• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Distribusi Pendapatan dan Kemiskinan

Terdapat beberapa konsep yang berkaitan dengan distribusi pendapatan dan kemiskinan. Hal ini perlu diketahui mengingat distribusi pendapatan dan kemiskinan yang sifatnya multidimesional. Penjelasan ini akan diawali dengan konsep dan ukuran distribusi pendapatan selanjutnya diikuti dengan konsep dan ukuran kemiskinan.

2.5.1. Konsep dan Ukuran Distribusi Pendapatan

Menurut para ahli ekonomi, secara umum membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan yang digunakan untuk tujuan analisis kuantitatif. Kedua ukuran tersebut adalah ukuran distribusi pendapatan, yaitu besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima masing-masing orang, dan distribusi fungsional atau distribusi kepemilikan faktor-faktor produksi.

Distribusi pendapatan perorangan (personal distribution of income) merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para ahli ekonomi. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumahtangga, tanpa mempersoalkan cara mendapatkannya dan tidak mengabaikan dari mana sumbernya, apakah itu berasal dari gaji, laba, sewa atau dari kegiatan yang menjadi sumber penghasilannya.

Secara fungsi, bahwa distribusi pendapatan, ukuran yang terfokus pada bagian pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal) atau dengan kata lain bahwa konsep distribusi pendapatan fungsional ini berusaha untuk menjelaskan pembagian pendapatan yang diterima oleh masing-masing faktor produksi tersebut, misalnya antara pendapatan yang diterima pekerja, pemilik modal dan kekayaan.

Kriteria Bank Dunia (2008) menjelasakan bahwa telah umum dipakai dan diterapkan di Indonesia mengeni ketimpangan distribusi pendapatan ditentukan oleh aspek; (1) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih kecil dari 12 persen jumlah pendapatan suatu wilayah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan yang tinggi, (2) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima antara 12-17 persen jumlah pendapatan suatu wilayah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan sedang, (3) jika 40 persen jumlah penduduk dengan pendapatan terendah menerima lebih besar dari pada 17 persen jumlah pendapatan suatu daerah/negara, maka distribusi pendapatan di daerah tersebut mempunyai ketimpangan rendah. Kriteria-kriteria tersebut dapat diketahui, dengan pemahaman bahwa jika 40 persen penduduk Indonesia dengan pendapatan terendah menerima 20 persen jumlah pendapatan nasional, maka dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan di Indonesia relatif rendah.

2.5.2. Konsep dan Ukuran Kemiskinan

Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.

Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap

tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006), miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.

Selanjutnya, terdapat konsep bahwa kemiskinan absolut bermaksud memberi indikator mengenai keadaan perekonomian suatu daerah yang sebagian penduduknya mendapatkan nafkah yang hanya dapat dipakai untuk memenuhi taraf kehidupan minimum. Konsep ini memberi arti bahwa kemiskinan absolut berhubungan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar minimum agar seseorang dapat hidup layak. Jika seseorang mempunyai pendapatan dan tidak dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka orang tersebut dikatakan miskin. Tingkat pendapatan minimum sering disebut juga garis batas kemiskinan (poverty line).

Konsep ini seringkali digunakan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang dapat dipakai seseorang untuk memenuhi kebutuhannya akan makan, pakaian dan perumahan yang diharapkan mampu menjamin kehidupannya (Todaro, 2000). Dari kriteria ini tidak terlalu sulit untuk mengatakan, bahwa orang yang miskin akan terlihat pada kurangnya bahan makanan, pakaian dan perumahan yang dimiliki seseorang atau kelompoknya agar mereka dapat hidup layak. Permasalahan yang sering muncul dari konsep kemiskinan absolut adalah bagaimana menentukan komposisi dan tingkat kebutuhan minimum. Sebab kedua aspek tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya adat istiadat lokasi, iklim, tingkat kemajuan masyarakat dan faktor-faktor lain.

Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Selanjutnya, menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara

absolute ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat. Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya.

Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang

tidak adil, dan penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang tidak adil.

Sayogyo (1971), misalnya, menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, dengan membedakan tingkat ekuivalen konsumsi beras di daerah perdesaan dan perkotaan. Untuk daerah perdesaan, apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun, maka yang bersangkutan digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 480 kg beras per kapita per tahun. Selain itu BPS juga membuat kriteria garis batas kemiskinan dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin.

Berdsarkan dua indikator kemiskinan tersebut bahwa konsep kemiskinan yang didasarkan atas perkiraan kebutuhan dasar minimum merupakan konsep yang mudah dimengerti, akan tetapi menentukan garis kemiskinan bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Hal itu disebabkan oleh banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. Dengan demikian sangat dimungkinkan bahwa garis kemiskinan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain atau antara negara yang satu dengan negara lainnya.

Konsep kemiskinan absolut di atas telah membicarakan kriteria yang dapat menentukan apakah seseorang atau kelompok tertentu dapat dikategorikan miskin atau tidak. Pada prinsipnya, orang yang sudah mempunyai pendapatan dan pendapatannya dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum, maka yang bersangkutan dikatakan tidak miskin. Namun demikian banyak ahli berpendapat bahwa walaupun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat disekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaaan miskin (Todaro, 2000).

Konsep tersebut menjelaskan bahwa kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Konsep di atas juga sering disebut sebagai kemiskinan relatif dan merupakan perbaikan dari konsep kemiskinan absolut. Konsep kemiskinan relatif biasanya bersifat dinamis,

sehingga kemiskinan akan selalu ada. Kriteria ini akan terlihat jika kita mengamati distribusi pendapatan masyarakat.

Demikian halnya, Sumodiningrat (1999) mengklasifikasikan kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, relatif, kultural, kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya dan tidak mau memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha pihak luar membantunya. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap kebiasaan masyarakat yang tidak produktif (2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian, (3) rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan musiman, bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunya tingkat kesejahteraan masyarakat.