• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eva Wollenberg, Imam Basuki, Bruce M Campbell, Erick Meijaard, Moira Moeliono, Douglas Sheil, Petrus Gunarso dan Edmound Dounias

6

Pendahuluan

Pemerintah di seluruh dunia menerapkan rencana tata guna lahan untuk menetapkan kebijakan bagi zonasi kawasan lindung, pengelolaan hutan kemasyarakatan, atau pengkoordinasian pengguna seluruh lanskap (Theobald dkk. 2000; Haddock 1999). Rencana berfungsi sebagai panduan bagi pengambilan keputusan di masa mendatang, demi transparansi dan akuntabilitas, dengan cara menyediakan kemungkinan bagi masyarakat untuk mengartikulasikan tujuan-tujuan pengelolaan yang mereka siapkan serta menduga segala akibat yang berbanding dengan tujuan yang akan dicapai (Mintzberg 1993; Lusiana dkk. 2005; Lloyd dan Peel 2007). Adanya penekanan terhadap perencanaan akan menggiring seluruh perhatian menuju suatu proses tertentu yang kadang sumir hubungannya dengan aksi lokal. Hal tersebut terjadi pada kondisi ketika pemerintah memiliki kapasitas yang lemah untuk mengelola hutan; penegakan hukum buruk; minimnya akses ke informasi; tata batas dan hak mendapatkan akses tidak terjamin ataupun tidak jelas; pertikaian atas sumberdaya terus berlangsung. Perencanaan, pada kondisi tersebut di atas,

berfungsi sebagai kerangka pengikat yang membatasi pengelolaan dan bukannya berfungsi sebagai platform yang dapat mendukung pengelolaan itu sendiri. Kondisi tersebut di atas membatasi jadwal yang disusun, jumlah anggaran yang akan dialokasikan, penataan ruang serta hasil dengan risiko merusak semua proses yang memungkinkan proses adaptasi dan inovasi yang

leksibel. Perencanaan yang diterapkan untuk kontrol akuntabilitas dan birokrasi memiliki keterbatasan, karena relevansinya bersifat sesaat. Masyarakat lokal merasa bahwa perencanaan bukanlah milik mereka dan hak-hak mereka kerap diabaikan. Perencanaan konvensional semacam ini seringkali menyebabkan pemerintah dan pengelola lahan memiliki rasa kendali yang salah yang akan menyebabkan mereka alpa terhadap berbagai ancaman atau peluang.

Kami mengusulkan pendekatan alternatif yang diturunkan dari prinsip-prinsip adaptif manajemen, sistem teori serta multi-stakeholder. Pendekatan ini memungkinkan perencanaan beralih menjadi suatu proses persiapan, dokumentasi acuan pengambilan kebijakan, prinsip dan proses yang memungkinkan pertukaran informasi, pembelajaran dan penyelarasan bagi pemerintah maupun para pengelola dan pengguna lahan untuk memiliki satu visi yang sama.

Bab ini melaporkan upaya yang telah dilakukan untuk menguji pendekatan alternatif yang diusulkan. Uji coba dilakukan selama tujuh tahun melalui keterlibatan CIFOR di Kabupaten Malinau (Provinsi Kalimantan Timur). Rencana tata guna lahan di tingkat kabupaten Malinau maupun tingkat nasional akan diuraikan. Selanjutnya akan diperkenalkan modus alternatif perencanaan berbasis lima prinsip pokok disertai dengan contoh penerapannya di kabupaten Malinau. Bab ini ditutup dengan usulan untuk mengatasi persoalan perencanaan yang terjadi pada kondisi lingkungan yang tidak pasti dan kompleks.

Rencana tata guna lahan di Indonesia dan Malinau

Prosedur perencanaan di Indonesia

Di Indonesia, Undang-undang No. 24 Tahun 1992 merupakan landasan bagi penyusunan perencanaan tata ruang. Pemerintah di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten diminta untuk menyusun rencana tata ruang yang menggambarkan karakteristik lahan di daerahnya, potensi sumberdaya, tantangan pembangunan dan batas-batas administrasi

wilayahnya (Auricht dan Rais 2000).

Bagi masyarakat luas, termasuk pegawai pemerintah di dalamnya, rencana tata ruang tersebut dianggap tidak memberikan manfaat. Rencana tersebut disusun oleh konsultan yang berkantor di Jakarta tanpa pernah melakukan kunjungan ke lapangan. Bahkan, data yang digunakan tidak lengkap. Rencana tersebut seringkali merupakan duplikat dari rencana dari kabupaten lain, yang dilengkapi dengan informasi tentang sektor yang kadang kurang relevan dengan kondisi setempat. Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan sebagaimana yang dipersyaratkan seringkali diabaikan. Pegawai pemerintah bekerjasama dengan pengusaha berkolusi mengalokasikan lahan yang akan

menguntungkan pihak-pihak tersebut. Perencanaan yang ada seringkali tidak segera dipakai sebagai alat kebijakan dan bahkan jarang dipublikasikan (Auricht dan Rais 2000). Oleh sebab itu, seringkali dipertanyakan relevansi antara rencana dengan pengelolaan hutan secara lestari. Di Kalimantan, rencana tersebut mengabaikan lokasi hutan lindung dan kawasan yang dilindungi di dalam suatu DAS, sebagaimana digariskan oleh Rencana Konservasi Nasional yang disusun pada tahun 1981/1982. Desentralisasi yang dilakukan pada tahun 1999 memberikan otoritas kepada kabupaten untuk menyusun rencana tata ruang serta menentukan lokasi pembangunan di daerahnya disertai dengan pemberian izin. Rencana tersebut dilegalkan dengan PERDA (Peraturan Daerah) dan berlaku selama 10 tahun disertai dengan evaluasi setiap lima tahun. Meskipun rencana tata ruang tersebut telah disusun pada berbagai kabupaten sebagai manifestasi otonomi (cf Mintzenberg 1993), tetapi permasalahan lama tentang perencanaan tata guna lahan masih terus berlangsung.

Permasalahan baru muncul, mengingat rencana yang dibuat tidak mengacu pada rencana tata ruang yang disusun oleh provinsi. Meskipun sudah dilakukan revisi tata ruang provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1999, tetapi sampai saat ini masih belum dilegalkan mengingat banyaknya konlik dengan rencana tingkat kabupaten. Undang-

undang desentralisasi yang disempurnakan (UU 32 Tahun 2004) memperkuat peran provinsi sebagai koordinator, namun demikian rencana yang ada masih belum terkoordinasi. Banyak kalangan berpendapat bahwa sistem perencanaan yang ada saat ini cenderung berfungsi sebagai alat untuk melegalkan akses pengusaha mengusahakan sumberdaya alam yang ada di tingkat kabupaten, tetapi tidak dibarengi dengan perlindungan terhadap kepentingan umum.

Rencana tata guna lahan di Kabupaten Malinau

Rencana tata ruang di Malinau disusun pada tahun 2002. Rencana tersebut disusun oleh konsultan yang berkantor di Jakarta, dengan tanpa melakukan kunjungan lapangan maupun konsultasi ke

masyarakat. Peta yang dipersiapkan berasal dari informasi kabupaten lama, Bulungan, disertai dengan arahan dari pemerintah kabupaten tentang rencana pembangunan daerah yang akan dilakukan. Data tentang kondisi ekologi, hutan serta kondisi sosial yang dikumpulkan oleh CIFOR sama sekali tidak dipakai sebagai acuan. Konsultasi publik dilakukan oleh konsultan di ibukota kabupaten dengan mengundang wakil dari CIFOR serta pegawai pemerintah lainnya. Konsultasi tersebut tidak melibatkan masyarakat sekitar hutan Malinau, tak seorang pun masyarakat desa yang tahu tentang adanya rencana tata ruang tersebut.

Rencana tersebut dibahas lebih lanjut secara tertutup, di mana pemerintah kabupaten

meningkatkan luas wilayah konversi hutan sampai dengan 600.000 ha serta mengurangi luas kawasan lindung dan hutan produksi terbatas dengan maksud untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit serta meningkatkan kontrol mereka terhadap pendapatan yang berasal dari lahan dan hasil hutan kayu (Andrianto 2006). Keputusan tersebut dibuat tanpa didahului dengan studi kelayakan teknis yang mengharuskan kawasan tersebut dipertahankan sebagai hutan. Setelah beberapa kali dilakukan revisi, rencana tersebut akhirnya disahkan melalui PERDA pada tahun 2003.

Pemerintah kabupaten pada akhirnya tidak mempublikasikan rencana tata ruang tersebut. Upaya kami untuk memperoleh salinan selalu ditolak. Investasi yang mengalir ke kabupaten dilakukan tanpa adanya studi kelayakan. Contohnya, pada tahun 2004, investor meminta lahan untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit. Lahan tersebut merupakan bagian dari areal yang

diusahakan oleh pemegang konsesi hutan dan tidak dibenarkan untuk melakukan konversi. Melalui rencana tata ruang yang disusun pemerintah kabupaten mengurangi wilayah konsesi PT. Inhutani dari seluas 48.000 ha menjadi 28.000 ha.

Ketika rencana tersebut diajukan kepada Menteri Kehutanan pada tahun 2005 untuk memperoleh persetujuan revisi, pihak Dephut menolaknya. Namun demikian, pemerintah kabupaten tetap menandatangani kesepakatan dengan pihak investor. Konversi tersebut diakomodasi di tingkat pemerintah provinsi, tetapi pihak Departemen Kehutanan menolak rencana untuk mengkonversikan 1 (satu) juta ha kawasan hutan menjadi lahan pengembangan kelapa sawit.

Dalam pandangan kami, dari sisi proses rencana tata ruang tersebut sangat mengecewakan. Rencana tersebut menitikberatkan pada pengembangan untuk konversi serta usaha budi daya, tanaman yang pada hakikatnya memerlukan input berupa pemupukan serta pencegahan dan kontrol terhadap erosi. Selain itu, konversi hutan akan mengurangi kontrol masyarakat terhadap lahan serta hasil hutan yang diperlukan bagi kehidupannya. Rencana yang ada tidak memandang perlunya mempertahankan penutupan hutan di wilayah tersebut, ataupun perlunya melakukan pengelolaan hutan secara lestari (Meijaard dkk. 2005). Analisis yang dilakukan terhadap 600 sampel tanah yang dilakukan oleh Basuki dan Sheil pada tahun 2005, dengan menggunakan kriteria kesesuaian lahan yang dikembangkan oleh Departemen Pertanian menunjukkan bahwa 200 karakteristik lahan yang ada tidak sesuai untuk pengembangan tanaman seperti lada, kopi, karet maupun kelapa sawit. Lahan yang paling bagus untuk pengembangan tanaman terletak di sepanjang sungai yang merupakan dataran rendah aluvial dan sudah diusahakan oleh masyarakat untuk bercocok tanam. Rencana yang diterapkan itu tidak mempertimbangkan bahwa sistem pengolahan tanah yang diterapkan di sana tetap berlangsung hanya karena masyarakat setempat menggunakan lahan yang sempit, memilih lahan yang subur, mempertahankan penutupan vegetasi, menerapkan masa bera yang panjang untuk mengembalikan kesuburan tanah yang dilakukan dengan melakukan pembakaran, serta tidak melakukan pertanian intensif dengan menanam jenis yang sama secara berturut-turut (Dounias dan Loutrel 2002; Basuki dan Sheil 2005).

Prinsip dasar model alternatif