II. TINJAUAN PUSTAKA
2.4. Pendekatan Kesejahteraan dan Kemiskinan
Ravallion (2004), menjelaskan bahwa untuk penilaian kesejahteraan dalam analisis kemiskinan secara tradisional dicirikan menurut dua pendekatan utama, yaitu pendekatan welfarist dan non-welfarist. Pendekatan pertama dalam prakteknya cenderung terkonsentrasi pada perbandingan “economic well-being” atau kesejahteraan ekonomi yang disebut sebagai standard of living atau “standard hidup” atau ”pendapatan”. Pendekatan kedua secara historis memiliki pendukung sebagian besar dari sarjana ilmu sosial daripada ilmu ahli ekonomi sebagai bagian dari reaksi mereka terhadap pendekatan yang pertama.
Kedua pendekatan tersebut seringkali disebut pendekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektif yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph Stepanek (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seperti BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuha n dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach).
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Sedangakn pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat.
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok
orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
2.4.1. Pendekatan Welfarist
Pendekatan Welfarist lebih kuat di dalam mikroekonomi klasik, dalam bahasa ekonomi, welfare atau utility biasanya kata kunci di dalam perhitungan akuntansi untuk perilaku dan kesejahteraan individu. Dalam teori ekonomi mikro umumnya mendalilkan individu adalah rasional dan mereka diasumsikan dapat membuat keputusan terbaik dengan adil dalam kehidupan, yaitu memaksimumkan
utility dan kebahagiaan. Dengan tingkat kekayaan tertentu (initial endowments), (termasuk waktu, lahan, dan fisik dan human capital), individu membuat pilihan produksi dan konsumsi menggunakan preferensinya terhadap sekeranjang konsumsi dan aktivitas produksi, dan memasukkan harga konsumen dan produsen ke dalam perhitungan teknologi produksi yang berlaku dalam perekonomian (Karo, 2008).
Berdasarkan asumsi dan kendala tersebut, seorang individu secara rasional akanmemaksimalkan utility, dengan asumsi tambahan (termasuk pasar kompetitif, informasi sempurna, dan tidak ada eksternalitas), seorang individu masyarakat seluruhnya bereaksi dengan bebas memilih dan proses ini akan mendorong ke arah suatu pareto-efficient, artinya bahwa tidak ada perbaikan utility seseorang dengan intervensi pemerintah tanpa menurunkan utility orang lain.
Dasar dari pendekatan welfarist terhadap kemiskinan adalah tentang informasi yang diungkapkan oleh perilaku individu tersebut terhadap penaksiran atau penilaian kemiskinan. Terutama sekali ditekankan bahwa penilaian kesejahteraan seseorang harus konsisten dengan preference revealed berdasarkan pilihan bebas perorangan. Sebagai contoh, seseorang dapat diamati menjadi miskin berdasarkan total konsumsi atau standard pendapa tan dari analisis kemiskinan. Meskipun demikian orang yang sama dapat (yaitu, mempunyai
kapasitas kerja) menjadi tidak miskin (non-poor), maka ia akan dipertimbangkan miskin oleh standard analisis kemiskinan (non-welfarist), welfarist dapat menyimpulkan bahwa orang tersebut tidak miskin. Hal ini akan mempunyai implikasi penting dalam merancang dan menilai kebijakan publik.
Dalam menganalisisnya, dasar utama pendektan welfarist adalah pendekatan ini membutuhkan penilaian tingkat utility atau ”psychic happines”. Permasalahan yang sering muncul jika kita mencoba untuk membandingkan tingkat utility antar individu, karena hal itu menyangkut masalah etika. Pilihan adalah heterogen, kebutuhan dan kenikmatan adalah berbeda, ukuran dan komposisi rumahtangga berbeda, dan harga bervariasi antar waktu dan tempat. Ekonomi kesejahteraan (khususnya utilitas) secara khusus terlihat sebagai suatu konsep yang subjektif, sehingga kebanyakan ahli ekonomi percaya bahwa membandingkan antar pribadi tentang kesejahteraan ekonomi adalah tidak tepat.
2.4.2. Pendekatan Non-Welfarist
Non-Welfarist, mempunyai dua pendekatan utama dalam menganalisis pokonya yaitu basic-needs approach dan capability approach. Fokus yang pertama di dalam mencapai beberapa kebutuhan dasar yang multidimensional dapat diamati dan dimonitor relatif lebih mudah. Hasil ini umumnya (secara eksplisit atau implisit) dihubungkan dengan konsep manfaat (functioning). Pandangan functionings ini dapat dipahami menjadi suatu konstitusi dari unsur-unsur kesejahteraan atau well-being. Seseorang hidup baik jika cukup besar menikmati tingkatan manfaatnya. Pendekatan functionings umumnya tidak mencoba membandingkan unsur multidemensional ke dalam dimensi tunggal seperti utility atau kebahagiaan. Pendekatan functionings umumnya fokus untuk menilai multiple specific dan separate outcomes, seperti kenikmatan dari jenis konsumsi komoditas tertentu, menjadi sehat, terpelajar, berpakaian baik, rumah baik, tidak dalam keadaan sakit (Duclos, et. al. 2004).
Selanjutnya, pendekatan functionings lebih mendekati yang berhubungan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic-needs), dan keduanya sukar untuk dibedakan di dalam praktek. Bagaimanapun juga, pendekatan functionings tidak sinonim dengan basic-needs. Kebutuhan dasar dapat dipahami sebagai bentuk dari input fisik yang umumnya diperlukan individu untuk mencapai beberapa manfaat.
Oleh karena itu, kebutuhan dasar umumnya digambarkan dalam istilah rata-rata (mean) daripada hasil (outcomes).
Tidak seperti functionings, basid needs dapat didefinisikan untuk semua individu, spesifikasi dari basic needs tergantung pada karakteristik individu dan masyarakat di mana mereka tinggal. Sebagai contoh, kebutuhan komoditi dasar untuk seseorang dalam keadaan baik dan tidak kurang makan akan tergantung pada iklim dan karakteristik fisiologis dari individu. Oleh karena itu, walaupun pemenuhan kebutuhan dasar merupakan suatu unsur penting di dalam menilai apakah seseorang telah mencapai beberapa functionings, penilaian tersebut harus menggunakan informasi pada karakteristik seseorang dan sosial ekonomi.
Pendekatan non-welfarist yang sering disebut sebagai pendekatan kemampuan (capability) yang juga dipelopori oleh Sen merupakan pendekatan alternatif yang lainnya. Pendekatan capability digambarkan dengan kapasitas untuk mencapai functionings. Perbedaan antara pendekatan capability, basic needs dan functionings, pada kenyataannya sedikit banyaknya dapat dianalogkan dalam hal penggunaan indikator pendapatan dan konsumsi sebagai standard hidup. Pendapatan menunjukkan kemampuan untuk mengkonsumsi, dan "consumption functionings" sebagai hasil dari capability. Di dalam pendekatan basic needs dan
functionings, kemiskinan langsung datang dari kekurangan konsumsi. Di dalam pendekatan capabilitiy, kemiskinan meningkat berasal dari kekurangan pendapatan dan capability, yang secara tidak sempurna dihubungkan dengan manfaat aktual yang dicapai. Terlepas dari kelebihan dan kelemahan pendekatan diatas, dalam penelitian ini konsep kemiskinan yang digunakan merupakan kebutuhan dasar (basic needs) yang disebut sebagai kemiskina absolut.