• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Pembedaan Negara dan Politik

1. Domain Politik

An-Na’im meyakini bahwa kendati negara dan politik berkaitan erat ibarat dua sisi mata uang, tetapi tidak mungkin kedua konsep ini dilebur menjadi satu. Guna menunjukkan perbedaan kedua konsep ini, an-Na’im mengeksplorasi domain negara dengan mengacu pada karakteristiknya sebagaimana disebutkan oleh sarjana Barat. Akan tetapi, an-Na’im dalam

85An-Na’im misalnya memberi contoh kasus hakim seharusnya menerapkan undang-undang resmi yang diundangkan secara resmi daripada pandangan pribadi mereka sendiri atau kehendak pemerintah. Namun, pandangan pribadi dan kebijakan pemerintah mungkin akan berpengaruh pada cara hakim menafsirkan dan menerapkan hukum. Perbedaan antara negara dan politik dimaksudkan untuk memastikan bahwa hakim menerapkan hukum sebenarnya meski ada pengaruh dari pandangan mereka dan kebijakan pemerintah. Paradoks ini semakin diperumit oleh kenyataan bahwa di negara-negara demokratis, pandangan dan kepercayaan para hakim diperhitungkan dalam pengangkatan mereka, dan kebijakan pemerintah mungkin memang mencerminkan keinginannya dari mayoritas warga negara.

86‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Islam dan Negara Sekular..., 258.

87James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-teori Ilmu Politik

148|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

hal ini kurang memberi penjelasan tentang domain politik meskipun ia menggunakan paradigma politik tradisional. Ia hanya mengungkap politik sebagai proses dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan.88 Sementara negara merupakan unit swakelola pemerintah (self-governance) yang menerapkan kebijakan dan keputusan politik.89 Batasan politik ini tentu sangat terbatas meski disebut sebagai proses dinamis. Hal ini karena sifat dinamis politik terjadi dalam ruang lingkup aktifitas negara atau pemerintah dalam memilih alternatif kebijakan publik. Atas dasar ini batasan politik yang dikemukakan oleh an-Na’im relevan dengan pendekatan politik tradisional (normatif institusional) yang menekankan pada aspek negara.90

Walaupun demikian, batasan politik yang dikemukakan oleh an-Na’im tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh James A. Caporaso dan David P. Levine. Menurut kedua sarjana ini, politik adalah kegiatan dan institusi yang terkait dengan pembuatan keputusan publik secara berwenang yang mengikat masyarakat secara keseluruhan.91 Beberapa sajana Indonesia juga mengungkapkan hal yang hampir sama. Miriam Budiardjo misalnya menyebutkan politik sebagai usaha menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima oleh sebagian warga negara untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis.92 Usaha tersebut meliputi bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik,93 yang dalam pandangan Deliar Noer mencakup segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan

88Kendati fokus pada konsep negara, batasan politik yang dikemukakan oleh an-Na’im setidaknya telah memperjelas perbedaan domain kedua konsep tersebut. Salah satunya adalah negara sebagai aktor utama dalam proses politik dan berhadapan dengan berbagai aktor sosial dan politik dalam masyarakat, termasuk aktor-aktor agama. Hanya saja, harus diakui konsep politik yang dikemukakan oleh an-Na’im tersebut masih terbatas dan tidak cukup luas dibandingkan dengan konsep politik yang dikemukakan oleh para ahli politik. Meski ia menyebut politik sebagai proses dinamis, namun dinamisme politik dibatasi hanya dalam konteks dialektika antara negara dan masyarakat terkait persoalan kebijakan umum dan perundang-undangan. Abdullah Ahmed an-Na’im,

Islam and the Secular State..., 5.

89‘Abdullah Ahmedan-Na’im, Islam and the Secular State..., 5.

90Hingga di sini, upaya an-Na’im membedakan negara dan politik kontradiktif dengan pendekatan yang ia gunakan.

91James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-teori Ilmu Politik

terjemahan Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 11.

92Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), 16-17.

93Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), 8.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|149 bermaksud untuk mempengaruhi baik dengan mengubah atau mempertahankan suatu bentuk tatanan masyarakat.94

Sarjana lain seperti Damsar, juga menyimpulkan yang sama dengan an-Na’im, bahwa politik ditinjau dari sudut etimologi merupakan proses dan sistem penentuan serta pelaksanaan kebijakan dengan warga negara dalam suatu negara atau kota.95 Politik karenanya ditinjau dari terminologi yang lebih luas meliputi berbagai konsep seperti kekuasaan, kewenangan, negara, kehidupan publik, pemerintahan, konflik dan resolusi konflik, kebijakan, pengambilan keputusan, pembagian atau alokasi. Dengan demikian, politik seperti yang dikemukakan oleh an-Na’im dan para ahli lebih luas dan dinamis meliputi entitas negara itu sendiri. Hafied Cangara mengungkap paradigma politik di Amerika—sebagaimana terlihat dalam paradigma an-Na’im—berbeda dengan yang berkembang di Eropa. Politik di Amerika tidak lagi dipahami terbatas pada negara, namun lebih luas dari itu dilihat sebagai hubungan negara dengan masyarakat yang lebih dinamis. Sementara negara dipandang sebagai lembaga politik yang memengaruhi masyarakat.96

Merujuk pada penjelasan Ian Adams, politik umumnya dipahami merupakan upaya mendamaikan pandangan-pandangan yang bertentangan agar sampai pada suatu keputusan kolektif tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pandangan-pandangan yang saling bertentangan muncul karena beragamanya kepentingan. Setiap orang atau kelompok memiliki nilai-nilai yang berbeda dari orang lain. Konflik nilai-nilai merupakan masalah

94Deliar Noer mengemukakan dua pendekatan yang berbeda dengan pendekatan tradisional dan perilaku tersebut. Kedua pendekatan tersebut adalah pendekatan yang menekankan pada nilai dan pendekatan yang menekankan pada perilaku. Pendekatan nilai tidak sama dengan pendekatan tradisional yang hanya membahas tiga aspek yang telah disebutkan dia atas. Pedekatan nilai mencakup pula penggunaan nilai-nilai etis dalam menetapkan baik buruknya sebuah pemerintahan seperti yang dipergunakan oleh para filosof politik, selain penggunaan fakta-fakta sejarah,institusi dan hubungan-hubugan institusional, serta hubungan antara negara seperti yang digunakan oleh ilmuan politik. Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Perspektif Al-Qur’ān, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995). Lihat Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik

(Jakarta: Rajawali, 1983), 6 dan 94-95.

95Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Kencana, 2012), 10. 96Sebagaimana yang terlihat dalam karya-karya sarjana Eropa, politik bermakna negara. Lebih jauh Cangara menjelaskan tiga dimensi politik yaitu politik sebagai stusi kelembagaan atau institusi, politik sebagai kekuasaan, dan politik sebagai kebijakan public. Politik sebagai kelembagaan menjadikan negara sebagai ojeknya. Negara dipandang sebagai lembaga yang berkuasa mengatur kehidupan masyarakat. Sifat negara adalah memaksa untuk mentaati undang-undang guna menghindari terjadinya anarki.Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 25-32.

150|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

penting yang timbul tidak hanya akibat perselisihan seputar cara apa yang lebih efektif dan efesien dalam melakukan suatu tindakan, tetapi cara apa yang benar. Nilai-nilai individu mungkin terlibat dalam isu-isu partikuler seperti benar atau salah aborsi atau senjata nuklir, tetapi ada juga sistem ide yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat harus diatur, nilai-nilai yang harus diwujudkan dan semua hal ini adalah soal ideologi.97

Gabriel A. Almond juga menggambarkan politik sebagai kegiatan yang terkait dengan pembuatan keputusan publik dalam masyarakat yang dilakukan melalui instrumen otoritatif dan koersif.98 Politik meliputi pemerintah suatu negara dan organisasi-organisasi yang didirikan manusia lainnya.99 Andrew Heywood menyebut empat pandangan tentang politik yaitu politik sebagai seni pemerintahan, politik sebagai persoalan publik, politik sebagai kompromi dan konsensus, dan politik sebagai kekuasaan.100 Menurut Budi Winarno101 yang mengutip dari David Easton menjelaskan bahwa politik seharusnya dilihat sebagai sebuah sistem dari kegiatan-kegiatan yang saling berhubungan. Dalam penjelasan Almond dan Powell, sistem politik tidak mempunyai makna yang sama dengan istilah negara, pemerintahan dan bangsa. Negara mempunyai konotasi dengan kekhasan kelembagaan, otoritas dan legitimasi. Pemerintahan lebih berkenaan dengan institusi legal formal, sedangkan bangsa lebih merujuk pada sistem politik di mana warga negara mampunyai nasib dan perasaan identitas historis yang sama. Karena itu, sistem politik menurut mereka adalah semua interaksi yang memengaruhi semua penggunaan paksaan fisik yang sah. Sistem politik memasukkan tidak hanya institusi pemerintahan seperti legislasi, hukum, administrasi, tetapi semua struktur dalam semua aspek-aspek politik.102

97Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, dan Masa Depan

terjemahan Ali Noerzaman (Yogyakarta: Qalam, 2004), 5.

98Gabriel A. Almond, et.al., Comparative Politics Today: A World View, Eigth Edition, (Delhi: Dorling Kindersley Publishing, Inc., 2004), 2.

99Eltigani Abdelgadir Hamid, The Quran and Politics: A Study of the Origins of Political Thought in the Makkan Verses (London: The International Institute of Islamic Thought, 2004), 2.

100Andrew Heywood, Politics, 2nd Edition (New York: Palgrave MacMillan, 2002), 7-12.

101Menurut Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (yogyakarta: Media Pressindo, 2007). 3. David Easton, ‚Empirical Conceptualizations: An Approach to the Analysis of Political System‛ dalam Louis J. Cantori, Comparative Political System (Boston: Holbrook Press, 1974), 149. Lihat juga David Easton, ‚Analisis Sistem Politik‛ dalam Mohtar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1979), 4.

102Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007). 4. Lihat Gariel Almond dan Bingham Powell,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta|151 Seta Basri mengungkap politik berbicara mengenai bagaimana masyarakat, di suatu wilayah, saling menegosiasikan kepentingan masing-masing untuk kemudian melahirkan kesepakatan bagaimana kepentingan masing-masing tersebut dapat terselenggara tanpa merugikan pihak lain. Politik selalu bertujuan untuk mencapai kebahagiaan bersama, dimana tujuan awal politik tidak kejam, meski ada juga yang mendefinisikan sebagai pemaksaan penggunaan kekuasaan sosial.103 Caporaso mengungkapkan memang ada banyak pandangan tentang apa sebenarnya yang dimaksud politik dan tidak ada satu pun dari pandangan-pandangan tersebut diterima secara luas.104 Meski demikian, Caporaso menyebut setidaknya ada tiga paradigma tentang politik yaitu politik sebagai pemerintahan, politik sebagai persoalan publik dan politik sebagai distribusi nilai.105

Berbeda dengan pendapat Caporaso, Ramlan Surbakti menyebut lima paradigma konsep politik.106Pertama, paradigma klasik yang melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Kedua, paradigma kelembagaan yang melihat politik Comparative Politics: System, Process, and Policy (Little, Brown, and Company, 1978), 4.

103Seta Basri, ‚Pengertian Ilmu Politik dan Pendekatan-pendekatan dalam ilmu politik‛. dalam http://setabasri01.blogspot.co.id/2009/02/konsep-dan-metodelogi-ilmu-politik.html akses 16 Maret 2018.

104Politik dapat diartikan sebagai siapa yang mendapatkan apa, kapan dan bagaimana (Lassweel 1936). Pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan (Morgenthau 1948, 1960), seni dan ilmu pemerintahan atau sosialisasi konflik (Schattschneider 1960), pola-pola kekuasaan, aturan dan kewenangan (Easton (1953 dan 1981), konflik murni, yaitu antara sini melawan sana (Schmitt 1976) dan penyelerasan kepentingan-kepentiangan yang saling bertentangan melalui kebijakan publik (Crick (1962 dan 1964). Dalam paradigma politik klasik Plato dan Aristoteles misalnya, politik merupakan istilah yang mengambarkan konsep pengaturan masyarakat. Jadi, politik berdasarkan beberapa pandangan tersebut merupakan hal berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, kehidupan publik, pemerintahan, negara, konflik dan resolusi konflik. James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-teori Ilmu Politik terjemahan Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 11. James A. Caporaso and David P. Levine, Theories of political economy (Cambridge University Press, 1992.) Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 64-65.

105James A. Caporaso dan David P. Levine, Teori-teori Ilmu Politik

terjemahan Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 11. James A. Caporaso and David P. Levine, Theories of political economy (Cambridge University Press, 1992.) Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta: LkiS, 2004), 64-65.

106Lihat Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2014).

152|UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai hal berkaitan dengan penyelenggaraan Negara. Politik antara lain dipandang sebagai persaingan untuk membagi kekuasaan antar negara atau antara kelompok dalam suatu Negara. Max Weber misalnya menyatakan negara sebagai komunitas manusia yang secara sah memonopoli penggunaan paksaan pisik dalam wilayah tertentu. Ketiga, paradigma kekuasaan yang melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, paradigma fungsional yang memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Para sarjana politik kontemporer memandang politik sebagai kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Kelima, paradigma konflik, yang memandang politik sebagai kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum atau politik merupakan upaya untuk mendapatkan atau mempertahakan nilai-nilai.