Sebuah proses perencanaan yang lebih bottom-up (dari bawah ke atas) diperlukan agar unit yang lebih kecil bisa digunakan.
Dalam rangka mengakomodasi proses perencanaan tata guna lahan yang lebih bottom up, pemerintah kabupaten menghadapi beberapa kendala: kurangnya pengalaman dengan proses bottom- up dan konsultasi publik yang asli; sedikitnya anggota pegawai yang memiliki cukup pelatihan di bidang teknik perencanaan tata guna lahan; atau keahlian untuk memfasilitasi masyarakat dalam mengekspresikan kebutuhan dan minat mereka agar bisa berjalan seiring dengan proses rencana tata guna lahan. Situasi ini diperparah dengan kurangnya peta yang dapat dipertanggungjawabkan dan kurangnya data yang berkualitas baik.