• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah peluang konservas

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 150-161)

Jika di masa yang lalu banyak lembaga non-

pemerintah (NGO) di bidang konservasi menghujat penebangan hutan atau pembalakan, situasinya saat ini berubah. Kecenderungan ini mencerminkan adanya peningkatan kerjasama antara pengelola bisnis perkayuan dan para konservasionis, sebuah proses yang bisa dilihat dengan jelas di Borneo. Mengapa hal ini terjadi?

Sekitar 10% dari kawasan hutan Borneo dilindungi secara ketat. Jika hanya hutan ini yang dijaga, hilangnya habitat dan fragmentasi akan berdampak negatif bagi banyak spesies yang berstatus jarang dan memiliki wilayah jelajah yang luas seperti macan tutul, Neofelis diardi, atau Bangau Strom (Ciconia stormi) yang terancam punah. Adanya tambahan kawasan hutan menawarkan banyak sekali potensi manfaat konservasi.

Dengan luasan kurang lebih 20.000 km2 atau

setengah dari sisa luas hutan yang ada di Borneo dan sebagian besar milik perusahaan kayu yang masih aktif, daerah ini memiliki kepentingan yang tinggi untuk dijadikan kawasan konservasi. Sebagai contoh, diperkirakan bahwa 75% dari orang utan Borneo (Pongo pygmaeus) berada di dalam areal konsesi hutan.

Mengingat kenyataan politik yang ada dan

deforestasi yang terjadi secara cepat akibat konversi hutan untuk pemanfaatan lahan selain hutan, luasan hutan hanya akan bertahan hanya jika dapat memberikan keuntungan secara ekonomis. Produksi dari hutan yang ada di Borneo dilakukan secara selektif—hanya beberapa jenis pohon yang diambil dari tiap-tiap hektarnya—sehingga apapun yang tersisa tetap menjadi hutan. Bagi satwa hutan, hutan bekas tebangan jauh lebih baik ketimbang tanpa hutan.

Status perlindungan yang ketat di suatu kawasan hutan atau status hutan lindung tidak banyak

membuat perbedaan bagi hilangnya hutan di Kalimantan (Curran dkk. 2004). Hal ini

mencerminkan adanya tantangan untuk melakukan pengawasan dan pengelolaan terhadap kawasan yang luas dengan sumberdaya yang terbatas. Sebaliknya, banyak perusahaan kayu yang memiliki kapasitas untuk mengelola dan melindungi areal hutan yang sangat luas–dan ini menjadi daya tarik untuk melakukan bisnis yang bagus.

Perusahaan kayu berharap untuk bisa mengakses melimpahnya “pasar hijau” atau “green market” untuk kayu yang bersertiikasi. Empat pengusahaan hutan alam Indonesia berhasil mencapai standar internasional melalui FSC (Forest Stewardship Council)–dan masih banyak lagi yang berupaya untuk mendapatkannya. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan dan komitmen untuk melakukan pengelolaan berbasis konservasi. Pemantauan yang dilakukan di keempat perusahaan tersebut berimplikasi pada hilangnya hutan sebesar kurang dari 0,1% per tahun (data tidak diterbitkan), sementara rata-rata hilangnya hutan di Kalimantan sebesar 2% (Fuller dkk. 2004).

Sangat masuk akal jika ada yang berharap bisa bekerjasama dengan perusahaan perkayuan untuk menjaga lanskap hutan yang sangat luas di Borneo dan memberikan sarannya tentang bagaimana meningkatkan nilai hutan dari sisi konservasi (Meijaard dan Sheil 2007a,b,c). Pengetahuan yang bagaimana dan nasehat apa yang bisa kita tawarkan?

Metode

Sekumpulan data dikumpulkan dan dianalisa berkaitan dengan bagaimana produksi kehutanan berpengaruh bagi hidupan liar di seluruh wilayah Borneo. Kajian yang dibuat harus lebih luas dari hanya Malinau dan bahkan Kalimantan karena masih jarangnya kegiatan di daerah ini. Kajian dilakukan terhadap semua pustaka yang tersedia (baik yang diterbitkan maupun tidak) tentang spesies hidupan liar di Borneo, termasuk mamalia, burung, reptil dan amibi, serta melakukan konsultasi dengan para ahli baik lokal maupun internasional.

Analisa dilakukan terhadap 282 terbitan

menyangkut studi di Borneo (Meijaard dkk. 2005; Meijaard dan Sheil 2007a,c; Meijaard dkk. 2008) dan sejumlah terbitan yang sama yang berbasiskan riset yang dilakukan di berbagai lokasi di Asia Tenggara (Meijaard dkk. 2005). Untuk masing- masing spesies yang dikaji, beberapa spesies dipilih dan dinilai toleransinya terhadap pembalakan, yaitu menyangkut dampak langsung dan pengaruh

lainnya yang berkaitan yang seringkali terjadi akibat kegiatan perburuan dan fragmentasi hutan. Proses yang berlangsung juga harus membuat rangking (urutan) kemungkinan tepat tidaknya perkiraan dan tingkat kekuatan dari laporan yang asli, sebagaimana di banyak studi yang menemukan berbagai dampak penebangan yang bervariasi terhadap spesies yang sama. Seperti contohnya, satu kajian di satu pulau di Borneo melaporkan adanya penurunan pada beberapa spesies setelah dilakukannya tebangan, sedangkan studi lain yang menggunakan pendekatan berbeda dan di kawasan yang berbeda pula bisa saja menghasilkan kesimpulan bahwa dampak penebangan tidak ada pengaruhnya terhadap spesies terkait, atau bahkan terjadi peningkatan kelimpahan spesies. Tentu saja hanya 33% dari spesies yang dikaji memiliki pola yang konsisten di seluruh wilayah studi (contohnya, baik hanya turun, atau naik, atau tidak ada

perubahan sama sekali), meskipun hal ini termasuk beberapa jenis yang hanya muncul dalam satu kajian saja.

Untuk beberapa spesies dengan hasil yang tidak konsisten di seluruh studi, pada umumnya yang kami pilih adalah temuan dari studi yang menggunakan ukuran contoh yang besar dan jangka waktu pemantauan yang lama ketimbang studi yang hanya dilakukan di satu lokasi dengan survei intensitas rendah yang dilakukan hanya satu kali. Meskipun demikian, persentase kajian dari berbagai macam kategori jika ditambahkan seluruhnya berjumlah lebih dari 100% karena temuan dan kajian yang berbeda pada satu spesies yang sama. Di samping itu, untuk pertama kalinya kami berhasil menyajikan sebuah gambaran singkat tentang sensitivitas hidupan liar di Borneo terhadap pembalakan, termasuk ancaman yang umum dihadapi di antara spesies yang dipengaruhi secara negatif atau positif (Meijaard dkk. 2008). Berdasarkan data tersebut di atas, pengaruh

ekologis secara umum dari produksi kehutanan dan opsi pengelolaan hidupan liar dapat diteliti dan pada akhirnya rekomendasi akan dihasilkan dan dikembangkan untuk memperbaiki pengelolaan hutan. Sebagai bagian dari proses ini, kami mempertimbangkan persyaratan habitat yang berbasis spesies sehingga memudahkan untuk memberikan rekomendasi bagi suatu kegiatan pengelolaan yang khusus untuk melindungi karakteristik hutan. (sekilas tentang proses ini dapat ditemukan dalam Sheil dan Meijaard 2005).

Dalam mempertimbangkan dampak yang diakibatkan oleh suatu kegiatan, maka seseorang perlu mencatat bahwa di hampir seluruh kawasan yang menggunakan pembalakan tebang pilih: hanya spesies komersial dengan batas diameter

yang telah ditetapkan (umumnya >50 cm dbh) yang diambil. Berbagai tahapan pengelolaan diijalankan baik secara penuh maupun sebagian-sebagian untuk menghindari terjadinya kerusakan parah pada hutan yang tersisa, dimulai dari perencanaan pemanenan, desain jalan dan jalur jalan sarad dan prosedur penebangan pohon yang disebut dengan pembalakan ramah lingkungan (RIL) (lihat Priyadi, dalam buku ini).

Penilaian terhadap spesies yang toleran terhadap pembalakan

Pola Umum

Hasil kajian kami menunjukkan bahwa 23% dari 64 spesies mamalia dan burung kerapatannya mengalami kenaikan setelah penebangan, 46% relatif tidak terpengaruh (perubahan <20%) dan 42% mengalami kenaikan yang signiikan (menurun >20%). Hasil penelusuran pustaka juga mengungkapkan bahwa tidak satu pun spesies mengalami kepunahan lokal, setidaknya selama jangka waktu pengkajian (umumnya <3 tahun). Spesies yang dikaji tidak dipilih secara objektif melainkan pemilihan bergantung pada informasi yang tersedia sehingga semuanya secara murni merupakan pilihan peneliti. Setiap kajian memiliki konteks, rancangan dan keterbatasan yang khusus serta berbagai ketidakpastian sehingga untuk membuat generalisasi bisa menjadi masalah. Meskipun demikian, persentase yang ada tersebut bisa memberikan indikasi menyangkut pengaruh penebangan terhadap satwa vertebrata di Borneo, dengan kemungkinan kurang dari setengah spesies yang ada menunjukkan dampak negatif bagi kelimpahan dan tanpa terjadinya kepunahan lokal. Kami tidak berharap untuk meremehkan dampak penebangan kayu terhadap satwa liar dan menyadari bahwa masih ada ketidakpastian menyangkut metodologi yang diterapkan. Namun demikian, kami menunjukkan bahwa dampak negatif lebih kecil ketimbang apa yang umumnya diasumsikan orang. Pola toleransi yang khusus dan umum memberikan basis dalam rangka mengembangkan pedoman pengelolaan hutan yang ramah terhadap hidupan liar.

Meta analisis yang kami lakukan berhasil

mengidentiikasikan pola di antara spesies yang ada dibawah tingkat toleransi penebangan yang berbeda. Mamalia yang intoleran cenderung memiliki relung ekologi yang sempit dan banyak memiliki perilaku makan spesialis, seperti, pemakan buah (frugivora), pemakan daging (karnivora) atau pemakan serangga (insektivora). Mereka akan menjadi spesialis jika hidup pada strata hutan tertentu, khususnya pada

tingkat bawah atau tajuk teratas, dibandingkan dengan spesies yang berada di seluruh tingkatan. Sebaliknya, mamalia yang toleran terhadap penebangan adalah pemakan daun (herbivora) atau lebih bersifat pemakan segalanya (omnivora). Banyak dari spesies ini hidup pada strata vegetasi bagian bawah, meskipun beberapa dari mereka bisa ditemukan di semua tingkatan.

Antara relung ekologi dan toleransi yang dimiliki oleh burung menunjukkan hubungan yang sama (Lambert dan Collar 2002), sedangkan populasi nektarivora dan frugivore/insektivora generalis mengalami peningkatan setelah penebangan (Johns 1989; Lambert, 1992; Zakaria 1994; Johns 1996). Insektivora spesialis pada strata vegetasi bawah, di lain pihak, nampaknya memiliki toleransi rendah terhadap gangguan yang

berkaitan dengan penebangan. Amibi nampaknya dapat menyesuaikan diri terhadap pengaruh yang diakibatkan oleh penebangan yang ramah lingkungan seperti yang terjadi di Sabah yang menunjukkan bahwa dengan menerapkan RIL maka keanekaragaman hayati akan meningkat dibandingkan dengan hutan yang masih asli (namun perlu dicatat bahwa pengaruh jangka panjang terhadap spesies hutan yang memiliki lebih banyak spesies non-hutan masih belum diketahui) (Wong 2003). Sepanjang periode kajian, penebangan konvensional yang menghasilkan lebih sedikit lapisan serasah daun seringkali menyebabkan penurunan yang nyata pada keanekaragaman dan kelimpahan amibi (Iskandar 1999; Wong 2003). Pada akhirnya kajian kami dapat menunjukkan bahwa sejumlah kecil spesies ikan seperti ikan kat Gastromyzon spp. dan Garra borneensis, serta herbivora atau frugivora Lobocheilos bo, Osteochilus chinni dan Tor spp., peka terhadap penebangan (Rachmatika dkk. 2004). Bagaimanapun juga, spesies ini bahkan dengan cepat akan

mengkolonisasi sungai setelah penebangan berakhir, jika sedimentasi diawasi dan beberapa populasi lokal masih bisa bertahan (Martin-Smith 1998). Berlainan dengan pengaruh langsung dari pemanenan kayu, membagi-bagi hutan yang kompak dalam satu hamparan menjadi blok-blok yang lebih kecil ukurannya nampaknya akan lebih banyak lagi berpengaruh terhadap spesies. Hal ini setidaknya berlaku bagi burung – omnivora, insektivora, frugivora dan nektarivora – dan secara virtual, seluruh spesies terpengaruh secara negatif oleh pemanenan (perlu dicatat bahwa beberapa spesies diuntungkan oleh adanya penebangan dan fragmentasi, terutama kelompok generalis, spesies non-hutan) (Lambert dan Collar 2002). Belum ada kajian rinci yang dilakukan untuk mengetahui

bagaimana fragmentasi hutan mempengaruhi mamalia Sunda, meskipun kajian yang dilakukan oleh Brook dkk. (2003) menghubungkan kepunahan mamalia di Singapura dengan habitat yang

mengalami penurunan kualitasnya. Jalan yang dibangun dalam konsesi hutan juga membuat hutan terfragmentasi, meski banyak (tidak

semuanya) spesies dengan mudahnya menyeberang jalan tersebut; hal ini bisa menjadi topik yang membutuhkan investigasi lebih jauh lagi.

Perburuan menjadi faktor utama yang menentukan kepadatan hidupan liar di dalam hutan yang sudah menjadi lebih mudah dijangkau (akibat pembalakan) atau dibuka melalui tebang pilih. Secara alami hal ini terjadi pada spesies-spesies tertentu yang menjadi target para pemburu. Dengan demikian, ada sinergitas dampak negatif di antara sistem penebangan menggunakan tebang pilih dan perburuan bagi spesies tertentu, seperti spesies-spesies yang banyak dicari untuk pakan atau perdagangan, termasuk babi, rusa, kancil, kera, musang, rangkong dan penyu. Meskipun demikian, upaya penjeratan banyak membunuh banyak spesies bukan target. Dampak perburuan yang dilakukan setelah penebangan sudah dikaji dan didokumentasikan secara luas di Sarawak (Borneo Malaya) dan benua Afrika (seperti, Wilkie dkk. 2000), di mana ada hubungan yang jelas antara pemanenan kayu dengan perburuan (Bennett dan Gumal, 2001). Pengaruh dari perburuan juga dilaporkan dari Kalimantan (Nijman 2004, 2005; Marshall dkk. segera terbit) dan diambil dari pengamatan pertama di kawasan hutan dengan tekanan perburuan mulai dari tingkat rendah hingga tinggi (Meijaard, pengamatan pribadi).

Pola khusus per spesies

Di samping pola umum dalam hal toleransi spesies, pembalakan mempengaruhi spesies tertentu dalam berbagai cara yang berlainan. Seperti misalnya, penebangan di Borneo terutama diperuntukkan bagi spesies target seperti Dipterokarpa dan diperkirakan pula bahwa vertebrata yang secara khusus

bergantung pada jenis tersebut dan spesies kayu komersial lain akan terpengaruh dengan proporsi yang tidak seragam. Sejumlah kecil vertebrata kemungkinan memiliki hubungan kuat dengan dipterokarpa, meskipun jelas-jelas merupakan pemakan biji seperti babi berjenggot (Sus barbatus), spesies Muntiacus, landak, bajing jenis tertentu dan beberapa burung rangkong menggunakan pohon tersebut sedikitnya dalam waktu-waktu tertentu. Mempertahankan sejumlah besar pohon dipterokarpa akan meningkatkan regenerasi hutan dengan jalan menyediakan jumlah biji yang lebih banyak diluar jumlah yang biasanya dikonsumsi oleh satwa pemakan biji. Pohon berukuran besar

juga secara tidak proporsional memberikan sumbangan dengan cara menyediakan sejumlah kayu-kayu yang telah mati di hutan (Grove 2001) dan kayu mati ini merupakan elemen utama atau sebagai habitat bagi banyak spesies satwa di Borneo (Bernard 2004). Penduduk lokal menyatakan bahwa pohon dipterokarpa besar akan menarik perhatian satwa pemakan biji (Limberg dkk. dalam buku ini) dan limbah kayu dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi (Iskander dkk. dalam buku ini). Pohon dengan batang yang besar banyak

menyediakan rongga-rongga atau gerowong pada batang pohon yang digunakan untuk bersarang dan menyimpan makanan. Rangkong gading (Rhinoplax vigil), misalnya, lebih memilih spesies dipterokarpa berukuran besar (dbh >105 cm) seperti Hopea spp. dan Shorea spp. untuk bersarang (Thiensongrusamee dkk. 2001). Kajian tentang penyebaran dan penentuan pohon-pohon yang berlubang sedikit sekali dilakukan, namun demikian lubang cenderung terdapat pada spesies pohon- pohon besar saja (sebagian besar dengan dbh >60 cm) dengan jenis kayu ringan dan rentan terhadap penyakit busuk gubal. Pada awalnya, setelah

sejumlah kecil kayu diambil, pohon besar yang tidak ditebang berukuran besar dan rusak mungkin akan rentan dan mudah membentuk lubang atau rongga, namun hal ini bisa berubah jika pohon-pohon besar tersebut pada akhirnya juga ditebang, mungkin setelah beberapa siklus tebangan.

Beberapa pohon, terutama pohon ara (Ficus spp.), sangat penting bagi hidupan liar karena pohon tersebut berbuah sepanjang tahun (Jordano 1983; Lambert 1989b, 1989a, 1989c, 1990, 1991; Heydon dan Bulloh 1997; O’Brien 1998; Kinnaird dkk. 1999) dan bisa memenuhi kebutuhan nutrisi seperti kalsium yang diperlukan oleh vertebrata yang biasanya hidup di wilayah yang memiliki potensi pakan yang miskin mineral (lihat O’Brien dkk.

1998). Tergantung pada spesiesnya, pohon ara per se tidak setiap saat berbuah sehingga diperlukan sejumlah besar luasan areal dengan jumlah pohon yang memadai dan juga beragam spesies yang menyediakan pakan sepanjang tahun. Beberapa hasil kajian melaporkan adanya penurunan kepadatan pohon ara setelah penebangan (Johns 1983; Leighton dan Leighton 1983; Lambert 1990; Heydon dan Bulloh 1997) yang menunjukkan bahwa kegiatan penebangan menurunkan daya dukung hutan bagi spesies yang pakan utamanya adalah buah-buahan. Pisang hutan (Musa spp.) yang bisa berbuah sepanjang tahun bisa dijadikan sumber pakan, namun tingkat kepentingannya bagi hidupan liar di hutan masih belum banyak dikaji. Spesies tumbuhan perintis ini seringkali ditemukan di areal hutan yang terganggu dan ini dapat mengurangi

dampak penebangan bagi frugivora seperti berbagai spesies musang dan kera.

Banyak spesies yang hidupnya bergantung pada struktur vegetasi tertentu untuk hinggap, mencari makan, berkembang biak dan beristirahat. Hanya pelatuk yang banyak diteliti dengan baik dan sebagian besar kajian membahas habitat pakan (Styring 2002; Styring dan Ickes 2003; Lammertink 2004b). Meskipun demikian, pengetahuan kami tentang prasyarat kebutuhan karakteristik struktur hutan bagi sebagian besar spesies masih sangat terbatas. Penebangan berpengaruh pada struktur tiga dimensi hutan dalam banyak cara dan sulit untuk melakukan generalisasi tentang dampaknya bagi spesies tertentu. Beberapa spesies, seperti rusa atau spesies tertentu (katak) memperoleh keuntungan dengan adanya bukaan yang dapat memberikan ekstra pakan bagi karnivora. Spesies lainnya gagal untuk menemukan pakan dalam bukaan – contohnya adalah kelelawar barong seperti

Hipposideros spp. dan kelelawar ladam Rhinolophus

spp. (lihat Kingston dkk. 2003). Beberapa spesies, seperti tikus kecil, memperoleh manfaat dengan adanya kondisi hutan yang lebih rapat dan tegakan bawah yang lebih kompleks setelah penebangan (Bernard 2004), sementara satwa lainnya nampaknya memerlukan struktur yang lebih terbuka dan tegakan tua pada hutan primer, seperti burung hantu hutan

Otus rufescens dan paruh kodok Batrachostomus

spp. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kemampuan adaptasi perilaku suatu spesies, semakin besar kemungkinannya dapat bertahan terhadap dampak dari kegiatan penebangan.

Bagaimana hutan bisa dikelola untuk menjamin bahwa konservasi hidupan liar dan pemanenan kayu dapat berjalan seimbang?

Apa implikasi dari hasil temuan kami bagi

pengelolaan konsesi kayu? Data kami menunjukkan bahwa meskipun banyak spesies mengalami penurunan kerapatan populasinya setelah kegiatan penebangan, tanpa kita saksikan secara langsung pada tahap awal gangguan semua spesies dapat bertahan hidup. Sayangnya, banyak spesies yang secara negatif terpengaruh oleh kegiatan pembalakan masuk dalam kriteria daftar merah IUCN (2003) sebagai terancam punah (Meijaard dan Sheil 2007a). Pengelola konsesi kayu mungkin tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melindungi seluruh kebutuhan ekologi spesies vertebrata yang paling dipengaruhi oleh kegiatan pembalakan atau penebangan kayu, namun demikian ada perbaikan secara sederhana yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak

terhadap spesies yang paling terancam sebagaimana yang ada dalam daftar yang dibuat oleh Meijaard

dan Sheil (2007a). Tujuan pengelolaan kayu yang ramah terhadap hidupan liar seyogyanya termasuk:

• Secara umum dapat mengurangi dampak seperti

pembangunan jalan, terbentuknya bukaan dan pemotongan tanaman pelilit dan tumbuhan bawah. Percobaan yang dilakukan di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kerusakan akibat tebangan ternyata hanya dapat dikurangi jika dilakukan dengan intensitas tebangan rendah yaitu 8–9 pohon/hektar, tetapi jumlah yang umum ditebang adalah 10–11 pohon/hektar (Sist 2001; Sist dkk. 2003b). Pembatasan tebangan hanya pada pohon dengan diameter >100 cm dbh, secara nyata tidak membatasi produksi (Sist dkk. 2003a) dan hal yang dilakukan ini bisa menghasilkan tegakan umur tua yang memiliki kepentingan secara ekologis sementara juga dapat mengurangi kerusakan. Jika para penebang berniat menghindari menebang kayu berbatang besar maka mereka dapat menggunakan mesin yang lebih ringan. Perencanaan dan pelaksanaan yang berhati-hati sangat diperlukan untuk mengurangi dampak secara keseluruhan, tanpa perlu mengurangi hasil kayunya.

• Meninggalkan kayu yang mati atau sebagian

mati di lantai hutan baik bagi habitat burung yang bersarang pada lubang-lubang kayu, beragam invertebrata dan vertebrata yang memerlukan lubang untuk berkembang biak dan menyimpan makanan.

• Meninggalkan pohon ara (Ficus) berbatang

besar untuk konservasi in situ. Pohon ara merupakan sumber pakan utama bagi banyak jenis satwa dan beragam spesies berdatangan untuk mengambil buahnya pada waktu yang berbeda yang menyebabkan tersedianya pakan sepanjang tahun.

• Menjaga dan memelihara kawasan yang tidak

ditebang dan zona larangan berburu. Kawasan yang dizonasi untuk perlindungan harus dihormati dan dipelihara. Idealnya hal ini harus direncanakan dengan mempertimbangkan beberapa tingkat keterkaitan pada tutupan tajuk di antara konsesi yang berbeda. Di lokasi tempat kegiatan penebangan, peraturan larangan berburu harus dipertegas dengan dukungan seperlunya dari pihak lokal terkait serta lembaga yang berwenang di daerah dan organisasi non- pemerintah. Kegiatan perburuan yang biasanya dilakukan setelah penebangan tidak diragukan lagi menjadi ancaman utama bagi sejumlah spesies. Spesies yang sudah masuk dalam daftar nasional dan regional untuk dilindungi harus dipantau dan dilindungi secara aktif. Spesies yang memiliki kepentingan budaya mungkin dapat digunakan, namun harus dilakukan sesuai

dengan kesepakatan dengan pihak terkait di tingkat lokal dan dikaji secara regular.

• Menggunakan dan mematuhi hukum dan

peraturan yang berlaku kaitannya dengan i) menghindari kegiatan yang menganggu atau berpengaruh negatif terhadap spesies yang dilindungi (UU 5 1990) dan ii) tidak menebang di sepanjang sempadan alur sungai untuk mengamankan dan menjaga hasil dan kualitas air.

Di samping hal-hal yang berkaitan dengan peraturan dan persyaratan yang diterapkan pada skala hutan, ada sejumlah isu yang berkaitan dengan spesies khas seperti yang kami ringkas dalam keterangan di bawah ini.

Isu khusus per spesies

Sejauh ini, kita tidak memberikan saran khusus dalam mengusulkan rekomendasi tentang bagaimana melindungi spesies hidupan liar lokal yang ‘penting’ sulit untuk dideinisikan dan tergantung pada sudut pandang pihak-pihak pemangku kepentingan. Meskipun demikian, ada satu pendekatan yang bisa digunakan dalam upaya perlindungan nasional dan internasional serta status konservasi, tingkat pemanfaatan lokal dan kepentingan budaya, serta luas jangkauanya. Dengan demikian, kami mengidentiikasikan spesies prioritas tertinggi menggunakan status IUCN untuk spesies Borneo (IUCN 2003), status perlindungan di bawah peraturan Indonesia (Noerdjito dan Maryanto 2001) dan kepentingan mereka bagi masyarakat lokal, berdasarkan serangkaian data yang sudah dipublikasikan (Puri 1997; Wadley dkk. 1997; Puri 2001; Sheil dkk. 2002). Kami menyadari bahwa daftar yang kami buat tidak mampu mencakup semua spesies prioritas, namun bisa memberikan gambaran tentang apa yang kami pikir harus

menjadi target konservasi, sementara bisa juga untuk memenuhi kepentingan masyarakat lokal (lihat juga Meijaard dkk. 2006b).

Primata. Terutama Kelawat atau owa Kalimantan (Hylobates muelleri), lutung banggat (Presbytis hosei), lutung daun (P. frontata), kukang/bukang (Nycticebus coucang), kera ekor panjang (Macaca nemestrina) dan orangutan Borneo (Pongo

pygmaeus). Perburuan merupakan ancaman utama bagi spesies yang ada dalam kawasan konsesi ini (Wadley dkk. 1997; Nijman 2004; Marshall dkk. segera terbit), namun demikian pembukaan hutan secara besar-besaran, gangguan serta

Dalam dokumen Pengelolaan sumberdaya hutan di era dese (1) (Halaman 150-161)